“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya.
Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan.
Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini.
Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.
“Mana Rian? Kenapa malah kamu yang ke sini? Alasan apalagi yang dia pakai hari ini untuk bolos?”
Terperanjat diriku. Pak Hanan yang berlaku sebagai owner tetapi setiap harinya selalu menyempatkan diri untuk mengontrol perusahaan—berdasarkan pengalamanku selama bekerja di sini, mencakapiku dengan nada yang ketus. Aku langsung merasa tertindas oleh kata-katanya tadi.
“P-pak, maaf. Saya benar-benar nggak tahu tentang utang dan masalah bolosnya Mas Rian,” sahutku agak gelagapan.
Pak Hanan memicingkan matanya. Dia lalu menjulurkan lehernya ke belakang. Mungkin menoleh ke arah Helena.
“Tuh, jam segini, Helena cuma sendirian di meja admin. Mana si Ferdy? Ini lama-lama perusahaanku bangkrut gara-gara karyawan gila macam Ferdy dan Rian!”
Pak Hanan berjalan menuju pintu masuk kantor. Aku langsung membututinya. Aku menyesal karena harus terjebak di sini, di saat Pak Hanan datang dan malah marah-marah kepadaku.
“Duduk dulu kamu Fika! Kebetulan sekali, saya mau bicara tentang Rian ini!” Pak Hanan mengajakku duduk di bangku besi panjang yang biasa dipakai konsumen untuk menunggu atau mengantre.
Berdegup-degup jantungku. Sebelum duduk, aku menyambar tas jinjing hitamku terlebih dahulu. Jelas saja, Pak Hanan semakin memperhatikan dengan ekspresi yang terheran-heran.
“Ngapain kamu bawa tas besar ke sini segala? Sebenarnya, tujuanmu ke sini apa?” Pak Hanan yang duduk sambil menyilangkan kakinya ke atas itu melirikku tajam.
“P-pak … begini sebenarnya,” gagapku sambil menarik napas.
“Saya ke sini mau minta tolong Helena, Pak. Rencananya, saya mau pulang kampung naik bus dan pinjam uang Helena. Saya nggak pegang duit sama sekali soalnya,” terangku menahan malu yang luar biasa.
Manik cokelat milik Pak Hanan membeliak. Pria berhidung tinggi dengan cuping ramping itu seperti terperanjat mendengar ceritaku. Helena yang tadinya duduk di kursi kerjanya pun, mendadak bangkit.
“Kamu bukannya baru pulang dari kampungmu kemarin, Fik?” Helena yang memang sering berkirim W******p denganku itu terkejut bukan main.
Aku mengangguk lemah. Helaan napas panjang lagi-lagi mengembus dari mulutku. Sesak rasanya.
“Ngapain kamu mau pulang sampai pinjam uang ke Helena segala? Mana suamimu? Apa kamu dibanting sama Rian, gara-gara dia banyak utang?” Pak Hana terus mencecarku dengan banyak pertanyaan.
Helena pun buru-buru keluar dari meja kerjanya. Dia mendatangiku, lalu duduk persis di sebelahku. Tanpa banyak bicara, tangan Helena langsung merangkul hangat.
“S-saya tengkar sama Mas Rian dan keluarganya, Pak,” jelasku sambil menahan kaca-kaca yang mulai mengembun di netra.
“Tengkar? Pasti masalah duit, ya!” Pak Hanan terdengar antusias sekaligus geram.
“M-masalah … harta warisan almarhum ayah saya yang baru meninggal dua minggu lalu,” lirihku tersengal.
Dekapan Helena langsung erat ke tubuhku. Tanpa sadar, air mataku tumpah. Sebenarnya aku ogah menangisi hal ini, tetapi semua benar-benar di luar kendaliku.
“Rian minta harta warisanmu, begitu?” tanya Helena pelan.
“Ibunya. Sama bapaknya. Mereka tiba-tiba nanya tentang jatah warisanku, Hel ….”
