04.20 p.m. (pukul 16.20)
KRIS
Kris keluar melewati dapur, mengitari vila, lalu masuk kembali lewat pintu depan.
Pemuda itu menyelinap keluar dari ruang makan dengan langkahnya yang gesit tetapi nyaris tanpa suara. Seperti angin, ia berlalu begitu saja tanpa seorang pun memergokinya selain Katemi yang itupun—sesuai keinginan Kris—tak merecokinya dengan satupun pertanyaan. Ia hendak memutar sekeping piringan hitam tadi, sesuai mandat majikannya pagi tadi, tapi begitu tamunya mengungkit perihal kematian Nyonya Maria, darahnya seperti mendidih. Begitu sampai di kepala, darah itu membuat otaknya mengepul dan dengan segera mengeluarkan sinyal perintah ke seluruh otot gerak di kakinya. “Pergi dari ruang makan,” bunyi sinyal otak itu, sementara di suatu bagian otak yang lain, seberkas ingatan yang tak ingin ia ingat lagi melintas.
“Enyahlah! Enyahlah!” Tapi se
07.56 p.m. (pukul 19.56) KATEMI Ini adalah serangan paling kejam yang dilakukan Anne padanya. Katemi bahkan sampai merasa akan tercirit saking takutnya. Kalau saja Kris tak segera datang menolongnya, mungkin bukan roknya saja yang akan basah, tapi juga bajunya—bukan karena air, tapi karena simbahan darah. Anne, orang gila itu! Katemi yakin Anne tak akan ragu untuk mengoyak atau menggigitnya dan meminum darahnya seperti seekor setan. Jantung Katemi masih kembang-kempis dengan kecepatan tiga kali lipat biasa. Sementara itu pikirannya tak henti-henti memikirkan suatu hal: setan yang dipanggil Maria kembali bergentayangan dan kali ini semakin ganas. Bahkan, mungkin arwah Maria sendiri yang gentayangan. Sang nyonya memang tidak mati dengan tenang. Ia tak bisa melupakan kenyataan itu. “Kau sudah membakarnya, bukan?” Bisiknya pada Kris yang sedang merangkulnya. Pemuda itu bergeming.
08.43 p.m. (pukul 20.43)LISA“Itu jelas kecelakaan,” Lisa menanggapi pengakuan Kris.“Kamu tak akan mengerti. Kamu tak merasakan tatapan kecewa Tuan Bram setiap hari. Kamu tak tahu rasanya melihat Anne jadi seperti itu.”Lisa menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dalam satu hembusan pendek. “Di sini dingin. Aku mau masuk.” Ia sadar kalau menanggapi Kris hanya akan membuang waktunya. Alasan paling masuk akal sekalipun akan sulit menembus kepala seseorang yang dikuasai perasaan. Selain itu, Lisa memang tak merasakan pengalaman Kris dan tentu saja ia tak patut menghakimi pemuda itu karenanya. Juga, Lisa pikir saat ini sudah tak memungkinkan lagi untuk meminta penjelasan Kris terkait hal-hal ganjil yang terjadi di vila ini.Tapi Lisa masih butuh seseorang untuk menemaninya bekerja di gudang.“Aku butuh teman di gudang. Kalau bersedia, kutunggu
08.54 p.m. (pukul 20.54)KATEMIDemi Tuhan. Katemi sendiri tak memahami dirinya. Ia memang tak menyukai tamunya, tapi perbuatannya barusan sungguh tak dapat diterima akal sehatnya sendiri. Seperti disihir, dan ketika ia melihat pelipis gadis itu berkucur darah, ia benar-benar yakin bahwa ia sedang dalam pengaruh sihir. Bagaimana mungkin seorang perempuan beradab sepertinya melakukan perbuatan sekeji itu?Semua itu bermula beberapa menit yang lalu. Katemi masih bersembunyi sedemikian rupa di balik pintu dapur, tidak terlalu jauh, dan telinganya ia dekatkan dengan celah pintu. Ia hendak mencuri dengar percakapan antara Kris dengan tamu mereka, Lisa. Ia menguping dengan seksama, sambil sesekali mengintip lewat celah saat percakapan mereka berjeda.Ia mendengarnya sendiri, kata-kata Kris yang membuatnya begitu jengkel. Kris bercerita tentang kesedihan dan rasa bersalahnya, lalu berlanjut pada hari kematian sa
08.49 p.m. (pukul 20.49)KRISKris sudah berdiri cukup lama dengan hanya mengenakan selembar kemeja. Jasnya telah ia gunakan untuk memadamkan api yang menyelimuti papan peninggalan Nyonya Maria. Jas lusuh itu tampaknya jadi sedikit rusak; berlubang atau setidaknya ada jahitan yang terurai, tapi terlalu remang untuk memastikannya dan ia sendiri tak berniat untuk segera melakukannya. Angin dingin tak terlalu menganggunya karena kobaran api masih cukup besar dengan lidah menjilat-jilat dan membuat udara sekitar jadi hangat. Sampai beberapa waktu, ia masih terus berdiri di sana, menimang-nimang perlakuan apa yang sebaiknya ia terapkan pada papan itu; apakah menyegel papan itu lagi, atau seperti niat awalnya, memusnahkannya?Dan sambil berpikir panjang, semacam perasaan menyenangkan mengalir di hatinya. Sebuah perasaan lega, ia kira, sebab kegundahan yang selama ini mengendap di hatinya sudah larut. Belum semua larut
09.04 p.m. (pukul 21.04)KATEMIKeadaan ruang makan hening. Anjing-anjing gunung melolong di kejauhan, bersahutan, seperti sedang mengarak rombongan hantu yang lewat. Lolongan itu lirih saja, tapi itu sudah seperti kegaduhan di telinga Katemi. Ia pikir anjing-anjing itu terlalu awal untuk melolong. Ini belum juga tengah malam, mestinya belum banyak hantu berkeliaran. Oh, kecuali, tentu saja, di vila ini. Ia sendiri menjadi korban kepicikan seekor setan baru saja. Ia memaafkan anjing-anjing yang melolong terlalu awal itu, mengingat setan ternyata sudah bertingkah meski malam belum terlalu larut.Namun bukankah memang selalu begitu? Sekalipun pada siang bolong, setan-setan di vila ini tak jarang bikin onar. Sejak Maria meninggal, memang selalu begitu. Setan-setan itu, yang lebih biadab dari hantu manapun, sudah beberapa kali mengusilinya. Tak hanya lewat tubuh anak majikannya yang sinting, tapi juga mimpi-mimpi bu
10.13 p.m. (pukul 22.13)LISA...sa...Li... sa...Lisa...Bangun.Suara itu memanggil namanya. Suara yang ramah dan hangat, seperti suara ibunya, tapi ini suara laki-laki.“Lima menit lagi...”Sedikit lagi... Bertahanlah...“Betul. Sebentar lagi,” Lisa seperti hanyut dalam buaian. “Bertahan. Di kasur...”Bangunlah! Anak badung!Lalu sebuah bayangan pekat menyambar. Dari balik bayangan itu sebuah senyuman menyeringai.Lisa terbelalak. Ia terjaga. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang pasti bukan kamarnya, bukan rumahnya. Matanya berkunang, sementara keningnya terasa nyeri. Ia meraba keningnya. Terhalang perban, tapi ia yakin ada kulit yang terkoyak di situ, dan mungkin ada keretakan pada tulang dibaliknya. Ia berusaha bangkit dan itu r
10.25 p.m. (pukul 22.25) KATEMI Betapa sialnya. Meja kecil di samping tempat tidurnya memiliki dua tempat penyimpanan: sebuah laci dan satu ruang yang lebih besar di bawah laci dengan sebuah sekat melintang di tengah-tengah. Daun pintu laci itu longgar dan ternyata satu tarikan laci diatasnya sudah cukup untuk membuat kaitannya terlepas, membuat daun pintu menggantung bebas dan membuka celah. Sialnya, ia tak menyadari hal itu sampai Lisa, yang entah bagaimana caranya, memergoki kandelabra yang telah diamankannya lewat celah itu. Tadinya ia hendak mengembalikan kandelabra itu ke tempat semula, tapi Kris terus menerus memberikan tatapan curiga padanya dan mungkin menghubung-hubungkan tumbangnya Lisa dengan kandelabra berpantat besi yang tergeletak tak jauh di lantai. Ia bahkan akhirnya yakin bahwa Kris memang sudah menyimpulkan hal itu, tapi pemuda itu memilih untuk tutup mulut. Meski begitu, ia tak mer
09.10 p.m. (pukul 21.10) KRIS Kris memapah tubuh lunglai Lisa, dibantu oleh Katemi. Jantungnya bertabuh seperti gendang dalam orkes dangdut. Ia pernah mengalami kejadian serupa ini suatu hari beberapa tahun yang lalu. Itu adalah saat Kris memapah jenazah Nyonya Maria. Ia ingat bagaimana kepala sang nyonya terkulai, terputar hampir setengah lingkaran, dengan tonjolan ganjil di leher. Tak ada darah saat itu, hanya ada air matanya yang amat terlambat. Ia pikir saat itu hanyalah mimpi dan ia akan segera terjaga, tapi begitu ia bangun di pagi berikutnya tanpa senyuman sang nyonya, ia menangis tersedu-sedu hingga beberpa hari. Kenangan tak menyenangkan itu terulang kembali begitu jelasnya. Jantungnya terus bertabuh, seperti gendang dalam lantunan Bunga Seroja—mendayu-dayu—tapi, seakan mengamini syair gubahan Said Effendi yang kerap ia dengar di siaran radio itu, ia tersenyum. Ia hendak menertawakan diri sendiri. Barangkali, jika ia tak memuja Nyonya Maria seperti dulu, rasa kehilangannya s