Kabut pagi masih menggantung di udara. Kesejukan khas daerah kaki bukit terasa memeluk tubuh. Sang mentari bersembunyi di balik awan dan masih enggan mempersembahkan kehangatan.
Farhan menyeruput kopi yang masih panas dari cangkir yang terletak di meja teras Pondok Sunyi. Kirana sempat membuatkan kopi itu sebelum meninggalkannya sendiri di situ. Mereka bertiga bersama Gayatri ke situ, tetapi Kirana dan Gayatri barusan pergi untuk mengurusi pekerjaan di Bengkel Kemas.
Pikiran Farhan teringat akan kedua anaknya yang enggan ikut dengannya. Mereka tak bisa disalahkan karena kedua anaknya tak terlalu dekat dengannya dan lebih sering di rumah nenek mereka. Kesibukan Farhan dan Lala membuat kedua anak mereka pulang ke rumah nenek mereka saat pulang sekolah dan baru pulang ke rumah ketika dijemput sore hari. Mereka bertambah jauh dari Farhan sejak Lala meninggalkan rumah dan tinggal di rumah orang tuanya ketika masalah perkawinan mereka memanas.
Saat Lala kena serangan
Farhan menyerahkan kembali ponsel Dara setelah videonya selesai. Ditopangkannya kedua tangannya di pahanya sambil menunduk. Dia berpikir keras bagaimana bisa Dara punya anak darinya. Pikirannya pun mengembara ke masa dua belas tahun silam.Masa itu Farhan baru saja mendapatkan pencapaiannya sebagai seorang dosen muda. Dia sedang menjalani proyek penelitian multitahun senilai satu milyar rupiah, sebuah proyek penelitian yang membanggakan jurusan tempatnya mengajar. Ketua jurusan dan para dosen lainnya sangat kagum atas pencapaiannya itu karena tak mudah mendapatkannya. Hal itu membuatnya menjadi seorang dosen muda yang dihargai.Dara Andrea, lulusan dengan predikat summa cum laude, baru saja bergabung menjadi staf pengajar. Untuk menjadi dosen tetap, Dara harus menjalani masa kerja sebagai asisten dosen terlebih dahulu dan kemudian melanjutkan studi ke jenjang S2. Dia ditugaskan menjadi asisten dosen bagi Farhan.Gaya bergaul Dara yang supel membuatnya cepat meng
Farhan mengatur GPS mobilnya sesuai dengan alamat yang diberikan Dara. Dipastikannya sejenak alamat yang dituju sudah benar, baru dia mulai mengemudikan mobilnya. Lokasi yang ditujunya tak jauh, hanya sekitar 3,3 KM.Mobil Farhan menyusuri jalan-jalan yang cukup ramai siang itu. Tak banyak yang dibicarakannya dengan Dara sepanjang perjalanan, hanya mengomentari lalu lintas dan apa yang mereka lihat di jalan. Tak lama kemudian, lokasi yang ditujunya sudah dekat."Itu, yang pagarnya putih," ujar Dara.Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang berukuran sedang, tetapi nampak rapi bercat biru muda. Halaman depannya ditanami rumput gajah mini dengan beberapa jenis bunga. Teras rumahnya tampak teduh dinaungi pohon sawo kecik yang ditanam di sisi kanan depan teras."Mari masuk, Mas." Dara mempersilakan Farhan masuk.Farhan duduk di kursi tamu. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling ruangan yang menyatu dengan ruangan tengah itu. Meski ruangan itu tak ter
"Ma, Om Farhan itu teman lama Mama ya?" tanya Tania selepas menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Dia baru saja selesai mengerjakan PR matematika yang ditugaskan gurunya."Iya. Emangnya kenapa?""Om itu kan belum pernah ke sini. Teman-teman Mama yang lain kan juga sering ke sini.""Oh, iya. Om Farhan itu kan gak tinggal di Semarang. Rumahnya jauh jadi belum pernah ke sini sebelumnya.""Om itu baik ya, Ma? Aku seneng liatnya. Kalo punya papa, aku pengen punya papa kayak om itu." Tania terdiam setelah mengatakan itu. Dia merasa sedih tidak punya papa seperti teman-temannya. Dimasukkannya buku-bukunya ke dalam tasnya lalu masuk ke kamarnya.Dara termenung. Rasa sedihnya muncul mendengar ung
