"Yakin tidak mau peluk? Tidak rindu?" Aku berjalan ke arahnya, memeluk erat lelaki itu. Menumpahkan rindu yang membelenggu. Untuk pertama aku memeluk Bang Rizal sebagai seorang lelaki dewasa bukan lagi sebagai kakak. Bahagia, ya tentu. Namun seketika ku lepas pelukannya saat teringat foto di beranda facebook."Sudah nih peluknya?" ledek Bang Rizal. Aku memilih diam dengan muka masam. "Foto siapa yang kemarin abang bagikan di media sosial?" Bang Rizal menautkan alis. Lelaki yang kini berambut pendek itu tersenyum penuh arti. "Kamu cemburu?" Tangannya mencolek hidungku sambil tertawa cekikikan. "Gak lucu!" Bibirku maju lima senti, merajuk. "Dia sahabat abang, bertemu mau memberi undangan pernikahan."Aku tersenyum dalam hati mendengar penjelasan Bang Rizal. Itu berarti aku memiliki kesempatan untuk tetap bersama dia. Ya Tuhan, kenapa pikiranku jadi seperti ini. "Ehem ...." Mia berdehem membuat kamu salah tingkah.Ya Tuhan, dari tadi Mia hanya menjadi obat nyamuk saja. Kami bahk
"Kenapa bisa seperti ini, Mia?" Ku pijit kepala yang terasa berdenyut. Masalah ini semakin rumit. Apa ini yang membuat orang melihatku dengan tatapan mencemooh? "Saya tidak tahu, Mbak. Pagi tadi sudah viral berita Mbak Alia dan Bang Rizal yang sedang bermesraan. Tak hanya di surat kabar, Mbak. Berita ini viral di media sosial. Banyak komentar dari netizen yang terkesan memojokkan Mbak Alia dan Bang Rizal." Mia memberikan benda pipih miliknya. [Gila, kaya gak ada wanita lain saja][Tampan dan cantik tapi kalau tidak punya akhak buat apa! ][Ingat woy! Haram hukumnya menikahi adik kandung!][Dunia mau kiamat!]Kepalaku semakin berdenyut membaca komentar dari netizer. Aku memilih mengembalikan ponsel Mia. Tak kuat membaca komentar yang kebanyakan memojokkan dan memaki. Bahkan ada yang mengeluarkan sumpah serapah pada kami. Astagfirullahalazim....Ku elus dada sambil beristighfar dalam hati. Aku tak menyalahkan komentar pedas dari mereka. Wajar mereka memaki karena mereka tahunya aku
Pov RizalSebuah berita tentang aku dan Alia kini menjadi topik perbincangan. Entah siapa yang menyebarkan foto itu. Aku sudah meminta orang kepercayaanku untuk menyelidikinya. Geram walau kenyataannya benar. Aku hanya tak ingin Alia menerima cemooh dari orang. Kalau aku sendiri tak masalah. Aku sudah biasa menghadapi itu. Tapi Alia? [Kamu sudah baca berita? Are you okay?]Ku kirim pesan pada Alia. Hanya centang dua berwarna abu. Itu berarti pesanku belum dibaca. Ku lihat terus layar ponsel milikku, berharap Alia segera membaca dan membalasnya. Aku sangat mengkhawatirkan dia. Lima menit, sepuluh menit tak juga dibaca. Akhirnya dimenit tiga puluh pesanku sudah berubah warna menjadi biru. Namun tetap saja tidak dibalas. Ku telepon tapi justru nomornya tidak aktif lagi. Ya Tuhan Alia, kamu dimana? Kamu baik-baik saja kan? Jangan membuatku khawatir dong! Ku ambil kunci mobil yang ada di meja. Aku harus memastikan sendiri. Bisa gila jika tak tahu keadaannya sekarang!"Mau kemana, Bos?"
