Pov MiaKriingg.... Suara telepon menyentak ku dari lamunan. Segera ku angkat telepon kantor. "Mia, tolong ke ruangan saya!" perintah Bu Alia dengan suara tegas. "Baik, Bu," jawabku lalu panggilan telepon dimatikan sepihak olehnya. Dengan perasaan ragu aku melangkah menuju ruangan Bu Alia yang letaknya tepat di samping ruanganku. Ku ketuk pintu tiga kali hingga Bu Alia memintaku masuk ke dalam. Jantungku seakan berhenti berdetak saat melihat ada dua orang lelaki bertubuh tegap yang memakai pakaian khas polisi duduk manis di sofa. Perasaanku semakin tak enak saat Bu Alia memintaku duduk di sebelah mereka. DEG"Apa anda yang bernama Mia?" tanya seorang polisi dengan rahang tegas. "I-iya." jawabku terbata."Bisa ikut kami ke kantor polisi untuk menjadi saksi dalam kasus penggelapan dana perusahaan yang dilakukan oleh saudara Alvan."Aku terpaku. Tak tahu harus menjawab apa. Ya Tuhan, inikah akhirnya ceritaku? Lalu bagaimana nasib ibu dan adik-adik jika aku mendekam di penjara? "B
"Apa hubungan anda dengan Pak Alvan?""Dia atasan saya dan juga ....""Juga apa?" "Suami adik saya.""Apa!" teriakku lantang. Semua mata tertuju padaku. Hingga akhirnya seorang polisi memintaku menunggu di luar agar tak mengganggu proses penyelidikan. Hampir satu jam aku menunggu Mia. Rasanya tak sabar ingin mengorek informasi darinya. Apakah benar Mega adalah adik Mia? Tapi bukankah adik Mia hanya Ulfa, Rini dan Rio? Apa ini ada hubungannya dengan video yang diberikan Ibrahim beberapa hari yang lalu? Sejak kapan Mia memiliki rahasianya sebesar ini?Kepalaku pusing memikirkan semua masalah ini. "Mbak Alia," panggil seorang wanita yang sedari tadi ku tunggu. "Ada yang ingin aku tanyakan. Bisa ikut ke kantin sebentar?" Mia mengangguk lalu berjalan di sampingku. Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami seperti orang asing yang berjalan beriringan. Aku sendiri bingung harus berkata apa. Aku dan Mia duduk berhadapan. Sesaat kami diam hingga seorang wanita mud
Aku tatap kertas berisi panggilan sidang perceraianku dengan Mas Alvan. Rasanya masih belum percaya, enam tahun berakhir dengan perpisahanTin... Tin.... Suara klakson mobil Bang Rizal terdengar nyaring di telinga. Segera ku ambil tas lalu menghampiri lelaki yang masih betah menyendiri itu. Jika tak segera turun maka suara klakson mobil akan terus terdengar. Bisa diamuk warga satu kompleks. "Berisik Bang!" ucapku saat membuka pintu mobil. Lelaki berambut panjang itu hanya tersenyum. Sungguh menyebalkan! "Siap, kita berangkat!" Bang Rizal segara melajukan kendaraan roda empat miliknya. Bang Rizal menyalakan musik. Suara penyanyi berasal dari Ngawi itu mengelgar di dalam mobil. Lagu berbahasa Jawa yang menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Seneng-seneng barengSusah-susah barengNyanding sliramuSayang sliramuWes tak angen-angenWe bakal dadi jodohkuWes tak angen-angenKoe dadi pilihankuTenang, rasah sepaneng tenangAku wes seneng ReneRangkulen aku tak nggo sangu turuku
Jarum jam sudah menujukkan angka delapan. Sebentar lagi Baim akan datang. Entah berita penting apa yang membuatnya ingin bertemu denganku. Mungkin berita tentang Mas Alvan. Suara bell berbunyi nyaring. Segera aku menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Seorang lelaki memakai celana jeans dipadukan dengan kemeja lengan panjang berwarna army yang dilingkis ke siku sedang duduk di sofa ruang tamu. Kulitnya yang putih sangat cocok dengan pakaian yang ia kenakan malam ini. Aura ketampanan terpancar. Sayang dia masih betah menyendiri. "Sudah lama, Im?" tanyaku basa-basi. "Baru saja Al," ucapnya sambil tersenyum manis. "Belum makan kan? Makan bareng dulu yuk. Mama sudah nungguin kamu dari tadi." Baim menganggukkan kepala lalu tersenyum ke arahku. Kami berjalan menuju meja makan. Sesekali lelaki berkulit putih itu tertangkap mata sedang memperhatikan diriku. "Malam tante," ucapnya lalu berjalan ke arah mama dan mencium punggung tangan mama dengan takzim. Saat mengulurkan tangan kepada
Pov AliaAku melangkah gontai masuk ke rumah. Langkahku terhenti saat melihat Bang Rizal sudah berdiri di balik pintu. Sejak kapan dia ada di sini? Jangan-jangan dia menguping pembicaraanku.Aku berjalan melewati Bang Rizal yang menatap tajam ke arahku. Aku bagai maling yang ketahuan mencuri. Namun langkahku terhenti saat tangan kekarnya mencengkeram tangan kananku. "Lepas Bang! Sakit!" Tangan kiri menarik tangan kanan Bang Rizal mencengkeram kuat. Namun bukannya terlepas tapi justru semakin terasa sakit di pergelangan tangan. Bang Rizal menatap tajam dengan pundak naik turun, menahan emosi. Kenapa Bang Rizal seperti ini? Baru kali ini aku takut melihat kakak kandungku sendiri. "Kenapa sih Bang? Ngomong kalau Alia salah, jangan memperlakukan aku seperti ini!" sungutku. "Alia, kamu tahu tidak statusmu apa? Masih istri orang, Alia! Jangan kecentilan pada Baim atau pria lain. Harusnya kamu mikir, bagaimana reputasi perusahaan jika pemimpinnya saja kecentilan. Seperti wanita murahan!"
Pov AliaAlarm di ponsel berbunyi nyaring. Segera ku matikan. Ku buka mata perlahan meski terasa berat. Menangis semalaman membuat mataku menjadi bengkak hingga membuka mata saja terasa susah. Seperti ada yang mengganjal di pelupuk mata. Melangkah dengan gontai ke kamar mandi. Guyuran air dingin membuat tubuhku merasa segar. Dinginnya air sedikit mengurangi panasnya hati saat mengingat perkataan Bang Rizal. Memakai mukena berwarna putih, segera aku tunaikan ibadah wajib dua rakaat. Menengadahkan tangan kepada Sang Pencipta. Mengeluarkan sesak di dalam rongga dada. Rasa tenang merasuk di hati. Mungkin ini cara Allah untuk mengingatkan diriku agar tidak dekat dengan lelaki lain sebelum aku resmi berstatus janda. Lewat kemarahan Bang Rizal aku menyadari satu hal, jika Bang Rizal sangat menyayangiku. Ya, meski ucapannya salah dan justru melukai hatiku. ***Perlahan menuruni anak tangga. Sesekali berhenti. Ingin makan tapi malas bertemu Bang Rizal. Membayangkan wajahnya saja sudah memb
Pov RizalMama boleh meminta sesuatu pada kalian?" "Boleh ma," jawabku. Ada rasa penasaran dengan perkataan mama yang terlihat serius. "Alia setelah kamu resmi bercerai dan masa iddahmu selesai, mama ingin kamu dan Rizal menikah.""Apa?" ucap kami serentak. Aku dan Alia sangat terkejut hingga mulut kami berbuka lebar. Untung saja tidak ada nyamuk atau lalat yang mampir ke gua kami. Bisa gawat jika makhluk kecil sampai masuk. "Udah ah, ma. Jangan bercanda. Gak lucu tahu!" ucap Alia dengan sedikit gugup. Wajah bingung terlihat jelas di sana. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Satu sisi aku sangat bahagia bisa memiliki Alia seutuhnya. Namun lagi-lagi logika menyangkal. Aku tak segila itu. Mana bisa aku menikah dengan adikku. Bisa cepat kiamat dunia ini jika banyak orang berpikir seperti mama. Dalam hukum agama dan negara jelas dilarang adanya incest tapi kenapa mama justru meminta kami melakukan hal yang dilarang itu. Ya Tuhan, kenapa aku harus mencintai orang yang salah dan be
Dengan langkah gontai kuturunin anak tangga. Sesekali ku hapus bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Meski aku mencoba kuat dan tak menangis tapi nyatanya aku tak sanggup. Kabar ini bagai batu besar yang menghimpit dada. Menyesakkan hingga menghirup udara saja seakan tak bisa. "Zal, kamu baik-baik saja kan?" Mama memegang pundakku. Ku letakkan bingkai dengan foto keluarga di atas meja. Mama diam dengan mata berkaca-kaca. Sementara Alia tampak kebingungan. "Apa anak angkat itu, aku, ma?"ucapku parau. Mama masih membisu, tapi air bah mulai turun hingga akhirnya membasahi pipi wanita berhati lembut itu. Diamnya adalah jawaban iya untuk pertanyaanku. "Itu tidak benar kan, ma? Bang Rizal, kakak kandungku kan?" Alia mengguncangkan pundak mama. Mencari jawaban di balik diamnya wanita yang telah merawat kami. "Iya, Rizal bukan anak kandung mama. Maafkan mama, nak, telah menutupi semua kebenaran ini dari dulu. Mama hanya...." Mama tak mampu melanjutkan kata-katanya. Hanya air mata y
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang