POV AYU
Aku dan Mas Arfan menemui Pak Erik di kantornya. Namun, aku sama sekali tidak melihat Mas Damar. Ah, biarkan sajalah. Toh, kami sudah harus berpisah.Kedatanganku untuk meminta maaf pada Pak Erik tentang kejadian beberapa hari lalu. Memang dia bilang tidak masalah, tetapi kami merasa tidak enak.Mas Arfan pun mengajakku datang ke kantor itu. Walau beberapa orang menatap aneh, aku tak peduli. Mungkin masih masalah kemarin, sungguh Mas Damar membuat keributan yang sangat parah."Saya, kan sudah bilang nggak masalah Pak Arfan. Bukan Bu Ayu yang salah, tapi Damar yang salah," ujar Pak Erik."Saya tetap nggak enak, gara-gara adik ipar saya. Dan maaf juga karena saya nggak bilang kemarin, kalau Damar suami Ayu karena saya pikir tidak usahlah. Toh, mereka akan berpisah."Aku menyenggol Mas Arfan. Tidak usahlah masalah seperti itu dibahas. Lagi pula, tidak baik juga."Damar sudah mengundurk"Bu, nggak masak?" Aku bertanya kala bangun tidur belum ada sarapan untukku.Malas pulang akhirnya memilih menginap di rumah ibu saja. Lagi pula pulang ke rumah pun tidak ada yang dirindukan. Kangen anak-anak juga. Mau bagaimana lagi, Ayu tetap kekeh meminta cerai."Bu, kok ditanya malah diam saja." Kembali aku menyapa Ibu."Kamu, kan belum kasih jatah bulan ini. Bagaimana bisa makan?""Emang masak mie atau beli nasi uduk aja nggak ada uang, Bu? Harus nunggu jatah bulanan gitu? Ibu tahu aku lagi nggak kerja." Kuambil uang di kantung, 2 lembar 10.000."Beli apa segini?" tanyanya dengan wajah kesal."Nasi uduk aja, dapat 4 kalau masih 5.000-an," jawabku asal.Tanpa menjawab ibu pergi dari hadapanku. Pusing juga kalau nasi uduk yang murah saja harus aku yang mengeluarkan uang. Duh, nasib otw bujang.Sejak tadi notifikasi grup alumni SMA tak kunjung berhenti. Sejenak aku tengok sudah 300
Kurapihkan baju yang sudah kuletakan di lemari bajuku. Lalu, kembali kumasukan ke dalam koper."Loh, kamu mau ke mana?" tanya ibu yang menyumbul dari balik pintu."Pulanglah." Aku menjawab santai."Loh, kok pulang? katanya mau lama di sini? Lagian, kan di rumahmu nggak ada siapa-siapa, Mar." Ibu membujukku agar aku mau tetap tinggal.Namun, maaf, Bu. Aku tidak bisa karena aku sudah pusing melihat kondisi rumah ini. Setiap saat hanya uang dipikiran ibu."Aku mau nginep di rumah Mba Laras. Pusing sama Ibu sebentar-sebentar minta uang," kataku kesal.Wajah ibu masam mendengar penuturan dariku. Sudah tahu anaknya sedang kesusahan, bukannya berhenti meminta uang. Ini malah kaya kesempatan."Terus, yang ngasih Ibu uang siapa?" tanyanya."Nikah lagi Aja cari kakek-kakek kaya. Biar Ibu ada yang nafkahi," jawabku asal.Aduh, dengan kesal ibu menoyor kepalaku. Apa yang salah, a
Aku lupa jika mereka pernah bersitegang. Mba Laras tidak menyukai Erika. Bagaimana jika dia tahu aku akan bertemu dengannya? Apalagi mendapat pekerjaan di kantor tempat ia bekerja. Ah, aku tak peduli hal itu, yang penting bisa bekerja dahulu mengumpulkan pundi uang untuk biaya hidup. Apalagi semakin hari ibu semakin banyak permintaan. Sudah lama aku tidak menikmati sarapan pagi, terakhir saat Ayu masih berada di rumah itu pun hanya telur goreng. Setelah itu ya, dengan nasi goreng. Walau itu lagi, itu lagi yang penting irit deh. Kenapa aku jadi memikirkan Ayu? Sedang apa dia? Bagaimana responnya saat aku akan mengenalkannya dengan Erika? Dia harus tahu jika aku akan baik-baik saja saat dia pergi. Kamu pikir aku tidak bisa mencari yang lebih baik. Hanya karena uang bulanan saja kamu marah. Lagi pula dia tidak aku dengan ibuku. Semoga saja Erika bisa akur dengan ibu. Itu, kan yang ibu mau mendapat menantu yang bekerja. Pastilah ibu akan senang. “Mar, mau
