Share

7. Utang Suamiku

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-27 21:40:38

“Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku.

              Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana.

              “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg.

              “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet.

              Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya.

              “Neng, ini kita ke mana?”

              “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!”

              Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana.

              Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami berdua sama-sama perantau.

              Aku yakin, hanya Helena yang mau menolongku. Setidaknya dia pasti akan memberikanku pinjaman uang untuk ongkos pulang ke kampung. Jujur, di dompetku hanya tersisa dua puluh ribu saja.

              Motor bebek terus dipacu oleh si bapak ojeg. Untungnya, saat ada lampu merah, kami langsung belok ke kiri sehingga tak perlu mengikuti lampu apil. Perjalanan ini serasa terus dimuluskan oleh Allah.

              Setelah agak jauh dari lokasi kejadian di mana aku menendang motor Mas Rian, kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Pria bermotor matik merah doff itu benar-benar tidak tampak lagi. Ada bulir-bulir cemas yang mengembun dalam hatiku.

              Sejuta tanya kini bercokol di kepala. Bagaimana kalau Mas Rian betulan jatuh dan ditabrak pengendara lain? Terus, bagaimana kalau dia patah tulang atau bahkan … meninggal dunia?

              Nauzubillah! Sebenci-bencinya aku kepada pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu, aku tetap tak ingin dia celaka. Apalagi karena ulahku sendiri.

              Yang kumau hanya perpisahan. Setelah cerai, kami berdua sama-sama mencari kebahagiaan di jalan yang berbeda. Semoga saja Mas Rian tidak kenapa-kenapa setelah motornya kutendang tadi.

              Kami sudah hampir dekat dengan tempat tujuan. Dari sini, aku bisa melihat bahwa kantor yang berfungsi sebagai warehouse barang masuk dari berbagai daerah itu, telah dibuka pintunya. Beberapa motor dan mobil juga sudah parkir di depannya.

              “Neng, jadi yang tadi itu siapa?” Bapak ojeg itu tiba-tiba bertanya sambil mengambil sisi kanan jalan untuk menyebrang.

              “Suami saya, Pak. Sudah mau cerai. Ini saya kabur dari rumah dia karena diperlakukan tidak etis!” terangku bersuara keras.

              “Neng, itu kayanya suaminya Neng jatuh, deh. Saya jadi takut dicari ini! Bagaimana dong, Neng?” Terdengar keresahan yang mendalam dari suara bapak-bapak kumisan tersebut.

              “Nggak, Pak. Nggak bakal. Kalaupun ada yang dicari, saya orangnya.”

              Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Tengkukku merinding hebat sekarang. Terbayang di pelupuk mata, apabila aku dicari oleh orangtuanya suamiku dan diperkarakan ke kantor polisi.

              Aku tidak salah, benakku. Kalau pun sampai dibawa ke jalur hukum, akan kujelaskan bahwa Mas Rian duluan yang menarik jilbabku. Aku juga akan katakan kepada polisi bahwa mertuaku sudah hampir menampar wajahku segala.

              Bapak ojeg sudah berhasil menyebrang. Motor yang kutumpangi kini telah berada di parkiran kantor JNR. Aku sangat lega, meski sebenarnya ngeri juga jika ternyata Mas Rian bakalan tiba ke sini sebentar lagi.

              “Neng, sudah sampai!”

              “Iya, Pak. Berapa biayanya?”

              Aku buru-buru turun sambil membawa serta tas yang telah menjadi pembatas antara aku dan pengendara ojeg di depanku. Napasku sungguh terengah-engah. Sementara kedua tungkaiku, terasa lemas luar biasa.

              “Tiga puluh ribu, Neng. Harusnya sih, lima puluh. Bukan karena jarak, tapi ini karena terlalu banyak tantangannya!” Bapak ojeg itu ikut terengah-engah.

              Mendengar ucapan si tukang ojeg, mataku membeliak. Tiga puluh ribu? Duitku tidak cukup!

              Aku buru-buru membuka ritsleting tasku. Mengambil dompet dari dalam sana. Ketika kubuka, isinya memang tinggal dua puluh ribu.

              “Pak, ini dua puluh. Sisanya saya pinjem teman di dalam dulu, ya,” mohonku dengan muka memelas.

              Bapak-bapak berkumis tebal yang telah berhias uban dan berperut buncit itu terlihat cemberut. Dia pasti mangkel sebab lagi-lagi aku sangat merepotkannya. “Buruan, Neng!” sergah pria itu padaku.

              Aku mengangguk. Buru-buru kubawa tas sambil berlari menuju bagian dalam kantor. Mataku langsung tertuju pada meja kerja dengan dua layar monitor komputer di atasnya.

              “Helena!” pekikku pada wanita yang tengah sibuk memandangi layar.

