TAK ADA UJAR DAN TANPA AKSARA
Kesejuta tujuh puluh kalinya kubertanya dalam keheningan
Akan sesuatu yang tak juga kumengertiRatusan kitab kubuka lembar demi lembarMilyaran huruf kuteliti satu demi satu
Tuhan ... aku hanyalah manusia biasaKu tak bisa mendengar jawab-MuMeski berkali-kali aku melontarkan pertanyaanSetidaknya aku tak mampu menangkap isyarat
Seringkali kutafakur sambil bertanya dalam hatiDiselingi suara lirihku menyebut nama-MuBertahun-tahun aku bersabar menanti jawabanKarena aku hanyalah seorang hamba
Kini kulihat sebuah lukisanNampak jelas di mataku
Langit menangis dalam keheningan. Angin menembangkan kepiluan diiringi gendang geledek bergemuruh. Lengkaplah ode malam ini. Membuai hati dalam suasana yg menghanyutkan tanpa arah. Melamurkan pikiran dalam ingatan bias tentang kehidupan.Dalam hujan yang tak terlalu deras selepas maghrib itu, Farhan mengendarai mobil menuju Solo. Dia pergi sendirian. Perjalanan yang tak jauh, hanya butuh waktu satu setengah hingga dua jam sudah sampai pada tujuannya. Dia akan mengurusi ekspor buah manggis ke Perancis melalui perusahaan agrobisnis Gayatri.Sebulan lalu, saat melintasi suatu daerah ketika Farhan mencari bibit sayur, ada seseorang yang bercerita padanya bahwa di daerah-daerah sekitar sana ada cukup banyak kebun yang menghasilkan buah manggis. Buah manggis itu biasanya cuma dijual di pasaran lokal dengan harga yang relatif murah da
Selamat tinggal hari kemarin. Kini hari berganti entah jadi hari apa lagi. Melayang 'ku di sela dingin dan sunyi. Menyongsong sesuatu yg tak terlihat bahkan tak terlintas dalam estimasi. Aku hanya mampu berserah pada Yang Maha Pengatur segalanya.* * * * *Satu per satu pakaian Ayu ditanggalkan oleh Gayatri di hadapan Farhan sambil memandangnya dengan tatapan nakal. Setelah dilucutinya celana dalam Ayu yang merupakan penutup terakhir tubuh molek itu lalu dilemparkannya celana dalam itu ke Farhan sambil tertawa nakal. Ayu hanya bisa tersipu malu dengan ulah bosnya itu."Giliranmu main nanti ya. Aku yang main duluan. Tugas kamu bantu aku cepet klimaks," perintah Gayatri.Dia lalu meloloskan kaos dalam serta celana dalam Farhan.
Hari sudah fajar ketika Gayatri terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa segar. Dia baru sadar sedang tidur di kamar hotel bersama Farhan dan Ayu. Mereka berdua masih terlelap dengan tubuh telanjang.Perlahan dia beranjak dari tempat tidur. Kandung kemihnya penuh minta dikosongkan. Dia lalu berjalan menuju kamar mandi. Dengan duduk di kloset, dikucurkannya air seninya. Selangkangannya masih terasa lengket sisa pertarungannya semalam. Dia belum sempat membasuhnya sebelum terlelap.Setelah lega melepas hajat kecilnya, dia lalu mencarishower capdi mejawastafel. Di antara sabun, sampo dan perlengkapan mandi yang disediakan hotel, dia menemukan benda itu lalu memasangnya di kepalanya agar rambutnya tak basah.Kucuran air hangat darishower
Farhan mengikuti Gayatri masuk ke ruang kerjanya. Mereka baru selesai melepas keberangkatan pengiriman pertama buah manggis ke Perancis."Daddytunggu di sini bentar ya. Aku mau nyuruh Ayu ngirim dokumen ekspor ke Albert dulu," ujar Gayatri.Gayatri lalu meninggalkan ruang kerjanya setelah Farhan mengiyakan. Farhan duduk di kursi tamu tempat Gayatri biasa menerima tamu di ruangannya."Albert, rekananku di Perancis, bilang nanti kalo salinan dokumen ekspor sudah dia terima, dia bakal transfer uangnya," kata Gayatri ketika sudah kembali ke ruangan."Pengaturan pengiriman selanjutnya gimana?" tanya Farhan."Nanti kita atur pengiriman 2 ton itu dibagi per minggu. Jadi