Pagi itu Farhan melihat Kirana yang masih lelap tertidur lagi setelah salat Subuh. Bukan kebiasaan Kirana terlambat bangun. Farhan agak enggan mengganggu tidurnya, tetapi hari sudah jam tujuh pagi."Sayang, bangun ... sudah siang nih." Farhan menepuk-nepuk lengan Kirana.Setelah beberapa kali dibangunkan, perlahan mata Kirana terbuka. "Apa sih, Mas?" tanya Kirana dengan suara manja."Sudah kesiangan, Sayang.""Tapi aku masih males bangun, Mas.""Kamu sakit?" tanya Farhan agak khawatir."Gak kok ... cuma males aja rasanya. Badan bawaannya enak dibawa tidur.""Yaudah, kamu sarapan dulu terus nanti tidur lagi.""Aku pengen dibikinin nasi goreng, tapi Mas yang bikin," ujar Kirana manja.Farhan agak heran dengan permintaan Kirana. Tak biasanya Kirana bersikap seperti itu. Kirana hampir tak pernah meminta Farhan melakukan sesuatu untuk dirinya."Nanti gak enak gimana?" tanya Farhan."Pokoknya dedek bayinya minta
Kirana sibuk mempersiapkan berbagai hal. Seisi rumah juga semua sama-sama sibuk tak terkecuali kedua orang tua Kirana."Mbak, apa lagi yang belum, ya?" tanya Kirana.Gayatri tampak berpikir sebentar, "Aku gak tau ya, Dik. Aku belum pernah mempersiapkan sendiri yang begini sebelumnya.""Mbak gak bikin checklist apa yang mesti dipersiapkan?" Kirana kali ini kelihatan seperti orang bingung. Dia biasanya tenang dan semuanya bisa diaturnya dengan baik."Paling juga yang pokok-pokoknya dan semuanya sudah siap," balas Gayatri.Kedua perempuan itu seperti orang yang bingung dan sibuk grasa-grusu sendiri. Melihat itu, Seno dan Ayu, karyawan Gayatri, yang sejak tadi memperhatikan keduanya mendekat."Ada apa, Mbak?" tanya Ayu."Ini loh, aku sama Kirana lagi bahas apa aja yang belum dipersiapkan.""Coba Mbak bilang dulu apa aja yang sudah dipersiapkan," ujar Ayu.Gayatri dan Kirana merinci segala yang mereka sudah persiapkan sambil
Hari masih sangat pagi. Kabut mengambang tipis di udara. Langkah-langkah kaki perempuan bersepatuketsmenapaki jalan desa. Langkah itu begitu ringan dan bergerak dengan kecepatan sedang. Kirana berjalan dengan mengenakan jaket berbahan kaos. Celana parasut hitam yang dipakainya menggantung di betis kuning langsatnya yang indah.Kirana menyelinap keluar saat semua orang sibuk berbenah sisa acara resepsi perkawinan kemarin. Tak ada yang memperhatikannya keluar rumah. Dia ingin menghabiskan pagi itu sendiri dalam suasana yang tenang. Alat bantu dengarnya bahkan dilepaskannya dari daun telinganya dan disimpan di saku jaketnya. Sendiri tanpa membawa ponsel dan tak mendengar apa pun membuat Kirana berharap bisa menikmati kesendiriannya.Degub jantungnya terasa lebih jelas terasa di dadanya. Berjalan kaki selama lima belas
Kirana mencium punggung tangan Farhan. Mereka baru saja salat Subuh berjamaah. Setelah melipat mukena yang baru saja dilepasnya, Kirana duduk di tepi tempat tidur."Mas, nanti kita jalan pagi, yok!""Ayo. Mau ke mana?" tanya Farhan sambil melipat sajadah dan meletakkannya di tempatnya semula."Kita jalan ke bukit aja."Farhan terdiam sejenak. Dia tak menyangka Kirana bakal mengajaknya berjalan sejauh itu. "Sayang, kamu itu lagi hamil muda. Gak boleh terlalu capek. Jalan ke bukit itu jauh sekali.""Jadi maksudnya Mas gak mau aku ajak jalan? Sudah gak sayang lagi sama aku?" Kirana memasang tampang merajuk."Bukan gitu, Sayang. Jalanny
