Guntur Gheni memiliki bakat alami sebagai pemimpin. Di bawah komandonya, ia telah mengembangkan Gagak Barong menjadi sebuah organisasi besar yang disegani.
Bisnis-bisnisnya mencakup serikat pekerja, yang merupakan warisan ayahnya, lalu nightclub kelas atas yang tersebar di kota-kota besar, dan peredaran aneka jenis minuman beralkohol dari ujung timur hingga ujung barat negeri. Kemudian yang termahsyur adalah bisnis kasino besar dilengkapi hotel mewah yang beroperasi secara tertutup di sebuah pulau terpencil.
Relasi Guntur mengakar sampai ke kementerian dan aparatur negara, partai politik, dan perusahaan-perusahaan besar yang menjalin kerjasama dengan serikat pekerjanya. Guntur pun tidak menampik bahwa organisasinya juga terikat pada kekuatan-kekuatan yang lebih besar daripada yang ia miliki.
Pencucian uang, dukungan bagi beberapa calon-calon kepala daerah dan anggota legislatif negara dalam pemilihan umum, dan akomodasi lain yang ia berikan demi kelancaran dan keamanan bisnis organisasi Gagak Barong. Tapi, Guntur Gheni bukan orang yang berpedoman bahwa uang adalah segalanya sehingga rela melakukan segalanya demi uang.
Secara tegas dan terang-terangan Guntur Gheni melarang anggota organisasinya terlibat dalam bisnis prostitusi dan narkotika. Baginya, narkotika terlalu berbahaya sekalipun dalam dosis terkecilnya. Sedangkan prostitusi bertentangan dengan prinsip pribadinya.
“Rita, kau sudah siap?” Guntur mengetuk pintu kamar tidur istrinya. Mereka berdua memang memiliki kamar terpisah sejak dulu. Beberapa detik kemudian, Harita Mauly membuka pintu.
“Bagaimana penampilanku?” katanya sumringah.
Guntur melihat kegembiraan istrinya dalam balutan gaun putih yang elegan dan indah. “Kau selalu cantik, dan lebih cantik lagi hari ini,” puji Guntur setulusnya. “Ayo turun, mereka sudah menunggu kita dibawah.”
Harita lalu meraih tangan Guntur dan bersama-sama menuju pelataran belakang. Guntur sangat menghormati dan menyayangi Harita, dan begitu pun sebaliknya. Tapi tidak dalam arti sepasang kekasih.
Harita sebelumnya adalah istri Gumilang Gheni, kakak Guntur, dan ibu kandung Kaindra Gheni. Tiga puluh dua tahun yang silam, kedua orang tua dan Gumilang meninggal secara bersamaan dalam kecelakaan mobil.
Guntur yang saat itu adalah prajurit militer kemudian memutuskan keluar dari kemiliteran dan kembali pada anggota keluarganya yang tersisa: Wignya, Harita, dan Kaindra. Ia mengambil alih kepemimpinan organisasi Gagak Barong. Dua tahun setelahnya, Guntur menikahi Harita Mauly dan menjadi ayah Kaindra.
Semua tamu sudah berkumpul di pelataran belakang. Anggota perwakilan serikat pekerja dari berbagai wilayah duduk membentuk kelompok sendiri.
Yudanta Wistara, pengelola bisnis nightclub dan peredaran minuman beralkohol, duduk semeja dengan Wignya, Magnus, dan Zethra. Di sudut lain, Kaindra sudah bergabung kembali dengan teman-temannya. Mereka sesekali membicarakan beberapa gadis yang sebagian besar hadir disana bersama orang tuanya.
Mantan walikota kota Muliapraja, Tuan Anwar Imran, datang bersama istri kedua dan ketiga anak perempuannya. Mereka menempati salah satu meja dan saling melontarkan kekaguman terhadap vila megah itu. Ia hanya seorang mantan walikota dan teman lama Arya Gheni. Tapi rasa hormat Guntur Gheni yang ditunjukkan melalui undangan ini adalah penghargaan besar di masa tuanya.
Tiga petinggi negara terlihat menikmati steak di piring
masing-masing sambil berbincang dan bersenda gurau. Guntur sering mengundang mereka dalam perayaan-perayaan yang bersifat pribadi. Berkaca dari pengalaman, ia menyadari bahwa hubungan yang diawali dari urusan kekuasaan perlu terus diuji. Konsistensi kehadiran mereka adalah bentuk kesetiaan hubungan dengannya.Alunan musik klasik menandai kehadiran Guntur dan Harita di pelataran belakang. Mereka berdua lalu berjalan menuju panggung. Para tamu segera berdiri dan menyambut dengan tepuk tangan meriah.
Mereka berjabat tangan dengan tamu yang dilewatinya. Setibanya di panggung, Guntur dan Harita langsung menghadap ke arah para tamu lalu bersiap memberikan sambutan.
“Seseorang pernah berkata, jika kau memiliki istri yang baik, kau akan bahagia. Dan jika tidak, kau akan menjadi seorang filsuf. Dan lihat betapa bahagianya saya hari ini. Jadi saya ingin berterima kasih kepada istri saya dan kalian semua.”
Guntur tersenyum kepada Harita. Para tamu pun memberikan tepuk tangan meriah. Harita lalu mendekatkan mikrofon ke bibirnya.
“Terima kasih. Terima kasih. Kalian tidak perlu kuatir, dia akan kembali menjadi filsuf besok.” Seketika Guntur dan semua yang hadir disitu pun terbahak-bahak.
Setelah suara tawa mulai mereda, Harita melanjutkan, ”Pada hari istimewa ini, saya akan membagikan resep khusus bagi para istri agar suaminya sukses. Setiap kali dia ingin menyerah, bisikkanlah ke telinganya dengan lembut, It’s okay! Kau sudah terlalu tua untuk melakukannya.” Dan sekali lagi mereka semua tertawa.
Dari dalam saku jasnya, Guntur mengeluarkan sebuah kotak dan membukanya. “Dan untuk bisikan lembut itu, kamu pantas mendapatkan ini.”
Guntur mengeluarkan kalung berlian yang dirangkai berseling dengan mutiara dan mengenakannya pada Harita. Sambil membisikkan ucapan terima kasih kepada Guntur, Harita berseru dengan riang, “Lihat! Benar-benar ampuh, kan?!” Ucapan Harita lagi-lagi mengundang gelak tawa para tamu.
Harita mencium kedua pipi Guntur lalu keduanya berpelukan. Kilatan lampu-lampu kamera terus mengabadikan momen bahagia suami-istri itu.
Seorang pelayan kemudian muncul dari samping panggung membawa kue warna putih bersusun tiga dengan sebuah kereta saji. Ia kemudian menyalakan tiga lilin besar di atas kue. Tamu-tamu bertepuk tangan ketika mereka berdua berhasil memadamkan api di lilin-lilin itu.
Guntur memotong sebagian dari kue besar itu dan meletakkannya pada piring kecil yang dibawa si pelayan. Tepuk tangan para tamu semakin meriah ketika Guntur Gheni dan Harita Mauly bergantian saling menyuapi. Mereka berpelukan sekali lagi, dan Guntur menutup sesi di panggung dengan berkata, “Baiklah, saya benci membuat orang lain iri hati. Lagipula kami ada job di panggung yang lain.” Para tamu kembali tertawa sambil bertepuk tangan,
Satu-satunya tamu yang mereka temui bersama adalah keluarga Tuan Anwar Imran. Orang tua itu memperkenalkan anggota keluarganya.
Rania, istri keduanya, adalah sosok wanita yang menampilkan kecantikan klasik dan bersuara lembut. Di sebelah Rania duduk Qirani Imran, anak sulung Tuan Anwar dari istri pertamanya yang telah meninggal dunia.
Qirani berwajah tegas meskipun sebenarnya cukup ramah. Ia berprofesi sebagai Jaksa di Kejaksaan Negeri ibukota Muliapraja. Lalu ada Izora Imran, anak keduanya yang baru lulus dari kuliah Hukum. Dan yang terakhir adalah Tatiana Imran, anak bungsunya yang berusia enam belas tahun. Ia begitu pendiam dan sibuk menikmati marshmallow cupcakes sambil mengamati yang lainnya.
Setelah selesai memperkenalkan anggota keluarganya, Tuan Anwar mulai berbincang tentang kejayaan masa lalu bersama Arya Gheni pada masa awal terbentuknya Gagak Barong. Semua orang di meja itu menikmati gaya bercerita Tuan Anwar yang seru nan jenaka. Siapapun tak akan menyangkal kegembiraan yang terpancar dari wajah orang tua itu.
Lima belas menit berselang, Guntur pun mohon diri untuk menemui tamu lainnya. Sebelum berpisah, Tuan Anwar memberikan kotak perhiasan kecil kepada Harita. Isinya adalah sepasang anting gantung berlian berbentuk setetes air dengan sebutir mutiara kecil di tengahnya. Logo kecil desainer perhiasan kelas dunia menempel di kotaknya.
“Astaga, ini cantik sekali!” Harita terpesona. “Terima kasih, paman. Aku harus memelukmu untuk ini.”
“Qirani yang memilihnya. Dia menghabiskan tabungan saya demi benda itu” kelakar Tuan Anwar yang disambut dengan tawa semua orang di meja itu.
“Oh, sayangku, kita harus lebih sering bertemu!” Harita menepuk lembut pipi Qirani.
Qirani tersenyum tulus. “Saya akan senang sekali, bu!”
Kemudian Tuan Anwar mengangkat sebuah kotak kayu bergaya antik dan menyerahkannya kepada Guntur. “Dan ini untukmu. Sesuatu yang pasti kamu suka.”
Guntur tersenyum ketika melihat dua botol anggur merah langka beralaskan kain satin merah.
“Paman memang yang terbaik” kagum Guntur.
Tuan Anwar memegang kedua tangan Guntur dengan perasaan haru dan hormat. “Aku yakin, ayah ibumu pasti bangga denganmu.” Guntur tersenyum dan mereka berpelukan.
“Terima kasih, paman. Terima kasih. Semoga paman sehat selalu,” kata Harita lembut. “Jika paman perlu sesuatu, pintu kami selalu terbuka untuk paman” lanjutnya.
Tuan Anwar mengangguk bahagia dan membiarkan mereka berlalu.
*****
Harita berjalan berdampingan dengan Guntur yang membawa kotak anggur yang diberikan oleh Tuan Anwar Imran. Dia melihat seorang pelayan perempuan yang berdiri tidak jauh dan segera melambaikan tangannya.“Teman sejati yang semakin langka,” kata Guntur kepada Harita tiba-tiba.“Tolong kamu letakkan ini di ruang kerja bapak,” pesan Harita kepada si pelayan yang menghampirinya.“Baik, bu” jawab si pelayan sambil menerima kotak itu dan bergegas pergi.“Kau benar,” Harita menanggapi ucapan suaminya. “Di dunia yang dangkal dan serba pamrih ini, jarang sekali kita bertemu orang yang tulus dan setia. Kau lihat wajahnya yang berseri, orang tua itu tampak benar-benar berbahagia untuk kita. Ketulusan yang mengingatkan aku pada ayahmu. Mereka agak mirip sebenarnya.”Guntur diam sejenak dan membandingkan Tuan Anwar dan ayahnya. “Benar juga!”“Coba lihat hadiah dari Pak Anwar ini,” lanjut Harita. “Dia sangat bijaksana meminta Qirani untuk memilih hadiah bagiku.” Harita membuka kembali kotak anting-a
Pukul 7.20 malam, setelah perayaan selesai, Guntur Gheni bersama Wignya Shuman dan Zethra Adyatman berkumpul di ruang kerjanya. Mereka hendak merencanakan tindak lanjut untuk membereskan perkara serikat pekerja yang telah dibahas sebelumnya.Wignya Shuman menuangkan Glenlivet 18 ke dalam tiga gelas kristal lalu menyajikannya kepada Guntur dan Zethra. Tak lama berselang, Kaindra Gheni masuk.“Sorry, aku masih agak lapar jadi aku mengambil ini dulu.” Ia menunjukkan piring berisi beragam eclairs. Guntur tak mengacuhkannya dan justru balik bertanya, “Kau sudah menemui mamamu?”“Ya, baru saja aku bertemu mama di dapur,” jawabnya ringan.“Baguslah!”Sejenak Guntur hendak menanyakan apakah Kaindra memberikan kado bagi Harita, tapi ia mengurungkan niatnya. Bila ternyata tidak, itu akan mempermalukan Kaindra dan dirinya di depan yang lain.Guntur menyalakan sebatang rokok dan menyandarkan punggung ke kursi. Setelah Kaindra duduk, ia segera memulai rapat.“Aku mau perkara ini selesai cepat dan
Di penghujung bulan Oktober, jalanan daerah Palong di ibu kota Muliapraja basah kuyup akibat hujan deras yang mengguyur. Hari Jumat malam itu, deras air hujan dan angin kencang bertubi-tubi menghantam atap dan jendela gedung, menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.Di sudut selatan perempatan besar tersebut, galeri seni Caravaggio Lombardi berdiri megah. Atapnya yang berbentuk kubah dan fasad kaca memantulkan semua cahaya yang menimpanya.Gedung pameran dan studio seni seluas seratus tiga puluh lima meter persegi itu memperlihatkan keanggunan dan kelembutan interior yang menenteramkan. Suara derasnya hujan diluar sana seolah sesuatu yang jauh dan sama sekali tidak mengganggu para pengunung.Warna dinding berwarna putih teduh berpadu lantai kayu coklat pekat. Lampu-lampu dalam galeri dirangkai secara estetis menerangi seisi ruangan dengan intensitas yang tepat agar masing-masing karya seni tampil optimal.Satu pasangan muda berdiri sambil berpegangan tangan dan berdiskusi di
Carlo sangat menyayangi karya-karya seni yang ada dalam galerinya. Sekalipun tidak semuanya adalah karya seni miliknya, ia tetap merawat mereka seperti anak-anaknya sendiri.Dari perbincangan dengan para pengunjung, Carlo dapat mengetahui apakah mereka seorang seniman, kolektor karya seni, atau pedagang yang bermaksud membajak para seniman yang karyanya dikelola oleh Carlo, atau bahkan sekedar orang picisan yang berkunjung ke galeri-galeri dan museum besar demi pencitraan di media sosial.Hanya bila Carlo merasa yakin, ia akan meminta mereka untuk bertukar kartu nama. Atau bahkan mungkin saja mengundang mereka dalam pameran-pameran di galerinya.Perhatiannya kini tertuju pada sekelompok anak muda yang berkerumun di salah satu mahakaryanya. Ia merasa perlu segera menghampiri mereka. Carlo selalu curiga pada pengunjung galeri seni yang berpenampilan serampangan lalu berlagak seakan mereka adalah karya seni yang hidup.Bagi Carlo, karya seni adalah sesuatu yang sakral dan galeri maupun m
Sebuah operasi rahasia penyergapan tiga kapal besar penangkap ikan yang menyelundupkan narkoba jenis sabu di Pelabuhan Perikanan Samudra Selatan telah menghebohkan seantero negeri. Sore harinya, sejumlah media massa nasional menyiarkan berita tentang bagaimana paket-paket narkoba seberat hampir dua ton yang telah dibungkus rapi dan disembunyikan di dalam perut-perut ikan besar dan dimuat di kapal. Keberhasilan dari kerjasama antara pihak Kepolisian Negara bersama Lembaga Negara Urusan Narkotika dan Angkatan Laut dalam operasi luar biasa itu juga menjadi tajuk utama pemberitaan. Berita terkait lainnya antara lain adalah tentang penahanan puluhan orang dari sebuah gudang bongkar muat dekat dermaga yang menjadi tempat penyimpanan dan pengemasan ikan-ikan berisi narkoba tersebut untuk kemudian diangkut dengan belasan truk menuju lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Dalam sebuah konferensi pers, Kepala Urusan Publikasi Kepolisian Negara membeberkan runtutan upaya pihak Kepolisian dalam me
Guntur Gheni cukup puas mengetahui keberhasilan penindakan yang dilakukan terhadap si komisaris, Suhanda Bong. Ia sepenuhnya mengerti bahwa sebagaimana kekuasaan bisa melenakan, kekuasaan bisa pula memampukan. Semua tergantung tujuannya.“Apa berita lainnya?” tanyanya.Wignya bersiap untuk menyampaikan hal berikutnya. Dengan sikap tenang ia menyampaikan Informasi tentang keterlibatan Kaindra dalam penyelundupan narkoba yang dibongkar oleh tim gabungan bersama Kepolisian Negara pagi hari tadi.“Ada rekaman komunikasi antara Kaindra dengan anggota sindikat narkotika internasional yang diterima Lembaga Negara Urusan Narkotika. Dari situ. Kita berusaha secepatnya untuk mendapatkan salinan percakapan itu.”Ada kecemasan nyata dalam nada bicara Wignya. Guntur memperhatikan Wignya dengan serius dari balik kepulan asap rokoknya.Wignya pun melanjutkan. “Dan salah seorang kapten kapal yang ditangkap, dia menyebut nama Kai. Juga, dua puluh delapan orang kita ditangkap di lokasi. Kebanyakan angg
Kurang dari satu jam, sebuah helikopter berwarna hitam mendarat di landasan pacu pribadi vila Gagak Barong. Baling-balingnya melambat hingga berhenti sepenuhnya. Dan keluarlah Magnus Kanigara, orang pertama yang tiba di pertemuan malam itu. Wignya Shuman, yang dikenal karena kesabaran sikapnya, sudah menunggu di aula depan yang megah bersama dua orang pengawal. Magnus menghampirinya dan keduanya lalu saling berpelukan layaknya saudara. Tapi seketika wajah Magnus berubah serius. “Apakah ini serumit yang kukira?” dia bertanya, suaranya nyaris berbisik. Wignya memberikan tepukan menenangkan di punggung Magnus. "Saya harap tidak. Tapi kita akan membicarakannya nanti, oke? Masuklah, kak Guntur menunggu di kantor. Aku masih menunggu yang lain.” "Oke, Gie," jawab Magnus. Ada kekhawatiran yang tak terucap di suaranya. Beberapa menit kemudian, Wignya, yang berdiri di dekat jendela besar, melihat sebuah mobil sedan BMW 740Li biru metalik memasuki gerbang. Eksteriornya yang halus berkilau di
Magnus Kanigara membasahi tenggorokannya dengan seteguk anggur dari gelasnya. Ia kemudian meletakkannya kembali ke meja dan angkat bicara.“Kita sudah saling mengenal sejak lama, bahkan sebelum kesepakatan itu dibuat. Tak satu pun dari kami yang luput dari kebaikan-kebaikanmu. Dan terlepas dari segala konflik yang ada sejauh ini, kita bersama telah menjalani tiga tahun terakhir ini dengan sangat baik.”Wignya Shuman mengangguk pelan, mengamini apa yang dikatakan Magnus.“Apa yang terjadi pada Kai atau siapapun diantara kita, tak ada bedanya. Tak perlu saling menyalahkan. Seperti pepatah kuno bilang, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin.” lanjut Magnus.Guntur menatap Magnus dengan serius. Namun tatapannya lebih menyerupai seekor alap-alap yang sedang mempelajari titik lemah dari calon korbannya.Magnus menoleh kepada Wignya. “Gie, kau keberatan kalau aku..?” “Tidak! Tentu tidak, silahkan,” sahut Wignya spontan.Magnus mengangguk. ”Okay, jadi dari apa yang aku
Ketika semua sudah berjalan keluar dan pintu kantornya ditutup, Guntur kembali duduk di kursi meja kerjanya.Di pelataran depan, Yudanta berpamitan dengan Wignya.“Kau kirimkan enam dus Glenlivet 18 besok. Aku kirimkan uangnya nanti,” ujar Wignya. Yudanta menanggapi dengan memberi Wignya salam hormat sebelum kemudian menutup pintu mobilnya dan melaju pergi.Tanpa disadari oleh Yudanta, Wignya telah memerintahkan salah seorang pengawal untuk memasang alat pelacak lokasi di mobilnya. Dari isyarat tubuhnya, Guntur telah menetapkan Yudanta sebagai target pengintaian.Wignya kemudian berpaling pada Magnus yang masih terlihat sibuk dengan ponselnya.“Kau akan pulang sekarang atau…?” tanya Wignya.“Ah iya, aku akan pulang sekarang dan mencoba beristirahat. Jika ada berita baru…”“Ya, aku tahu! Terima kasih,” sela Wignya sebelum Magnus sempat menyelasaikan kalimatnya.“Okay.. Masuklah, tak perlu mengantarku” sahut Magnus melambaikan tangan melewati Wignya. Ia berjalan ke kart golf yang baru s
Magnus Kanigara membasahi tenggorokannya dengan seteguk anggur dari gelasnya. Ia kemudian meletakkannya kembali ke meja dan angkat bicara.“Kita sudah saling mengenal sejak lama, bahkan sebelum kesepakatan itu dibuat. Tak satu pun dari kami yang luput dari kebaikan-kebaikanmu. Dan terlepas dari segala konflik yang ada sejauh ini, kita bersama telah menjalani tiga tahun terakhir ini dengan sangat baik.”Wignya Shuman mengangguk pelan, mengamini apa yang dikatakan Magnus.“Apa yang terjadi pada Kai atau siapapun diantara kita, tak ada bedanya. Tak perlu saling menyalahkan. Seperti pepatah kuno bilang, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin.” lanjut Magnus.Guntur menatap Magnus dengan serius. Namun tatapannya lebih menyerupai seekor alap-alap yang sedang mempelajari titik lemah dari calon korbannya.Magnus menoleh kepada Wignya. “Gie, kau keberatan kalau aku..?” “Tidak! Tentu tidak, silahkan,” sahut Wignya spontan.Magnus mengangguk. ”Okay, jadi dari apa yang aku
Kurang dari satu jam, sebuah helikopter berwarna hitam mendarat di landasan pacu pribadi vila Gagak Barong. Baling-balingnya melambat hingga berhenti sepenuhnya. Dan keluarlah Magnus Kanigara, orang pertama yang tiba di pertemuan malam itu. Wignya Shuman, yang dikenal karena kesabaran sikapnya, sudah menunggu di aula depan yang megah bersama dua orang pengawal. Magnus menghampirinya dan keduanya lalu saling berpelukan layaknya saudara. Tapi seketika wajah Magnus berubah serius. “Apakah ini serumit yang kukira?” dia bertanya, suaranya nyaris berbisik. Wignya memberikan tepukan menenangkan di punggung Magnus. "Saya harap tidak. Tapi kita akan membicarakannya nanti, oke? Masuklah, kak Guntur menunggu di kantor. Aku masih menunggu yang lain.” "Oke, Gie," jawab Magnus. Ada kekhawatiran yang tak terucap di suaranya. Beberapa menit kemudian, Wignya, yang berdiri di dekat jendela besar, melihat sebuah mobil sedan BMW 740Li biru metalik memasuki gerbang. Eksteriornya yang halus berkilau di
Guntur Gheni cukup puas mengetahui keberhasilan penindakan yang dilakukan terhadap si komisaris, Suhanda Bong. Ia sepenuhnya mengerti bahwa sebagaimana kekuasaan bisa melenakan, kekuasaan bisa pula memampukan. Semua tergantung tujuannya.“Apa berita lainnya?” tanyanya.Wignya bersiap untuk menyampaikan hal berikutnya. Dengan sikap tenang ia menyampaikan Informasi tentang keterlibatan Kaindra dalam penyelundupan narkoba yang dibongkar oleh tim gabungan bersama Kepolisian Negara pagi hari tadi.“Ada rekaman komunikasi antara Kaindra dengan anggota sindikat narkotika internasional yang diterima Lembaga Negara Urusan Narkotika. Dari situ. Kita berusaha secepatnya untuk mendapatkan salinan percakapan itu.”Ada kecemasan nyata dalam nada bicara Wignya. Guntur memperhatikan Wignya dengan serius dari balik kepulan asap rokoknya.Wignya pun melanjutkan. “Dan salah seorang kapten kapal yang ditangkap, dia menyebut nama Kai. Juga, dua puluh delapan orang kita ditangkap di lokasi. Kebanyakan angg
Sebuah operasi rahasia penyergapan tiga kapal besar penangkap ikan yang menyelundupkan narkoba jenis sabu di Pelabuhan Perikanan Samudra Selatan telah menghebohkan seantero negeri. Sore harinya, sejumlah media massa nasional menyiarkan berita tentang bagaimana paket-paket narkoba seberat hampir dua ton yang telah dibungkus rapi dan disembunyikan di dalam perut-perut ikan besar dan dimuat di kapal. Keberhasilan dari kerjasama antara pihak Kepolisian Negara bersama Lembaga Negara Urusan Narkotika dan Angkatan Laut dalam operasi luar biasa itu juga menjadi tajuk utama pemberitaan. Berita terkait lainnya antara lain adalah tentang penahanan puluhan orang dari sebuah gudang bongkar muat dekat dermaga yang menjadi tempat penyimpanan dan pengemasan ikan-ikan berisi narkoba tersebut untuk kemudian diangkut dengan belasan truk menuju lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Dalam sebuah konferensi pers, Kepala Urusan Publikasi Kepolisian Negara membeberkan runtutan upaya pihak Kepolisian dalam me
Carlo sangat menyayangi karya-karya seni yang ada dalam galerinya. Sekalipun tidak semuanya adalah karya seni miliknya, ia tetap merawat mereka seperti anak-anaknya sendiri.Dari perbincangan dengan para pengunjung, Carlo dapat mengetahui apakah mereka seorang seniman, kolektor karya seni, atau pedagang yang bermaksud membajak para seniman yang karyanya dikelola oleh Carlo, atau bahkan sekedar orang picisan yang berkunjung ke galeri-galeri dan museum besar demi pencitraan di media sosial.Hanya bila Carlo merasa yakin, ia akan meminta mereka untuk bertukar kartu nama. Atau bahkan mungkin saja mengundang mereka dalam pameran-pameran di galerinya.Perhatiannya kini tertuju pada sekelompok anak muda yang berkerumun di salah satu mahakaryanya. Ia merasa perlu segera menghampiri mereka. Carlo selalu curiga pada pengunjung galeri seni yang berpenampilan serampangan lalu berlagak seakan mereka adalah karya seni yang hidup.Bagi Carlo, karya seni adalah sesuatu yang sakral dan galeri maupun m
Di penghujung bulan Oktober, jalanan daerah Palong di ibu kota Muliapraja basah kuyup akibat hujan deras yang mengguyur. Hari Jumat malam itu, deras air hujan dan angin kencang bertubi-tubi menghantam atap dan jendela gedung, menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.Di sudut selatan perempatan besar tersebut, galeri seni Caravaggio Lombardi berdiri megah. Atapnya yang berbentuk kubah dan fasad kaca memantulkan semua cahaya yang menimpanya.Gedung pameran dan studio seni seluas seratus tiga puluh lima meter persegi itu memperlihatkan keanggunan dan kelembutan interior yang menenteramkan. Suara derasnya hujan diluar sana seolah sesuatu yang jauh dan sama sekali tidak mengganggu para pengunung.Warna dinding berwarna putih teduh berpadu lantai kayu coklat pekat. Lampu-lampu dalam galeri dirangkai secara estetis menerangi seisi ruangan dengan intensitas yang tepat agar masing-masing karya seni tampil optimal.Satu pasangan muda berdiri sambil berpegangan tangan dan berdiskusi di
Pukul 7.20 malam, setelah perayaan selesai, Guntur Gheni bersama Wignya Shuman dan Zethra Adyatman berkumpul di ruang kerjanya. Mereka hendak merencanakan tindak lanjut untuk membereskan perkara serikat pekerja yang telah dibahas sebelumnya.Wignya Shuman menuangkan Glenlivet 18 ke dalam tiga gelas kristal lalu menyajikannya kepada Guntur dan Zethra. Tak lama berselang, Kaindra Gheni masuk.“Sorry, aku masih agak lapar jadi aku mengambil ini dulu.” Ia menunjukkan piring berisi beragam eclairs. Guntur tak mengacuhkannya dan justru balik bertanya, “Kau sudah menemui mamamu?”“Ya, baru saja aku bertemu mama di dapur,” jawabnya ringan.“Baguslah!”Sejenak Guntur hendak menanyakan apakah Kaindra memberikan kado bagi Harita, tapi ia mengurungkan niatnya. Bila ternyata tidak, itu akan mempermalukan Kaindra dan dirinya di depan yang lain.Guntur menyalakan sebatang rokok dan menyandarkan punggung ke kursi. Setelah Kaindra duduk, ia segera memulai rapat.“Aku mau perkara ini selesai cepat dan
Harita berjalan berdampingan dengan Guntur yang membawa kotak anggur yang diberikan oleh Tuan Anwar Imran. Dia melihat seorang pelayan perempuan yang berdiri tidak jauh dan segera melambaikan tangannya.“Teman sejati yang semakin langka,” kata Guntur kepada Harita tiba-tiba.“Tolong kamu letakkan ini di ruang kerja bapak,” pesan Harita kepada si pelayan yang menghampirinya.“Baik, bu” jawab si pelayan sambil menerima kotak itu dan bergegas pergi.“Kau benar,” Harita menanggapi ucapan suaminya. “Di dunia yang dangkal dan serba pamrih ini, jarang sekali kita bertemu orang yang tulus dan setia. Kau lihat wajahnya yang berseri, orang tua itu tampak benar-benar berbahagia untuk kita. Ketulusan yang mengingatkan aku pada ayahmu. Mereka agak mirip sebenarnya.”Guntur diam sejenak dan membandingkan Tuan Anwar dan ayahnya. “Benar juga!”“Coba lihat hadiah dari Pak Anwar ini,” lanjut Harita. “Dia sangat bijaksana meminta Qirani untuk memilih hadiah bagiku.” Harita membuka kembali kotak anting-a