“Astaghfirullah! Kok, mertuamu begitu, sih?” Helena kelihatan tak habis pikir mendengar penjelasan dariku.
“Kamu ini, Len! Masa begitu aja diheranin. Orangtuanya pasti butuh duitlah buat ngelunasin utang-utangnya si Rian!” Lagi-lagi Pak Hanan mencerocos dengan nada yang penuh murka.
Aku langsung menarik diri dari pelukan Helena. Masih bertanya-tanya, sebenarnya Mas Rian ada utang berapa kepada bosnya? Selama ini, dia tidak pernah terbuka kepadaku masalah utang piutang.
Kuseka air mataku yang membasahi pipi. Kutarik napas dalam, sembari memberanikan diri untuk menatap Pak Hanan. Wajah pria yang berusia hampir 40 tahun tetapi tetap tampil necis itu kulihat agak gusar.
“Bapak, maaf sebelumnya. Mas Rian punya utang berapa, ya? Demi Allah saya nggak pernah tahu, karena dia nggak cerita ke saya.”
“Habis kalian nikah itu, dia pinjam uang secara pribadi ke saya. Totalnya tiga puluh juta rupiah! Dia nyicilnya pakai gaji yang dipotong.”
Terenyak diriku luar biasa. Apa? Tiga puluh juta?
Untuk apa uang itu? Ya Allah, mengapa Mas Rian tidak cerita sama sekali? Lantas, ke mana uang itu perginya?
“T-tiga puluh juta?” gagapku tak percaya.
“Iya. Dia bilang butuh untuk berobat ibunya. Cuma, anak-anak bilang ibunya sehat-sehat aja, tuh!” Pak Hanan sampai meremas jari jemarinya hingga terdengar bunyi gemeletuk dari ruas sendinya.
“Okelah, terserah duit itu mau dia bikin apa. Setelah tiga bulan berlalu, dia mohon kalau gajinya jangan dipotong dulu karena sedang kesulitan ekonomi. Dia nangis-nangis sampai nyium kakiku segala!”
Telunjuk Pak Hanan terhunus ke arah kakinya. Bibirnya menipis geram. Belum lagi warna kulit wajahnya yang berubah merah padam.
“Kusuruh dia lembur supaya bonus lemburannya itu buat nutupin utang. Jam istirahat kusuruh dia kerja terus dan kalau bisa pulangnya dua jam lebih telat. Kamu tahu apa?”
Aku langsung menggelengkan kepala. Karena, jujur saja aku tak melihat ada perubahan apa pun pada diri Mas Rian. Semuanya berjalan seperti biasa, kecuali kebiasaannya yang kerap bermain game sepulang bekerja hingga dini hari.
“Dia nggak pernah pulang lambat dan malah ngilang-ngilang gitu aja sebelum jam pulang. Dia pikir, karena aku ke sini cuma pas pagi doang, aku jadi nggak tahu kelakuan dia!” Gemas. Satu kata itulah yang menggambarkan sosok Pak Hanan sekarang.
“Seminggu ini, dia sudah tiga kali tidak masuk kerja. Pertama, katanya sakit kepala sampai mau meninggal,” terang Pak Hanan berapi-api.
“Kedua itu yang kemarin. Katanya mau ngejemput kamu di kampung. Nah, yang ketiga ya hari ini! Jadi, sekarang dia di mana, Fika?!”
Saat aku hendak menyahut pertanyaan Pak Hanan, tiba-tiba ponsel di saku celana jins milik pria di sebelah kiriku itu berdering kencang. Pak Hanan cepat merogoh sakunya dengan mimik kesal. Semakin merah padam wajahnya ketika menatap nama yang tertera di layar.
“Nah, ini nomor suamimu! Mau bikin alasan apalagi dia? Mau bilang kalau rumah tangganya hancur gara-gara warisan, terus izin nggak masuk lagi? Kulaporkan ke polisi saja si Rian ini biar dia membusuk di penjara!”
Napasku tercekat. Jangan bilang kalau yang tadi terjatuh di jalan itu bukan suamiku, melainkan orang lain. Berarti … aku secara tak langsung sudah mencelakai orang lain?
“Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada
“Pak, tapi saya nggak menikmati uang itu sama sekali!” Tanpa dapat dikontrol lagi, aku menjerit histeris di depan Pak Hanan. Lelaki yang memiliki tubuh dengan rambut-rambut yang cukup lebat itu tampak terkesiap. Helena yang masih standby di samping kananku pun langsung merangkul erat-erat. “Demi Allah, jangankan makan duit tiga puluh juta itu, Pak! Ngeliatnya aja saya nggak pernah!” tegasku dengan suara yang melengking. Dua klien yang sedang duduk di depan meja komputer itu pun lagi-lagi menoleh. Muka mereka terlihat tak nyaman. Aku sudah tidak memikirkan lagi akan tatapan aneh itu, yang penting masalah ini segera kelar. “Maksud saya ke sini adalah minta pertolongan Helena, Pak. Saya cuma mau pulang. Bukan mau mempertanggung jawabkan sebuah kesalahan yang bukan saya pelakunya!” tukasku terengah-engah. Kali ini, teleponku yang menginterupsi percakapan. Deringnya terdengar nyaring dari saku piyama lusuhku. Cepat kusek
Tak ada yang sudi menolongku. Baik Helena, Dewangga, Firman, maupun pelanggan-pelanggan ekspedisi yang berdatangan lainnya. Rasanya sedih bukan main, diriku kini bak sampah yang tak dipedulikan oleh sesiapa pun. Akhirnya aku ikut bersama Pak Hanan. Masuk ke sedan BMW putih mentereng miliknya yang seingatku baru saja di beli sebulan sebelum aku dan Mas Rian menikah. Jangan tanya seperti apa banyaknya air mataku, yang pasti sangat sebak. “Nggak usah nangis kamu! Ngapain kamu nangis segala kaya orang ditinggal mati suami?!” Pak Hanan membentakku ketika dirinya tengah menyalakan mesin mobil. Aku kesal. Bukan main rasanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga dan tai ayam lancung pula. Hidupku hari ini seolah tengah dipeluk oleh takdir sial yang enggan pergi meski hanya sejenak. Kuputuskan untuk diam. Percuma sekarang menangis pun, pikirku. Pak Hanan dengan segala ketegaannya, pasti akan membawaku pergi. Entah itu ke rumah sakit
“I-ikut Bapak, deh,” gagapku gugup. Alis Pak Hanan saling bertaut. Bibirnya yang merah dengan bagian bawah tampak ditumbuhi bulu halus itu mengerucut tipis. Dia lalu mengerling ke arah si pelayan yang sudah menyibak gorden penutup etalase. “Nasi putihnya dua. Lauknya bawain komplet aja ke meja, biar kita bisa pilih. Oh, ya, minumnya es teh tiga gelas,” ucap Pak Hanan santai. Pelayan bertubuh sedang dengan potongan rambut belah tengah itu mengangguk patuh. Dia tersenyum ramah sembari mengedarkan pandang ke etalase yang telah dipenuhi ragam lauk. Sejurus kemudian, dua orang rekannya yang lain datang sambil menjinjing nasi panas dalam termos besar berwarna biru. “Silakan ditunggu, Pak, Bu. Makanannya akan segera kami hidangkan,” ucap si pelayan rambut belah tengah itu kepada kami. Pak Hanan pun menepuk pundakku. Aku yang terpana memperhatikan banyaknya lauk yang berususun-susun dalam piring berwarna putih itu pun gelag
“Udah, ah! Jangan bahas yang aneh-aneh dulu. Otakku ngebul!” Pak Hanan dengan mulut penuh dan tangan yang berlumuran minyak serta kuah itu memungkas kalimatnya sendiri. Aku tak bereaksi apa-apa. Hanya diam. Menebak-nebak apa yang telah terjadi pada Pak Hanan pun, aku kesulitan. Perut yang lapar perlahan terisi oleh sajian yang Pak Hanan pesan. Sudah lama sekali aku tidak makan di restoran begini. Apalagi dengan lauk yang belakangan kunilai sangat mewah. Makan rendang daging sapi, terakhir kali pas lebaran Idul Adha dua bulan yang lalu. Itu juga karena dapat pembagian dari masjid. Kalau tidak dapat pembagian, ya wassalam! Uang belanja semuanya diberikan kepada ibu mertuaku. Suamiku beralasan, katanya sebagai orang yang menumpang kami berdua harus tahu diri. Aku juga tidak berani menuntut apa pun, karena pikirku Mas Rian pasti lebih paham akan yang terbaik. Enam bulan mengabdi sebagai istri. Jangankan beli bedak, lips
Perasaanku semakin tak keru-keruan saat aku dan Pak Hanan sudah memasuki sedan BMW putih miliknya. Meski dia sempat mengajak bercanda dengan memanggilku ‘Dik Fika’, nyatanya candaan itu sama sekali tak menghibur. Pikiranku kusut seperti pita kaset yang ditarik awut-awutan. Penyebabnya? Tentu saja rencana Pak Hanan yang akan membawaku ke rumah sakit. Dia ingin menyerahkanku kepada Mas Rian. Ini benar-benar tega, pikirku. Sudah kujelaskan bahwa Mas Rian dan kedua orangtuanya hanya ingin memanfaatkanku. Namun, Pak Hanan sama sekali seperti tak memiliki nurani dan seperti sengaja mendorongku ke dalam lubang penderitaan baru. Di dalam mobil, aku bungkam. Tak bersuara. Apalagi memulai percakapan. Bukannya tak mau berterima kasih atas traktiran Pak Hanan. Hanya saja, apa yang mantan bosku lakukan itu seperti di luar nalar. Benakku bertanya, di manakah belas kasihan Pak Hanan kepada aku yang telah menjadi korban keganasan suami serta mer
Pak Hanan menyejajari langkahnya di sebelahku. Aku tak kuasa untuk berjalan terlalu cepat. Bahkan, kepalaku terasa pusing dan sedikit berkunang-kunang ketika kami melaju menuju gedung utama rumah sakit. “Bos, aku kira, Bos masih lama ke sini.” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak keras di belakang kami ketika aku dan Pak Hanan sudah di depan ambang pintu masuk yang terbaut dari kaca. Aku kaget. Sontak kutoleh ke belakang. Ketika melihat sesosok pria tinggi besar dengan kulit hitam dan wajah yang sangar, dadaku makin mencelos. Pria itu berpotongan layaknya preman. Celana jinsnya belel dan sobek-sobek. Lihatlah ke arah lehernya. Pria dengan wajah khas Indonesia Timur itu mengenakan kalung emas berbentuk rantai sisik naga yang cukup tebal. Di jari manis kanannya pun, kulihat dia mengenakan sebuah cincin emas dengan motif cetakan bergambar naga. Dari gaya yang seperti itu, kuduga dia adalah seorang debt collector alias
“Pak, tolong jangan buat saya jadi serba salah begini,” ucapku rikuh sambil masih berusaha mengelak dari dekapannya. “Udah. Kamu ikut aja apa kataku. Apa kamu pengen kalau hidupmu lebih susah lagi?” Pak Hanan mendekatkan wajahnya lagi. Kalau sudah begini, aku langsung kagok luar biasa. Cepat kupalingkan wajah darinya. Terdengar suara decihan dari mulut Pak Hanan. Pria beraroma kayu manis, sitrus, dan bergamot itu lalu berjalan lagi. Kali ini ayunan langkahnya lebih santai dan tentu saja masih merangkul pundakku. Elia sudah terlebih dahulu sampai di depan pintu bangsal Bimasakti yang dijelaskan oleh suster tadi. Kutengok, pria berperawakan atletis itu tak lagi mengetuk pintu. Melainkan, langsung masuk dengan gerakan santai tanpa beban. “Ya Allah,” gumamku sambil memegangi dada sendiri. Debaran di dadaku begitu kencang. Aku limbung lagi. Rasanya telapak kaki ini tak berpijak di bumi, saking ngerinya.
BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula
BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel
BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara
“Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan
Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany
Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan
Mobil yang Pak Hanan kendarai telah sampai tepat di parkiran gerai Indojuni miliknya. Aku mendadak tercenung sekaligus gelisah mengetahui bahwa Pak Hanan bukannya segera mematikan mesin, tetapi malah menatap ke arahku. Dari gerak geriknya, dia seperti menanti jawabanku akan pertanyaannya tadi. “Bapak taunya dia nggak suka emangnya dari mana?” Aku malah balik bertanya dengan perasaan gugup dan gemetar di kedua tungkai. Tatapan mata Pak Hanan tiba-tiba menajam. Kedua alisnya yang tersusun rapi bak untaian daun cemara di batang tulangnya itu kini saling bertaut. Dipandangi begitu, keringat dingin semakin membanjiri sekujur tubuhku. “Entah. Mungkin cuma perasaanku aja. Tapi, aku boleh tanya langsung ke kamu?” Di dalam dadaku seperti terdengar letup-letupan yang berdentum keras. Aku setengah limbung. Kesadaranku seperti melayang separuhnya. Ya Allah, Pak Hanan … kamu ini kenapa, Pak? Pertanyaanmu apakah sengaja ingin men
“Aku nggak nyangka sih, kamu bisa bicara sekasar itu sama aku, Hel. Dulu kamu nggak gini. Sekejap mata kamu berubah ke aku, tanpa aku tahu alasannya apa.” Tegas kukatakan semuanya pada Helena. Gadis itu kini tampak terperangkap dalam situasi yang canggung. Bahkan, kedua mata Helena tak berani menatapku. Mukanya yang putih mengkilap itu kini berubah semerah udang rebus. “Sudah ya, Hel. Masalah utang-utangmu ke aku, aku akan cicil semua. Kamu nggak usah khawatir masalah itu. Aku akan digaji oleh Pak Hanan dan setelah gajian semua utang pulsa maupun kuota ke kamu bakal aku ganti!” Aku membalik badan. Berjalan dengan langkah tergesa, sembari meredam debar-debar kencang di dada. Sepertinya adrenalin dalam darahku telah melesat setinggi-tingginya. Helena tak memanggilku untuk kembali. Pun mencegat langkah kaki ini. Baguslah, sepertinya memang tidak ada yang perlu untuk dijelaskan lagi padanya. Aku pun masuk ke mobil Pak H
Pak Hanan sontak menoleh ke arahku. Tatapan beliau seakan-akan menyimpan jutaan tanya. Yang kutangkap, sepertinya beliau ingin tahu mengapa kiranya Helena sampai terkejut begitu. Mungkin, pikir Pak Hanan, sebagai sepasang sahabat karib, aku telah menceritakan banyak hal pada Helena. Termasuk tinggalnya diriku di satu atap yang sama dengan Pak Hanan. Namun, nyatanya, ketika aku hendak jujur bercerita, Helena malah menyangkal hal itu mentah-mentah. Wajar bukan, kalau aku akhirnya berbohong pada gadis cantik berkulit putih itu? Pagi ini, rasanya aku juga tak mau cerita banyak pada Helena. Biarlah dia sibuk menebak-nebak sendiri apa yang terjadi kepada aku dan Pak Hanan. Aku dan Pak Hanan lalu sama-sama berjalan mendatangi meja Helena. Kulihat sekilas, wajah Helena semakin pias. Rautnya begitu syok campur tak percaya tatkala aku telah berdiri di depannya. “Len, mana yang lain? Dewangga, Firman, Aris, dan Ferdy?” Pak Hanan bertanya de