Setelah sarapan pagi, Kirana mengajak Gayatri bersiap-siap untuk kegiatan mereka pagi itu. Mereka akan melihat persiapan pondok-pondok yang akan disewakan pada wisatawan. Farhan sudah lebih dahulu berangkat ke sana begitu selesai sarapan."Ayo, Mbak. Aku sudah siap," ujar Kirana setelah selesai mengikat tali sepatu kets biru mudanya. Kirana memakaipolo shirtabu-abu dengan celana sepanjang betis warna hitam. Rambutnya diikat satu di belakang."Ayo," jawab Gayatri yang sudah menunggu sejak tadi.Mereka lalu menuju mobil untuk ke pondok. Gayatri masih melarang Kirana naik motor ATV-nya selama hamil muda. Dia tak ingin kehamilan Kirana terganggu karena baru memasuki bulan ketiga.Gayatri mengemudikan mobilnya pelan. M
Kirana menyibak rambut bagian sampingnya yang lepas dari ikatannya saat dia tertunduk. Dia mengaduk sop yang sedang dimasaknya. Setelah meyakinkan bahwa semua sayuran sudah matang, Kirana mematikan kompor."Mbak, aku duduk dulu, ya," ujar Kirana sambil menoleh pada Gayatri yang sedang menyiapkan ayam untuk digorengnya, "aku capek.""Iya, Dik. Istirahatlah. Nanti aku selesaikan semua." Gayatri hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan kesibukannya memotong-motong ayam."Tolong sekalian sambelnya ya, Mbak.""Beres ... kamu tenang aja."Kirana beringsut mengambil segelas air yang sudah disiapkannya di meja. Dia membiarkan air yang sebelumnya diambil dari kulkas itu di sana supaya tidak din
Udara dingin tiba-tiba terasa menusuk ke dalam pori-pori tubuh. Kabut putih merebak menyergap menggigilkan tubuh dan menggoda mencari kehangatan untuk melawannya. Farhan menarik retsliting jaket gunungnya yang berwarna biru cerah sampai ke atas. Tangannya bersedekap di dada.Sementara itu, Arini juga melakukan hal yang sama. Pandangannya terpaku pada sosok tampan yang matang dan tampak terduduk kaku serta tenggelam dalam kesendiriannya tanpa menghiraukan Arini yang duduk dekat dengannya. Dengan pandangan lekat, Arini mengagumi wajah berhidung mancung dengan kulit berwarna sedang itu yang seakan begitu tenang tanpa bisa dibacanya apa yang sedang dipikirkan lelaki itu."Bapak pernah mendaki gunung?" tanya Arini memecah kesunyian.Farhan bergeming. Tubuhnya masih mematung tanpa gerak deng
"Pak, nggak jauh lagi di depan ada pos satu. Kita mampir dulu ke situ, lapor." Arini mengingatkan Farhan sambil terus memeluk pinggang Farhan."Iya, nanti kita mampir."Kalau letak pos satu, tentu Farhan ingat karena dia sesekali ke sana mengontrol petugas yang merupakan warga desa yang dia tugaskan dan bekerja untuknya. Pos itu digunakan untuk mengontrol orang-orang yang naik ke bukit. Sebelumnya, bukit itu sangat jarang didaki oleh orang dari luar daerah sekitar situ. Para pendaki cenderung lebih memilih mendaki gunung dibanding mendaki bukit.Farhan memanfaatkan bukit itu untuk digunakan sebagai tempat belajar mendaki atau sekedar berwisata ke punggung bukit yang terdapat dataran. Bukit itu relatif aman untuk didaki dan pemandangannya indah. Itu yang jadi alasan utama Fa
"Aku pergi dulu, ya." Farhan berpamitan pada Kirana dan Gayatri yang tengah duduk di teras. Kedua istrinya itu lalu bergantian mencium punggung tangannya."Hati-hati, ya, Mas.""Iya. Asalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Kirana dan Gayatri berbarengan.Tak lama berselang, motoradventureyang dikendarai Farhan sudah menderu meninggalkan halaman rumah. Kirana dan Gayatri masih memandangi Farhan sampai hilang dari pandangan."Dik, perutmu sudah gede banget," komentar Gayatri ketika melihat perut Kirana dari samping saat Kirana berbalik menuju kursi teras tempat mereka semula duduk."Iya, ya, Mbak. Sudah tuj
