Fani Maharani, seorang mahasiswi biasa yang berasal dari suatu desa. Ia dikenal sebagai dewi tercantik jurusan manajemen. Para pria pun sering mengelu-elukan dan berusaha mendapat perhatiannya. Begitu pula dengan Joshua.Fani tentu saja senang berteman dengan semua orang. Terkadang kebaikan hati dan keramahannya membuat para pria salah paham. Seolah ia memberikan kesempatan untuk mereka.Namun, di antara para pria itu, ia hanya dekat dengan Joshua. Fani menganggap Joshua teman spesialnya, lantaran keluarga Gavin yang telah menyokong para mahasiswa berprestasi di jurusannya.Suatu hari, Joshua mengungkap perasaannya. Fani memamerkan senyum terindah mendengar pengakuan Joshua. Ia pikir Fani pun memiliki perasaan yang sama. Tapi ia keliru."Terima kasih, Josh. Aku menghargainya. Tapi aku harus minta maaf padamu. Aku saat ini menyukai orang lain, Josh.""Siapa laki-laki beruntung itu, Fan?"Fani sempat ragu-ragu tapi Joshua terus mendesak. Saat itu pula, Joshua t
"Tapi selama ini aku terus berpikir kalau Billy memang sengaja mendorong Fani, setelah minta maaf padanya.""Itu nggak mungkin," Rena tak mau percaya Billy tega melukai seseorang. Namun ingatan tentang perbuatan Billy pada Lisa dan lainnya, membuat Rena meragu."Benar, itu nggak mungkin," gumam Rena meyakinkan diri sendiri."Yang jelas, Billy yang membuat Fani celaka, Ren. Makanya aku sempat membencinya.""Sempat? Jadi sekarang kamu sudah nggak membencinya, bukan?""Nggak terlalu. Tapi hubungan kami sudah terlanjur buruk. Ditambah lagi, masalah perusahaan kami yang selalu bersaing memenangkan tender.""Lalu gimana dengan Fani? Apa dia...."Joshua mengunci pandangan Rena. "Aku nggak tahu. Tubuhnya nggak pernah ditemukan.""Sejak itu, aku nggak pernah lagi bicara dengan Billy. Kalau ketemu, kami selalu bertengkar seperti anjing dan kucing saja. Saling menyalahkan nggak ada ujungnya. Dan Felix yang selalu melerai kami berdua," kenangnya."Oh, jadi Fe
"Kalian lagi syuting sinetron?" sindir Joshua yang baru saja kembali setelah mandi.Peter menyeka air mata di balik kaca mata. Dan Rena melepas pelukan Mira."Maaf, Tante, saya nggak sopan.""Kenapa harus minta maaf? Orang di sana itu yang nggak sopan." Tunjuk Mira ke arah Joshua dengan tatapan tajam."Ayo, ke kamarku, Ren. Ada yang mau aku tunjukkan," ajak Joshua sambil menggaruk-garuk rambut basahnya dengan handuk."Makan dulu!" tegas Peter.Ketika di meja makan pun Mira dan Peter memperlakukan Rena seperti anaknya sendiri. Mereka berlomba-lomba menyodorkan lauk untuk Rena. Sampai-sampai isi dalam piringnya menggunung."Papa, Mama, ini keterlaluan! Memangnya Rena bisa habis makanan sebanyak itu?!""Mama itu yang seenaknya. Kalau Papa sudah kasih ke Rena, nggak usah ikut-ikutan," cerca Peter."Nggak apa, saya mau makan semua." Rena tersenyum riang.Setelah makan malam selesai, Peter dan Mira masih ingin memonopoli Rena. Joshua segera menyeret Rena masuk ke kamar. Tak memedulikan omela
Kevin menggenggam tangan Aida sebelum ibunya berhasil menampar Rena. "Mama ngapain?!""Ikut Mama pulang sekarang! Jangan mau dibodohi janda gatal ini!" sentak Aida."Nggak, Ma. Mama harus minta maaf dulu sama Rena. Di sini dan sekarang juga!"Aida menatap sekeliling, orang-orang saling berbisik. Dalam hati, ia puas telah mempermalukan sang janda.Sekarang semua orang tahu kebusukan wanita itu, pikir Aida.Aida tahu, anaknya selalu baik kepada orang-orang. Tapi Aida tahu betul bagaimana sifat asli anaknya. Kevin selalu mengincar sesuatu di balik kebaikannya.Ia pikir, Kevin mendekati Rena karena ingin mengalihkan fokus Billy. Sehingga anaknya itu dapat merebut posisi Billy.Akan tetapi, Kevin sudah kelewatan memperhatikan Rena. Dan Aida tahu, ada yang salah dari sikap anaknya.Bukan hanya membolos kerja demi mengurusi wartawan yang akan menyerbu Rena. Kevin pun mengeluarkan banyak uang untuk menyewa pengawal untuk berjaga di sekitar apartemen dan tempat kerja Rena. Bukan pengawal Volker
"Atas dasar apa kamu memecatku?""Aku nggak mau membuat calon tunanganku kesal karena kamu masih kelihatan di mana-mana," tutur Billy."Jadi berita itu benar." Rena menyeringai, menahan rasa ingin menangis.Rena menyaksikan raut wajah Billy yang sudah lama tak dilihatnya. Seperti awal awal mereka berjumpa. Seringai sinis yang tampak licik menghiasi wajah tampan nan angkuh."Kalau nggak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku pergi."Rena dapat melihat punggung pria yang dicintai semakin menjauh, memasuki pintu tangga darurat alih-alih masuk ke dalam lift. Dengan sendirinya, Rena mengikuti dengan langkah gontai, menuruni satu per satu anak tangga menuju ke arah pria yang bahkan tak melihat ke belakang."Billy!" Suara Rena menggema.Untuk sesaat Billy terpaku lalu melanjutkan perjalanan. Rena tak kuasa menahan rasa sakit yang kian terasa. Ia pun mempercepat kaki hingga hanya berjarak satu langkah darinya.Billy terkesiap ketika Rena memeluk dari belakang.