Aku cukup menarik, dengan wajah menawan, pasti Erika akan tertarik padaku. Interview kali ini harus berhasil karena aku pun butuh uang. Namun, bagaimana pun hasilnya, memang semua ketentuan Allah.Senang sekali rasanya bisa satu kantor dengan Erika. Memang Ayu saja yang sudah move on? Lihat saja, Yu, aku akan perkenalkan kamu dengan Erika.Pukul 07.00 aku sudah berada di kantor tempat Erika bekerja. Demi cepat sampai, aku tidak sempat sarapan dan bertemu dengan Mba Laras.Netraku melihat sosok cantik yang datang menghampiri. Senyumnya membuat pagi semakin cerah"Kamu sudah lama menunggu, ya?" tanya Erika."Iya, ngak apa-apa." Demi apa pun, kamu cantik Erika.Dengan blouse cokelat dan netra dengan soft lance. Duh bikin aku ingin kembali ke masa lalu. Bodoh sekali pria yang menceraikannya. Wanita seperti Erika dia sia-siakan."Yuk, ketemu bos aku," ujar Erika."Eh, iya."Berdoa sembari berharap dapa
POV AyuMencoba tegar dan memang seharusnya seperti itu. Gugatan cerai saja belum sampai ke tangannya, ini sudah memperkenalkan wanita yang dulu pernah menjadi kekasihnya.Dia pikir aku akan cemburu atau marah. Namun, aku sudah berjanji pada diri sendiri jika tidak ada namanya lemah di hadapan Mas Damar. Pria itu harus tahu kalau aku bisa tanpa dia.Aku tidak perlu menguras energi untuk marah atau memaki karena sudah terwakilkan oleh Mba Laras. Sepertinya mereka pernah kenal dan bermasalah. Bodohnya, Mas Damar tidak mengerti.Aku meredam emosi sesaat dengan cokelat hangat yang kupesan. Siang ini memang ada jadwal bertemu klien baru. Namun, tidak tahu malah dipertemukan oleh calon mantan suami.Aku tahu di sengaja duduk di tempat itu. Agar bisa memantau aku mungkin."Gila emang, nggak suka aku sama mantannya si Damar itu," ujar Mba Laras."Kenapa memang?" Aku mencoba mencari tahu.Mba Laras menarik n
Tangan ini mengepal keras saat Ayu mengatakan banyak yang menunggunya menjadi janda. Sial sekali, pantas saja dia berani menggugat cerai dariku.Belum lagi mereka semua pria yang lebih mapan dariku. Kesal aku dibuatnya hari ini. Niat hati membuat dia kesal, malah aku yang merasa terbakar hati ini.Dia masih istriku, tapi kenapa seolah-olah sudah berpisah dariku. Belum lagi Mba Laras yang berada di pihaknya. Semakin menjadi saja dia sepertinya.Harusnya, dia marah dan cemburu. Semua di luar dugaanku. Aku harus cari tahu dari Mba Laras siapa Pak David itu. Apa hanya sekadar klien atau memang sudah kenal dari dulu, tapi malah aku tidak tahu.Memang semenjak menikah, aku membatasi pergaulannya. Smaa sekali tidak boleh berkomunikasi dengan teman prianya. Dan Ayu pun menuruti kemauanku.Asataga, aku lupa kalau Erika menungguku di lobi kantor. Gara-gara mengejar Ayu, aku lupa segalanya. Awas saja kamu, Ayu.Kulih
Mba Laras menanti jawabanku tentang luka di wajah ini. Namun, aku enggan menjawabnya, pasti ia akan kembali mengoceh karena luka di wajah akibat ulah mantan Erika.Ibu sudah sadar, tapi masih saja menangis. Bingung juga harus melakukan apa. Mba Laras mulai mengintrogerasi ibu."Huhu ... kamu ,tuh, Ras. Bukannya urusin ibumu, malah marah. Huhu ...." Lagi, air mata ibu menetes kala Mba Laras terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.Bagaimana tidak marah, sudah beberapa hari, ibu selalu membuat masalah dan cukup membuat aku dan Mba Laras pusing."Aku bukan nggak mau urusin Ibu, tapi ya ibu berubah dong. Jangan seperti itu terus, berubah jadi lebih baik." Mba Laras menarik napas dalam.Ya, wajar Mba Laras marah. Aku pun semakin ke sini merasa berat dengan sikap ibu. Apalagi dengan tuntutan yang berlebihan.&n
Tangan ini terasa kaku untuk menandatangani berkas ini. Rasanya baru kemarin kami bercengkrama dan memilki Anita yang lahir kedunia. Namun, aku sama sekali tidak menyangka jika saat ini Ayu sedang menggugat perceraian kami.Rasanya ingin sekali aku tidak menandatangani ini dan memintanya kembali. Namun, jika mengingat ia bersama Pak Erik dan Pak David, rasanya aku sangat muak.Ponsel bergetar tanda pesan masuk. Gegas aku mengambilnya dari saku. Ternyata pesan dari Arman. Sebuah undangan bertuliskan nama Pak Erik.Gegas aku membaca nama mempelai wanitanya. Ya Allah, namanya bukan Ayu. Melainkan Diah. Jadi, selama ini aku salah paham?[Bro, ada undangan dari Pak Erik. Itu nama bukan nama bini Lo, kan?]Jelas bukan nama Ayu. Lalu, masalahnya apa Arman bertanya itu.[Bukan, emang kenapa?]Kukirim lagi pesan untuk Arman.[Hahaha ... jadi, lo sia-sia udah ngamuk, eh di pecat. Ternyata, salah paham. Lo
Ibu Andar terduduk di teras rumah. Sudah semingguan acara pernikahan Damar berlangsung. Ia merasa lega karena kini penyesalan dirinya sudah terbayarkan.Ia menyesal karena dirinya, kebahagiaan anak-anaknya hilang. Mulai dari Laras, hubungan mereka renggang saat ia ikut campur dalam rumah tangga sang anak. Kedua, rumah tangga Damar yang hancur olehnya. Ketiga, masalah Asih yang membuatnya sangat bersalah.Ia teringat lima bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan tetangga beberapa gang dari rumahnya."Ya ampun, Bu Andar lihat, deh. Ini anakmu bagaimana, sih. Masa istri barunya jadi pemeran video porno. Iki, loh," tujuk Bu Sentot sambil memperlihatkan video Erika bersama Yuda.Wajah Bu Andar memerah menahan malu juga amarah. Lalu, ia merampas ponsel milik Bu Sentot dan menghapus videonya."Ih, Bu Andar, lancang sekali, sih. Ini hape saya, nggak ada tatakrama sekali, main ambil saja. Pantas saja anak-anak ibu pada
Menunggu jawaban dari Ayu membuat Damar tak sabar. Ia kembali bertanya dengan dada yang begitu berdebar.Sorot mata Ayu mengisyaratkan ia ingin kembali, tetapi keraguan kembali membuncah di dada."Yu, bagaimana? Demi aku dan anak-anak?" Lagi, pertanyaan itu terus mendesak Ayu.Batinnya pun tersiksa saat Damar memutuskan untuk tetap pergi ke Surabaya. Terkadang berkirim pesan dengan mengatas namankan anak membuatnya sedikit lega melihat aktivitas sang mantan suami."Yu, mau nggak? Kalau mau, nanti aku bawa keluarga aku untuk datang kembali, dan semoga saja ibu sudah bisa lebih baik.""Mas, apa kamu yakin?""Kalau aku nggak yakin, buat apa aku datang.""Aku--aaku, mau, Mas. Dengan syarat," ucap Ayu."Full gaji di transfer gitu?" Damar menaikkan kedua alisnya."Nggak, tapi janji, kamu mau berubah, tidak seperti dulu.""Janji, sih, mudah. Kamu bantu aku mengingatkan, bagim
Lima bulan berlalu begitu cepat. Kini, Ayu memulai semuanya dengan baik. Kabar pernikahan David pun membuat ia senang, walau tidak secara besar-besaran, pernikahan CEO itu mengundang banyak kontroversi karena anak yang di bawa Viola.Aku mengitari sebuah mall untuk membeli perlengkapan untuk kedua anaknya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Viola.Viola mengajak untuk berbincang di sebuah tempat makan. Ia pergi sendiri karena Gista bersama Oma Meria."Terima kasih, Yu. Kamu memberikan hari bahagia untuk anakku. Berkat kamu, anakku kembali tersenyum. Setiap malam tidur bersama ayahnya." Sembari menggenggam tangan Ayu, manik mata Viola itu meneteskan air mata."Maaf, aku mengambil kebahagiaanmu," ucap Viola lagi."Nggak, kok. Aku bahagia, memang aku dan David nggak berjodoh. Untuk apa memaksakan. Memang dia ada untuk kalian, bukan aku. Aku senang bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian." Senyum tulus Ayu membuat dirinya semakin bers
David sengaja menunggu Ayu pulang dari kantor. Ia duduk di lobi kantor Laras. Sudah beberapa hari ia tidak bisa menghubungi Ayu."Yu, kita perlu bicara," ujar David saat melihat Ayu ke luar."Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi." Ayu terlihat sangat sengit menatap David.David terus saja memohon untuk bicara. Laras yang sedang bersamanya, memberi kode untuk berbicara saja dengan pria itu. Lebih baik untuk menyelesaikan masalah mereka."Baik, kita bicara.""Ya."Mereka memilih berbicara di sebuah tempat makan tidak jauh dari kantor. Ayu memesan cokelat hangat, sedangkan David memilih hanya memesan teh hangat saja."Yu, dengarkan aku. Saat ini, hati aku hanya untuk kamu dan nggak akan pernah mendua. Viola hanya masa lalu aku," ujar David."Tapi ada anak itu diantara kalian." Ayu menarik napas panjang.Ia juga perempuan, memiliki anak dan pasti hatinya sakit melihat David t
"Aku pamit, Yu," ucap Damar saat menemui Ayu di kantor Laras.Pria itu sengaja berpamitan, untuk memberitahu jika dia akan ke Surabaya dan menetap lama di sana."Bagaimana dengan anak-anak jika bertanya tentang kamu?" tanya Ayu."Katakan saja seperti biasa. Aku sedang bekerja dan mencari uang untuk mereka. Aku janji, sebulan sekali atau ada kesempatan ke Jakarta, aku akan bertemu dengan kalian, maksud aku anak-anak." Sedikit lega karena Damar merasa lebih baik ia menjauh dari Ayu.Seperti ada yang hilang, tetapi Ayu mencoba menenangkan hatinya. Dirinya hanya merasa sedikit sedih saat Damar pergi. Bukan karena hal lainya. Hanya bingung bagaimana jika kedua anaknya bertanya tentang Papanya."Ini, uang bulanan mereka," ucap Damar.Ayu mengambilnya, ia memperhatikan wajah Damar yang terlihat berbeda dari biasanya. Ia begitu tirus dan kurus."Aku pamit.""Cie, ada yang sedih mau di t
