Pov SasyaOweek... Oweekk.... Tangis Aira terdengar nyaring di telinga. Sudah dua hari tangis itu merusak ketenangan hidupku. Bayi itu menangis tak tahu waktu, pagi, siang, malam selalu menyanyi dengan lagu yang sama. Lama-lama aku bisa gila jika trus tinggal bersamanya. "Ibu!" teriakku lantang. "Apa to Sya? Kamu gak lihat ibu sedang berusaha menenangkan Aira.""Pusing aku, Bu! Bisa gila jika mendengar tangis Aira terus!" Ku tutup kuping rapat-rapat. "Buatkan susu, Sya!" perintah ibu sambil berusaha menenangkan tangis Aira. Berjalan gontai menuju dapur. Mataku membola melihat susu dalam adah yang tinggal dua sendok takar. Mau tak mau ku buatkan dengan sisa susu yang ada. Keterlaluan Mega, dasar ibu gila! Tega-teganya ia meninggalkan anaknya di sini. Tanpa memberi uang untuk membiayai kebutuhan tuyul kecil itu pula. Menyesal aku menyetujui Mas Alvan menikah dengannya. Dasar wanita matre! "Sasya cepat!" Segera ku berikan botol berisi susu pada ibu. Ibu dengan telaten menggengong
Pov Alia"Iya memang kamu tak akan pernah mengulanginya lagi karena kalian sudah hidup masing-masing. Dan satu hal yang perlu kamu tahu. Setelah masa iddah Alia selesai, kami akan segera menikah."DEGUcapan Bang Rizal membuatku terpaku. Apa aku tak salah dengar? Ini bukan mimpi kan? Astaga, drama macam apa lagi ini? Belum sempat aku menjawab tangan Bang Rizal menarikku keluar ruangan kunjungan. Aku hanya bisa mengekor tanpa protes. Rasanya seperti terhipnotis. Menurut tanpa sebuah perlawanan. Sepanjang jalan menuju mobil. Kami hanya saling diam. Aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Ucapan Bang Rizal membuatku membisu. Entahlah, aku sendiri tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Kendaraan roda empat milik Bang Rizal melaju meninggalkan lapas. Entah kemana tujuannya setelah ini, aku sendiri tak tahu. Mobil terus berjalan lurus, aku tahu akan kemana karena ini bukan arah rumah atau kantor. Aku lebih memilih pura-pura tidur karena bingung harus bicara apa. "Ini bocah
"Wanita itu adalah kamu, Alia. Maaf jika perasaan abang membuatmu tidak nyaman. Selama bertahun-tahun abang tersiksa dengan perasaan ini. Abang mencintai adik sendiri. Rasa yang berusaha abang tepis tapi justru semakin membelenggu. Kamu tahu, saat mama bilang aku bukan anak kandung mama. Sebagai hatiku sangat bahagia. Itu artinya abang tak salah mencintai kamu karena kita bukan sedarah. Ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Alia mungkin ini bukan saat yang tepat. Abang hanya ingin kamu tahu, jika abang mencintaimu tulus."DEGJantungku seakan lepas dari sarangnya. Aku memang sudah mengira jika wanita itu adalah aku. Namun ketika kata itu keluar dari mulut Bang Rizal aku masih saja terkejut. Bingung, aku tak mampu menjawab apa pun. Karena sampai saat ini aku masih menganggap lelaki di hadapanku seorang kakak. Dan tak lebih dari itu. Ya Tuhan, apa yang harus ku katakan?"Tak usah kamu jawab, aku tahu ini sangat konyol dan membingungkan. Aku sendiri juga tak menge
Kami berhenti di pinggir jalan. Sebelah kiri ada sebuah gerobak dengan beberapa pembeli yang tengah mengantri. "Bubur Ayam Kang Jaka" itu tulisan yang menempel di gerobak berwarna kuning. Ku teluk jidat pelan, bisa-bisanya Bang Rizal membawaku makan di sini! Bukan, bukan karena makanan yang ada di pinggir jalan. Tapi karena aku tak menyukai semua jenis bubur. Termasuk bubur ayam. "Abang yakin kita makan di sini?" tanganku saat Bang Rizal melepas safety belt. "Karena di pinggir jalan?" Ku gelengkan kepala. Bukankah dia tahu jika aku tak masalah makan dimana pun? "Alia tidak suka bubur ayam, Bang! Abang lupa atau pura-pura lupa?" Ku manyunkan bibir, merajuk. Bang Rizal tersenyum lalu mengacak rambutku yang sudah tertutup hijab. Kebiasaan memang! Menghancurkan tatanan hijab yang ku kenakan. "Ayo, turun! Sekali-kali mencoba, jangan bilang tak suka jika belum pernah mencicipinya. Seperti hubungan jangan bilang tidak bisa jika kamu belum pernah mencobanya." Aku mencebik. Aku yakin d