Fani Maharani tersenyum puas. Setelah bertahun-tahun menanti, Billy akhirnya datang padanya. Tak sia-sia ia mengorbankan kedua kakinya.Hari itu, seorang pria mendatangi Fani. Pria itu mengaku bernama Kai. Entah siapa nama belakang pria itu, Fani tak ingat dan tak peduli. Yang pasti Kai telah menyelamatkan dirinya.Kai mengungkap semua rencana Joshua dan Billy. "Apa kamu rela mendapatkan Billy cuma sehari saja?" tanya Kai."Aku bahagia walau hanya diberi waktu sehari untuk menjadi kekasih Billy.""Benarkah? Kalau bisa memilih, apa kamu tetap nggak mau mendapatkan Billy selamanya?""Tentu saja aku akan sangat bahagia jika bisa terus bersama Billy. Tapi aku nggak bisa terus memaksa. Aku juga masih punya harga diri."Kai terkekeh-kekeh. "Kamu punya harga diri? Setelah mempermalukan diri seperti itu?"Wajah Fani merona karena malu. Ia tak bisa menampik fakta yang diucapkan Kai."Bayangkan, jika kamu mendapatkan Billy, hidupmu akan berubah. Kamu akan
Billy sedih melihat ibunya terbaring lemah tak berdaya. Entah apa yang terjadi pada Aurora, sejak kedatangan Fani, ia sering sakit-sakitan.Aurora tampak selalu memikirkan sesuatu. Kemudian ibunya tiba-tiba menangis ketika semua orang pergi."Mama, makan dulu ya?" bujuk Billy.Aurora menggeleng lemah. "Nanti setelah kamu kerja."Seperti itu jawabannya, tapi Billy tahu ibunya selalu berbohong. Bella maupun Gladis, dan bahkan ayahnya tak mampu untuk mengembalikan senyuman di wajah Aurora.Ingatan Billy bergulir ke masa lalu. Ketika ia masih di Jepang, Aurora mendesaknya untuk meninggalkan Rena. Terang saja ia marah besar. Ayahnya pun turut membujuk dengan nada khawatir.Waktu itu, Billy kira, Aurora akan berbuat sesuatu yang buruk kepada Rena. Billy lantas memutuskan kontak dengan Rena sementara waktu untuk mengecoh Aurora.Kemudian Aurora tiba-tiba menyusulnya ke Jepang. Tampilan Aurora kala itu tak seperti biasa. Matanya sayu, seperti kehilangan gairah hidup.Aurora berlutut di hadapan
"Jangan lama-lama. Sebentar lagi hujan," ujar Joshua.Rintikan air hujan mulai turun membasahi bumi. Di bawah payung hitam, Rena dan Joshua jalan berdampingan menuju deretan mobil yang terparkir di luar pemakaman.Di mobil paling depan, Peter dan Mira telah menanti dirinya. Mira membuka kaca jendela, membiarkan tetesan air hujan membasahi tangan yang melambai-lambai."Rena, cepat masuk," teriaknya."Iya, Mama Mira. Jangan dibuka jendelanya!" balas Rena."Ayo, cepat, keburu ketinggalan pesawat." Joshua melingkarkan tangan di pinggang Rena, setengah menyeret tubuhnya agar berjalan lebih cepat.Di dalam mobil yang melaju, Rena menoleh ke belakang, ke arah batu nisan Thomas Volker yang kian tak terlihat. Hawa sedih kembali menyergap. Setitik penyesalan terpatri dalam hati.Mira memeluk Rena penuh kasih sayang. "Sudah, nggak apa apa. Semua akan baik-baik saja.""Iya, Ma. Terima kasih sudah mengizinkanku mengunjungi Kakek Thomas untuk yang terakhir kali."