"Mau apa kamu?"ucapnya lantang. Ia berusaha menutupi kegugupan dengan berlaga angkuh. Dasar ikan teri. Kamu tidak tahu jika tengah berhadapan dengan siapa? "Kamu kan yang menyebarkan fotoku dan Alia! Kamu sengaja mau menghancurkan nama baik Alia!" cecaku dengan langkah terus maju. Sasya terus saja mundur hingga akhirnya tubuh gadis itu menempel di tembok. "Itu kenyataannya! Kalian gila, kalian satu darah tapi mau menikah. Apa tidak ada wanita lain selain dia? Murahan, kakak sendiri di embat."PLAAKSatu tamparan mendarat, meninggalkan bekas merah di pipi mulusnya. Biar dia tahu arti kata sopan santun kepada orang yang lebih tua. Sasya meringis sambil memegangi pipi. Nyeri menjalar di tempat gambaran tanganku berada. "Kalian benar-benar gila!" umpatnya. Gadis ini benar-benar harus di beri pelajaran. Mendekam di penjara adalah solusi yang tepat untuk anak sombong seperti dia. Musik tapi belaga sok kaya. Muak aku melihatnya. "Ingat Sya, sekali lagi kamu bikin ulah! Aku tak segan m
Aku duduk di antara mama dan Bang Rizal dengan tatapan penuh tanda tanya dari para wartawan. Saat ini kami berada di sebuah restoran yang sudah di booking penuh untuk melakukan konferensi pers. Mama ingin menjelaskan tentang siapa Bang Rizal sebenarnya. Mama tak ingin prasangka buruk terus berkelanjutan hingga merugikan perusahaan.Rasa gugup dan takut menelusup hati. Ku remas ujung tunik yang ku kenakan. Bang Rizal menggenggam tanganku di balik meja. Lelaki yang telah mencuri hatiku itu memberikan kode bahwa semua akan baik-baik saja. Para wartawan sudah duduk dengan rasa penasaran bersarang di kepala mereka. Sesaat semua hening. Hingga kuasa hukum mama menyampaikan maksud dan tujuan diadakan konferensi pers ini. "Apakah benar Mas Rizal dan Mbak Alia akan menikah?""Bukankah mereka sedarah, dan haram hukumnya menikah?""Apakah Ibu Rahmawati memberikan restu untuk kedua anak ibu?""Apakah hubungan ini yang membuat Mbak Alia bercerai dengan Mas Alvan?"Berbagai pertanyaan memenuhi ru
"Mama dan Rizal memutuskan bulan depan kalian menikah. Urusan gedung, WO, dll mama yang urus. Untuk urusan pendaftaran nikah Rizal yang akan mengurus. Kamu terima jadi."Nah kan benar dugaanku, Bang Rizal dan mama kongkalikong. Kenapa aku tidak ditanya terlebih dahulu. Ini yang mau nikah aku dan Bang Rizal atau mama dengan Bang Rizal? "Kenapa Alia tidak diberitahu ma? Gak tanya pendapat Alia nih? Atau memang tak butuh pendapat Alia?" Aku mengerucutkan bibir, kesal kepada dua orang di hadapanku itu. Ini masalah masa depanku tapi aku sama sekali tidak tahu. Menyebalkan. "Kamu tahu Al, kenapa mama dan Rizal yang merencanakan ini semua? Mama ingin memberi kejutan padamu."Selamat mama dan Bang Rizal berhasil. Aku benar-benar terkejut dan hampir tak percaya. "Mama benar aku terkejut, sangat terkejut malah. Dan masalah sepenting ini, aku tidak tahu apa-apa!" ucapku datar. Mama mendekat lalu menggenggam kedua tanganku. Manik matanya menatap lekat ke arahku. "Mama kasihan dengan Rizal, m
Paket Baju Bayi Dari Suamiku"Alia!" Teriak Rizal saat melihat tubuh Alia terpental hingga di sisi jalan. Beruntung mobil yang yang berjalan mendekat ke arah Alia bisa berhenti tepat waktu. Jalanan seketika membeku, tak ada lalu lalang kendaraan. Semua berhenti di tempat masing-masing. Kemacetan pun terjadi di area kecelakaan. Rizal segera berlari ke arah Alia. Air bah turun melihat tubuh sang pujaan hati sudah bersimpah darah. Calon suami Alia segera membopong tubuh yang bersimpah darah menuju mobilnya. Bahkan kaos putih yang ia kenakan sudah berubah menjadi merah merona. "Tersangkanya kabur, woy!" teriak penjual es buah yang tadi sempat memperhatikan kecelakaan. Mobil silver yang menabrak Alia melejit meninggalkan tempat terjadinya kecelakaan. Tak ada orang yang bisa mengejar laju mobil sedan yang telah menabrak calon pengantin wanita itu. Kemacetan mengundang petugas kepolisian yang sedang lewat berhenti sejenak. Dua lelaki berseragam polisi itu mendatangi tempat kajadian. Da
Pov Rizal[Target sudah dalam genggaman, Bos!] Satu pesan masuk dari Jefry. Senyum merekah membaca berita itu. Dia akan menyesal karena berani bermain-main denganku. Tanganku sendiri yang akan membalas sakit yang Alia rasakan. Sebenarnya aku buka lelaki yang suka main hakim sendiri. Namun keadaan yang memaksaku menjadi seperti ini. Kalau dia tidak mulai, aku tak akan membalas. Ancamanku tempo hari diabaikan begitu saja. Hari ini dia akan menerima akibatnya. [Aku akan segera ke sana. Jangan biarkan dia lolos!]Ku kirim balasan ke nomor orang kepercayaanku. Tak mununggu lama dia membalas "OKE"."Tunggu Sya, akan ku buat kau menangis dan bersimpuh di kakiku," gumamku. Ku turuni anak tangga. Mencari sosok wanita yang telah merawatku selama ini. "Ma, Mama ...."Sedikit berlari menuju halaman belakang. Sosok yang selalu memberiku limpahan kasih sayang itu duduk dengan pandangan kosong. Pasti beliau teringat Alia, putri semata wayangnya. Sesal dan rasa bersalah itu kembali hadir kalau m
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang