Desya tak sempat melihat siapa orang yang masuk ke dalam kamar. Dia tak sadarkan diri.
Seseorang membopongnya dan dibawanya turun ke kamar pembantu.
"Sudah kamu bersihkan Irma?"
"Sudah Mas, letakan saja Desya disitu," ucap Irma seraya menunjuk pada ranjang usang yang sudah lama tak terpakai.
Ternyata orang itu adalah Rangga. Rangga memindahkan Desya ke kamar pembantu karena Irma tidak mau tidur di kamar pembantu yang kotor dan sempit.
Sedikit berat bagi Rangga untuk menuruti keinginan Irma bertukar tempat tidur. Pikirannya mulai kacau bagaimana nanti jika Desya sadar dan dia mempertanyakan soal ini?
"Irma, kalau Desya kamu suruh tidur di sini, mau tidak mau, aku juga harus tidur di sini juga. Kamu bagaimana sih?"
"Ya tidak apa-apa kan, Mas? Kalau kamu mau, kamu bisa tidur denganku di atas."
Rangga hanya menurut saja dengan wanita pujaan hatinya. Logikanya sudah tidak bisa membedakan antara siapa nyonya dan penumpang di rumah itu. Pria itu tak peduli siapa dirinya tanpa Desya.
*****
Mata Desya terbuka melihat sekelilingnya menjadi berbeda. Ranjang yang semula empuk menjadi keras. Dinding-dinding yang dititupi walpaper berubah menjadi cat yang mulai lapuk dan banyak binatangnya. Mencoba bergerak, namun kakinya terlampau sakit. Lebih sakit saat sebelum dia sadar dari pingsannya.
"Aneh... bukankah kakiku seharusnya sudah lebih baik kemarin?
Desya masih mengamati tempatnya berada. Ketika sadar, dia ada di mana, Desya segera berteriak memanggil suaminya.
"Mas Rangga!"
Rangga yang sedang bercengkrama dengan Irma di kamar atas seketika loncat dari ranjang dan berlari menuju kamar pembantu menemui Desya.
“Mas, kenapa aku ada di sini?” tanya Deysa.
Rangga terdiam mencoba mencari alasan agar Desya tak marah padanya.
“Begini, Sya. Kaki kamu kan sakit. Jadi, aku pindahin kamu ke sini biar kamu tidak kesusahan kalau mau ke teras atau ke dapur,” ucap Rangga beralibi.
“Tapi Mas, kenapa aku di kamar pembantu?”
“Ibu mau di kamar tamu, Sya,”
“Lalu Irma?”
“Irma ada di kamar kita,”
“Apa Mas? Irma pakai kamar kita? Nanti, kamu tidur di mana Mas? Di sini sangat sempit.”
“Gampang, Sya. Aku bisa tidur di ruang tamu. Tenang, Sya. Ini hanya sementara saja sampai Ibu pulang kok. Kan, gak enak kalau Irma sebagai tamu malah harus tidur di sini, kan?”
Desya mencoba mencerna dan menerima keputusan suaminya. Kepalanya masih terasa sakit, kakinya berdenyut-denyut. Rangga yang seharusnya selalu berada di sampingnya tidak ada basa basi sedikitpun untuk menemaninya dan langsung pergi begitu saja.
Kini bertambah satu lagi penderitaan Desya. Sudah dirinya tak bisa berjalan, suaminya berubah, tak kunjung miliki anak, dan sekarang harus tinggal di kamar pembantu yang kotor dan sempit?
Dari kamar pembantu terdengar dentingan peralatan masak. Harum bawang goreng membuat Desya penasaran siapa yang memasak. Desya mencoba mengangkat kakinya perlahan meski terasa berat dan sakit, mengintip dari balik jendela. Ternyata Irma! Kemudian, Ibu mertuanya datang dan terdengar obrolan diantara mereka.
“Kamu selain cantik juga pintar memasak ya,” ucap Ibu Rangga memuji.
“Iya bu, terima kasih.”
Desya membayangkan waktu dirinya memasak bersama ibu mertuanya, memasak makanan kesukaan Rangga. Andai saja kecelakaan itu tak terjadi mungkin Desya masih bisa berdiri dan melakukan aktivitas seperti biasa.
