Home / Pernikahan / Salah Melamar / bab.2 Kedatangan Dinda

Share

bab.2 Kedatangan Dinda

last update Last Updated: 2023-05-05 20:01:24

“Wah, Dijah mangklingi ya kalau didandani seperti ini,” ucap salah satu saudara yang mengintipku dari balik pintu. Tanpa menoleh ke arahnya pun aku sudah tahu kalau itu bulek. 

Aku tersenyum, menatap wajahku dalam pantulan cermin rias. Seorang wanita berjilbab dengan riasan full itu benar-benar berbeda dengan wajahku. Pipinya terlihat lebih tirus, hidungnya terlihat lebih mancung, serta wajahnya yang kini berseri. Sejujurnya wajah berseri itu bukan nampak dari polesan yang tersapu ke wajahnya, melainkan betapa bahagianya aku yang akan dipersunting dengan lelaki yang memang aku idamkan. Aku benar-benar tak menyangka jika Ammar adalah jodohku. Mungkinkah ini suatu keajaiban dari sebuah doa? Nama yang kupanjatkan dalam setiap sujudku.

Sebuah senyum tercipta, membayangkan kehidupanku ke depannya yang akan sangat indah. Merasakan sebuah pacaran setelah nikah, layaknya sebuah pernikahan di novel roman yang pernah aku baca. Saling malu-malu dan akhirnya saling mau-mau.

“Assalamualaikum,” ucapan salam itu terdengar, berikut dengan tubuh semampai yang kini mengenakan tas dan jaket berbahan jeans. Jilbab warna merah muda yang dikenakannya sedikit berantakan, hingga ujung benda persegi empat itu sudah tak terbentuk dan menutupi sebagian dari wajah cantik adikku. 

“waalaikumsalam, Dinda,” ucapku yang kini langsung bangkit dan merengkuh tubuhnya. Kupeluk ia berikut dengan ransel yang masih menempel di punggungnya. 

“Kenapa baru datang, Dek? sebentar lagi mbak sudah mau ijab,” ucapku yang kini melepas pelukan. 

Dinda menunduk, terlihat murung di balik kerudung yang dikenakannya. Wajah dengan kulit putih bersih itu kini terlihat redup, berikut dengan kantung mata yang membengkak, layaknya habis nangis berhari-hari. 

“Dek, kamu kenapa?” tanyaku kepada gadis kecil yang baru saja pulang dari kuliahnya. Sebenarnya aku memberitahu Dinda tentang hari pernikahanku seusai  keluarga Ammar datang.  Aku juga meminta ia yang akan menjadi pager ayuku ketika resepsi dilaksanakan. Sayang, tugas kuliah Dinda menumpuk. Bahkan ia baru bisa datang tepat di hari pernikahan sepeti ini, di waktu yang sangat mepet dengan ijab. 

“Dek, jawab pertanyaan Mbak.”

Alih-alih Dinda menjawab pertanyaanku, justru yang ada ia menangis sejadinya. Awalnya lirih, lalu mulai terdengar isak tangis itu, hingga semua berakhir dengan tangisnya yang tersedu-sedu. Benar-benar membuatku keheranan dan memunculkan pertanyaan besar.

“Dek, kamu kenapa nangis? Jawab pertanyaan mbak,” tanyaku yang terus mengulang kalimat yang sama. 

“Mbak Dijah nikah. Dinda gak punya teman berantem lagi. Selain itu pasti mbak tinggal dirumah Mas Ammar, tentu waktu kita berkumpul akan sangat kurang.”

“Ya elah, Dek. mbak kira ada apa. Untung Mbakmu gak punya riwayat penyakit jantung lemah. Bisa sekarat nanti, gak jadi nikah,” ucapku sambil melengkungkan bibir. 

“Mbak khawatir ya dengan Dinda? Emang mbak kira dinda kenapa?”

“Mbak pikir kamu habis dirampok gitu. Kan perjalananmu kesini cukup panjang.”

“Biasanya juga diajak berantem. Tumbenan dikhawatirin. Emang sayang sama Dinda?”

“Lah, harus ditanyakan? Ya pasti sayanglah, adekku yang cantik,” ucapku sambil mencubit hidung mancung miliknya. Hidung yang berbanding terbalik dengan milikku, pesek.

“Kalau sayang sama Dinda, boleh tidak kita bertukar nasib? Dinda yang nikah dengan Mas Ammar?”

Aku terdiam, bahkan untuk menelan salivapun sangat kesusahan. Mendadak kerongkongan ini mengering begitu saja.

“Mbak Dijah serius sekali. Lagian, siapa juga yang mau nikah muda? Sama mas ammar lagi? Kan Dinda sudah pernah cerita kalau dinda itu sudah punya pacar,” ucapnya yang kini meringis menampakkan jejeran gigi seri yang putih dan rapi. 

