07.56 p.m. (pukul 19.56)
KATEMI
Ini adalah serangan paling kejam yang dilakukan Anne padanya. Katemi bahkan sampai merasa akan tercirit saking takutnya. Kalau saja Kris tak segera datang menolongnya, mungkin bukan roknya saja yang akan basah, tapi juga bajunya—bukan karena air, tapi karena simbahan darah. Anne, orang gila itu! Katemi yakin Anne tak akan ragu untuk mengoyak atau menggigitnya dan meminum darahnya seperti seekor setan.
Jantung Katemi masih kembang-kempis dengan kecepatan tiga kali lipat biasa. Sementara itu pikirannya tak henti-henti memikirkan suatu hal: setan yang dipanggil Maria kembali bergentayangan dan kali ini semakin ganas. Bahkan, mungkin arwah Maria sendiri yang gentayangan. Sang nyonya memang tidak mati dengan tenang. Ia tak bisa melupakan kenyataan itu.
“Kau sudah membakarnya, bukan?” Bisiknya pada Kris yang sedang merangkulnya.
Pemuda itu bergeming.
08.43 p.m. (pukul 20.43)LISA“Itu jelas kecelakaan,” Lisa menanggapi pengakuan Kris.“Kamu tak akan mengerti. Kamu tak merasakan tatapan kecewa Tuan Bram setiap hari. Kamu tak tahu rasanya melihat Anne jadi seperti itu.”Lisa menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dalam satu hembusan pendek. “Di sini dingin. Aku mau masuk.” Ia sadar kalau menanggapi Kris hanya akan membuang waktunya. Alasan paling masuk akal sekalipun akan sulit menembus kepala seseorang yang dikuasai perasaan. Selain itu, Lisa memang tak merasakan pengalaman Kris dan tentu saja ia tak patut menghakimi pemuda itu karenanya. Juga, Lisa pikir saat ini sudah tak memungkinkan lagi untuk meminta penjelasan Kris terkait hal-hal ganjil yang terjadi di vila ini.Tapi Lisa masih butuh seseorang untuk menemaninya bekerja di gudang.“Aku butuh teman di gudang. Kalau bersedia, kutunggu
08.54 p.m. (pukul 20.54)KATEMIDemi Tuhan. Katemi sendiri tak memahami dirinya. Ia memang tak menyukai tamunya, tapi perbuatannya barusan sungguh tak dapat diterima akal sehatnya sendiri. Seperti disihir, dan ketika ia melihat pelipis gadis itu berkucur darah, ia benar-benar yakin bahwa ia sedang dalam pengaruh sihir. Bagaimana mungkin seorang perempuan beradab sepertinya melakukan perbuatan sekeji itu?Semua itu bermula beberapa menit yang lalu. Katemi masih bersembunyi sedemikian rupa di balik pintu dapur, tidak terlalu jauh, dan telinganya ia dekatkan dengan celah pintu. Ia hendak mencuri dengar percakapan antara Kris dengan tamu mereka, Lisa. Ia menguping dengan seksama, sambil sesekali mengintip lewat celah saat percakapan mereka berjeda.Ia mendengarnya sendiri, kata-kata Kris yang membuatnya begitu jengkel. Kris bercerita tentang kesedihan dan rasa bersalahnya, lalu berlanjut pada hari kematian sa
08.49 p.m. (pukul 20.49)KRISKris sudah berdiri cukup lama dengan hanya mengenakan selembar kemeja. Jasnya telah ia gunakan untuk memadamkan api yang menyelimuti papan peninggalan Nyonya Maria. Jas lusuh itu tampaknya jadi sedikit rusak; berlubang atau setidaknya ada jahitan yang terurai, tapi terlalu remang untuk memastikannya dan ia sendiri tak berniat untuk segera melakukannya. Angin dingin tak terlalu menganggunya karena kobaran api masih cukup besar dengan lidah menjilat-jilat dan membuat udara sekitar jadi hangat. Sampai beberapa waktu, ia masih terus berdiri di sana, menimang-nimang perlakuan apa yang sebaiknya ia terapkan pada papan itu; apakah menyegel papan itu lagi, atau seperti niat awalnya, memusnahkannya?Dan sambil berpikir panjang, semacam perasaan menyenangkan mengalir di hatinya. Sebuah perasaan lega, ia kira, sebab kegundahan yang selama ini mengendap di hatinya sudah larut. Belum semua larut
09.04 p.m. (pukul 21.04)KATEMIKeadaan ruang makan hening. Anjing-anjing gunung melolong di kejauhan, bersahutan, seperti sedang mengarak rombongan hantu yang lewat. Lolongan itu lirih saja, tapi itu sudah seperti kegaduhan di telinga Katemi. Ia pikir anjing-anjing itu terlalu awal untuk melolong. Ini belum juga tengah malam, mestinya belum banyak hantu berkeliaran. Oh, kecuali, tentu saja, di vila ini. Ia sendiri menjadi korban kepicikan seekor setan baru saja. Ia memaafkan anjing-anjing yang melolong terlalu awal itu, mengingat setan ternyata sudah bertingkah meski malam belum terlalu larut.Namun bukankah memang selalu begitu? Sekalipun pada siang bolong, setan-setan di vila ini tak jarang bikin onar. Sejak Maria meninggal, memang selalu begitu. Setan-setan itu, yang lebih biadab dari hantu manapun, sudah beberapa kali mengusilinya. Tak hanya lewat tubuh anak majikannya yang sinting, tapi juga mimpi-mimpi bu
