Dengan langkah gontai kuturunin anak tangga. Sesekali ku hapus bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Meski aku mencoba kuat dan tak menangis tapi nyatanya aku tak sanggup. Kabar ini bagai batu besar yang menghimpit dada. Menyesakkan hingga menghirup udara saja seakan tak bisa. "Zal, kamu baik-baik saja kan?" Mama memegang pundakku. Ku letakkan bingkai dengan foto keluarga di atas meja. Mama diam dengan mata berkaca-kaca. Sementara Alia tampak kebingungan. "Apa anak angkat itu, aku, ma?"ucapku parau. Mama masih membisu, tapi air bah mulai turun hingga akhirnya membasahi pipi wanita berhati lembut itu. Diamnya adalah jawaban iya untuk pertanyaanku. "Itu tidak benar kan, ma? Bang Rizal, kakak kandungku kan?" Alia mengguncangkan pundak mama. Mencari jawaban di balik diamnya wanita yang telah merawat kami. "Iya, Rizal bukan anak kandung mama. Maafkan mama, nak, telah menutupi semua kebenaran ini dari dulu. Mama hanya...." Mama tak mampu melanjutkan kata-katanya. Hanya air mata y
Pov Alia"Saya tidak tahu harus memberi selamat atau tidak. Semoga kehidupan Mbak Alia jauh lebih baik dari kemarin," ucap Pak Yusuf setelah selesai sidang terakhir. Setelah tiga bulan menunggu akhirnya hakim memutuskan jika aku dan Mas Alvan resmi bercerai. Tak ada perebutan hak asuh anak serta harta gono gini membuat proses perceraian berjalan lebih cepet. Semua ini tak luput dari bantuan Pak Yusuf, pengacara sekaligus teman Bang Rizal. "Saya harus berterima kasih pada Pak Yusuf karena telah membantu saya." Ku ulurkan tangan sebagai ucapan terima kasih. Dengan senang hati bapak dua orang anak itu menyambut baik uluran tanganku. "Saya permisi. Sampaikan salam saya pada Rizal, suruh kakakmu itu segera menikah," ucapnya sambil tersenyum. "Baik." Sabahat Bang Rizal itu pergi setelah mengucapkan salam. Melangkah dengan penuh percaya diri meninggalkan ruangan sidang. Namun langkah ini terhenti saat bayangan Bang Rizal nampak di pelupuk mata. "Alia setelah kamu resmi bercerai dan mas
Pov Mega Kukira dengan menjadi istri kedua Mas Alvan hidupku akan bahagia. Memiliki banyak uang tanpa harus bekerja. Namun nyatanya kebahagiaannya yang ku rasa hanya sesaat. Kini aku tak tahu harus kemana? Percuma menikah dengan Mas Alvan jika ujungnya aku tak punya apa-apa? Rumah di sita karena uang yang digunakan untuk membayar DP adalah hasil korupsi. Kini aku sendiri dan harus mengurus Aira. "Sekarang aku harus kemana?" gumamku pelan. Rumah orang tua Mas Alvan, ya, mereka pasti mau menampungku. Tak mungkin mereka tega membiarkan Aira hidup terlunta-lunta di pinggir jalan. Berjalan pelan sambil menarik koper menuju pangkalan ojek tak jauh dari rumah. Untung Aira terlelap dalam gendonganku. Ingin naik taksi tapi aku tak mampu membayarnya. Mau tak mau aku harus naik ojek agar bisa sampai ke rumah ibu dan bapak. "Ojek, Bang!" Lelaki berkulit hitam menatap penuh selidik ke arahku. "Bawaan segini banyak, Mbak?" ucapnya sambil menggelangkan kepala melihat dua koper di tangan
"Ini dimana ya, Pak? Tadi kan saya sudah memberi alamat Bapak." "Ini rumah saya Mbak. Saya tidak tahu alamat rumah Mbak, lagi hujan saya takut nyasar," kilahnya. "Bapak bisa bangunkan saya,kan?" "Saya tidak tega, Mbak. Mari masuk, Mbak. Saya buatkan teh hangat. Tak mungkin saya mengantar Mbak dalam keadaan hujan deras seperti ini?" ucapnya lalu turun dari mobil. Dengan sedikit ragu, aku turun dari mobil. Tak lupa ku ambil koper kecil karena di dalamnya berisi susu dan keperluan Aira. Aku melangkah gontai masuk ke rumah minimalis berlantai dua. Meski tak mewah tapi tertata rapi dengan pernak-pernik kekinian. Rupanya selera bapak itu bagus juga. Dua gelas teh hangat ia letakkan di atas meja. Lalu tanpa malu ia jatuhkan tepat di sampingku. Oweek... Oweek.... Aira menangis kencang. Segera kubuka koper kecil lalu menuang air panas dari termos ke dalam botol. "Maaf Pak, ada air putih?" "Ada Mbak, sebentar saya ambilkan," ucapnya lalu berjalan ke dapur. Oweek... Oweek...