“Masakan kesukaan Rangga ya?” tanya Ibu Rangga seketika membuat Desya yang mendengar dari balik jendela kamarnya melebarkan matanya terkejut dan tak habis pikir. Bagaimana Irma bisa tahu makanan kesukaan suaminya?
Desya hanya menyaksikan kebersamaan ibu mertua dan sahabatnya itu dari balik jendela, merasa bahwa dirinya saat ini tak berguna sama sekali. Rangga menjadi tak acuh semenjak kondisinya seperti itu.
Desya terduduk lemas dan menangis sesenggukan.
Dentingan alat masak sudah tak terdengar, Desya membuka sedikit tirai jendelanya dan tak melihat siapapun disitu. Ternyata, mereka sudah pindah ke ruang makan.
Lapar. Itu yang Desya rasakan. Namun tak seorangpun datang menghampirinya untuk memberinya makanan.
Desya menangis dalam diam. Terdengar decit kaki yang berjalan ke kamarnya, seseorang mengetuk pintu dan masuk.
“Sya, makan dulu nanti minum obatnya,” ucap Irma menaruh sepiring nasi berisikan sayur, segelas air mineral dan beberapa keping obat.
“Terima kasih Irma.”
“Sya, ayo makan. Lalu, minum obatnya supaya kamu cepat sembuh,” Irma menyuapi Desya yang tak kunjung menyentuh makanan itu.
“Tak usah Irma, aku bisa sendiri.”
“Makan Desya, Makan!” bentak Irma tak sabar.
Desya terdiam dan melihat ke arah Irma dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin Irma bisa membentaknya seperti itu? Bukan hanya seorang perawat, tapi Irma juga sahabat Desya.
Dengan arogannya, Irma tiba-tiba menjejalkan makanan dengan sendok ke mulut Desya.
Desya yang masih tak percaya hanya bisa menangis dan ingin sekali berteriak. Namun, mulutnya penuh dengan makanan. Kenapa dia diperlakukan begitu kasar oleh sahabatnya sendiri?
“Bagus, sekarang minum obatnya cepat … “
Desya tak mau mengangakan mulutnya, hingga Irma emosi. Dijejalkan lagi obat itu secara kasar ke dalam mulutnya.
Irma pergi meninggalkan Desya dalam tangisnya. Tangis pilu yang tak pernah sekalipun terpikirkan akan menjadi seperti ini keadaan hidupnya. Apa maksud dari semua ini?
“Mas, Desya sudah aku beri makan dan juga obat,” ungkap Irma.
“Wah, bagus! Tidak salah aku memilihmu sebagai perawat pribadinya,” puji Rangga tanpa tahu kelakuan Irma tadi.
“Oh ya Mas, aku mau minta sesuatu boleh?”
“Minta apa aja boleh kok.”
“Asyik, aku mau mobil Mas!”
“Mobil? Untuk apa?” ucap Rangga bingung.
“Kenapa harus dipertanyakan lagi? Bukankah tadi Kamu bilang boleh?”
“Ya sudah, pakai saja mobil Desya. Nanti aku balik nama menjadi namamu.”
Irma tampak senang sekali karena permintaannya selalu dituruti oleh Rangga. Namun, seseorang ternyata sedang mengamati mereka dari percakapan pertama. Melihat tajam ke arah Irma dan Rangga seolah menahan sesuatu yang ingin dilontarkan.
“Maksud kalian apa?” tanya Ibu secara tiba-tiba.
Irma dan Rangga kikuk dan salah tingkah mencari alasan apa untuk menutupi semua ini. Irma dan Rangga hanya bisa saling pandang mencari jalan keluar dari masalah yang mereka buat sendiri.“Ibu … “ sapa Rangga yang tiba-tiba melihat Ibunya sudah berada diantara mereka. Ibu Rangga duduk dan menatap Irma tajam. “Kamu ingin morotin anak saya?” “Tidak bu,” ucap Irma cepat. “Ibu dengarkan dulu. Jadi, Irma ini sebenarnya calon istri kedua Rangga.” “Rangga ingin kasih Ibu cucu. Ibu tau sendiri kan kalau Desya belum bisa hamil, tolong Ibu jangan marah,” susul Rangga yang kemudian berlutut di kaki ibunya. Mendengar kata cucu, Ibu Rangga mulai tenang. “Oh, bagus kalau begitu, tapi bagaimana dengan Desya apa sudah mengetahui hal ini? Kalau nanti dia minta cerai, bagaimana perusahaan kalian?” “Tenang bu, sebagian perusahaan sudah di tangan Rangga. Aku sudah tidak membutuhkan Desya lagi sebenarnya. Aku hanya iba dengan keadaannya sekarang.” ****** Desya masih di kamarnya. Kepalanya bertamba
"Hallo Pak Rehan," ucap Desya pada seseorang yang menelponnya itu. Rehan adalah seorang pengacara terkenal. Menurut Desya, Rehan adalah orang paling baik setelah almarhum ayahnya. Pak Rehan sudah seperti ayahnya sendiri. "Maaf Sya saya baru tahu dari teman kalau kamu ternyata kecelakaan jatuh dari tangga, ya?" ucap pak Rangga dengan nada yang panik. "Iya pak, dan saat ini Desya belum bisa berjalan karena cedera yang lumayan parah." "Oh i see, kapan-kapan saya datang ke rumah ya." "Tidak! Maksud Desya, tunggu Pak. Ada hal yang perlu Desya bicarakan dahulu sebelum pak Rehan ke sini." Desya mengintip dari balik jendela. Tak ada orang, di garasi sudah tak ada Irma dan Rangga. Ke mana perginya mereka? Desya sempat harus memikirkan apakah ada sesuatu diantara keduanya. Namun, dia sekarang sedang menyusun rencana dengan Pak Rehan. Lupakan Irma dan Rangga dulu. Ini lebih penting! "Saya ingin semua aset perusahaan menjadi atas nama saya pak," ungkap Desya. "Loh, kenapa, Sya? Apa ada
“Susu Untuk Ibu Hamil? Siapa yang sedang hamil di rumah ini?” sontak Desya berpikir apakah ibu mertuanya? Rasanya tidak mungkin beliau sudah tua. atau mungkin Irma? Hamil dengan siapa wanita itu, apakah Rangga ? Dada Desya bergejolak berdegup kencang dan matanya terasa panas. Terdengar seseorang membuka pintu dan Desya menatap tajam ke arahnya. “Sedang apa kamu di dapur Sya?” “Mas, kenapa kamu pulang se awal ini?” tanya Desya dengan mata yang masih tajam “Tidak boleh? Lagipula siapa yang akan memarahiku? Aku bos mereka!” ucap Rangga dengan sombongnya tak hiraukan siapa yang dia ajak bicara yang tak lain adalah pemilik perusahaan yang sebenarnya. “Lupakan itu dulu, aku ingin tanya sesuatu Mas,” “Apa?” Desya mengeluarkan kotak susu Ibu hamil kepada Rangga dan terlihat jelas wajah Rangga yang panik namun tetap berusaha menyembunyikannya. “Kamu hamil Sya?” “Bukan milikku, menurut kamu ini milik siapa Mas?” “Mana aku tahu, ibu mungkin belikan itu untukmu supaya kamu cepat hamil.
“Siapa yang bukan orang baik?!” bentak seseorang yang berada di pintu kamar Desya.“Kim… Nona Kim dia sebenarnya orang yang jahat. Padahal sahabatnya Yon Ara sangatlah baik dengannya namun Nona Kim justru merebut suaminya. Kejam sekali! Kamu sudah lihat episode terbaru drama Korea Pelakor Terkena Azab?”Perempuan itu meringis menaikkan satu alisnya mengetahui cerita Desya yang ternyata sedang berbicara sendiri mengenai serial drama yang dia tonton. “Ternyata selain tak bisa berjalan kamu jadi semakin gila ya? Bicara sendiri, hahaha Desya Desya” ejek perempuan itu yang tak lain adalah Irma.Niat hati Desya untuk menutupi apa yang ia ketahui dan menyindir pelakor itu agar merasa bersalah namun justru dia di ejek. Desya kesal namun memilih diam. Nenek sihir itu akan senang jika Desya melawan. “Hoek …”Desya menoleh ke arah Irma yang seketika menutup mulut dan hidungnya serta satu tangan lagi memegang perut kemudian lari ke toilet yang berada persis di samping kamar Desya.“Begitukah ora