Aku tersenyum, prank dari dinda, benar-benar membuatku terhanyut. Bahkan rasa ngiluku itu masih terasa meskipun aku tahu semua sekedar candaan saja. 

“Mbak Dijah, Dinda ke kamar dulu ya. mau ganti baju. Masa mbak nya nikah, pakai pakaian preman kayak gini,” ucapnya sambil menatap tubuhnya yang terbalut oleh celana jeans dan jaket berbahan sama. 

Aku tersenyum, “Jangan lama-lama, dandannya juga jangan cantik-cantik. Nanti pengantin wanitanya kalah,” godaku. 

Perlahan tubuh Dinda hilang dari pandangan, bersamaan dengan kandung kemihku yang kembali terisi penuh. Entahlah, ini pipis keberapa kali semenjak bangun tadi. Rasa grogi, benar-benar membuat organ itu terus terisi.

“Mbak, Dijah ijin lagi ya?” ucapku sambil meringis menatap tukang rias. Ia hanya menggelengkan kepala dan membiarkanku berlalu begitu saja.

“Sudahlah, Mas Ammar. Dinda sudah berbesar hati dengan semuanya.” Nama mas Ammar benar-benar terdengar begitu jelas ketika aku melewati kamar Dinda. Kudekatkan tubuh ini mendekati pintu, dimana kayu berbentuk persegi panjang usang itu sedikit membuka, tak tertutup dengan sempurna.

“Kita bisa jelaskan semua kepada orang tua kita, Din. Yang ingin aku nikahi itu kamu. Kamu yang aku lamar, bukan Mbak mu,”  terdengar suara lelaki dengan penegasan.

Rasa penasaran itu semakin membuncah dalam hatiku. Terlebih dua suara itu begitu kukenal, berikut dengan nama-nama yang terucap. 

“Jelaskan? Maksudmu kamu mau menghina mbakku?”

“Aku tidak berniat sepeti itu. Aku hanya ingin ...”

“Sudahlah Mas Ammar. Aku mohon.”

“Din, kita bisa bicarakan ini baik-baik dengan keluarga kita.”

“Tidak. Itu semua akan menyakiti hati Mbak Dijah. Sama saja kamu mencoreng wajahnya di depan khalayak umum. Dinda sudah menerima pernikahan kalian, dan aku harap Mas Ammar pun begitu. Bisa menerima kehadiran Mbak dijah di kehidupan Mas.”

Aku menutup mulutku yang menganga ketika kulihat 2 orang lawan jenis itu sedang beradu mulut tentang pernikahan ini. Bahkan, aku baru tersadar jika selama ini yang diinginkan Ammar adalah Dinda. Bukannya aku. 

“Pacar Dinda itu Ammar?” tanyaku lirih dengan perasaan yang bercampur aduk. Beberapa Kali Dinda memang menceritakan tentang lelaki yang dicintainya, meskipun ia terus merahasiakan nama lelaki itu.

Hati ini bagai terhunus belati mendapati kenyataan yang menyakitkan. Perih. Pedih. Semua bercampur jadi satu. Inikah alasan dari wajah muram Dinda? Bahkan sekilas menatap wajahnya akan tampak residu tangisan yang tergores di wajah seputih susu itu. 

“Dijah, kamu disini?” tanya emak sambil gelengan kepala. “Sudah tahu mau nikah, malah keluyuran. Ayo ditungguin pak penghulu dari tadi.” Aku digandeng emak begitu saja, membawanya keluar menuju tempat akad. 

Disana sudah ramai oleh beberapa keluarga inti, juga dari keluaga Ammar. Kedua orang tuanya juga saudara-saudaranya. Wajah mereka terlihat kaku, seakan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Ini juga pengantin prianya belum tiba. Pipis dari tadi gak balik-balik,” ucap emak sambil menatap sekeliling. 

“Mak, Dijah mau bilang sesuatu,” ucapku yang kini memegang punggung tangan emak yang dipenuhi beberapa keriput.  Aku ingin menjelaskan kepada beliau tentang salah lamaran yang dilakukan oleh keluarga Ammar. Aku tahu mungkin ini berat, terlebih lagi aku juga menautkan rasa dengan pria yang sama dengan adikku. 

“Nanti, ngomongnya habis nikah. Diem saja disitu.” Emak langsung melenggang pergi begitu saja, tanpa mendengarkan penjelasanku sedikitpun. 

