"Kamu keramas lagi Mas?" tanya Desya.
Desya mengingat suaminya itu kemarin baru saja keramas di rumah sakit, dan Rangga adalah orang yang jarang keramas kecuali setelah bermain dengan Desya.
"Akhir-akhir ini kamu sering banget keramas, kemarin waktu kamu mandi di rumah sakit keramas, hari ini juga, padahal kamu paling malas mandi keramas paling kalau kita habis main saja kamu keramasnya." pekik Desya yang mulai merasa semakin aneh dengan tingkah suaminya. Belum lagi isi chat yang sempat Desya baca dari layar ponsel Rangga.
"Memang ada yang melarangku keramas! Siapa yang bayar tagihan air di rumah ini? Pertanyaanmu ada-ada saja! Bahkan hal sekecil ini pun kamu permasalahkan!” bentak Rangga tiba-tiba.
Desya sangat terkejut. Itu adalah bentakan pertama kali Rangga kepada Desya seumur hidupnya. Sebelum ini, Rangga dikenal sebagai sosok penyayang dan lembut, namun Desya merasa suaminya menjadi berubah dalam beberapa hari ini, semenjak dia sakit dan harus dirawat oleh Irma, sahabatnya yang menjadi perawat khusus untuknya dan tinggal di kamar tamu.
"Kamu bahas soal keuangan dengan saya Mas?"
Rangga terdiam. Dia sadar siapa sebenarnya dia tanpa Desya. Rangga hanya seorang HRD dan Desya adalah pemilik perusahaan dari sebuah produk kecantikan dan sudah lumayan besar pendistribusiannya. Namun, setelah menikah, perusahaan itu dikelola oleh Rangga agar Desya bisa fokus untuk hidup santai dan sehat demi program kehamilan. Sayangnya, Desya masih belum juga hamil! Memikirkan itu, Rangga kembali kesal.
"Saya yang bekerja, Desya! Saya kepala keluarga," tegas Rangga.
Desya tersenyum kecut menanggapi perkataan suaminya yang seperti lupa ingatan itu. Desya diam, tidak melawan. Bagaimanapun, dia adalah seorang istri. Tidak dibenarkan untuk melawan dan membentak suaminya meskipun dalam hati Desya ingin sekali berkata kasar. Desya memilih diam agar tidak menimbulkan keributan lebih panjang lagi.
Rangga yang sudah emosi, kemudian memakai baju dan mengambil ponselnya yang ada di depan Desya. Dia keluar dari kamar dan pergi.
Desya menundukkan wajahnya. Perkara jatuh dari tangga adalah hal paling membuatnya trauma. Bukan dari segi tragedinya atau cedera yang dialami, tetapi sikap suaminya yang mulai berubah. Entah karena kondisinya saat ini atau ....
"Wanita lain? Siapa sebenarnya si cantik yang Mas Rangga maksud itu?" Desya berbicara lirih dengan dirinya sendiri. Dia teringat sebuah pesan dari kontak bernama Si Cantik saat Rangga sedang mandi. Namun, dia adalah seorang Istri yang menghormati privasi suami. Jadi, dia tidak membuka pesan itu sendiri. Belum sempat bertanya pada Rangga tentang si Cantik dan isi pesannya, Rangga sudah terlanjur marah karena pertanyaan tentang "keramas".
Desya mulai berpikir, mencari jalan keluar, mencari histori-histori kejadian sebelum ini,
"Apa mungkin Si Cantik itu Irma?" Desya menatap ke langit-langit kamar, sesekali dia menatap keluar jendela. Terlihat, rintikan air hujan mulai melukis di kaca jendela kamarnya, petir menyambar dan deru guntur memecahkan keheningan, membuat Desya terkejut. Terlintas sesuatu yang membuat Desya curiga.
"Ya, kemarin juga saat hujan, petir, dan guntur, mereka pergi keluar. Padahal, keduanya naik mobil. Tapi, tak ada jawaban dari panggilan teleponku untuk waktu yang sangat lama. Kata mereka, pohon tumbang membuat kancing baju berantakan dan resleting terbuka. Tapi, masa sampai lipstik berantakan dan banyak sampah tisu di dalam mobil?" Desya berbicara sendiri seperti orang gila.
Dia memang dibuat gila oleh perubahan sikap Rangga yang mendadak ini.
Pikiran Desya mulai bercabang lagi, kepalanya pening, dadanya sesak, jantungnya berdebar kuat, otaknya panas.