              Gadis berambut lurus sebahu dengan penampilan rapi itu menoleh. Sontak, Helena bangkit dari kursi kerjanya. Matanya membulat besar saat melihat kedatanganku.

              “Fika? Lho, ngapain bawa tas gede segala, Fik?!” Helena tampak kaget luar biasa.

              “Hel, aku boleh pinjam uang nggak? Sepuluh ribu aja!” pintaku frustrasi.

              “Ha? Sepuluh ribu? Bentar!” Helena terlihat gelagapan.

              Otak Helena pasti masih nge-lag sebenarnya. Terang saja. Siapa yang tidak terkejut jika orang yang baru datang, ujug-ujug minta uang sepuluh ribu.

              Helena merogoh saku celana hitamnya. Dari sana dia mengeluarkan uang dua pecahan sepuluh ribu sebanyak dua lembar. Tangan putih mulus dengan perhiasan emas di jari manis dan tengahnya itu pun mengulurkan uang tersebut padaku.

              “Ambil aja buat kamu, Fik!” katanya sambil mengangguk.

              “Nanti aku kembalikan. Bentar, ya!”

              Kusambar uang tersebut, lalu aku pun berlari tanpa membawa serta tas hitam yang kubiarkan tergeletak di lantai dekat meja komputer. Bapak tukang ojeg berjaket hijau lusuh itu sudah terlihat tak sabaran. Matanya langsung memicing ketika aku tiba di depan motornya.

              “Pak, ini. Saya bonusin sepuluh ribu,” ujarku sembari mengulungkan uang padanya.

              Akhirnya, si bapak ojeg itu tersenyum juga. “Makasih, Neng. Saran saya, buruan cerai aja. Neng itu cantik, kalau jadi janda pasti banyak yang mau.”

              Aku ternganga lebar ketika si bapak tukang ojeg itu mengatakan kalimat barusan. Si tukan ojeg itu pun lalu memacu kencang motornya. Meninggalkan diriku yang masih kepikiran akan ucapan beliau barusan.

               Saat aku masih terpaku di halaman parkir, tiba-tiba sebuah sedan putih masuk dan membunyikan klaksonnya nyaring-nyaring. Aku kaget luar biasa. Langkahku langsung mundur menjauh, demi memberikan pengendara mobil itu space.

              “Kurang ajar banget, sih!” makiku sambil mengelus dada.

              Sial, pikirku. Songong sekali pemilik mobil putih itu. Apa dia tidak bisa pakai cara yang halus untuk minta jalan?

              Mobil itu pun parkir di samping mobil box JNR yang berfungsi untuk mengantar dan menjemput barang kiriman konsumen ke bandara. Mataku masih saja tertuju pada sedan putih mewah mengkilap tersebut. Cuma pengen tahu, siapa sih, yang tega-teganya membunyikan klakson senyaring itu.

              “Fika?! Ngapain kamu ke sini? Mau ngebayar utang-utangnya Riankah?”

              Sosok yang baru saja keluar dari mobil itu membuat diriku terenyak. Apalagi kata-kata yang dia ucapkan barusan. Utang-utang apa?

Bab terkait

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   8. Rahasia Besar Mas Rian

    “P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya. Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan. Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini. Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-27
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   9. Celaka

    “Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-27
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   10. Utangmu Bukan Utangku

    “Pak, tapi saya nggak menikmati uang itu sama sekali!” Tanpa dapat dikontrol lagi, aku menjerit histeris di depan Pak Hanan. Lelaki yang memiliki tubuh dengan rambut-rambut yang cukup lebat itu tampak terkesiap. Helena yang masih standby di samping kananku pun langsung merangkul erat-erat. “Demi Allah, jangankan makan duit tiga puluh juta itu, Pak! Ngeliatnya aja saya nggak pernah!” tegasku dengan suara yang melengking. Dua klien yang sedang duduk di depan meja komputer itu pun lagi-lagi menoleh. Muka mereka terlihat tak nyaman. Aku sudah tidak memikirkan lagi akan tatapan aneh itu, yang penting masalah ini segera kelar. “Maksud saya ke sini adalah minta pertolongan Helena, Pak. Saya cuma mau pulang. Bukan mau mempertanggung jawabkan sebuah kesalahan yang bukan saya pelakunya!” tukasku terengah-engah. Kali ini, teleponku yang menginterupsi percakapan. Deringnya terdengar nyaring dari saku piyama lusuhku. Cepat kusek

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-27
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   11. Terkejut

    Tak ada yang sudi menolongku. Baik Helena, Dewangga, Firman, maupun pelanggan-pelanggan ekspedisi yang berdatangan lainnya. Rasanya sedih bukan main, diriku kini bak sampah yang tak dipedulikan oleh sesiapa pun. Akhirnya aku ikut bersama Pak Hanan. Masuk ke sedan BMW putih mentereng miliknya yang seingatku baru saja di beli sebulan sebelum aku dan Mas Rian menikah. Jangan tanya seperti apa banyaknya air mataku, yang pasti sangat sebak. “Nggak usah nangis kamu! Ngapain kamu nangis segala kaya orang ditinggal mati suami?!” Pak Hanan membentakku ketika dirinya tengah menyalakan mesin mobil. Aku kesal. Bukan main rasanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga dan tai ayam lancung pula. Hidupku hari ini seolah tengah dipeluk oleh takdir sial yang enggan pergi meski hanya sejenak. Kuputuskan untuk diam. Percuma sekarang menangis pun, pikirku. Pak Hanan dengan segala ketegaannya, pasti akan membawaku pergi. Entah itu ke rumah sakit

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-28
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   12. Sebuah Luka

    “I-ikut Bapak, deh,” gagapku gugup. Alis Pak Hanan saling bertaut. Bibirnya yang merah dengan bagian bawah tampak ditumbuhi bulu halus itu mengerucut tipis. Dia lalu mengerling ke arah si pelayan yang sudah menyibak gorden penutup etalase. “Nasi putihnya dua. Lauknya bawain komplet aja ke meja, biar kita bisa pilih. Oh, ya, minumnya es teh tiga gelas,” ucap Pak Hanan santai. Pelayan bertubuh sedang dengan potongan rambut belah tengah itu mengangguk patuh. Dia tersenyum ramah sembari mengedarkan pandang ke etalase yang telah dipenuhi ragam lauk. Sejurus kemudian, dua orang rekannya yang lain datang sambil menjinjing nasi panas dalam termos besar berwarna biru. “Silakan ditunggu, Pak, Bu. Makanannya akan segera kami hidangkan,” ucap si pelayan rambut belah tengah itu kepada kami. Pak Hanan pun menepuk pundakku. Aku yang terpana memperhatikan banyaknya lauk yang berususun-susun dalam piring berwarna putih itu pun gelag

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-28
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   13. Dipaksa Bertemu

    “Udah, ah! Jangan bahas yang aneh-aneh dulu. Otakku ngebul!” Pak Hanan dengan mulut penuh dan tangan yang berlumuran minyak serta kuah itu memungkas kalimatnya sendiri. Aku tak bereaksi apa-apa. Hanya diam. Menebak-nebak apa yang telah terjadi pada Pak Hanan pun, aku kesulitan. Perut yang lapar perlahan terisi oleh sajian yang Pak Hanan pesan. Sudah lama sekali aku tidak makan di restoran begini. Apalagi dengan lauk yang belakangan kunilai sangat mewah. Makan rendang daging sapi, terakhir kali pas lebaran Idul Adha dua bulan yang lalu. Itu juga karena dapat pembagian dari masjid. Kalau tidak dapat pembagian, ya wassalam! Uang belanja semuanya diberikan kepada ibu mertuaku. Suamiku beralasan, katanya sebagai orang yang menumpang kami berdua harus tahu diri. Aku juga tidak berani menuntut apa pun, karena pikirku Mas Rian pasti lebih paham akan yang terbaik. Enam bulan mengabdi sebagai istri. Jangankan beli bedak, lips

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-29
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   14 A. Derita

    Perasaanku semakin tak keru-keruan saat aku dan Pak Hanan sudah memasuki sedan BMW putih miliknya. Meski dia sempat mengajak bercanda dengan memanggilku ‘Dik Fika’, nyatanya candaan itu sama sekali tak menghibur. Pikiranku kusut seperti pita kaset yang ditarik awut-awutan. Penyebabnya? Tentu saja rencana Pak Hanan yang akan membawaku ke rumah sakit. Dia ingin menyerahkanku kepada Mas Rian. Ini benar-benar tega, pikirku. Sudah kujelaskan bahwa Mas Rian dan kedua orangtuanya hanya ingin memanfaatkanku. Namun, Pak Hanan sama sekali seperti tak memiliki nurani dan seperti sengaja mendorongku ke dalam lubang penderitaan baru. Di dalam mobil, aku bungkam. Tak bersuara. Apalagi memulai percakapan. Bukannya tak mau berterima kasih atas traktiran Pak Hanan. Hanya saja, apa yang mantan bosku lakukan itu seperti di luar nalar. Benakku bertanya, di manakah belas kasihan Pak Hanan kepada aku yang telah menjadi korban keganasan suami serta mer

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-29
  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   14 B. Apa Maksudmu?

    Pak Hanan menyejajari langkahnya di sebelahku. Aku tak kuasa untuk berjalan terlalu cepat. Bahkan, kepalaku terasa pusing dan sedikit berkunang-kunang ketika kami melaju menuju gedung utama rumah sakit. “Bos, aku kira, Bos masih lama ke sini.” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak keras di belakang kami ketika aku dan Pak Hanan sudah di depan ambang pintu masuk yang terbaut dari kaca. Aku kaget. Sontak kutoleh ke belakang. Ketika melihat sesosok pria tinggi besar dengan kulit hitam dan wajah yang sangar, dadaku makin mencelos. Pria itu berpotongan layaknya preman. Celana jinsnya belel dan sobek-sobek. Lihatlah ke arah lehernya. Pria dengan wajah khas Indonesia Timur itu mengenakan kalung emas berbentuk rantai sisik naga yang cukup tebal. Di jari manis kanannya pun, kulihat dia mengenakan sebuah cincin emas dengan motif cetakan bergambar naga. Dari gaya yang seperti itu, kuduga dia adalah seorang debt collector alias

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-29

Bab terbaru

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   37. Kejutan Sebenarnya

    BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   36. Kamu Adalah Pakaianku

    BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   35. Gairah di Malam Pertama

    BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   34. Bahagia Tanpanya

    “Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   33. Setujumu Bahagiaku

    Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   32. Imam Halal

    Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   31. Satu Pinta

    Mobil yang Pak Hanan kendarai telah sampai tepat di parkiran gerai Indojuni miliknya. Aku mendadak tercenung sekaligus gelisah mengetahui bahwa Pak Hanan bukannya segera mematikan mesin, tetapi malah menatap ke arahku. Dari gerak geriknya, dia seperti menanti jawabanku akan pertanyaannya tadi. “Bapak taunya dia nggak suka emangnya dari mana?” Aku malah balik bertanya dengan perasaan gugup dan gemetar di kedua tungkai. Tatapan mata Pak Hanan tiba-tiba menajam. Kedua alisnya yang tersusun rapi bak untaian daun cemara di batang tulangnya itu kini saling bertaut. Dipandangi begitu, keringat dingin semakin membanjiri sekujur tubuhku. “Entah. Mungkin cuma perasaanku aja. Tapi, aku boleh tanya langsung ke kamu?” Di dalam dadaku seperti terdengar letup-letupan yang berdentum keras. Aku setengah limbung. Kesadaranku seperti melayang separuhnya. Ya Allah, Pak Hanan … kamu ini kenapa, Pak? Pertanyaanmu apakah sengaja ingin men

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   30. Maksud Terselubung

    “Aku nggak nyangka sih, kamu bisa bicara sekasar itu sama aku, Hel. Dulu kamu nggak gini. Sekejap mata kamu berubah ke aku, tanpa aku tahu alasannya apa.” Tegas kukatakan semuanya pada Helena. Gadis itu kini tampak terperangkap dalam situasi yang canggung. Bahkan, kedua mata Helena tak berani menatapku. Mukanya yang putih mengkilap itu kini berubah semerah udang rebus. “Sudah ya, Hel. Masalah utang-utangmu ke aku, aku akan cicil semua. Kamu nggak usah khawatir masalah itu. Aku akan digaji oleh Pak Hanan dan setelah gajian semua utang pulsa maupun kuota ke kamu bakal aku ganti!” Aku membalik badan. Berjalan dengan langkah tergesa, sembari meredam debar-debar kencang di dada. Sepertinya adrenalin dalam darahku telah melesat setinggi-tingginya. Helena tak memanggilku untuk kembali. Pun mencegat langkah kaki ini. Baguslah, sepertinya memang tidak ada yang perlu untuk dijelaskan lagi padanya. Aku pun masuk ke mobil Pak H

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   29. Tegang

    Pak Hanan sontak menoleh ke arahku. Tatapan beliau seakan-akan menyimpan jutaan tanya. Yang kutangkap, sepertinya beliau ingin tahu mengapa kiranya Helena sampai terkejut begitu. Mungkin, pikir Pak Hanan, sebagai sepasang sahabat karib, aku telah menceritakan banyak hal pada Helena. Termasuk tinggalnya diriku di satu atap yang sama dengan Pak Hanan. Namun, nyatanya, ketika aku hendak jujur bercerita, Helena malah menyangkal hal itu mentah-mentah. Wajar bukan, kalau aku akhirnya berbohong pada gadis cantik berkulit putih itu? Pagi ini, rasanya aku juga tak mau cerita banyak pada Helena. Biarlah dia sibuk menebak-nebak sendiri apa yang terjadi kepada aku dan Pak Hanan. Aku dan Pak Hanan lalu sama-sama berjalan mendatangi meja Helena. Kulihat sekilas, wajah Helena semakin pias. Rautnya begitu syok campur tak percaya tatkala aku telah berdiri di depannya. “Len, mana yang lain? Dewangga, Firman, Aris, dan Ferdy?” Pak Hanan bertanya de

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status