10.13 p.m. (pukul 22.13)LISA...sa...Li... sa...Lisa...Bangun.Suara itu memanggil namanya. Suara yang ramah dan hangat, seperti suara ibunya, tapi ini suara laki-laki.“Lima menit lagi...”Sedikit lagi... Bertahanlah...“Betul. Sebentar lagi,” Lisa seperti hanyut dalam buaian. “Bertahan. Di kasur...”Bangunlah! Anak badung!Lalu sebuah bayangan pekat menyambar. Dari balik bayangan itu sebuah senyuman menyeringai.Lisa terbelalak. Ia terjaga. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang pasti bukan kamarnya, bukan rumahnya. Matanya berkunang, sementara keningnya terasa nyeri. Ia meraba keningnya. Terhalang perban, tapi ia yakin ada kulit yang terkoyak di situ, dan mungkin ada keretakan pada tulang dibaliknya. Ia berusaha bangkit dan itu r
10.25 p.m. (pukul 22.25) KATEMI Betapa sialnya. Meja kecil di samping tempat tidurnya memiliki dua tempat penyimpanan: sebuah laci dan satu ruang yang lebih besar di bawah laci dengan sebuah sekat melintang di tengah-tengah. Daun pintu laci itu longgar dan ternyata satu tarikan laci diatasnya sudah cukup untuk membuat kaitannya terlepas, membuat daun pintu menggantung bebas dan membuka celah. Sialnya, ia tak menyadari hal itu sampai Lisa, yang entah bagaimana caranya, memergoki kandelabra yang telah diamankannya lewat celah itu. Tadinya ia hendak mengembalikan kandelabra itu ke tempat semula, tapi Kris terus menerus memberikan tatapan curiga padanya dan mungkin menghubung-hubungkan tumbangnya Lisa dengan kandelabra berpantat besi yang tergeletak tak jauh di lantai. Ia bahkan akhirnya yakin bahwa Kris memang sudah menyimpulkan hal itu, tapi pemuda itu memilih untuk tutup mulut. Meski begitu, ia tak mer
09.10 p.m. (pukul 21.10) KRIS Kris memapah tubuh lunglai Lisa, dibantu oleh Katemi. Jantungnya bertabuh seperti gendang dalam orkes dangdut. Ia pernah mengalami kejadian serupa ini suatu hari beberapa tahun yang lalu. Itu adalah saat Kris memapah jenazah Nyonya Maria. Ia ingat bagaimana kepala sang nyonya terkulai, terputar hampir setengah lingkaran, dengan tonjolan ganjil di leher. Tak ada darah saat itu, hanya ada air matanya yang amat terlambat. Ia pikir saat itu hanyalah mimpi dan ia akan segera terjaga, tapi begitu ia bangun di pagi berikutnya tanpa senyuman sang nyonya, ia menangis tersedu-sedu hingga beberpa hari. Kenangan tak menyenangkan itu terulang kembali begitu jelasnya. Jantungnya terus bertabuh, seperti gendang dalam lantunan Bunga Seroja—mendayu-dayu—tapi, seakan mengamini syair gubahan Said Effendi yang kerap ia dengar di siaran radio itu, ia tersenyum. Ia hendak menertawakan diri sendiri. Barangkali, jika ia tak memuja Nyonya Maria seperti dulu, rasa kehilangannya s
10.28 p.m. (pukul 22.28)ANNE“Apakah Papa membenciku?”Anne terisak. Gaun klederdracht sudah tanggal dari tubuhnya, diganti selembar tunik sutra panjang berwarna putih. Ia terbangun beberapa saat lalu dalam keadaan bingung. Keadaan sekitarnya remang; lampu duduk berpijar di atas rak kecil di sebelah ranjang dan sisanya hanya semburat lurus dari celah mendatar di bawah pintu kamar. Rasanya seperti sehabis tidur seminggu penuh, kepalanya seperti dipenuhi pasir. Ia menduga kuat ini masih hari yang sama. Ia tak mungkin tidur selama itu, pikirnya. Ia berusaha menyusun serpihan ingatan yang berserak di benaknya; tentang peristiwa-peristiwa sebelum ia berakhir di atas ranjang di kamarnya. Ia tak bisa mengingat dengan jelas, tapi ada satu kilasan yang sangat membekas: ayahnya menamparnya dengan sangat keras, sampai-sampai ia terjatuh mencium lantai. Cengengnya semakin menjadi.“Apakah
Minggu 9 November 2014 03.23 p.m. (pukul 15.23) LISA “Hantu?” Lisa bertanya. Pak Karman tidak menjawab. Dia menggeleng. “Pak Dokter,” Bu Zaitun, entah sejak kapan, sudah berdiri di belakang Pak Karman. “Tolong sampaikan seluruh ceritanya.” Pak Karman masih diam. Lisa semakin bingung. “Ada apa ini?” “Nak, orang yang melihat hantu bernama Bram ini bukan cuma kamu,” kata Bu Zaitun.
Sabtu, 8 November 2014 11.47 a.m. (pukul 11.47) LISA Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Jangankan tempat itu, menginjak wilayah Kabupaten Bandung pun adalah yang pertama kali. Ia berkali-kali melirik layar ponsel yang sudah nyaris habis dayanya, menunggu balasan pesan dari Bu Zaitun yang seharusnya sudah sampai beberapa jam yang lalu saat ia masih dalam perjalanan. Saat kakinya mulai terasa pegal, Lisa menemukan sosok Bu Zaitun di antara keramaian sedang menempelkan ponsel ke telinga. “Bu!” Teriak Lisa sambil setengah berlari ke arah yang dipanggil. “Astaga!” Kata Bu Zaitun, “Sulit sekali kamu dihubungi!” “Lah? Saya selalu pegang ponsel, tapi tidak ada panggilan yang masuk.” Lisa melirik ponselnya. Dari layar itu, ia akhirnya tahu kalau ia tidak dapat sinyal. “Untun
Minggu, 9 November 2014 03.13 p.m. (pukul 15.13) LISA Kelopak matanya seperti dibuka dengan paksa, membuat cahaya lampu langsung menyorot ke bola matanya. Lisa terpejam dan dengan segera nyeri di bola-bola matanya menjalar ke seluruh tempurung kepala, lalu berdenyut di satu titik di pelipisnya. Ia meraba titik itu dan mendapati tumpukan perban di sana. Tubuhnya kuyup oleh keringat seakan telah lama mendekam dalam sauna. Ia tidak kepanasan. Ia justru kedinginan. “Di mana?” Bisiknya pada diri sendiri. Lisa menyebar pandangannya. Hal pertama yang ia cari adalah kacamatanya. Ia meraba ke atas meja berlaci di ranjang dan menemukan benda yang dicarinya. Lisa mengedarkan pandangannya lagi, kali ini dengan penglihatan yang lebih jelas. Ia tahu ruangan ini, tapi entahlah. Ingatannya seperti uap air yang mengepul, terus mendesak tapi tak bisa dipegang wujud pastinya. “Lisa!!” Seorang per
Sabtu, 8 November, suatu tahun05.33 a.m. (pukul 05.33)KATEMIKatemi mengintip dari balik pintu, berhati-hati kalau-kalau Kris sudah terjaga. Setelah yakin kalau pemuda itu lelap, ia beringsut ke tepi ranjang. Dipandanginya wajah pemuda itu dengan seksama. Ia tersenyum. Lalu berbisik.“Dosaku padamu terlalu besar. Aku akan jadi bahan bakar neraka. Tapi sebelum itu, bolehkah aku minta satu hal darimu?”Kris mendengkur.“Panggil aku’Ibu’,” bisik Katemi lagi, “Sekali saja...”Kris memalingkan tubuhnya. Mendengkur lagi.Katemi tersenyum. Ia beranjak dengan wajah menggeleng pelan. Itu pertama dan terakhir kali ia mengatakan sesuatu seperti itu. Anaknya sudah penuh luka. Satu-satunya yang membuat pemuda itu bertahan hidup adalah ketidaktahuan.Bukanka
00.00 a.m. (pukul 24.00) ???? Aku adalah tanah ini. Aku adalah bangunan ini. Aku adalah atap dan lantainya. Aku adalah tembok dan jendela serta pintunya. Aku adalah setiap ruang dan sudutnya. Aku adalah setiap sorot lampu dan bayangannya. Aku adalah Vila di Pegunungan. Meski sebenarnya, tak tepat juga memanggilku begitu.Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Kiri dan kananku terhampar kebun teh nan luas. Di belakangku, jalan menaik ke puncak bukit. Di depanku, tanah landai yang seringkali dilewati manusia. Dahulu sekelilingku hanya pepohonan dan batu-batu. Tepatnya kapan mereka berubah, aku sudah lupa. Pastinya, perubahan ini adalah karena campur tangan manusia. Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Lalu, suatu hari, sepasang manusia berkulit pucat datang kepadaku. Si perempuan begitu elok, anggun dan menyenangkan. Si lelaki, meski juga elok dan gagah, memiliki raut muka yang membosankan. Jangan tanya aku tahu dari mana, aku hanya tahu. Kedua manusia it
10.43 p.m. (pukul 22.43) BRAM Bram terjaga dengan mata terbelalak. Matanya sakit karena langung menatap cahaya lampu. Ia terjaga sedemikian rupa akibat mimpinya. Dalam mimpi itu, ia seperti mengulang kembali bertahun-tahun pengalamannya. Sangat jelas mimpi itu, dan amat rinci; sampai-sampai dadanya berdebar karena ngeri. Bahkan, kancutnya juga sampai basah karena adegan percintaan dalam mimpinya terasa nyata. Terdengar suara gaduh dari lantai dua. Lantai vila yang tersusun dari kayu-kayu saling menyambung sehingga derit-deritnya dapat mengalir begitu saja ke langit-langit ruang santai. Ia menduga itu suara tikus awalnya, tapi segera berubah pikiran karena tentu saja tak mungkin tikus-tikus membuat kegaduhan semacam itu kecuali mereka sebesar babi hutan dan sedang bergulat di atas sana. Sesaat kemudian, suara gaduh lain terdengar dari arah ruang makan. Suaranya tidak lebih berisik dari kegaduhan di lantai dua
08.20 p.m. (pukul 20.20)BRAMTamunya itu telah beranjak dan ia kehilangan kesempatannya untuk mengaku. Mereka sudah di ruang santai itu cukup lama, tapi yang bisa ia lakukan hanya mengulur waktu, berharap keberaniannya muncul atau gadis itu secara ajaib bisa membaca gambaran dalam kepalanya. Bahkan, saat isi pembicaraan mereka akhirnya mulai cair, lidahnya masih beku. Ah, tapi cerita itu memang seharusnya tak disampaikan pada siapapun, katanya menenangkan diri sendiri. Ada pesona yang tak bisa ditolaknya dari mata gadis itu, mengundangnya untuk melimpahkan semua kegelisahannya. Kegelisahan yang telah ia simpan bertahun-tahun lalu. Kegelisahan yang, sekali lagi, sebaiknya tak ada yang tahu. Itu adalah cerita tentang masa lalunya. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga besar nan kaya raya. Ayahnya telah meninggal belasan tahun lalu, meninggalkan harta dalam bilangan besar sekali. Ibunya yang telah menjanda akhirnya menikahi lelaki lain: seorang pengusaha kelas
10.48 p.m. (pukul 22.48)LISASungguh pemandangan yang mengerikan. Dua orang dengan kejiwaan yang sama sekali ganjil menatap satu sama lain. Dua orang sinting itu, bagaimanapun, salah satunya telah menyelamatkan Lisa dari maut. Setidaknya, untuk saat ini. Tak ada yang bisa diperkirakan dari keadaan ini. Ini tidak seperti sabung ayam yang pemenangnya bisa dikira-kira lewat runcing taji dan besar tubuh—bahkan ada panduan primbon untuk itu—tapi di sini, Lisa tak tahu manakah yang lebih sinting di antara Katemi dan Anne. Dan di sini, yang dipertaruhkan adalah nyawanya sendiri. Ah, atau seharusnya ia berusaha menghentikan kedua orang itu alih-alih memperkirakan siapa yang bakal dicabik atau mencabik.Anne. Gadis itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Sesekali ia melompat di tempat, menghentakkan kakinya yang telanjang ke hamparan lantai kayu. Katemi, di lain sisi, terduduk sambil sesenggukan, tapi
10.35 p.m. (pukul 22.35)KRISKris mengucapkan seluruh mantranya. Lalu listrik tiba-tiba padam.Ia menunggu. Di kejauhan, anjing gunung melolong, barangkali sedang memergoki rombongan hantu yang berangkat mencari korban. Tak ada angin. Tak ada sedikit pun cahaya. Tak ada gerakan atau pertanda apapun kalau pemanggilannya berhasil.Lagi-lagi gagal, katanya pada diri sendiri, mungkin surga memang tempat yang berkali-kali lebih nyaman dari dunia. Arwah Nyonya Maria tak akan turun lagi ke bumi. Mulut Kris berdecak.Tak akan ada apapun yang akan terjadi. Ia melepaskan telunjuknya dari cincin, dan bersamaan dengan itu, listrik kembali pulih. Ia tak punya firasat apapun. Perasaannya tetap sama, sendu dan tak bergairah. Ia segera mengemasi papan peninggalan Nyonya Maria ke dalam peti kayu. Pada saat ia selesai, sebuah teriakan terdengar tepat dari dua lantai di atas kepalanya. Itu bukan suara Anne, bukan pu