Hingga dimenit kemudian, muncullah Ammar yang tengah berdiri di sebelah emak, menatap ke arahku. Mungkinkah ia akan membatalkan dan menjelaskan semuanya?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Eti Juniarti Eti
Dijah terlalu ... udah jelas itu pacar adiknya . kan bisa dibatalkan
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
klo dri awal salah knp Ammar gk jelasin pas lamaran. kan masih bisa tuh dibatalin.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Salah Melamar   bab.3 Pernikahan

    “Sah?”“Sah, sah, sah.” Kalimat itu saling bersaut satu sama lain, menggema di seluruh ruangan tamu seusai kalimat ijab terdengar dari bibir Ammar.Mata emak berbinar, dengan senyum yang tak hentinya mengembang. Berikut dengan Dinda yang dipaksakan untuk tersenyum. Sebuah kamuflase itu terlihat jelas di mataku. Ya, kini ia duduk di sebelah emak, turut menyaksikan lelaki yang disayangnya mengucapkan kalimat ijab untuk kakak kandungnya. Prosesi terus berjalan, dimana aku dan Ammar diminta sungkem dengan orang tua yang telah melahirkan kita. Bahu lelaki itu ditepuk oleh bapaknya, berikut dengan suara yang dibisikkan di dekat telinganya. “Bagaimanapun, sekarang kamu adalah seorang suami. Bahagiakan istrimu,” ucapnya lirih yang masih terdengar olehku. Ibu Ammar pun turut mengelus pundakku, juga memberikan sebuah doa pengantar pernikahan kami. “semoga bahagia, Nduk. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah.”Aku tersenyum kecil, berharap pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini

    Last Updated : 2023-05-05
  • Salah Melamar   bab.4 Hari pertama

    “Mas Ammar, apa yang kamu lakukan?” tanyaku ketika ia melewatiku dan mengambil bantal beserta selimut. Ia membentangkan di sebelah dipan kasur beralaskan keramik putih dengan warna yang usang dimakan usia. “Aku tidur disini. Kamu tidur saja di atas,” ucapnya. Tubuhku mendadak lemas. Acara pesta pernikahan belum usai. Tamu dan keluarga besar dari ibu juga belum pulang. Namun, aku mendapatkan hal yang memilukan hati. Di atas kertas putih tercatat namanya untukku. Ia sah untuk kusentuh. Dia milikku. Begitupun sebaliknya. Namun, pada kenyataannya semua hanya sebatas bayang-bayang. Di hati Mas Ammar tetap ada nama Dinda yang seolah semakin kuat mencengkram hatinya. Bahkan karena rasa itu, ia memilih untuk mengalah dan memberikan raganya untukku. Satu persatu air mata runtuh, hingga dengan cepat aku menghapus dengan kedua tanganku. Bagaimanapun aku harus kuat. Aku tak ingin terlihat lemah. Terlebih lagi, emak begitu bahagia dengan pernikahanku. Aku tak tega jika harus mengubah senyum y

    Last Updated : 2023-05-05
  • Salah Melamar   bab.5 Kepergian Dinda

    “Ini lo, Jah. Adikmu Dinda mau balik lagi ke kota. Padahal di rumah saja belum genap sehari to? Coba bujuk adikmu barang kali nurut,” ucap emak ketika suapan di mulutnya usai ditelan. Aku menoleh ke arah Dinda, dimana ia meringis ke arahku dengan canggung. “Dinda tuh ada tugas, Mbak. Kan ada semacam penelitian gitu, jadi gak bisa berlama-lama di rumah. Kasihan teman-teman Dinda yang satu kelompok,” ucap wanita cantik dengan jilbab warna merah muda di kepalanya.“Sedang melakukan penelitian apa, Din?” tanya Ammar yang kini menyaut. “Pengaruh lingkungan dalam pendidikan masa belia, Mas.”“Wah, sepertinya menyenangkan. Ambil datanya di desa mana?”Mereka berdua saling menyaut, membicarakan hal yang belum mampu kupahami, tentang kuliah, kkn, dan rencana skripsi. Aku hanya sebatas mendengar, karena tak memiliki pengalaman seperti itu. “Makannya dihabiskan dulu, nanti dilanjut ceritanya,” ucap emak yang sepertinya juga merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka. Terlebih, dari tadi aku

    Last Updated : 2023-05-05
  • Salah Melamar   Bab.6 Kue terang bulan

    “Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?”“Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku?“Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.”“I-iya, Mas.”Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya.“Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda.Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali.Tak selang lam

    Last Updated : 2023-06-12
  • Salah Melamar   Bab.7 Hujan

    “Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. “Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan w

    Last Updated : 2023-06-12
  • Salah Melamar   Bab.8 Di Rumah Ammar

    Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas

    Last Updated : 2023-06-12
  • Salah Melamar   Bab.9 Mengantar Dinda

    Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y

    Last Updated : 2023-06-12
  • Salah Melamar   Bab.10 Definisi Cinta

    “Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal

    Last Updated : 2023-06-12

Latest chapter

  • Salah Melamar   Tamat

    Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.45

    “Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.44

    Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.43

    “Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.42

    Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.41

    “Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak

  • Salah Melamar   Sesion 2 Bab.40

    “Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.39

    “Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.38

    Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep

DMCA.com Protection Status