“Hah, obat?” Desya mengamati satu per satu produk obat yang ada di tangannya. Tampak selembar kertas bertuliskan resep. Terlihat dari tulisannya seperti tulisan dokter. Desya tersenyum, membaca secarik kertas dengan inisial R dia langsung mencari ponselnya dan menelpon Pak Rehan. “Apakah ini semua untukku?” “Kebetulan Bapak punya kenalan Dokter hebat, jadi bisa kirimkan kamu resep itu. Semoga lekas membaik dan segera bangkit dari masalahmu Desya,”“Terima kasih banyak Pak Rehan, Desya tidak tahu lagi harus berkata seperti apa. Intinya Desya bersyukur bisa mengenal Bapak yang begitu baik dengan saya.”“Dont mention It, saya sudah anggap kamu seperti anak perempuan saya sendiri,”Desya nampak semangat kali ini, dia tidak sendiri. Dia merasa ada dukungan penuh dari pengacaranya. Telepon tertutup, Desya membaca resep dokternya dan meminum obat-obat itu.Disembunyikannya obat-obatan itu di bawah kolong tempat tidur agar tidak ada yang mengetahuinya.“Desyaaaa!”Teriak seseorang yang bera
“Desya apa yang kamu lakukan!” Rangga melotot ke arah Desya yang tak sengaja membuat kursi itu jatuh sebelum Irma mendudukinya. Desya hanya ingin bangkit dan berpegangan pada kursi namun nahas, Irma yang hendak mendudukinya justru terjatuh.“Maaf Irma aku tak sengaja,”“Mas Rangga perutku sakit sekali.”“Iya Irma, ayo aku bawa kamu ke dokter.”Rangga membopong Irma menuju mobil, meninggalkan Desya dengan rasa bersalahnya meskipun tak sengaja. Ibu mertuanya yang baru saja pulang dari Mall langsung panik.“Irma kenapa Rangga?”“Jatuh dari kursi bu, Desya yang menyebabkan ini,”“Kurang ajar wanita itu, apakah dia sudah tahu soal kehamilan Irma?”“Sepertinya tidak bu, kelihatannya Desya tak sengaja. Sudah bu Rangga mau bawa Irma ke dokter,”“Ibu harus ikut, ibu mau pastikan cucu ibu baik-baik saja.”Mereka pun pergi mengantar Irma ke dokter, Desya menyaksikan kecemasan antara suami dan mertuanya terhadap wanita yang seharusnya bukan bagian dari keluarga ini. Desya meraih meja makan dan ke
“Maksud kamu apa Mas, kamu mengejekku?” “Lalu kenapa kamu bisa sampai di kamar ini tanpa kursi roda?” Desya bergumam dalam hati : “Sial, aku lupa membawa kursi roda itu kesini. Bagaimana ini kalau sampai Mas Rangga tahu,” “Kenapa kamu diam!” cecar Rangga. “Aku tidak bisa meraih meja untuk duduk di kursi roda, kau tahu sendiri kan, aku tidak bisa berpegangan dengan kursi, tadi pagi saja Irma sampai terjatuh gara-gara aku pegangan kursi itu. Lalu aku merangkak kesini,” Rangga mengamati wajah Desya, sepertinya Rangga percaya dengan penjelasan Istrinya itu. Rangga pun segera pergi dan menemui Irma lagi. ***** “Aku semakin terancam, apalagi kalau suatu saat Mas Rangga tahu brankas sudah kosong. Pasti mereka tak segan-segan mencelakaiku. Bagaimana ini Tuhan, bantu aku menyelesaikan semua ini,” gumam Desya lirih. Pikirannya saat ini kacau, dia harus melanjutkan rencananya untuk keluar dari zona ini. Sesekali dia mengintip dari balik jendela nya ke arah luar untuk memastikan tak ada
