“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.
“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?” “Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku? “Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.” “I-iya, Mas.” Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya. “Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda. Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali. Tak selang lama, deru motor terdengar. Aku menyibak gorden yang menutupi jendela kamar. Kuintip sedikit pada bagian sudutnya, hingga menampakkan Mas Ammar dalam pandangan mataku.Buru-buru aku bangkit dan membuka pintu, menyambut kedatangan suami seperti istri pada umumnya. Bahkan sebelum Mas Ammar mengetuk pintu, aku sudah membuka benda tersebut sambil menyunggingkan senyum termanisku. “Assalamualaikum, Mas Ammar,” ucapku sambil menatap lelakiku yang sedang membawa sebuah bingkisan di tangannya. Sekilas aku menatap benda tersebut. Tas kresek bening dengan kotak berwarna coklat bergambarkan kue terang bulan. Dari cover benda tersebut, tampaknya itu kue terang bulan dari tempat favoritku. “Waalaikumsalam.”Ia memberikan apa yang dipegangnya. Lalu menuntun motor masuk ke dalam rumah.“Jam segini baru pulang, Mas?” sapaku sekedar basa-basi. Ia tak menjawab, hanya melewatiku , dan langsung masuk ke dalam kamar. Aku menarik nafas panjang sekedar menguatkan diri dari pernikahan yang jauh dari kata sakinah, mawadah, warohmah. Mas Ammar mengambil bantal dan selimut lalu membentangkannya seperti malam kemarin. Kembali menghadirkan luka, dimana posisiku sama sekali tak diinginkan. Aku salahkah atas posisi ini? Andai bisa memilih, mungkin aku akan meminta Dinda untuk duduk di kursi pelaminan menggantikanku. Tapi … kesehatan emak lebih dari segalamya. Ia memiliki riwayat jantung lemah, dimana dokter telah mewantiku agar beliau tak sering kecapekan, juga memikirkan sesuatu yang berat. Satu kesalahan fatal saja, bisa menyebabkan emak meregang nyawa. Posisi itu beliau sangat bahagia, anak yang selalu dibilang perawan tua ini akhirnya mendapatkan jodoh. “Mas, lah ini kue terang bulannya gak dimakan dulu?” tanyaku. “Aku sudah makan disana sama Dinda.”Lagi, Ammar seperti sengaja menyakiti hatiku. Menyebut nama yang terus menjadi bayang-bayang pernikahan kami. Bahkan karena keikhlasan Dinda juga, pernikahan ini bisa terjadi. Aku membuka kardus tersebut, kue terang bulan dengan isian selai coklat dan meises yang bertumpah ruah. Kulitnyapun ngeglazed dengan kepulan asap yang masih mengudara. Sayang, makanan yang biasanya menggodaku untuk segera dikunyah. Kali ini tidak. Aku kehilangan selera untuk memakannya. “Kenapa gak dimakan? Kata Dinda kamu sangat menyukainya.” Aku tersenyum, menutupi hatiku yang sedang lara. Sadarkah Ammar bahwa setiap perkataannya melukai hatiku? “Tadi Dijah sudah makan nasi sama emak, Mas. Dijah sudah kenyang.” “Kenapa gak bilang tadi pas telfon si, Jah? Tahu gini kan gak harus ngebungkus. Mubadzirkan sesuatu namanya.” Aku meringis. Beginikah sikap lelaki yang dicintai Dinda? Sikap lelaki yang kutambatkan dalam hatiku, dan terus masuk dalam doaku?Yang kuketahui dia adalah orang yang hangat. Jauh berbeda dengan apa yang ia perlakukan kepadaku saat ini. “Owh ya, itu tadi nomorku. Di save ya.” Mas Ammar berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Hingga dimenit kemudian ia terpejam bersamaan dengan dengkuran halus yang terdengar.