Pemandangan pagi dari balkon terasa menyejukkan mata. Kabut tipis masih mengambang di udara menyelimuti pepohonan yang hijau. Gayatri duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu sonokeling, jenis kayu yang jadi bahan pembuat hampir semua perabot di rumah itu kecuali kursi ruang tamu dan lemari-lemari yang terbuat dari kayu jati. Farhan sudah memesan semua perabot itu pada pengrajin kayu dari desa sekitar sebelum rumah itu selesai.Di bawah, di halaman depan, Farhan sedang melihat-lihat dan memunguti potongan kayu yang tersisa dan meletakkannya pada tumpukan sisa kayu bekas pembangunan rumah itu di pojok kiri depan di luar halaman depan. Meski para pekerja sudah mengumpulkan sisa potongan kayu, tetapi ada saja potongan-potongan kecil yang masih tersisa di halaman.Dari balkon itu, Gayatri memandang ke arah Farhan yang sedang bercakap-cak
Pagi yang sejuk berhias kabut putih tipis terasa menerpa tubuh Gayatri yang berdiri bertumpu tangan pada pagar pengaman teras Pondok Sunyi. Jaket biru terang melapisi kaus putih yang dikenakannya untuk menahan dingin kabut pagi yang menyelimuti alam sekitar dan membelai pipi halusnya. Pandangan mata Gayatri menyimak siluet bukit dan pepohonan di hadapannya.Gayatri mematung nyaris tanpa gerak, hanya sesekali gerakan ringan yang hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dalam waktu yang lama. Pikirannya melayang, berselancar di kabut yang mengambang, dan meliuk menari di pucuk pepohonan yang tak tampak hijau tersaput kabut. Suara aliran air sungai jernih di bawahnya menyanyikan tembang damai yang membuat rasanya tersihir dan ikut mengalir menerpa bebatuan cadas yang menghadang.Sosok tubuh perempuan yang tak terlalu tinggi tetapi p
Kepala Gayatri perlahan bergerak, beringsut dari dada Farhan. Matanya terbuka menatap wajah Farhan yang sedang memandangi ke arah depan. Gayatri menoleh dan mendapati Kirana sedang menyuguhkan tontonan erotis bagi Farhan. Senyum tipis terurai di bibir Gayatri yang masih lemas. Digulirkannya tubuhnya ke sisi kanannya dan terlentang di kasur. Diraihnya bantal lalu Gayatri membenamkan kepalanya di sana.Kirana berjalan pelan ke sisi kanan tempat tidur mendekati Farhan yang masih bersandar di kepala tempat tidur itu. Detik demi detik berjalan sangat lambat membuat Farhan tak sabar menanti istrinya bergerak pelan dengan gerakan menggoda. Mata Farhan nyaris tak berkedip memandangi tubuh polos Kirana yang bergerak ke arahnya lalu berlabuh di atas tubuhnya.Farhan menikmati sensasi hangat selangkangan Kirana yang menangkup di selangkangannya. D
Kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara film dari televisi yang terdengar pelan. Farhan menyandarkan punggungnya pada bantal yang bertumpu pada kepala tempat tidur berukuran besar. Tubuhnya terbungkus selimut sampai pinggang untuk menahan dingin udara ruangan yang sangat sejuk agar tak membuat kakinya terasa kedinginan.Mata Farhan terfokus pada layar televisi LED berukuran sedang yang terpasang di dinding kamar hotelnya. Penerangan ruangan yang redup hanya berasal dari cahaya luar di balik kaca jendela kamar yang menerobos lewat vetrase. Hal itu membuat pandangan Farhan terasa nyaman saat menonton televisi.Ting ... tong ....Bunyi bel kamar mengalihkan perhatian Farhan. Diloloskannya kedua kakinya dari balutan selimut putih lalu mendarat di karpet lantai kamar. Dia
Dara duduk berhadapan dengan Farhan yang berada di kursi tamu dekat pintu masuk rumah. Kirana dan Gayatri duduk di kursi panjang di sisi kiri Dara. Wajah cantik perempuan keturunan Tionghoa yang putih itu tersenyum ramah memandangi Kirana dan Gayatri secara bergantian."Mas Farhan beruntung dapat dua istri yang cantik," ujar Dara. Farhan hanya tersenyum menanggapinya."Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik banget," balas Kirana."Ngomong-ngomong, kamu sedang hamil, ya?" tanya Dara pada Kirana."Iya, Mbak. Ini jalan empat bulan.""Semoga kehamilanmu lancar, ya." Dara melihat selintas ke perut Kirana yang belum terlalu tampak kehamilannya.