“Ohhh, saya ingat. Pak Rehan Wijaya, pengacara menantu saya kan?” seru Ibu Rangga. “Betul sekali Bu,” “Ada keperluan apa ya Pak?” “Saya ingin menjenguk Desya, saya baru dengar dari rekan saya kalau dia sedang sakit,” Ibu Rangga tampak ragu untuk mempersilahkan Pak Rehan masuk karena kondisi Desya sangat memprihatinkan. Dia tak mau Pak Rehan tahu yang sebenarnya dan justru akan melaporkan mereka ke polisi. “Bu Ratih?” tanya Pak Rehan melihat Ibu Rangga yang melamun. “Eh, iya Pak,” “Bolehkah saya masuk?” Ibu Rangga terdiam berfikir mencari alasan namun nampaknya dia tak menemukan pilihan lain selain mempersilahkan Pak Rehan untuk masuk. Rangga yang mendengar bahwa ada Pak Rehan di luar langsung menyuruh Irma untuk mengerudungi kepala Desya dengan jilbab muslimah. “Bagus Irma, sekarang beri dia riasan wajah sebelum dia menemui Pak Rehan, dan kamu Desya kamu dilarang mengadu semuanya dengan Pak Rehan atau kamu akan lebih menderita dari ini!” ungkap Rangga. Desya menghentikan tan
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru
“Saya beri kamu waktu 7x24 jam untuk memikirkannya,” Agung berdiri kemudian beranjak pergi dari ruangannya.Desya bingung, ia bahkan tak memiliki modal yang besar. Keinginannya untuk terus berbisnis semakin tinggi. “Mungkin aku harus beritahu Mas Dilan,” Desya bergumam, ia mencoba mengetik pesan untuk calon suaminya yang masih berada di Liar Negeri.“Semoga Mas Dilan mendukungku, aku tahu ia sering cemburu dengan Pak Agung. Namun ini menyangkut cita-cita dan masa depanku.” Desya meminum segelas air putih yang ada di mejanya. Ia merasa lebih tertantang dan lebih semangat. Ia sangat mau mengiyakan tawaran Agung namun yang ia khawatirkan ia tak bisa menjaga amanah yang Agung titipkan yang berupa investasi itu.“Tapi aku harus yakin dan optimis, aku pasti akan berhasil dan membungkam mulut mereka yang sudah membuatku menderita bahkan selalu mengejekku! Terima kasih Rangga, Irma, kalian berdua membuatku lebih semangat untuk sukses kembali.”Tak lama, Dilan menelponnya. Menanyakan tentang
“Habiskan makananmu lalu kembali ke tempatmu sekarang,”Desya mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud Dilan yang tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pergi.“Kenapa Mas?”“Nanti saya ceritakan,”Desya membayar makanan di kasir ia berjalan melewati seorang lelaki yang selalu saja menatapnya penuh nafsu itu. Desya juga merasa aneh dan risih. Ia mempercepat langkahnya kemudian sampai di ruangannya dengan nafas yang memburu.“Desya, kau sudah sampai di ruanganmu?”Dilan masih melakukan panggilan video dengan Desya. Desya tersenyum, ia melihat raut wajah tak biasa dari Dilan.“Kau kenapa Mas?” tanya Desya.“Kenapa kau tertawa? Dengar saya, lelaki itu pacarnya Chika.”Desya membulatkan matanya seolah tak percaya namun memang kelihatannya lelaki itu cukup nakal.“Kau serius?”“Apakah aku terlihat seperti pelawak?”“Iya Mas, aku percaya. Kenapa kau jadi sensi seperti ini?”“Pasalnya kau harus menghindarinya Desya, kau bisa saja terancam karena lelaki itu seperti predator.”“Betul Mas, barusan
“Sudah datang Bu, Pak Reymond dan beberap stafnya sudah memasuki ruangan meeting.”“Apa? Astaga! Bagaimana ini? Pak Agung hari ini libur. Tolong bilang ke mereka ya rescedule besok saja.”“Baik Bu,”Lelaki itu pergi untuk menemui Pak Reymond di ruang meeting. Desya nampak gelisah, ia berharap Pak Reymond mau bernegosiasi untuk menjadwalkan ulang pertemuan mereka dengan Pak Agung. Pria itu datang kembali, kini wajahnya nampak sangat tegang. Sepertinya habis dimarahi oleh Reymond.“Maaf Bu Desya, saya sudah coba bujuk Pak Reymond agar dia bisa datang lagi besok tapi mereka tidak mau. Mereka harus meeting sekarang, bagaimana ini Bu?”Desya mematung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terdiam tiba-tiba teringat kala dia menjadi seorang CEO di perusahaannya dahulu. Semua tipe klien dia hadapi dengan mudah dan selalu goal.“Oke, tolong susul saya ke ruang meeting ya. Bawa semua berkas yang sudah saya siapkan di meja kerja saya, saya akan bawa laptop ini. Terima kasih,”ucap Desya pad