Aku Kirana, seorang perempuan yang tidak biasa. Meski bukan perempuan yang luar biasa, tapi aku bukanlah perempuan yang biasa-biasa saja. Meski aku berteman dengan kekurangan, tapi aku memiliki segudang kelebihan. Aku memilih untuk menang tanpa harus berperang.Aku belajar pada batu bagaimana cara bersimpuh agar tak dapat ditumbangkan. Aku belajar pada pohon bagaimana berdiri tegak, tapi memberi keteduhan dan kesegaran. Aku belajar pada sungai yang mengalir meski tak tahu akan bertemu apa di hilirnya. Aku belajar pada angin yang memberikesejukan meski tak ada yang memintanya. Aku belajar pada matahari yang rela bergantian dengan rembulan sesuai giliran masing-masing.Pengabdian adalah tugasku. Hanya perempuan tak biasa yang mengerti arti sebuah pengabdian. Perempuan biasa takkan sanggup menjala
Kirana sedang duduk memandang hamparan sawah di kejauhan. Dia duduk sendiri di teras depan rumahnya. Secangkir kopi panas menemaninya sedikit membantu Kirana menghangatkan tubuhnya di pagi yang masih berhias kabut."Gimana, Mas?" tanya Kirana pada Farhan yang baru turun dan memarkirkan sepeda ontel di depan paviliun."Bannya cuma kempis mungkin karena lama gak dipake. Tadi pak Paijo sempat meriksa ban depan dan belakang kalo-kalo ada bocornya," jawab Farhan sambil mendekati Kirana."Syukurlah kalo gak ada yang bocor," ujar Kirana sambil tersenyum."Jadi gimana rencananya mau keliling desa?" tanyanya lagi."Ya jadi. Kamu mau ikut gak?" tanya Farhan.
Gayatri kaget ketika tiba-tiba Wahyu, suaminya, masuk ke kamar. Dia sedang berganti pakaian sepulang dari kantor saat suaminya masuk. Dia tak dikabari kalau suaminya akan pulang sore itu."Mas, kok gak ngabari?" tanya Gayatri sambil melepas kulotnya."Maaf, aku lupa," jawab Wahyu pendek sambil melepas kemejanya.Mereka sama-sama berganti pakaian tanpa bicara."Ada yang mau aku omongin," ujar Wahyu ketika dia sudah selesai berganti pakaian."Apa?" tanya Gayatri."Kita ngomong di ruang kerja aja," jawab Wahyu sambil meninggalkan kamar.Gayatri mencoba menebak-nebak apa yang akan dibi
Detak jam dinding terdengar jelas detik demi detik di ruang yang sunyi. Bunyinya seperti derap kaki prajurit yang berbaris sendiri di keheningan. Sendiri tanpa pasukan. Sendiri tanpa teman. Meski sendiri, derap itu terus melangkah maju meninggalkan jalan berbatu yang dilaluinya.Lembar demi lembar album foto dipandangi Gayatri. Ada banyak foto-foto kenangan bersama Wahyu mulai dari masa mereka pacaran. Foto-foto yang dia kumpulkan dan pasang di album-album yang tak pernah dijamah Wahyu. Foto-foto yang sebagian mungkin terpaksa dilakoni Wahyu untuk sekedar memenuhi keinginan istrinya.Sejenak Gayatri tersenyum melihat foto dirinya bersama Wahyu dengan gaya konyol di plang jalan Malioboro saat mereka jalan berdua. Di plang jalan itu Wahyu menyatakan cintanya sekaligus meminta Gayatri untuk mau menikah dengannya. Saat itu Gayatri tak langs
Kirana menyibak rambut bagian sampingnya yang lepas dari ikatannya saat dia tertunduk. Dia mengaduk sop yang sedang dimasaknya. Setelah meyakinkan bahwa semua sayuran sudah matang, Kirana mematikan kompor."Mbak, aku duduk dulu, ya," ujar Kirana sambil menoleh pada Gayatri yang sedang menyiapkan ayam untuk digorengnya, "aku capek.""Iya, Dik. Istirahatlah. Nanti aku selesaikan semua." Gayatri hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan kesibukannya memotong-motong ayam."Tolong sekalian sambelnya ya, Mbak.""Beres ... kamu tenang aja."Kirana beringsut mengambil segelas air yang sudah disiapkannya di meja. Dia membiarkan air yang sebelumnya diambil dari kulkas itu di sana supaya tidak din
Udara dingin tiba-tiba terasa menusuk ke dalam pori-pori tubuh. Kabut putih merebak menyergap menggigilkan tubuh dan menggoda mencari kehangatan untuk melawannya. Farhan menarik retsliting jaket gunungnya yang berwarna biru cerah sampai ke atas. Tangannya bersedekap di dada.Sementara itu, Arini juga melakukan hal yang sama. Pandangannya terpaku pada sosok tampan yang matang dan tampak terduduk kaku serta tenggelam dalam kesendiriannya tanpa menghiraukan Arini yang duduk dekat dengannya. Dengan pandangan lekat, Arini mengagumi wajah berhidung mancung dengan kulit berwarna sedang itu yang seakan begitu tenang tanpa bisa dibacanya apa yang sedang dipikirkan lelaki itu."Bapak pernah mendaki gunung?" tanya Arini memecah kesunyian.Farhan bergeming. Tubuhnya masih mematung tanpa gerak deng
"Pak, nggak jauh lagi di depan ada pos satu. Kita mampir dulu ke situ, lapor." Arini mengingatkan Farhan sambil terus memeluk pinggang Farhan."Iya, nanti kita mampir."Kalau letak pos satu, tentu Farhan ingat karena dia sesekali ke sana mengontrol petugas yang merupakan warga desa yang dia tugaskan dan bekerja untuknya. Pos itu digunakan untuk mengontrol orang-orang yang naik ke bukit. Sebelumnya, bukit itu sangat jarang didaki oleh orang dari luar daerah sekitar situ. Para pendaki cenderung lebih memilih mendaki gunung dibanding mendaki bukit.Farhan memanfaatkan bukit itu untuk digunakan sebagai tempat belajar mendaki atau sekedar berwisata ke punggung bukit yang terdapat dataran. Bukit itu relatif aman untuk didaki dan pemandangannya indah. Itu yang jadi alasan utama Fa
"Aku pergi dulu, ya." Farhan berpamitan pada Kirana dan Gayatri yang tengah duduk di teras. Kedua istrinya itu lalu bergantian mencium punggung tangannya."Hati-hati, ya, Mas.""Iya. Asalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Kirana dan Gayatri berbarengan.Tak lama berselang, motoradventureyang dikendarai Farhan sudah menderu meninggalkan halaman rumah. Kirana dan Gayatri masih memandangi Farhan sampai hilang dari pandangan."Dik, perutmu sudah gede banget," komentar Gayatri ketika melihat perut Kirana dari samping saat Kirana berbalik menuju kursi teras tempat mereka semula duduk."Iya, ya, Mbak. Sudah tuj
Pemandangan pagi dari balkon terasa menyejukkan mata. Kabut tipis masih mengambang di udara menyelimuti pepohonan yang hijau. Gayatri duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu sonokeling, jenis kayu yang jadi bahan pembuat hampir semua perabot di rumah itu kecuali kursi ruang tamu dan lemari-lemari yang terbuat dari kayu jati. Farhan sudah memesan semua perabot itu pada pengrajin kayu dari desa sekitar sebelum rumah itu selesai.Di bawah, di halaman depan, Farhan sedang melihat-lihat dan memunguti potongan kayu yang tersisa dan meletakkannya pada tumpukan sisa kayu bekas pembangunan rumah itu di pojok kiri depan di luar halaman depan. Meski para pekerja sudah mengumpulkan sisa potongan kayu, tetapi ada saja potongan-potongan kecil yang masih tersisa di halaman.Dari balkon itu, Gayatri memandang ke arah Farhan yang sedang bercakap-cak