“Ya Allah ya Robbi, ini kah balasan atas keegoisanku? Aku yang terlalu memaksakan kehendak? Lalu … untuk apa Mas Ammar menerima pernikahan ini jika aku tidak diinginkan olehnya?”Lagi-lagi air mataku menetes. Hingga aku kembali menumpahkan tangisku di atas sajadah. Aku bangkit dan mengambil air wudhu, setelahnya kujalankan rakaat sunah, dan kupanjatkan semua doaku. Disini, aku tak minta untuk dicintai, meskipun dalam hati aku begitu mencintai suamiku. Aku tak minta keluargaku menjadi keluarga pada umumnya. Hanya berharap, takdir indah dari Tuhan, yang terbaik untuk kami semua. Juga untuk kesehatan ibu. Sayup-sayup kudengar suara adan, hingga aku membuka mata, aku masih berada di atas sajadah warna coklat tua milikku. Masih dengan mengenakan mekena putih favorit, yang selalu menjadi peneman rakaatku. Sepertinya aku ketiduran hingga bermalam di sajadah ini.Kulepas mekena yang menempel dan mendekat ke tubuh Mas Ammar. Kugoyangkan sedikit tubuhnya, sambil kusebut namanya untuk membangunkan. “Mas Ammar, Mas. Sudah subuh. Kita jamaah.” Mata yang terpejam itu terlihat dipaksakan untuk membuka, berikut dengan tangan yang dikucekkan ke pelupuk matanya. “Mas kita jamaah dulu ya.” Iamengangguk. Aku tersenyum dan langsung mengambil air wudhu. Masuk ke dalam kamar mandi dengan hati berbunga. Berikut dengan Mas Ammar yang juga mengekori di belakangku. “Allahu Akbar.” Takbir dikumandangkan, berikut dengan tangan diangkat.Akupun mengekori gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh imamku, hingga tak sadar satu persatu air mata itu runtuh membasahi pipi. Aku terharu, inilah kali pertama aku melakukan jamaah dengan imamku, dengan lelaki yang selalu ada dalam setiap doaku. Suatu momen yang begitu kuinginkan. Mungkinkah doa-doa yang kupanjatkan dengan menyebut namanya, terdengar hingga ke langit? Sampai aku mengambil jodoh adikku seperti ini? “Assalamualaikumwarohmatullah.”“Assalamualaikumwarohmatullah.”Salam terdengar, berikut aku yang mengikuti, menandakan rukun shalat ini selesai.Kuraih tangan itu dan mencium punggung tangannya, hingga air mataku kembali runtuh dan tak sengaja menetes ke kulit yang kupegang. Mas Ammar langsung menarik tangannya begitu saja. “Maaf,” ucapku lirih. Aku langsung bangkit dari dudukku, dan melepas mekena yang kupakai. Sejurus kemudian, aku masuk ke dapur hendak menyiapkan sarapan. Kulihat bahan yang tertinggal di kulkas, tampak 2 buah terong dan tempe yang sedikit layu. Kueksekusi bahan tersebut hingga tercipta makanan yang siap untuk dimakan. Satu piring terong balado juga tempe goreng sudah siap di atas meja, berikut dengan seteko teh hangat dan air putih. Mas Ammar juga sudah duduk di kursi makan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Aku tak mendapati emak yang biasanya bangun lebih awal dariku.Kuketuk pintu kamarnya, tapi tak ada jawaban. Kubuka benda kayu persegi panjang itu, dan sedikit mendorongnya, hingga terdengar pintu yang berderit. Emak masih tertidur di ranjangnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dada. “Emak, bangun, Mak. Ini sudah pagi,” ucapku sambil menggoyangkan sedikit lengannya.“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. “Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan w
Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas
Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal
Aku kembali masuk ke dalam kamar setelah melihat kendaraan yang dinaiki oleh mas Ammar berlalu. Kembali mendekat ke perpustakaan kecil itu, dan mendekat ke jejeran buku yang dikoleksinya. Aku masih penasaran dengan nama penulis yang sama persis dengan nama Mas Ammar. Kucari buku tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada. Mungkinkah ia mengambilnya? Aku tersenyum sendiri. Bukankah Mas Ammar tidak suka aku mendekat ke perpustakaan miliknya, untuk apa aku mengulang kesalahan yang sama?Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Bersebelahan tepat dengan laptop. Aku mendekat dan mengintip nama yang tertulis. “Dinda “ . mungkinkah ini alasan Mas Ammar tak bercerita kepadaku mau kemana? Aku membiarkan dering ponsel itu berlalu begitu saja, tak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, sebuah panggilan atas nama Dinda kembali terdengar. “Assalamualaikum,” ucapku ragu yang kini mendekatkan ponsel Mas Ammar ke telingaku. Ini tindakan lancang, tapi aku