Tok... Tok.... "Masuk!" Seorang lelaki muncul dari balik pintu. Dia berjalan mendekat dengan wajah masam. "Ada apa, Baim?" tanyaku. "Sebenarnya apa hubungan kamu dengan Rizal? Kenapa kalian lengket sekali? Seperti bukan hubungan kakak dan adik?"Aku terdiam. Ku perhatikan setiap gerak-gerik lelaki di hadapanku ini. Rasa cemburu menghilangkan logika. Lebih tepatnya menjadi waspada. Ini yang tengah di rasakan Baim, hingga dia berpikir jika aku menjalin hubungan intens dengan Bang Rizal. Apa jangan-jangan semua orang juga berpikir seperti itu? Karena kebanyakan orang menilai dari luar. Tingkah Bang Rizal tadi memang keterlaluan, di depan umum memperlakukan aku bak kekasihnya. Pantas saja jika Baim berpikir ke sana. "Apa kamu lupa bagaimana Bang Rizal bersikap saat bersamaku?" Baim masih diam, tangan kanannya menarik kursi dan segera menjatuhkan bobotnya. "Apa itu tidak berlebihan Al? Di muka umum dia seperti itu. Sudah seperti dengan kekasihnya saja." Ku letakkan bolpoin dan fok
"Tumben pakai mobil kamu, tidak pakai mobil Rizal?" tanya mama saat melihat mobilku yang ada di halaman rumah, sedang mobil Bang Rizal masih ada di dalam garasi. Semenjak Bang Rizal berada di Surabaya aku memang selalu memakai kendaraan roda empat miliknya. Benar kata Bang Rizal tempo hari, mobil itu sebagai pengobat rindu. Namun sepertinya aku tak perlu memakai mobil itu lagi. Aku harus segera melupakannya."Pengen ganti suasana." Mama hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Mama kembali masuk setelah aku berpamitan dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Kendaraan roda empat milikku meluncur meninggalkan halaman rumah. Aku menyetir dengan hati-hati. Ini adalah jam rawan kecelakaan karena banyak kendaraan berlalu lalang. Mobil berhenti saat lampu lalu lintas berwarna merah. Tak sengaja melihat seseorang yang ku kenal berdiri sambil membawa plastik bungkus mie instan menengadahkan di jendela mobil lalu berpindah ke mobil yang di belakangnya. Ku kucek mata ini, barang kali aku sal
"Yakin tidak mau peluk? Tidak rindu?" Aku berjalan ke arahnya, memeluk erat lelaki itu. Menumpahkan rindu yang membelenggu. Untuk pertama aku memeluk Bang Rizal sebagai seorang lelaki dewasa bukan lagi sebagai kakak. Bahagia, ya tentu. Namun seketika ku lepas pelukannya saat teringat foto di beranda facebook."Sudah nih peluknya?" ledek Bang Rizal. Aku memilih diam dengan muka masam. "Foto siapa yang kemarin abang bagikan di media sosial?" Bang Rizal menautkan alis. Lelaki yang kini berambut pendek itu tersenyum penuh arti. "Kamu cemburu?" Tangannya mencolek hidungku sambil tertawa cekikikan. "Gak lucu!" Bibirku maju lima senti, merajuk. "Dia sahabat abang, bertemu mau memberi undangan pernikahan."Aku tersenyum dalam hati mendengar penjelasan Bang Rizal. Itu berarti aku memiliki kesempatan untuk tetap bersama dia. Ya Tuhan, kenapa pikiranku jadi seperti ini. "Ehem ...." Mia berdehem membuat kamu salah tingkah.Ya Tuhan, dari tadi Mia hanya menjadi obat nyamuk saja. Kami bahk
"Kenapa bisa seperti ini, Mia?" Ku pijit kepala yang terasa berdenyut. Masalah ini semakin rumit. Apa ini yang membuat orang melihatku dengan tatapan mencemooh? "Saya tidak tahu, Mbak. Pagi tadi sudah viral berita Mbak Alia dan Bang Rizal yang sedang bermesraan. Tak hanya di surat kabar, Mbak. Berita ini viral di media sosial. Banyak komentar dari netizen yang terkesan memojokkan Mbak Alia dan Bang Rizal." Mia memberikan benda pipih miliknya. [Gila, kaya gak ada wanita lain saja][Tampan dan cantik tapi kalau tidak punya akhak buat apa! ][Ingat woy! Haram hukumnya menikahi adik kandung!][Dunia mau kiamat!]Kepalaku semakin berdenyut membaca komentar dari netizer. Aku memilih mengembalikan ponsel Mia. Tak kuat membaca komentar yang kebanyakan memojokkan dan memaki. Bahkan ada yang mengeluarkan sumpah serapah pada kami. Astagfirullahalazim....Ku elus dada sambil beristighfar dalam hati. Aku tak menyalahkan komentar pedas dari mereka. Wajar mereka memaki karena mereka tahunya aku
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang