Share

You're Not Ready

"Kayaknya nggak segitu deh ukurannya," protes Valen saat melihat Teddy menuang satu gelas susu cair ke dalam mangkuk.

Saat ini mereka sedang di apartemen Valen dan berencana untuk menonton film bersama disana, dan mereka memutuskan untuk membuat semua makanan nya sendiri.

Semenjak hari itu, Valen dan Teddy memang jadi lebih sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Tidak di depan umum, tentu saja. Walaupun sudah beberapa kali Teddy ingin mengajak Valen pergi ke suatu tempat, tapi Valen selalu menolak.

Teddy mengelap dahinya yang berkeringat dengan tangan yang berlumuran tepung sambil mengerenyitkan dahi, "Kayaknya lebih baik kita beli aja nggak sih?" Tanya Teddy dengan nada lelah, Valen menggeleng tidak setuju.

"Udah setengah jalan, sayang bahannya." Tolak Valen sambil mengambil alih adonan cookies yang tadi dibuat oleh Teddy, "Dan siapa yang punya ide susu cair buat adonan cookies? Kan harusnya susu bubuk."

"Di resep nya cuma ditulis susu doang, ya aku beli susu cair aja. Kan juga sama-sama susu, Len." Teddy mencoba membela diri, Valen memandanginya dengan tatapan sebal.

"Tapi teksturnya nanti beda, Mas." Sahut Valen sambil berusaha menambahkan tepung terigu agar teksturnya tidak terlalu cair. Teddy memeriksa handphone dan kembali mengerenyitkan dahi karena bingung.

"Di resep yang di internet malah nggak ada yang pake susu," ucap Teddy sambil membaca resep di handphone nya.

"Ini resep original dari mamaku, dulu waktu aku masih kecil aku sering bikin ini sama dia. Kamu pasti suka deh," sahut Valen sambil tersenyum karena teringat kenangan bersama sang ibu saat dia masih kecil, Teddy tertawa kecil dan mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah.

"Yasudah, aku serahin ke kamu aja masalah cookies nya. Aku bikin popcorn aja ya," ujar Teddy sambil menyiapkan peralatan untuk membuat Popcorn, "Sekarang mama kamu tinggal dimana?" Tanya Teddy kemudian, senyum Valen memudar segera setelah Teddy menanyakan pertanyaan itu.

"Sudah meninggal," jawab Valen singkat dengan nada pelan, Teddy menoleh ke arah Valen dengan tatapan meminta maaf. "Nggak apa-apa, santai aja." Ucap Valen kemudian sambil tertawa kecil.

"Maaf ya, Len. Aku nggak tahu," ucap Teddy, Valen hanya mengangguk sambil mencetak cookies-cookies tersebut ke loyang. "Kalo ayah kamu?" Tanya Teddy lagi, Valen tertawa kecil

"Ikut mama aku," jawab Valen masih sambil tertawa kecil, Teddy memandanginya dengan tatapan serius dan itu membuat Valen berhenti tertawa dan mengalihkan perhatiannya ke cookies-cookies di hadapannya. "Aku nggak apa-apa kok, beneran."

"Ada pepatah 'It's okay to not be okay', jadi kalo emang ngerasa nggak baik, itu nggak apa-apa." Ujar Teddy sambil menutup panci yang berisikan popcorn yang menunggu untuk meletup. "Cerita sama aku,"

"Nggak ada yang perlu diceritain, udah lama juga kejadiannya. Dan aku nggak apa-apa sekarang," sahut Valen berusaha menyakinkan Teddy agar tidak khawatir dengannya. Belum sempat Teddy menanggapi perkataan Valen, Valen langsung memotongnya. "Jangan ngomongin yang sedih-sedih lah, kamu janji mau happy-happy aja hari ini."

Teddy hanya menghela nafas dan mengambil mangkuk besar untuk menuangkan popcorn yang sedari tadi sudah meletup-letup. Ia lalu membawa mangkuk tersebut ke depan meja TV, sedangkan Valen memasukkan cookies-cookies buatannya ke dalam oven.

"Tinggal nunggu 45 menit lagi, enaknya ngapain??" Tanya Valen sambil membersihkan sisa-sisa tepung dari pakaian, Teddy yang sedari tadi sudah duduk di depan TV sedang mencari-cari film yang mungkin seru untuk ditonton.

"Kita nonton film dulu aja ya sambil nunggu cookies nya mateng," sahut Teddy, Valen mengangguk dan memutuskan untuk mengganti baju terlebih dahulu karena bajunya sudah banyak terkena adonan cookies.

Setelah ia mengganti baju, ia pun duduk di samping Teddy sambil menaruh beberapa makanan ringan dan minuman kaleng. Teddy mengerenyitkan dahinya memandang banyaknya makanan ringan di hadapannya.

"Ngapain kita bikin cookies kalo gitu??" Tanya Teddy dengan heran, Valen diam sejenak sambil tersenyum simpul.

"Aku mau kasih kamu kerjaan aja tadi, tapi ujung-ujungnya aku juga yang nyelesain." Jawab Valen, kali ini senyumannya berubah menjadi ekspresi kesal. Teddy hanya tertawa mendengarnya.

"Jangan jahat makanya, karma itu ada." Sahut Teddy sambil tertawa, Valen hanya tersenyum tipis. "Mau nonton film apa?" Tanya Teddy, Valen berpikir sejenak.

"Lagi mau nonton film drama," jawab Valen, Teddy mencari di list film drama dan menyuruh Valen untuk memilih apa yang ia ingin tonton. "Nah itu aja itu..." Ucap Valen kemudian sambil menunjuk ke film drama klasik "The Notebook". Ia sudah menontonnya beberapa kali tapi ia tidak pernah bosan.

"Film lama banget loh ini, belum pernah nonton?" Tanya Teddy sambil memencet 'Play'.

"Udah pernah tapi aku mau rewatch lagi soalnya dulu nggak begitu fokus nontonnya," jawab Valen, "Kamu udah nonton?"

"Siapa yang nggak pernah nonton film ini?? Tapi nggak apa-apa kalo kamu mau nonton film ini," sahut Teddy, merekapun menyandarkan punggung mereka di sofa dan mulai fokus menonton film tersebut.

Beberapa kali mereka mengomentari beberapa bagian di film tersebut dan menertawakan hal-hal yang lucu dari film tersebut. Beberapa menit berlalu dan Valen memutuskan untuk menyandarkan kepalanya ke bahu Teddy, Teddy sempat tersentak sebentar tapi memutuskan untuk membiarkan Valen bersandar kepadanya.

Noah : What do you want?

Allie : I want a white house with blue shutters and a room overlooking the river so I can paint.

Noah : Anything else??

Allie : Yes! I want a big ole porch wrapped around the whole house. We can drink tea and watch the sun goes down.

Noah : Ok.

Allie : You promise?

Noah : Promise.

"Awwhh..." Valen terenyuh dengan dialog tersebut dan matanya berkaca-kaca, apalagi saat ia melihat ekspresi dari Noah yang menatap mata Ellie dengan dalam.

"Kenapa kamu?" Tanya Teddy dengan heran, Valen menatap Teddy sambil tersenyum tipis.

"Romantis nggak sih??" Sahut Valen sambil menatap Teddy sebentar, Teddy menggeleng dan itu membuat Valen memutar bola matanya. "Boys..."

"Loh?? Kan dia cuma bilang mau apa doang," ucap Teddy dengan heran.

"Ya tapi cara bilang mau apa nya itu yang bikin romantis, diturutin lagi." Sahut Valen sambil kembali menyandar ke bahu Teddy.

"Kayaknya semua cowok kalo suka sama cewek juga bakal nurutin kemauan ceweknya deh," ucap Teddy, Valen mengerenyitkan dahi.

"Kamu juga gitu?" Tanya Valen kemudian, Teddy diam sejenak.

"Kamu mau apa?" Teddy balik bertanya, Valen terdiam sambil mengamati film yang masih diputar sebelum dia sadar dengan pertanyaan Teddy. Valen lalu mengangkat kepalanya dari bahu Teddy dan memandanginya dengan heran.

"Apa artinya itu?" Valen memandangi Teddy dengan pandangan curiga sementara Teddy hanya berusaha menahan senyumnya. "Emang kamu beneran mau turutin apa aja kemauan aku?" Valen mencoba menantang Teddy, Teddy kemudian mengangguk.

"Kalo aku bisa bakal aku turutin," jawab Teddy dengan tegas, Valen menegakkan duduknya dan mengambil remote untuk menghentikan film yang sedang diputar.

"Oke..." Valen lalu mengatur duduknya agar memandang ke arah Teddy, Teddy pun juga melakukan hal yang sama sehingga mereka kali ini bertatapan. "Aku nggak yakin sih kamu bisa turutin,"

"Coba aja," sahut Teddy dengan nada menantang dan itu membuat Valen menjadi lebih berani untuk menyampaikan keinginan nya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Valen, Teddy memandanginya dengan heran. "Dengan kamu dan masa lalu kamu," tambah Valen.

Teddy yang tadinya tersenyum langsung terdiam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, Valen merasa tidak enak dengan pertanyaan nya. Mungkin belum saatnya ia menanyakan itu, tapi Valen selalu memikirkan itu tiap malam. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Teddy dan mantan istrinya?

"Maaf, kelewat batas ya." Sahut Valen lagi dengan nada bersalah, "Kamu nggak harus jawab kok, aku juga cuma bercanda."

Melihat Teddy hanya diam sambil memandangi TV yang saat ini tidak memutar apapun, Valen menghela nafas dan mengambil remote untuk kembali memutar film yang tadi mereka tonton. Tapi kemudian Teddy menahan tangan Valen, dan itu membuat Valen kembali terfokus pada Teddy.

"Dua tahun yang lalu," ucap Teddy dengan pelan, "Hal itu terjadi.."

(Flashback starts)

Teddy menarik kopernya melintasi lantai bandara internasional Soekarno-Hatta sepulang dari tugasnya di Amerika Serikat. Ia berjalan dengan cepat berharap ia bisa sampai tepat waktu dan segera bertemu istrinya.

Karina, istri yang dicintainya. Wanita yang ia pilih untuk mendampinginya dalam suka dan duka.

Tapi belakangan ini, hubungan mereka tak se harmonis dulu. Semenjak Teddy ditugaskan ke Amerika, hubungan rumah tangganya pun semakin renggang. Mungkin karena jarak menjadi penghalang sehingga komunikasi pun tak berjalan lancar, itu semua membuat rumah tangganya yang tadinya baik-baik saja menjadi berantakan.

Sudah dua Minggu sejak terakhir kali Karina membalas pesan W******p nya, dan semenjak itu tak ada lagi kabar darinya. Teddy sudah menanyakan tentang kemana Karina pergi kepada orang tuanya, dan juga kepada orang tua Karina, tapi jawaban mereka sama. Teddy akan tahu saat dia pulang.

Itulah sebabnya saat ini Teddy melangkah dengan cepat agar ia bisa segera pulang dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

**

Teddy akhirnya sampai di depan pintu rumahnya, di luar rumah sudah terparkir mobil dari orang tuanya beserta juga orang tua Karina. Teddy tiba-tiba merasa gugup dengan apa yang akan terjadi.

Ia melangkah memasuki rumah tersebut dan langsung mendapati Karina, orang tuanya, beserta orang tua Karina sedang duduk di ruang tamu. Terlihat wajah Karina yang tampak habis menangis karena kedua matanya terlihat sangat sembab. Ingin rasanya Teddy berlari ke arahnya dan memeluknya, berkata padanya bahwa ia sudah pulang dan tidak ada yang harus dikhawatirkan.

"Assalamualaikum," sapa Teddy saat ia memasuki rumah, semua orang langsung melihat ke arah Teddy.

Ibunda Teddy langsung berdiri dan memeluk Teddy dengan erat, "Waalaikumsalam, nak. Apa kabar kamu? Sehat-sehat ya?" Sambut Ibu nya dengan mata berkaca-kaca.

"Alhamdulillah sehat Bu, Ibu sendiri sama Bapak sehat?" Teddy balik bertanya kepada Ibunya, tapi tatapan matanya tetap memandang ke arah Karina yang kali ini sedang duduk dan enggak menatap Teddy.

"Sehat nak, Alhamdulillah." Jawab sang Ibu, melihat anaknya yang terus menatap Karina, Ibunya pun memberikan jalan bagi Teddy untuk lewat dan menghampiri Karina.

"Rin," panggil Teddy, Karina menatapnya dan berdiri menghampiri Teddy. Ia lalu mencium tangan Teddy, tapi saat Teddy mau memeluknya ia menghindar.

"Kita harus bicara mas," ujar Karina kemudian dengan nada lirih, Teddy memandanginya dengan heran. Ia lalu meletakkan kopernya di lantai dan duduk di sebelah Ibunya, karena Karina kini duduk dengan diapit oleh kedua orang tuanya.

"Ada apa?" Tanya Teddy dengan nada waspada, ia bisa merasakan bahwa sesuatu hal yang tidak baik akan terjadi sebentar lagi. Karina menarik nafas sejenak lalu menghembuskan nya kembali, mencoba untuk tenang.

"Aku nggak bisa nemenin kamu lagi, Mas." Ujar Karina kemudian, Teddy masih mencerna kata-kata Karina dan mencoba untuk berpikir positif.

"Maksud kamu apa, Rin?" Tanya Teddy berusaha memastikan kalau apa yang ia dengar tidaklah salah.

"Aku nggak bisa nemenin kamu lagi, Mas." Jawab Karina lagi, Teddy hanya diam sambil memandangi Karina. "Aku minta cerai, Mas."

Perkataan Karina bagaikan petir yang menyambar Teddy di siang bolong, tubuh Teddy terpaku dan tatapannya tertuju pada Karina. Teddy lalu berusaha untuk menjernihkan pikirannya.

"Tunggu, kenapa kamu minta hal seperti itu? Apa yang jadi masalah, Rin?" Tanya Teddy dengan heran, Karina lalu menangis terisak.

"Aku nggak bisa kayak gini terus, Mas. Kamu selalu tinggal aku dari sejak pertama kita menikah, kamu nggak pernah ada buat aku. Aku butuh kamu disini, Mas." Jawabnya sambil menangis terisak-isak, Teddy memandangi Karina dengan sedih tapi ia tahu saat ini ia tidak bisa berlari dan memeluknya sambil menenangkannya.

"Aku udah disini sekarang, Rin. Kita bisa omongin ini, kita nggak harus pisah. Apa yang kamu mau? Bilang ke aku," sahut Teddy berusaha meyakinkan Karina kalau hubungan mereka masih bisa diperbaiki, semua hanya salah paham. Dan yang paling penting, Teddy sudah disini bersamanya.

"Nggak bisa, Mas. Aku tahu pekerjaan kamu." Karina berhenti berkata sejenak, "Mungkin sekarang kamu disini, tapi kedepannya aku yakin kamu bakal tinggalin aku lagi. Dan itu bukan hidup yang aku mau,"

"Rin, sebelum kita menikah, kita udah pernah diskusi masalah ini. Dan kamu bilang ke aku kalau kamu nggak ada masalah dengan hal itu, kenapa kamu berubah pikiran sekarang??" Sahut Teddy dengan heran, pikirannya sekarang berkecamuk.

"Itu dulu, sebelum aku ngerasain sendiri gimana rasanya. Aku butuh teman hidup, bukan seseorang yang datang dan pergi kayak kamu." Ucapan Karina membuat Teddy sangat marah, tapi genggaman tangan Ibunya di lengan Teddy membuatnya bisa menahan emosinya.

"Mungkin kalian butuh waktu buat ngobrol, Karin. Coba ngobrol lagi sama Teddy ya," ujar Ibu Teddy kepada Karina tetapi Karina menggeleng.

"Karin udah ambil keputusan, Bu. Maafin Karin, tapi Karin udah nggak bisa nemenin Mas Teddy." Sahut Karina, Teddy hanya diam saja dan pandangan matanya tertuju kepada kedua orang tua Karina.

"Bapak sama Ibu sudah tahu tentang ini??" Tanya Teddy kepada kedua orang tua Karina.

"Kita sudah tahu, nak Teddy. Tapi keputusan tetap ada di Karin, kita nggak bisa maksa." Jawab Ayah dari Karina dengan nada pelan.

"Bapak harusnya kasih tau ke saya kalau Karin merasa seperti itu, kenapa nggak ada yang kasih tau saya? Kenapa kesannya saya ditinggal dalam gelap kayak begini?" Bentak Teddy dengan suara keras, emosinya sudah tidak terkendali saat ini.

"Mas, jangan bentak ayah aku. Aku emang cerita sama orang tua aku, tapi aku nggak siap cerita ke kamu." Sahut Karina berusaha melindungi sang Ayah.

"Aku suami kamu, Karin. Apa yang kamu rasain, kamu harus bilang ke aku terlebih dulu. Bukan ke orang lain, bahkan ke orang tua kamu." Ujar Teddy, Karina masih menangis.

"Pokoknya aku nggak mau, Mas. Tolong lepasin aku, aku nggak mau hidup terus-terusan sendiri kayak begini. Aku mau lepas dari kamu, Mas." Pinta Karina dengan nada memelas, Teddy menggeleng dengan tegas.

"Kalau itu alasan kamu, aku nggak bakal lepas kamu. Itu alasan sepele, Rin. Aku bisa perbaiki kalo kamu emang keberatan aku untuk tinggal-tinggal kamu, kamu bisa ikut aku." Sahut Teddy, Karina memandangi Teddy dan kali ini Teddy melihat sedikit raut panik di wajah Karina.

"Aku nggak mau, Mas. Titik !!" Karina lalu berlari meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya, tapi Teddy tidak melepaskannya begitu saja dan berlari menyusul Karina meninggalkan para orang tua mereka di ruang tamu.

Teddy membuka pintu kamarnya dan melihat Karina sedang duduk terdiam di atas kasur, Teddy tidak berusaha mendekatinya melainkan hanya berdiri di hadapannya.

"Kenapa, Rin? Aku tahu bukan itu alasan kamu kan?" Tanya Teddy, kali ini ia memelankan suaranya agar tidak terdengar oleh orang-orang diluar kamarnya. Karina hanya diam tidak menjawab.

"Jawab, Rin!!" Bentak Teddy, kesabarannya kini sudah mulai habis. "Dua Minggu kamu hilang tanpa kabar, dan sebelum itu beberapa kali aku telpon dan bahkan video call kamu tiap malam kamu nggak pernah angkat. Apa yang kamu sembunyikan, Rin?"

Karina memandangi Teddy dengan mata sembabnya, ia lalu memutuskan untuk berbicara.

"Saat kamu nggak ada disini, aku nggak punya siapa-siapa untuk aku cerita dan aku merasa nggak punya siapa-siapa untuk melindungi aku." Sahut Karina, "Dan aku harus jujur, aku butuh orang lain untuk menggantikan kamu disini. Aku butuh sosok kamu tapi kamu nggak disini, jadi terpaksa aku cari orang lain."

"Siapa?" Tanya Teddy sambil menahan emosinya.

"Kamu nggak kenal siapa dia, Mas." Jawab Karina, Teddy memandanginya dengan tatapan tidak percaya.

"Aku berjuang disana buat kamu, Rin. Aku berjuang buat kehidupan kita nantinya, dan kamu bisa bilang kayak gitu? Kamu pikir aku disana nggak kesepian, Rin? Kamu pikir aku nggak butuh temen cerita? Aku butuh, Rin. Tapi aku inget kamu, aku inget janji kita." Ucap Teddy seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi, Karina kembali meneteskan air mata.

"Aku minta maaf, Mas. Tapi mungkin aku nggak sekuat kamu," sahut Karina dengan lirih, "Tapi aku mohon lepasin aku, Mas. Biarpun kamu pertahankan aku, aku nggak yakin bisa sayang ke kamu kayak dulu."

Teddy hanya diam, berjalan ke luar kamarnya dengan cepat dan melewati ruang tamu. Tidak mempedulikan panggilan orang-orang kepadanya, ia lalu mengambil kunci mobil yang terletak di gantungan kunci dekat pintu masuk dan berjalan ke luar.

Teddy memasuki mobilnya dan beranjak menyetir ke luar dari pekarangan rumahnya yang kini tidak lagi terasa seperti rumahnya.

Teddy menyetir entah kemana, yang ia tahu ia harus pergi dari rumah tersebut.

Ia terus menyetir... Dan menyetir..

Menjauh... Dan menjauh.

Sampai ia merasakan.. air mata jatuh di pipinya.

(Flashback ends)

Valen memperhatikan wajah Teddy selama ia menceritakan tentang masa lalunya, wajah Teddy terlihat penuh rasa sakit dan kecewa dan Valen bersimpati kepadanya.

"Tiga hari kemudian, aku pulang ke rumah dan aku tanda tangan surat gugatan cerai dari Karina. Tanpa basa-basi," ucap Teddy, Valen merasakan tenggorokan nya tercekat dan susah untuk berkata-kata.

"Orang tua kamu?" Valen bertanya tentang pendapat orang tua Teddy, pasti mereka juga merasakan kesedihan yang sama seperti apa yang dirasakan Teddy.

"Sedih pastinya, sempet marah juga kenapa aku lepasin Karina. Tapi berusaha kasih pengertian kalo emang aku dan Karina udah nggak sejalan," jawab Teddy dan kemudian ia tertawa kecil. "Dan kamu tahu?? Aku bahkan nggak cerita ke siapapun kalo Karina selingkuh selama aku di Amerika, dan semua orang sampai saat ini mikir akulah penyebab perceraian ini."

"Kenapa kamu nggak kasih tau cerita sebenernya??" Tanya Valen dengan heran, Teddy diam sejenak.

"Biar bagaimanapun, waktu dia ngelakuin hal itu dia masih jadi istri aku. Dan aku nggak bakal mau bongkar aib istri aku sendiri," jawab Teddy, Valen merasa hatinya tersentuh saat mendengar jawaban Teddy.

"Trus kenapa kamu kasih tau hal itu ke aku?" Tanya Valen lagi dengan bingung, Teddy tertawa kecil mendengar pertanyaan Valen.

"Karena kamu minta aku untuk cerita tentang ini," jawab Teddy, Valen mendorong lengannya dengan pelan.

"Jadi kalau ada orang yang tanya tentang hal ini, kamu juga bakal cerita ke mereka?" Sahut Valen dengan kesal, Teddy masih tertawa.

"Tergantung aku suka mereka atau nggak," ucap Teddy dengan santai, Valen terdiam mendengar hal tersebut.

Valen menundukkan wajahnya karena ia bisa merasakan pipinya memerah, tapi Teddy meletakkan jari telunjuknya di dagu Valen dan menengadahkan kepala Valen sehingga mereka saling bertatapan.

Valen bisa melihat Teddy semakin mendekatkan wajahnya ke arah Valen dan Valen hanya bisa terpaku diam tak bergerak, ia bisa melihat wajah Teddy yang semakin dekat dan....

TING !!!

"COOKIESSS !!!" Valen memekik dan langsung berlari ke arah dapur untuk mengeluarkan cookies yang tadi ia buat. Valen merasakan jantungnya berdegup kencang tapi ia berusaha untuk terlihat santai dan mengeluarkan cookies-cookies tersebut dari loyang.

Valen melirik ke arah Teddy yang saat ini sedang meletakkan kepalanya di lengannya sehingga Valen tidak bisa melihat wajahnya, Valen mencoba untuk kembali fokus kepada cookies-cookies nya.

"Gimana sama kamu, Len?" Tanya Teddy tiba-tiba, membuat Valen kembali menatap Teddy. "Why don't you tell me your story??"

Valen tersenyum kecil dan menggeleng, Teddy mengerenyitkan dahi dengan heran.

"Why?" Tanya Teddy dengan heran, Valen terdiam sejenak.

"I don't think you're ready.." jawab Valen singkat sambil tersenyum kepada Teddy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status