Pagi yang sejuk berhias kabut putih tipis terasa menerpa tubuh Gayatri yang berdiri bertumpu tangan pada pagar pengaman teras Pondok Sunyi. Jaket biru terang melapisi kaus putih yang dikenakannya untuk menahan dingin kabut pagi yang menyelimuti alam sekitar dan membelai pipi halusnya. Pandangan mata Gayatri menyimak siluet bukit dan pepohonan di hadapannya.Gayatri mematung nyaris tanpa gerak, hanya sesekali gerakan ringan yang hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dalam waktu yang lama. Pikirannya melayang, berselancar di kabut yang mengambang, dan meliuk menari di pucuk pepohonan yang tak tampak hijau tersaput kabut. Suara aliran air sungai jernih di bawahnya menyanyikan tembang damai yang membuat rasanya tersihir dan ikut mengalir menerpa bebatuan cadas yang menghadang.Sosok tubuh perempuan yang tak terlalu tinggi tetapi p
Kepala Gayatri perlahan bergerak, beringsut dari dada Farhan. Matanya terbuka menatap wajah Farhan yang sedang memandangi ke arah depan. Gayatri menoleh dan mendapati Kirana sedang menyuguhkan tontonan erotis bagi Farhan. Senyum tipis terurai di bibir Gayatri yang masih lemas. Digulirkannya tubuhnya ke sisi kanannya dan terlentang di kasur. Diraihnya bantal lalu Gayatri membenamkan kepalanya di sana.Kirana berjalan pelan ke sisi kanan tempat tidur mendekati Farhan yang masih bersandar di kepala tempat tidur itu. Detik demi detik berjalan sangat lambat membuat Farhan tak sabar menanti istrinya bergerak pelan dengan gerakan menggoda. Mata Farhan nyaris tak berkedip memandangi tubuh polos Kirana yang bergerak ke arahnya lalu berlabuh di atas tubuhnya.Farhan menikmati sensasi hangat selangkangan Kirana yang menangkup di selangkangannya. D
Kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara film dari televisi yang terdengar pelan. Farhan menyandarkan punggungnya pada bantal yang bertumpu pada kepala tempat tidur berukuran besar. Tubuhnya terbungkus selimut sampai pinggang untuk menahan dingin udara ruangan yang sangat sejuk agar tak membuat kakinya terasa kedinginan.Mata Farhan terfokus pada layar televisi LED berukuran sedang yang terpasang di dinding kamar hotelnya. Penerangan ruangan yang redup hanya berasal dari cahaya luar di balik kaca jendela kamar yang menerobos lewat vetrase. Hal itu membuat pandangan Farhan terasa nyaman saat menonton televisi.Ting ... tong ....Bunyi bel kamar mengalihkan perhatian Farhan. Diloloskannya kedua kakinya dari balutan selimut putih lalu mendarat di karpet lantai kamar. Dia
Dara duduk berhadapan dengan Farhan yang berada di kursi tamu dekat pintu masuk rumah. Kirana dan Gayatri duduk di kursi panjang di sisi kiri Dara. Wajah cantik perempuan keturunan Tionghoa yang putih itu tersenyum ramah memandangi Kirana dan Gayatri secara bergantian."Mas Farhan beruntung dapat dua istri yang cantik," ujar Dara. Farhan hanya tersenyum menanggapinya."Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik banget," balas Kirana."Ngomong-ngomong, kamu sedang hamil, ya?" tanya Dara pada Kirana."Iya, Mbak. Ini jalan empat bulan.""Semoga kehamilanmu lancar, ya." Dara melihat selintas ke perut Kirana yang belum terlalu tampak kehamilannya.