" … Kau memang yang paling mengerti aku!" seru Yepa dengan tampilan kegembiraan yang menyenangkan. "Luar biasa! Hebat!"
Entah kebetulan atau sebaliknya, kalimat ambigu tersebut terbawa oleh angin dan berembus memasuki telinga Deska serta Yuvika tanpa filter apa pun yang sontak membuat kedua batin mereka bergejolak tak keruan. Menimbulkan sensasi kesalahpahaman yang amat berat.
Padahal ada kata "Kakek" di awal kalimat tersebut. Jelas Yepa sengaja melakukannya demi menyulut percikan masalah di antara mereka. Dan benar saja. Renjisan sederhana itu mampu membangunkan emosi negatif yang selama ini terkubur di dalam hati seseorang.
Dengan langkah lebar yang mantap, Deska menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Yuvika yang tertinggal di belakang turut menyusul dengan roman ya
"Ah!"Entah siapa yang memekik. Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Deska yang tidak memberikan perlawanan terdorong begitu saja. Tubuhnya limbung. Jatuh dengan kepala menghantam telak pot tanaman yang berada tepat di belakangnya hingga tak sadarkan diri.Berpasang-pasang mata yang menyaksikan seketika membeku di tempat. Mereka tidak menyangka perselisihan tersebut akan menimbulkan perkara separah ini."Deska!"Meski sempat ada kesunyian, orang-orang itu tidak menganggur. Mereka segera bereaksi dan memanggil bantuan.Dalam kepanikan itu Yepa hanya berdiri, menonton dengan wajah dingin tanpa emosi. Ia melihat bagaimana Yuvika mencelakai Deska dan berbalik me
Selusin pria berpakaian necis serba hitam berdiri tegap di sebuah halaman besar. Di belakang mereka terparkir beberapa mobil dengan warna yang senada. Meski terik sinar matahari pada siang itu sangat menyengat, hal tersebut tidak memberi pengaruh apa pun pada mereka.Tepat ketika jarum jam bergerak menunjukkan waktu pukul dua belas tepat, ketukan sebuah sepatu hak tinggi di atas lantai keramik terdengar jelas. Yuvika berjalan seorang diri memasuki halaman dengan busana formal dan rambut terkuncir ekor kuda.Ia melangkah dengan postur tubuh tegak penuh kebanggaan dan rasa percaya diri yang amat tinggi. Wajahnya serius tanpa ada rasa kekanakan maupun sikap manja dari seorang gadis. Hanya ada aura ketidakpedulian yang menyelubungi dirinya.Seorang pria menyambut Yuvika seraya m
Sepasang iris hijau itu memandang sendu. Ada kilatan rumit dalam sorot netranya yang mendung. Akan tetapi, mata tersebut tak mampu merangkai maupun mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata sebagai pelampiasan.Deska menghela napas saat ia melihat ke arah luar jendela dari atas tempat tidur. Ia mendesah dan mengalihkan pandangan. Panorama di halaman kediamannya sangatlah cerah, tetapi di dalam biliknya terasa amat suram."Masih belum juga mau turun?""Tidak," sahutnya tanpa menoleh. "Aku baru keluar dari rumah sakit tadi malam. Beraninya aku membuat keributan?"Zalka menghampiri putranya dengan sikap tenang. "Ini sungguh kejutan," timpalnya ringan. "Kau yang paling tidak ingin meninggalkan urusan bisnis walaupun hanya
Yepa mengerjap ketika Sergio menata banyak tiket dari berbagai jenis alat transportasi massal di atas meja."Ini untukku?" ungkapnya ragu. "Semua?"Taveti yang tengah duduk berseberangan dengan sang cucu mengangguk. "Anggap saja tugas ini sebagai liburan. Bukankah kedengarannya bagus?"Apa ia membutuhkan atau pasti akan menggunakan seluruh tiket tersebut? Yepa tidak yakin dengan hal itu."Aku benar-benar akan bepergian ke berbagai tempat dalam sekali kesempatan?"Kenapa terasa sangat merepotkan?"Tentu saja." Taveti tersenyum ramah. "Aku sudah mendengar kabar tentang keberadaan kakakmu. Dia suka be
Deska memasang wajah kesal saat ia mengetahui bahwa keluarga Hirawan menolak mentah-mentah permintaan yang dirinya ajukan untuk bertemu dengan Yepa. Jika itu dulu, ia tidak perlu membuat izin terlebih dahulu. Tinggal datangi saja tempat tinggalnya. Lantaran statusnya kali ini agak istimewa, ada beberapa prosedur yang harus ia lewati bahkan hanya demi sekedar melakukan panggilan telepon."Seseorang pasti sengaja menghalangiku," gumamnya. Ia menatap perlintasan kosong yang tepat berada di depan matanya dengan pandangan hampa. "Apa yang orang ini inginkan?"Tiba-tiba sebuah pikiran buruk melintas. Yuvika menghilang dan bukan tidak mungkin jika mereka sudah membongkar masa lalunya dengan Yepa. Andai hal ini nyata terjadi, itu berarti dirinya sedang mencari masalah di bawah hidung Taveti.
Bunyi sirene terdengar sangat jelas ketika Yepa dan Laiv hendak meninggalkan sebuah pusat perbelanjaan."Itu ambulans?" Laiv menengok mobil yang baru saja melewatinya dengan tergesa-gesa."Lalu apalagi kalau bukan itu?" Yepa menatap bosan. "Gangster?""Yah, apakah sesuatu terjadi? Kecelakaan?" lanjutnya sedikit cemas."Kau ini kenapa?" balasnya dengan tatapan aneh. "Yang mendapat musibah bukan kita, kenapa kau sangat peduli dengan hal ini?""Bukan begitu." Laiv menghindari mata Yepa. "Bagaimana kalau orang yang terluka itu kenalan kita?""Apa peduliku?" Yepa sedikit berang. "Ayo pergi!" Ia pun meni
Di bawah sebuah payung, lengkap dengan pakaian tebal yang ketat membungkus tubuh, Yepa dan Laiv berdiri berdampingan di suatu jalan yang ramai pengunjung. Mereka melihat hujan salju di Milano. Orang-orang berpikir itu sangat romantis, tetapi bagi keduanya cuaca tersebut tidak menyenangkan sama sekali.Mereka berdua tidak ingin pergi ke mana pun di saat musim dingin tiba."Kita tahu hal ini akan terjadi dan tetap menyiapkan perlengkapan di musim dingin, tapi aku benar-benar tidak berharap akan seperti ini," kata Yepa setengah mengomel. "Sial. Ini masih bulan Januari dan baru akan berganti musim setelah bulan berikutnya."Laiv yang tengah memegang payung besar di tangan, menghela napas. "Kak
"Kau lihat itu? Dia sangat sempurna untuk bos kita!""Pelankan suaramu bodoh! Nanti dia mendengarnya!"Orang pertama yang berbicara, Jarno, mengaduh saat ia menerima ketukan di kepala dari sang rekan, Mirko, yang sudah hilang kesabaran.Jarno memelototinya dan berkata dengan tidak puas, "Sialan! Kenapa kau menjitakku?"Mirko balas mendelik tajam. "Mulut bodohmu yang memintanya!""Hei, kau sendiri lebih berisik dariku!""Omong kosong!""Nyalimu terlalu besar, Bung!""Ayo, maju!"