Desya mencengkeram sprei yang dia duduki. "Kurang ajar jika itu benar terjadi! Tapi, apakah benar seperti itu kejadiannya? Aku harus selidiki dulu!"
Andai saja Desya bisa berjalan dan memergoki mereka, pasti semua akan cepat terungkap. Namun, untuk bergerak ke kamar mandi saja susah. Apalagi harus mengendap-endap turun tangga ataupun lari jika terancam ketahuan?"Sial! Kaki sialan!" rutuk Desya menatap kakinya kecewa.
****
Rangga duduk di sofa ruang tamu. Dia takut kebohongannya terbuka di depan Desya. Tak lama, dia membuka ponselnya dan menemukan sebuah pesan yang belum terbuka dari Si Cantik, pujaan hatinya baru-baru ini.
Rangga tersenyum lega karena pesan belum terbuka. Berarti, Desya tidak menyadari pesan ini. Dengan cepat, pria itu lalu membalas pesan Si Cantik.
[ Aku juga kangen, aku di ruang tamu. Kamu kesini temani aku ]
Irma yang sedang bermain ponsel dan mendapatkan pesan Rangga, langsung membuka isi pesannya dan bergegas keluar kamar.
"Mas …" panggil Irma pelan.
"Hai Irma, kamu tidak istirahat?" sapa Rangga dengan ramah.
"Tidak, Mas. Kamu kenapa tidak temani Desya di atas?"
"Aku sedang kesal dengannya,"
"Kenapa?" tanya Irma.
"Perihal keramas saja dia permasalahkan. Lalu saat aku membahas soal keuangan, dia marah dan menyinggungku!" gumam Rangga sambil memasang wajah benci karena membayangkan ucapan Desya tadi.
"Aku mengerti, Mas. Saranku, lebih baik Mas Rangga jangan terlalu mencolok. Biar saja jangan keramas dulu. Desya itu wanita detail, aku kenal dia dari dulu. Hal sekecil apapun kalau menurutnya ganjil akan dia cari sampai akarnya,"
"Benar juga, bahaya kalau sampai kita ketahuan." Rangga menyandarkan punggungnya di sofa ditemani Irma.
"Aku buatkan teh ya Mas." Irma tersenyum lalu pergi ke dapur.
Sementara itu, Rangga masih duduk dengan mata melihat ke plafon rumah. Berpikir bagaimana caranya Rangga menutupi hubungan terlarang ini dari Desya. Desya adalah pribadi yang cukup kritis jika ada masalah. Mungkin, jika di luar negeri dia akan melamar sebagai anggota CIA. Desya pintar mengungkap sesuatu.
Irma datang dengan secangkir teh. Ditaruhnya teh itu di meja. Kemudian, mengarahkan wajahnya tepat mengenai mata Rangga.
"Tidak usah terlalu dekat," pekik Rangga kaget. Dia khawatir Desya tiba-tiba muncul.
"Kenapa? Desya tidak mungkin ke sini Mas, dia tidak bisa jalan kan?" peringat Irma.
Rangga seketika sadar. Pria itu mengangguk dan menyeruput teh yang Irma buatkan secara perlahan.
"Manis seperti kamu,”
"Ah, Mas Rangga ini bisa saja!" Irma tertawa dan merangkul Rangga, menyenderkan kepalanya di dada Rangga yang bidang. Terdengar degupan jantung yang kencang. Rasa itu, rasa menginginkan yang tidak seharusnya. Membuat Rangga berdebar jika berdekatan dengan Irma apalagi bersentuhan.
Sementara itu, Desya masih bertengkar dengan logikanya. Sesekali, dia meneteskan air matanya saat kepingan puzzle tentang suaminya dan Irma mulai terkumpul. Hatinya sakit, apa mungkin suami dan sahabatnya mengkhianatinya?
Saat logikanya mulai menemukan titik terang, hatinya menolak. Rasa sayang dan hormat Desya terhadap Rangga dan Irma sangat besar. Tidak mungkin jika mereka menghianatinya, kan?
Desya menangis, mengambil bantal di sampingnya dan menaruhnya di lutut, memeluknya dan menekuk lututnya.Lututnya sudah tidak begitu terasa sakit, sudah membaik. Desya sadar ada perkembangan baik dari cederanya. Desya berharap agar segera pulih dan bisa mencari tahu kebenaran yang sudah terjadi. Meskipun kebenaran itu menyakitkan.
"Kuharap aku salah. Kuharap dugaanku salah!" gumam Desya perih.
Malam itu udara terasa begitu dingin, wajar saja musim hujan telah tiba. Desya termenung dalam dinginnya malam. Dia yang sehari-harinya hanya terbaring si tempat tidur membuatnya jenuh. Dirinya putus asa, tak bisa melayani suaminya dengan baik seperti sebelum kejadian kecelakaan itu. "Mas …” panggil Desya pada Rangga yang sedang berada di sebelahnya bermain ponsel. Pria itu sudah kembali dari bawah. "Iya, Sayang?" Pria itu kembali berkata lembut. Desya sedikit senang karena sepertinya suaminya itu tidak terlalu berubah. "Apa kamu masih mencintaiku dalam keadaan seperti ini?" tanya Desya. Rangga tiba-tiba terdiam dan duduk di sebelah Desya. Dia mengingat semua yang sudah dia lakukan dengan Irma di belakang Desya, sedangkan Desya dalam keadaan sakit dan terpuruk. Rangga menatap Desya melihat keadaan seorang wanita yang sejak dulu berada disampingnya, susah maupun sedih. "Mas kenapa kamu diam?" "Iya Sayang, jangan ragukan soal itu." "Berarti kamu janji tidak akan berbuat cura
"Siapa ini?" tanya ibu Mertua Desya yang baru saja sampai dari bandara. Dilihatnya wanita bertubuh ramping, berkulit putih dan wajah yang terias rapi ini dengan seksama. Bibirnya tersenyum kemudian dibalas dengan senyuman oleh wanita yang ada di depannya. "Irma Bu," jawab Irma seraya mengulurkan tangannya. "Rangga?" Ibu Rangga melihat ke arah Rangga untuk meminta penjelasan. "Iya Bu, jadi dia ini sahabatnya Desya dia perawat di rumah sakit tempat Desya dirawat kemarin lalu saya bawa kesini agar bisa merawat Desya sampai sembuh." jelas Rangga. "Desya sakit apa kok Ibu tidak tau, sekarang ada di mana dia?" "Di kamar atas Bu--"ucap Rangga. Tanpa pikir panjang, Ibu Rangga berjalan melewati Irma dan Rangga kemudian naik ke kamar Desya. "Ibu!" teriak Desya pada seorang wanita paruh baya itu. Ibu Rangga mendekat dan duduk di sebelah Desya. "Kenapa bisa jadi seperti ini?" "Desya jatuh di tangga Bu, waktu sehabis mengepel lantai lalu Desya ingin menjemur baju tapi Desya terpeleset
Desya tak sempat melihat siapa orang yang masuk ke dalam kamar. Dia tak sadarkan diri. Seseorang membopongnya dan dibawanya turun ke kamar pembantu. "Sudah kamu bersihkan Irma?" "Sudah Mas, letakan saja Desya disitu," ucap Irma seraya menunjuk pada ranjang usang yang sudah lama tak terpakai. Ternyata orang itu adalah Rangga. Rangga memindahkan Desya ke kamar pembantu karena Irma tidak mau tidur di kamar pembantu yang kotor dan sempit. Sedikit berat bagi Rangga untuk menuruti keinginan Irma bertukar tempat tidur. Pikirannya mulai kacau bagaimana nanti jika Desya sadar dan dia mempertanyakan soal ini? "Irma, kalau Desya kamu suruh tidur di sini, mau tidak mau, aku juga harus tidur di sini juga. Kamu bagaimana sih?" "Ya tidak apa-apa kan, Mas? Kalau kamu mau, kamu bisa tidur denganku di atas." Rangga hanya menurut saja dengan wanita pujaan hatinya. Logikanya sudah tidak bisa membedakan antara siapa nyonya dan penumpang di rumah itu. Pria itu tak peduli siapa dirinya tanpa De
Irma dan Rangga kikuk dan salah tingkah mencari alasan apa untuk menutupi semua ini. Irma dan Rangga hanya bisa saling pandang mencari jalan keluar dari masalah yang mereka buat sendiri.“Ibu … “ sapa Rangga yang tiba-tiba melihat Ibunya sudah berada diantara mereka. Ibu Rangga duduk dan menatap Irma tajam. “Kamu ingin morotin anak saya?” “Tidak bu,” ucap Irma cepat. “Ibu dengarkan dulu. Jadi, Irma ini sebenarnya calon istri kedua Rangga.” “Rangga ingin kasih Ibu cucu. Ibu tau sendiri kan kalau Desya belum bisa hamil, tolong Ibu jangan marah,” susul Rangga yang kemudian berlutut di kaki ibunya. Mendengar kata cucu, Ibu Rangga mulai tenang. “Oh, bagus kalau begitu, tapi bagaimana dengan Desya apa sudah mengetahui hal ini? Kalau nanti dia minta cerai, bagaimana perusahaan kalian?” “Tenang bu, sebagian perusahaan sudah di tangan Rangga. Aku sudah tidak membutuhkan Desya lagi sebenarnya. Aku hanya iba dengan keadaannya sekarang.” ****** Desya masih di kamarnya. Kepalanya bertamba
"Hallo Pak Rehan," ucap Desya pada seseorang yang menelponnya itu. Rehan adalah seorang pengacara terkenal. Menurut Desya, Rehan adalah orang paling baik setelah almarhum ayahnya. Pak Rehan sudah seperti ayahnya sendiri. "Maaf Sya saya baru tahu dari teman kalau kamu ternyata kecelakaan jatuh dari tangga, ya?" ucap pak Rangga dengan nada yang panik. "Iya pak, dan saat ini Desya belum bisa berjalan karena cedera yang lumayan parah." "Oh i see, kapan-kapan saya datang ke rumah ya." "Tidak! Maksud Desya, tunggu Pak. Ada hal yang perlu Desya bicarakan dahulu sebelum pak Rehan ke sini." Desya mengintip dari balik jendela. Tak ada orang, di garasi sudah tak ada Irma dan Rangga. Ke mana perginya mereka? Desya sempat harus memikirkan apakah ada sesuatu diantara keduanya. Namun, dia sekarang sedang menyusun rencana dengan Pak Rehan. Lupakan Irma dan Rangga dulu. Ini lebih penting! "Saya ingin semua aset perusahaan menjadi atas nama saya pak," ungkap Desya. "Loh, kenapa, Sya? Apa ada
“Susu Untuk Ibu Hamil? Siapa yang sedang hamil di rumah ini?” sontak Desya berpikir apakah ibu mertuanya? Rasanya tidak mungkin beliau sudah tua. atau mungkin Irma? Hamil dengan siapa wanita itu, apakah Rangga ? Dada Desya bergejolak berdegup kencang dan matanya terasa panas. Terdengar seseorang membuka pintu dan Desya menatap tajam ke arahnya. “Sedang apa kamu di dapur Sya?” “Mas, kenapa kamu pulang se awal ini?” tanya Desya dengan mata yang masih tajam “Tidak boleh? Lagipula siapa yang akan memarahiku? Aku bos mereka!” ucap Rangga dengan sombongnya tak hiraukan siapa yang dia ajak bicara yang tak lain adalah pemilik perusahaan yang sebenarnya. “Lupakan itu dulu, aku ingin tanya sesuatu Mas,” “Apa?” Desya mengeluarkan kotak susu Ibu hamil kepada Rangga dan terlihat jelas wajah Rangga yang panik namun tetap berusaha menyembunyikannya. “Kamu hamil Sya?” “Bukan milikku, menurut kamu ini milik siapa Mas?” “Mana aku tahu, ibu mungkin belikan itu untukmu supaya kamu cepat hamil.
“Siapa yang bukan orang baik?!” bentak seseorang yang berada di pintu kamar Desya.“Kim… Nona Kim dia sebenarnya orang yang jahat. Padahal sahabatnya Yon Ara sangatlah baik dengannya namun Nona Kim justru merebut suaminya. Kejam sekali! Kamu sudah lihat episode terbaru drama Korea Pelakor Terkena Azab?”Perempuan itu meringis menaikkan satu alisnya mengetahui cerita Desya yang ternyata sedang berbicara sendiri mengenai serial drama yang dia tonton. “Ternyata selain tak bisa berjalan kamu jadi semakin gila ya? Bicara sendiri, hahaha Desya Desya” ejek perempuan itu yang tak lain adalah Irma.Niat hati Desya untuk menutupi apa yang ia ketahui dan menyindir pelakor itu agar merasa bersalah namun justru dia di ejek. Desya kesal namun memilih diam. Nenek sihir itu akan senang jika Desya melawan. “Hoek …”Desya menoleh ke arah Irma yang seketika menutup mulut dan hidungnya serta satu tangan lagi memegang perut kemudian lari ke toilet yang berada persis di samping kamar Desya.“Begitukah ora
“Hah, obat?” Desya mengamati satu per satu produk obat yang ada di tangannya. Tampak selembar kertas bertuliskan resep. Terlihat dari tulisannya seperti tulisan dokter. Desya tersenyum, membaca secarik kertas dengan inisial R dia langsung mencari ponselnya dan menelpon Pak Rehan. “Apakah ini semua untukku?” “Kebetulan Bapak punya kenalan Dokter hebat, jadi bisa kirimkan kamu resep itu. Semoga lekas membaik dan segera bangkit dari masalahmu Desya,”“Terima kasih banyak Pak Rehan, Desya tidak tahu lagi harus berkata seperti apa. Intinya Desya bersyukur bisa mengenal Bapak yang begitu baik dengan saya.”“Dont mention It, saya sudah anggap kamu seperti anak perempuan saya sendiri,”Desya nampak semangat kali ini, dia tidak sendiri. Dia merasa ada dukungan penuh dari pengacaranya. Telepon tertutup, Desya membaca resep dokternya dan meminum obat-obat itu.Disembunyikannya obat-obatan itu di bawah kolong tempat tidur agar tidak ada yang mengetahuinya.“Desyaaaa!”Teriak seseorang yang bera
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru
“Saya beri kamu waktu 7x24 jam untuk memikirkannya,” Agung berdiri kemudian beranjak pergi dari ruangannya.Desya bingung, ia bahkan tak memiliki modal yang besar. Keinginannya untuk terus berbisnis semakin tinggi. “Mungkin aku harus beritahu Mas Dilan,” Desya bergumam, ia mencoba mengetik pesan untuk calon suaminya yang masih berada di Liar Negeri.“Semoga Mas Dilan mendukungku, aku tahu ia sering cemburu dengan Pak Agung. Namun ini menyangkut cita-cita dan masa depanku.” Desya meminum segelas air putih yang ada di mejanya. Ia merasa lebih tertantang dan lebih semangat. Ia sangat mau mengiyakan tawaran Agung namun yang ia khawatirkan ia tak bisa menjaga amanah yang Agung titipkan yang berupa investasi itu.“Tapi aku harus yakin dan optimis, aku pasti akan berhasil dan membungkam mulut mereka yang sudah membuatku menderita bahkan selalu mengejekku! Terima kasih Rangga, Irma, kalian berdua membuatku lebih semangat untuk sukses kembali.”Tak lama, Dilan menelponnya. Menanyakan tentang
“Habiskan makananmu lalu kembali ke tempatmu sekarang,”Desya mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud Dilan yang tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pergi.“Kenapa Mas?”“Nanti saya ceritakan,”Desya membayar makanan di kasir ia berjalan melewati seorang lelaki yang selalu saja menatapnya penuh nafsu itu. Desya juga merasa aneh dan risih. Ia mempercepat langkahnya kemudian sampai di ruangannya dengan nafas yang memburu.“Desya, kau sudah sampai di ruanganmu?”Dilan masih melakukan panggilan video dengan Desya. Desya tersenyum, ia melihat raut wajah tak biasa dari Dilan.“Kau kenapa Mas?” tanya Desya.“Kenapa kau tertawa? Dengar saya, lelaki itu pacarnya Chika.”Desya membulatkan matanya seolah tak percaya namun memang kelihatannya lelaki itu cukup nakal.“Kau serius?”“Apakah aku terlihat seperti pelawak?”“Iya Mas, aku percaya. Kenapa kau jadi sensi seperti ini?”“Pasalnya kau harus menghindarinya Desya, kau bisa saja terancam karena lelaki itu seperti predator.”“Betul Mas, barusan
“Sudah datang Bu, Pak Reymond dan beberap stafnya sudah memasuki ruangan meeting.”“Apa? Astaga! Bagaimana ini? Pak Agung hari ini libur. Tolong bilang ke mereka ya rescedule besok saja.”“Baik Bu,”Lelaki itu pergi untuk menemui Pak Reymond di ruang meeting. Desya nampak gelisah, ia berharap Pak Reymond mau bernegosiasi untuk menjadwalkan ulang pertemuan mereka dengan Pak Agung. Pria itu datang kembali, kini wajahnya nampak sangat tegang. Sepertinya habis dimarahi oleh Reymond.“Maaf Bu Desya, saya sudah coba bujuk Pak Reymond agar dia bisa datang lagi besok tapi mereka tidak mau. Mereka harus meeting sekarang, bagaimana ini Bu?”Desya mematung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terdiam tiba-tiba teringat kala dia menjadi seorang CEO di perusahaannya dahulu. Semua tipe klien dia hadapi dengan mudah dan selalu goal.“Oke, tolong susul saya ke ruang meeting ya. Bawa semua berkas yang sudah saya siapkan di meja kerja saya, saya akan bawa laptop ini. Terima kasih,”ucap Desya pad