Damar menaruh kembali ponsel di nakas. Ia kembali mengerjakan beberapa pekerjaan miliknya. Ia tidak mau membahas lagi tentang Erika, baginya, perselingkuhan tidak bisa di tolerir walau dengan kata maaf.Beberapa karyawan sudah berbicara dengannya. Banyak yang bersimpati dengan pria dua anak itu. Bahkan, ia pun di panggil oleh atasannya."Pak Damar, di panggil pak bos," ujar Simon."Iya, aku ke sana."Dengan langkah gontai, Damar menuju ruang bos. Mengetuk pintu dan ia segera masuk ke dalam."Ada apa, Pak?" tanya Damar."Saya sudah melihat video istri kamu, kamu oke?" Pak Mario mempertanyakan kondisi Damar."Saya oke, ya, walau sedikit perih." Damar menjawab dengan tawa."Saya mau memastikan kamu baik-baik saja.""Saya masih bisa bekerja dengan baik kok, Pak. Tenang saja," jawab Damar."Baik, begini, Pak Damar, kami ada cabang perusahaan di kota Surabaya, di sana
"Mas bagaimana ini?" Erika panik bukan main.Begitu juga ibunya Erika, wanita tua itu tidak mengerti bisa berada dalam situasi seperti itu. Bu Hindun panas dingin, seketika dadanya terasa sesak kian mendalam."Rik, duh dada ibu sesak ini," keluhnya."Aduh ibu, kenapa?"Geduran keras dari luar memaksa Yudi dan Erika akhirnya ke luar dari mobil. Maria dengan puas tersenyum sinis.Ia menarik Erika dan mendorong tubuh itu hingga terjatuh di tanah. Tidak terima, Erika bangkit dan ingin mendorong Maria, tetapi oleh teman Maria di tarik kembali."Jadi ini, wanita pelakor itu? Dih, nggak tahu malu merebut suami orang." Salah satu teman Maria berteriak kencang hingga mengundang banyak orang memperhatikannya."Heh, suami situ yang emang nggak suka lagi sama kamu. Sadar diri dong, dia milih aku karena aku lebih dari kamu," ujar Erika membela diri."Dih, nggak punya malu, sudah merebut, malah membangga
"Oma, Maaf, aku belum bisa mengatakan ia atau tidaknya. Ini bukan pernikahan pertamaku dan aku sudah gagal dalam pernikahan pertamaku. Aku mohon, beri aku waktu utuk berpikir." Ayu berharap sang oma mau menerima alasannya."Baik, Yu. Kalau itu keputusan kamu, Oma dan David menunggu kabar baik dari kamu," ujar Oma Meria.Davit terlihat kecewa, tetapi ia harus menerima apa yang diputuskan oleh Ayu. Mungkin tidak lama lagi ia akan memberikan kabar baik untuknya.Beberapa menit mengobrol, akhirnya David dan Oma Meria pamit pulang. Sudah terlalu malam hingga mereka lupa waktu.Ayu bisa berbapas lega, ibunya pun ikut lega dengan keputusan sang anak. Baginya, pernikahan itu tidak bisa terburu-buru. Apalagi Ayu pernah gagal."Ibu setuju sama kamu, pokoknya pikirkan yang terbaik, ya, Sayang.""Iya, Bu. Aku juga takut gagal lagi," ucap Ayu.Ayu melihat keadaan kedua anaknya, mereka sudah tertidur nyenyak.
Kondisi Bagas sudah membaik, kemarin sudah pulang dan di jemput oleh Damar. Pria itu dengan telaten mengajak sang anak main dalam beberapa jam sebelum pulang.Berulang kali Bagas membujuk ayahnya untuk tetap tinggal. Namun, itu tidak mungkin karena Ayu dan dirinya sudah berpisah. Tidak mungkin bisa untuk bersama."Kalau kamu mau, nanti nginep di rumah papa, bagaimana?" Damar mencoba membujuk Bagas.Anak laki-laki itu mengerucutkan bibir. Ia sama sekali tidak mau melepaskan pelukan sang ayah. Rasa rindunya kian membuncah, saat ia terbangun melihat hanya sosok ibunya yang ada."Nanti Papa main lagi, Bagas sama Mama dulu, ya," bujuk sang ibu.Beruntungnya Bagas menurut dengan apa yang dikatakan sang ibu. Walaupun dengan wajah masam, anak itu tetap mengantar sang ayah sampai ke halaman rumah."Yu, pamit," ucap Damar."Iya, Mas."Setelah Damar pulang, Ayu kembali membujuk sang anak u