Alia berjalan perlahan, gamis berwarna hijau army ia angkat sedikit saat menuruni anak tangga. Gamis hadiah dari Rizal tiga tahun yang lalu kini bisa ia kenalan lagi. Berat badan Alia turun drastis. Tak main-main tujuh kilo turun dalam waktu tiga bulan. Semua itu tak luput dari pola makan sehat dan rajin berolahraga. Wanita berumur tiga puluh satu tahun itu nampak lebih muda dengan tubuh idealnya. Terkadang rasa benci dan kecewa membuat orang memperhatikan penampilannya. Seperti yang Alia rasakan. Setelah mengetahui perselingkuhan Alvan, wanita berbulu mata lentik itu kian menjaga penampilan dan berat badan. Semua ia lakukan agar Alvan merasa menyesal telah meninggalkannya demi Mega. "Mau kemana Al?" tanya Rizal saat berpapasan dengannya di teras depan. Lelaki dengan wajah penuh kharisma itu tak berkedip saat melihat penampilan Alia. Dalam hati ia memuji kecantikan sang adik. "Mau ke lapas?" jawab Alia dengan santainya. "What? Dengan dandanan secantik ini? Jangan bilang kamu ma
Pov Alvan"Pak Alvan, ada kunjungan!" ucap seorang sipir berkulit sawo matang itu. "Siapa, Pak?" tanyaku penasaran. Semenjak mendekam di penjara, belum ada keluarga yang menjengukku. Ibu, bapak, Sasya dan Mega seolah menghilang dari muka bumi. Apa mereka tak kasihan padaku? Apa mereka tak merindukan kehadiranku? "Seorang perempuan dan seorang lelaki. Saya tidak tahu namanya. Silahkan Pak Alvan temui sendiri." Sopir itu berjalan menemaniku menuju ruang kunjungan. Berbagai tanda tanya memenuhi pikiranku. Siapa dua orang yang mengunjungiku?Masuk ke ruang kunjungan dengan perasaan tak menentu. Mataku membola sempurna saat melihat siapa yang mengunjungiku di lapas ini,Alia dan Rizal. Mataku tak lepas dari memandang wanita yang kini bergelar sebagai mantan istri. Alia menggunakan gamis berwarna hijau army yang diberikan Rizal sebagai hadiah ulang tahunnya. Baju yang dulu tak muat kini bisa dipakai kembali. Wanita itu justru semakin cantik setelah berpisah denganku. Alia semakin meme
Pov SasyaOweek... Oweekk.... Tangis Aira terdengar nyaring di telinga. Sudah dua hari tangis itu merusak ketenangan hidupku. Bayi itu menangis tak tahu waktu, pagi, siang, malam selalu menyanyi dengan lagu yang sama. Lama-lama aku bisa gila jika trus tinggal bersamanya. "Ibu!" teriakku lantang. "Apa to Sya? Kamu gak lihat ibu sedang berusaha menenangkan Aira.""Pusing aku, Bu! Bisa gila jika mendengar tangis Aira terus!" Ku tutup kuping rapat-rapat. "Buatkan susu, Sya!" perintah ibu sambil berusaha menenangkan tangis Aira. Berjalan gontai menuju dapur. Mataku membola melihat susu dalam adah yang tinggal dua sendok takar. Mau tak mau ku buatkan dengan sisa susu yang ada. Keterlaluan Mega, dasar ibu gila! Tega-teganya ia meninggalkan anaknya di sini. Tanpa memberi uang untuk membiayai kebutuhan tuyul kecil itu pula. Menyesal aku menyetujui Mas Alvan menikah dengannya. Dasar wanita matre! "Sasya cepat!" Segera ku berikan botol berisi susu pada ibu. Ibu dengan telaten menggengong
Pov Alia"Iya memang kamu tak akan pernah mengulanginya lagi karena kalian sudah hidup masing-masing. Dan satu hal yang perlu kamu tahu. Setelah masa iddah Alia selesai, kami akan segera menikah."DEGUcapan Bang Rizal membuatku terpaku. Apa aku tak salah dengar? Ini bukan mimpi kan? Astaga, drama macam apa lagi ini? Belum sempat aku menjawab tangan Bang Rizal menarikku keluar ruangan kunjungan. Aku hanya bisa mengekor tanpa protes. Rasanya seperti terhipnotis. Menurut tanpa sebuah perlawanan. Sepanjang jalan menuju mobil. Kami hanya saling diam. Aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Ucapan Bang Rizal membuatku membisu. Entahlah, aku sendiri tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Kendaraan roda empat milik Bang Rizal melaju meninggalkan lapas. Entah kemana tujuannya setelah ini, aku sendiri tak tahu. Mobil terus berjalan lurus, aku tahu akan kemana karena ini bukan arah rumah atau kantor. Aku lebih memilih pura-pura tidur karena bingung harus bicara apa. "Ini bocah
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang