Hingga tiba saat aku sudah ditingkat akhir sekolah (Kelas 3 SMP), aku harus menerima kenyataan yang sangat pahit. Ayah yang sangat aku sayangi, satu-satunya keluarga yang aku punya harus pergi meninggalkan aku selamanya.
Meninggalkan aku sendirian di dunia yang kejam ini. Aku sangat terpukul atas kepergian ayah, bagaimana bisa dia meninggalkan aku sebatang kara. Walaupun ada saudara yang lain, mereka seakan-akan tidak memiliki keluarga seperti kami.
Mungkin karena ayah tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada mereka. Pada awalnya aku berpikir ayah jahat, dia pergi tanpa meninggalkan pesan apapun kepadaku. Aku sangat kecewa dengan keadaanku saat itu.
Terkadang aku menyalahkan dan marah sama Tuhan kenapa hidupku sesulit ini. Tapi seiring berjalannya waktu, akhirnya aku bisa menerima kenyataan bahwa kita tidak akan pernah bisa menahan seseorang bila Tuhan sudah berkehadak lain.
Setelah kepergian ayah, aku tinggal dirumah saudaraku (Paman). Tapi setelah beberapa bulan, mungkin hampir tiga bulan aku tinggal di rumah itu. Saat aku pulang dari sekolah Paman memanggilku katanya ada yang mau dia sampaikan.
Aku menghampiri Paman di ruang tengah. Setelah aku sudah duduk, aku melihat Paman dengan posisi kepala tertunduk hingga aku memanggilnya tapi Paman masih tetap dengan posisinya.
“Fira, Paman minta maaf. Sebenarnya Paman tidak mau mengatakan ini. Tapi kamu juga tahu betul kalau kondisi Paman sekarang dalam kesulitan. Bukannya Paman tidak mau kamu tinggal di sini. Kamu bisa lihat dengan langsung kalau rumah Paman ini sangat kecil. Anak-anak Paman aja belum bisa kami urus dengan benar, ditambah merawatmu juga. Paman sangat minta maaf Fira...”
Aku tahu maksud dari perkataan paman dan dari jauh-jauh hari hal ini sudah aku prediksi akan terjadi. Aku tidak kaget lagi saat paman berkata seperti itu. Aku juga tidak bisa berharap banyak karena apa yang dikatakan Paman itu adalah benar.
Aku sudah sangat bersyukur beberapa bulan ini Paman mengizinkan aku tinggal bersama mereka. Aku malah yang merasa tidak nyaman telah membebani mereka. “Aku mengerti Paman. Terima kasih sudah mengizinkan aku beberapa bulan tinggal di sini.
Maaf juga sudah membebani Paman dan Bibi selama Fira tinggal di sini." Setelah aku selesai mengobrol dengan Paman, aku langsung mengemasih barang-barangku. Hanya butuh beberapa menit aku sudah selesai mengepak semua barangku yang tidak banyak. Hanya satu koper berukuran sedang dan tas ransel sekolahku saja. Kemudian aku keluar dari kamar yang biasa aku tempati dengan membawa barang-barangku keluar.
Ya, saat itu juga aku memutuskan akan keluar dari rumah itu. Aku tidak mau nanti dibilang jadi benalu di dalam keluarga itu. Sebenarnya, dari awal hanya Paman yang bersedia mengizinkan aku tinggal di rumah mereka.
Terkadang aku mendengar Bibi dan Paman berantam adu mulut karena aku masih tinggal bersama mereka dan aku pura-pura tidak tahu kalau mereka habis berantam.
Aku tahu Paman dan Bibi masih membiayai 3 orang anak mereka. Anak paling sulung kelas dua SMP dibawahku satu tahun, anak ke dua kelas enam SD yang sebentar lagi akan lulus dan akan masuk Sekolah Menengah Pertama, dan anak terakhir masih kelas tiga SD. Aku tahu semuanya membutuhkan biaya sekolah.
“Kalau kamu tidak ada tempat untuk tinggal, cobalah cari tahu fasilitas yang bisa menampung dan merawatmu” saran Paman. Aku tahu maksud Paman adalah Panti Asuhan dimana tempat tinggal anak-anak yang dibuang dan anak-anak yang tidak diharapkan oleh orangtua mereka tinggal.
Aku hanya diam mendengarkan saran dari Paman. Saat itu aku tidak bisa memikirkan apapun. Aku bingung pergi ke mana dan menemui siapa. Aku seperti kapal tanpa nakhoda yang diombang-ambingkan gelombang lautan yang tidak menentu arah dan dan tujuannya.
“Paman sudah mencoba mencari dan menghubungi ibumu, tapi sampai sekarang belum tahu di mana keberadaannya. Terakhir kali Paman mendengar informasi kalau ibumu sudah menikah dengan keluarga yang cukup berada. Mungkin dia tahu kondisimu saat ini, tapi untuk membawamu ke dalam keluarganya yang sekarang membuatnya berpikir lagi. Bisa jadi kehadiranmu di sana akan menimbulkan masalah baginya. Akan lebih baik kamu mencari Panti Asuhan saja."Mendengar perkataan Paman tadi, dadaku terasa tertimpa ribuan ton besi yang membuat aku sesak dan susah bernapas. Tanpa kusadari kedua tanganku mengepal hingga bergetar. “Apakah ibuku benar seperti yang dikatakan Paman?” pertanyaan itu yang terbersit dipikiranku. Tapi aku tidak heran lagi karena sewaktu aku bayi saja ibuku sudah tega meninggalkan aku.Apalagi sekarang tidak mungkin dia memikirkan aku. Jika dia memang ibu yang bertanggungjawab pasti jauh-jauh hari dia sudah mencariku. Aku yakin dia sudah hi
Tujuh Tahun Kemudian...Suatu hari aku pulang kerja, sampai di rumah sudah mangrib. Aku membuka pintu rumah dan berjalan menuju ruang tamu. Kamarku ada di lantai dua dan harus melewati ruang tamu tersebut. Samar-samar aku mendengar ada orang lagi mengobrol. Ternyata di ruang tamu itu sudah berkumpul Ayah tiriku, Ibu, saudaralaki-laki tiriku dan istrinya.“Aku pulang…” sapaku sambil berjalan menuju tangga ke lantai dua. Aku ingin cepat-cepat sampai di kamar tidurku. Karena aku tidak mau mendengar ocehan apa lagi yang akan aku dengarkan kali ini.“Ya ampun… adik ipar ternyata baru pulang?” tanya Renata.Dia kakak iparku, istri dari saudara laki-laki tiriku, Dino. Salah satu orang yang paling tidak ingin aku dengar suaranya adalah kakak iparku itu. Semenjak dia tahu aku bukan anak kandung dari ayah tiriku, dia selalu mencoba mencari kekuranganku dan berusaha menjatuhkan dan mejelek-jelekkan diriku di dalam keluarga
“Benar ayah, jika perjodohan itu berjalan dengan lancar sangat baik buat posisiku dan juga buat perusahaan kita” kata Doni menimpali.Melihat semua orang yang ada di ruangan itu setuju aku menerima perjodohan itu, ibu merasa tidak enak. Ditambah lagi aku hanya diam berdiri dan tidak memberikan respon apa-apa. Ibuku datang menghampiriku dan mecoba meraih tanganku. Aku tahu dia berusaha menenangkan hatiku. Hidupku benar-benar diatur di rumah ini. Tidak bisa melakukan sesuatu sesuai dengan keinginanku.“Maaf… tapi aku tidak tertarik dengan perjodohan. Aku Lelah, aku izin ke kamarku dulu” kataku sambil meninggalkan mereka di ruang tamu tadi.Aku lelah dengan semua ini, aku ingin istirahat. Saat aku menaiki tangga menuju ke lantai dua di mana kamar tidurku berada, aku masih mendengar kakak iparku memanggil. Tapi aku tidak menggubris sedikitpun. Aku sudah muak dengan segala peraturan yang harus aku turuti di rumah ini. Jika mereka mengus
Hatiku semakin menjerit. Aku merasa terpojok seakan-akan ini semua adalah kesalahanku. Ibuku sepertinya tidak bisa memahami perasaanku selama tinggal bersamanya di dalam rumah ini.Atau memang ibuku pura-pura tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini. Selama tinggal di rumah ini aku sekalipun tidak pernah membantah mereka. Apa yang mereka rencanakan dan lakukan terhadap hidupku aku selalu menurut.“Ya ampuuun, tensi ayah mertua tidak sampai naikkan? Kasihan ayah mertua. Padahal ayah mertua sudah stress memikirkan perkerjaannya di kantor juga. Dan masalah keluarga ini juga tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.Tapi kalau adik ipar tidak mau, ya mau gimana lagi. Palingan harga diri suamiku yang akan tercoreng dia hadapan rekan bisnisnya. Tapi daripada itu, aku lebih khawatir dengan perasaan ayah mertua” kata Renata yang ingin membuat perasaan ibu menjadi tidak enak. Dia berusaha memanas-manasin hati ibu.“Masa sih dia semarah itu? Ka
Sementara di ruang keluarga rumah utama keluarga Adiwijaya, nyonya besar sedang memarahi anak bungsu keluarga itu. Dia khawatir anak bungsunya itu tidak ada niat untuk menikah apadahal umurnya sudah cukup matang untung berkeluarga.Bahkan keluarga itu sempat curiga kalau anaknya itu ada kelainanan, yaitu menyukai sesama jenis karena selama ini tidak pernah memperkenalkan teman wanitanya sekalipun.Keluarga Adiwijaya mempunya dua anak laki-laki, yang sulung Arlen Adiwijaya dan Daren Adiwijaya. Anak sulung mereka sudah menikah dan dari perikahan anak sulungnya itu mereka mempunyai cucu perempuan yang masih balita berumur satu setengah tahun.Keluarga Adiwijaya adalah salah satu keluarga yang mempunyai perusahaan besar yang sangat berpengaruh di Jakarta dan bahkan sudah membuka cabang di beberapa kota lain sampai ke luar negeri.”Daren, kamu sebenarnya dengar nggak sih mama lagi bicara? Umur papa sama mama kamu ini sudah nggak muda lagi, sudah ma
Mendengar ocehan mamanya, Daren sadar kalau kali ini dia tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya dia melihat satu per satu foto para gadis yang ada di hadapannya itu. Dan setelah dia melihat beberapa gadis itu, mamanya bertanya apakah ada kira-kira yang dia suka. “Bagaimana Daren, apakah ada yang cocok kamu lihat?” “Hhmm, kalau dilihat dari foto semuanya terlihat sopan, cantik dan baik. Semuanya terlihat sama karena mereka berfoto dengan tersenyum. Kenapa wajah yang tersenyum bisa membuat terlihat baik ya?” tanya Daren sambil tersenyum kepada mamanya. Mamanya juga bingung dengan pertanyaan anak bungsunya itu. “Sejak kapan ada orang berfoto dengan wajah menangis? Ada-ada aja pertanyaanmu yang tidak masuk akal. Kamu jangan banyak tanya, sekarang kamu lihat mana kira-kira yang akan kamu ajak kencan. Katanya, semua yang dicalonkan ini adalah dari keluarga baik-baik.” Tiba-tiba Daren melihat satu foto wanita yang posenya menunjukkan wajah datar tanpa be
Keesok harinya di kantor Daren“Aaaah… baiklah. Kalau begitu akan saya lanjutkan sesuai dengan kesepakatan awal” kata Siska sambil menerima berkas yang sudah ditanda tangani Daren tadi.Dia merasa kesal kepada Daren karena menurutnya laki-laki itu terlalu keras terhadapnya padahal mereka adalah teman. Setelah dia memeriksa berkas yang tadi untung memastikan tidak ada yang kurang. Siska mengajak Daren makan siang tetapi sepertinya Daren tidak bisa.“Hari ini aku tidak bisa pergi makan bareng dengan mu” kata Daren kepada Siska. Daren yang melihat tidak ada pergerakan dari Siska bertanya lagi.“Kenapa? Kamu masih ada urusan? Hari ini aku ada janji pertemuan dengan seseorang, jadi lain kali saja kita pergi makannya."Daren menjelaskan sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 13:45 WIB. Dia teringat dengan pesan dari mamanya kalau pihak dari wanita itu sudah mereservasi salah satu restoran dekat kantor
Daren yang merasa proyek pembangunan itu adalah tanggungjawabnya dari awal, mau tidak mau dia harus turun tangan langsung untuk memastikan kondisi di lapangan secara langsung bagaimana. “Ada-ada saja” kata Daren. Dia langsung menelepon mamanya memberitahukan kalau dia hari ini tidak bisa menjumpai wanita yang akan dijodohkan dengannya itu. Dia berusaha menjelaskan sama mamanya kalau dia kali ini tidak berbohong mencari alasan untuk menghidar pertemuan dengan wanita yang dijodohkan itu. Benar kalau memang saat ini dia ada urusan mendesak. Dia juga meminta mamanya untuk menyampaikan permintaan maafnya kalau dia merasa bersalah tidak bisa menepati janji pertemuan hari ini. “Ma, Daren minta tolong mama sampaikan permintaan maaf Daren. Aku tidak bisa menepati janji pertemuan hari ini dan dia boleh pulang. Kalau tidak mama kirimkan aku nomornya biar Daren yang menghubungi langsung” kata Daren memohon kepada mamanya. “Daren, kamu benar-benar tidak pu