POV AdistaAku menatap kepergian Mas Damar dengan hati yang terluka. Sedari tadi aku sudah berusaha menahan diri untuk mengabaikan sikap Mas Damar yang acuh tak acuh itu. Bahkan aku berusaha sabar saat tahu ia membelikan gamis mewah untuk Ibunya. Tapi melihatnya menolak masakan yang sudah kumasak dengan susah payah sembari menjaga Rafis yang sedang aktif-aktifnya, membuat hatiku benar-benar terluka.Aku tahu jelas kemana Mas Damar akan pergi. Sudah pasti ia akan ke rumah Ibunya dan meminta makan di sana. Aku memilih masuk kamar. Tak ada selera lagi untuk melanjutkan makan malam. Kurebahkan tubuh sambil menyusui Rafis yang mulai terlihat mengantuk. Air mataku menetes saat melihat wajah polosnya. "Kasihan kamu, Nak. Dulu kamu dinanti-nanti kehadirannya oleh Papa dan Nenek, tapi di saat kamu sudah hadir, mereka malah menyia-nyiakanmu," ucapku sembari membelai pipi Rafis, membuat ia mulai memejamkan mata.Lima belas menit menyusui Rafis, akhirnya ia pun tertidur. Perlahan aku bangkit. S
POV DamarAku berjalan dengan semangat memasuki gedung kantor tempatku bekerja, sambil menyapa beberapa teman dan staff lainnya dengan ramah. Rasanya saat-saat bekerja begini adalah saat yang paling menyenangkan, karena bisa sekalian merefresh mata melihat wanita-wanita cantik nan bahenol. Ah, berbeda jauh dengan pemandangan yang ada di rumah.Tak berapa lama, Hardi--sobat kentalku menghampiri dengan raut sumringah."Eh, Bro ... Udah dengar kabar belum?" Tanyanya begitu berada di sampingku."Kabar? Kabar apa, Di?""Barusan Pak Jaya ngasih pengumuman mendadak," ujarnya antusias."Pengumuman apa?" "Nanti akan diadakan rapat mendadak. Ada desas-desus katanya soal kenaikan jabatan."Mendengar penjelasan Hardi aku langsung semangat. Jelas, setiap orang di kantor ini pasti berharap dapat jabatan yang lebih baik. Apalagi aku. Selama ini aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini sebagai supervisor. Jadi wajar saja kalau aku pun ikut berharap bisa naik jabatan juga.Aku m
POV AdistaAku menatap lekat jam dinding yang sedari tadi terus berputar jarumnya. Sedikit gelisah menanti kepulangan Mas Damar. Biasanya jam segini Mas Damar sudah sampai rumah. Aku juga sudah memasakkan makanan kesukaan Mas Damar sesuai permintaannya. Mumpung Mas Damar sudah memberi uang tambahan.Namun hingga waktu beranjak malam, Mas Damar tak jua kembali. Pesan yang kukirim sejak sore pun tak dibacanya sama sekali. Kemana sebenarnya Mas Damar? Apa ia sedang lembur?Lamunanku yang sedang berkelana memikirkan Mas Damar langsung buyar saat mendengar notifikasi pesan masuk di ponsel. Buru-buru aku meraih ponsel, berharap Mas Damar lah yang menghubungiku.Aku kembali lesu saat melihat ternyata bukan Mas Damar yang mengirim pesan tersebut.Kubuka pesan dari Wina, sahabatku itu. Begitu melihat apa yang dikirim Wina, hatiku langsung terlonjak kaget. Ternyata Wina mengirim sebuah foto yang diambilnya dari sebuah restoran ternama.[Ta, ini suamimu dan mertuamu ada di sini. Kamu kok gak iku
"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku."Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok."Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit."Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!" Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit."Selalu itu saja al
"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih."Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal. Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit. "Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.
"Maass!"Aku terkejut mendengar panggilan keras Dista. Bahkan ponsel yang sedang kugunakan untuk bermain game online pun hampir terjatuh sangking terkejutnya."Kenapa teriak-teriak, sih?" Ketusku menatap Dista tak suka. Apalagi setelah melihat kembali ke ponsel, ternyata game yang kumainkan jadi kalah, akibat fokusku beralih ke Dista."Kamu gimana sih, Rafis nangis dibiarkan saja," sentak Dista dengan nada tinggi. Membuat perhatian para tamu Ibu beralih pada kami."Aku gak dengar.""Astaga, Mas. Aku yang lagi di dapur aja dengar jelas. Kamu yang posisinya dekat kenapa malah gak dengar?" Protes Dista dengan wajah yang benar-benar terlihat kesal.Ingin saja kujawab ucapannya, tapi kalau aku bilang, aku tak dengar karena sibuk bermain ponsel, sudah pasti Dista akan mengamuk lebih parah."Lihat ini! Baru beberapa hari yang lalu, Rafis jatuh karena kamu gak jaga dengan benar. Sekarang malah benjol kepalanya karena jatuh lagi,
"Mas, apa kita tak bisa dekat seperti dulu lagi?" Aku refleks mengerem motor mendadak mendengar perkataan Rasti barusan."Maksudmu apa berkata begitu, Ras?" Aku bertanya dengan nada tinggi sembari menoleh ke arah Rasti.Rasti sedikit gugup menerima tatapan tajam dariku."Tolong jangan melewati batas! Aku mengantarkanmu pulang semata-mata karena Ibu. Jadi, tolong jangan berucap omong kosong seperti itu!" Tukasku lalu kembali melajukan motor.Dapat kulihat dari spion motor, Rasti hanya menunduk sedih mendengar ucapanku. Namun, sama sekali tak ada rasa iba di hati ini untuknya.Sebenarnya Rasti cantik, lebih cantik dari Dista saat ini. Namun bila mengingat luka yang pernah ia torehkan, sedikit pun aku tak terpesona dengan kecantikannya.Kami melanjutkan perjalanan hanya dengan saling diam. Syukurlah Rasti tak mengoceh yang tidak-tidak lagi. Mungkin ia takut setelah tadi kubentak.Tak berapa lama, motor yang kulajukan pun sampai di depan rumah Rasti
Part 10Sudah berhari-hari Dista tak pulang ke rumah. Akhirnya aku tahu bahwa ia berada di rumah orang tuanya, sewaktu mencoba menghubungi adiknya. Awal mengetahui itu jelas aku geram, karena ia pergi tanpa izinku. Aku sama sekali tak ada niat untuk menjemputnya. Toh, dia pergi sendiri? Untuk apa aku yang menjemput.Tapi setelah lama sendiri begini, aku malah merasakan kesepian tanpa kehadiran dirinya."Woi! Seharian bengong mulu Lu!" Aku terjengit kaget saat Hardi menepuk punggungku."Si*alan Lu, Di. Bikin Gue terkejut aja," sungutku lalu kembali fokus melanjutkan makan siang yang sedari tadi kunikmati tanpa minat."Elaaah ... Pak Manager gitu doang terkejut." Hardi terkekeh lalu ikut duduk di hadapanku."Kenapa muka Lu kusut begitu? Ada masalah? Atau jabatan baru tak menyenangkan?" Selidik Hardi seraya menelisik raut wajahku."Lagi kesel aku, Di.""Sama siapa?" Tanya Hardi sembari menyuap makanannya.
Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru
Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal
POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalaku mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut. Tanpa sadar ponsel pun terjatuh begitu saja seiring dengan air mataku yang turut terjatuh pula.'Baru beberapa hari yang lalu Mas Danis pergi, kenapa sekarang Ibu ikut menyusulnya, Bu?' Aku merintih dalam hati.Tanganku mengepal sesaat teringat pada si penyebab semua ini. Ini semua karena Bella! Gara-gara Bella aku jadi berpisah dengan Ibu untuk selamanya.Aku yang makin tergugu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada di divisiku. Mereka terlihat saling pandang satu sama lain, tapi ragu untuk mendekat. Karena memang selama ini aku tak begitu dekat dengan mereka. Hanya Hardi sajalah satu-satunya temanku di sini.Tanpa menghiraukan tatapan penuh tanda tanya mereka, aku langsung bangkit dari kursi berniat pulang. Bahkan sangking kalutnya aku tak ingat untuk izin pada atasan. Hingga di tengah jalan, barulah aku ingat dan cepat-cepat menghubungi Pak Jaya.Usai menelpon dan mendapat izin
Aku yang sedang tidur terbangun begitu mendengar suara pintu ruang rawat Ibu terbuka. Sembari memegang kepala yang pusing karena kurang tidur, aku menoleh ke arah pintu.Terlihat sudah ada Bella di sana, berdiri dengan senyum manis tanpa dosa seraya menenteng kotak bekal makan."Mas, kamu kok gak ngabarin aku kalau Ibu masuk rumah sakit?" Ucap Bella dengan sedikit memanyunkan bibirnya sok manis.Jika dulu aku selalu suka sikapnya yang seperti itu, berbeda pula dengan sekarang saat aku sudah tahu semua kedoknya.Tanpa menggubris perkataannya, aku kembali memejamkan mata."Kamu pasti capek sekali ya, Mas? Tapi sarapan dulu ya, baru tidur. Nanti kalau telat makan malah kamu yang jadi sakit." Terdengar lagi ia bersuara membujukku."Memangnya ada jaminan kalau makanan itu aman tak ada racunnya?" Balasku masih enggan membuka mata. Entah bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar perkataanku ini, aku tak lagi peduli."Maksud kamu apa sih, Mas? Racun apa? Jangan bercanda deh."Aku langsung me
Aku terkesiap mendengar perkataan lelaki itu. Jangan-jangan Bella yang ditelponnya saat ini adalah Bella istriku. Tak mungkin semua hal yang saling berkaitan ini hanyalah kebetulan.Diam-diam aku mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihatnya masuk ke ruang poli neurologi. Namun detik selanjutnya, ia kembali keluar.Aku yang masih mengintainya, pura-pura duduk di bangku tunggu sembari bermain ponsel. Terlihat ia kembali menelpon seseorang."Aku belum bisa membuat buktinya sekarang. Jam praktek dokter belum habis. Kemungkinan sore baru aku bisa memberimu bukti itu."Mendengar kata-kata lelaki itu, tanganku tanpa sadar mengepal menahan geram."Ya pandai-pandai kamu lah, bagaimana ngasih alasan ke suamimu. Tapi kan tadi kamu sudah kirim foto ruang poli neurologi, masa dia masih gak percaya?"Entah apalah yang dikatakan orang di seberang sana. Yang jelas pasti ia tak terima jika bukti itu bisa didapatkan sore hari. Pasti ia takut aku pulang dan bertanya m