“Ayo siap-siap,” ucap Mas ammar usai mandi. Ia sedang memilah pakaian yang menggantung di almarinya.“Siap-siap? Kemana?” tanyaku bingung. “Khadijah, Bukannya kamu bilang mau ikut kalau aku ke tempat Dinda?” tanyanya.Aku mengangguk.“Ya sudah sana mandi dan siap-siap! Kenapa malah mematung disitu?”“Eh, iya.”Aku bergegas mengambil pakaian di almari dan membawanya masuk ke kamar mandi. Ya, selama ini aku masih nyaman seperti itu, karena malu berganti pakaian dalam kamar, sedangkan disana juga ada Mas Ammar. Keran kuputar, hingga terdengar suara gemericik dari air tersebut yang masuk ke dalam gentong berbahan keramik. Lalu dari tempat tersebut kubasuh tubuhku dengan gayung. Aku lebih menyukai mandi seperti itu, meskipun di sini terdapat shower yang siap digunakan.“Dijah, cepetan dikit!” teriak Mas Ammar dari luar pintu.Kupercepat mandiku, dan segera kupakai pakaian yang menggantung tak jauh dariku. Setelahnya, aku akan menyisir rambut di depan cermin di dekat kasur. “Maaf ya, Mas
“Mbak Dijah ....” teriak Dinda sambil melambaikan tangannya. Sontak seluruh anak-anak yang sedang dididiknya itupun menoleh ke arah kami.Terdengar bisikan-bisikan antara anak-anak dan para tenaga pendidik itu, yang aku tak ketahui jelas apa yang diucapkan. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara bel sebagai tanda pelajaran telah usai. Anak-anak mulai berhamburan , mereka mengambil jajan ke arah gurunya, lalu berjalan ke pintu samping. Sedangkan adikku, kini mulai mendekat ke arahku dengan senyum yang tergambar jelas. “Mbak Dijah ikut kesini?” tanyanya.Ia menjabat tanganku dan mencium punggung tanganku, lalu kubalas dengan memeluk tubuhnya yang memiliki tinggi lebih dariku. Mas ammar pamit sebentar, sepertinya sengaja memberikan ruang untuk aku dan Dinda mengobrol, sedangkan sebelum pergi ia sedikit berbisik di telingaku. “Jangan bahas apapun tentang kita.”Aku tak paham maksudnya, niat awalku bertemu dengan Dinda karena ingin berbicara panjang kali lebar tentang hubungan mereka
“Dijah, apa yang kamu lakukan?” tanya Mas Ammar kaget. Ia melihat tas dan isinya yang berantakan. “E … ini, Dijah mau rapikan …”“Tidak usah, biar aku saja.”Ia setengah belari mendekat ke arahku, hingga handuk kecil yang menutup tubuh bagian bawahnya melorot. Reflek aku berteriak sambil menutup mataku dengan kedua tangan. Meskipun kami menikah sudah seminggu lebih, tapi aku tak pernah melihat ia polos sempurna, begitupun sebaliknya. “Eh, maaf,” ucapnya yang kini mengambil handuknya di lantai. “Aku tuh sudah pakai bagian dalamnya,” imbuhnya lagi. Aku membuka mata setelah selang beberapa menit, menunggu tubuhnya kembali tertutup.Wajahnya begitu memerah, dan ia langsung berlari setelah mengambil pakaian yang sudah kusiapkan. Benar-benar membuatku tertawa. Ini adalah hal terkonyol yang terjadi. “Mas, ganti pakaiannya sudah belum?” tanyaku yang menunggunya di depan pintu kamar mandi. Hampir lima belas menit lamanya ia belum keluar juga. “Aku mau mandi, Mas,” ucapku lagi sambil menge
Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal
“Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam
Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak
“Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan
“Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep