Naura pulang ke rumah dengan muka kusut. Dia mengucap salam dengan tak semangat. Arum yang sedang duduk di sofa ruang tamu segera membuka pintu."Baru pulang, sayang?" tanya Arum. Sebenarnya dia ingin menanyakan kenapa Naura pulang terlambat, tapi wajah lelah itu membuat Arum hanya tersenyum. "Iya, Ma. Cape sekali." Naura menjawab dengan malas.Arum tersenyum, mengikuti Naura duduk di sofa. "Kenapa?"Naura menarik nafas lalu memeluk Arum dengan erat. "Naura hanya cape saja, Ma.""Ya sudah mandi dan makan ya.""Baik, Ma."Setelah mandi dan berpakaian, Naura membaringkan tubuh yang lelah. Ada perasaan tak enak mengingat sikapnya pada sang Mama tadi. Namun, moodnya benar-benar sedang buruk. Wanita itu, Ibunya Zhia habis menemuinya, membuat Naura merasa tertekan.Bahkan Naura sudah puluhan tahun diasuh oleh Arum. Selama ini bahkan sang Mama sambungnya itu tak pernah bersikap buruk padanya. Sang Mama selalu menyempatkan diri dekat dengan Naura. Bahkan Arum tak pernah berkata kasar juga t
Rumah terlihat masih sangat sepi, sepertinya Bibi belum pulang. Setelah hari beranjak siang, Arum merasakan tubuhnya yang sedikit enakan. Sepertinya mual membuatnya enggan untuk berdiri, mulut yang pahit, kepala yang tidak lagi sakit, dengan perut dan kepala yang terasa lebih nyaman. Arum meraih ponsel, memeriksa deretan pesan yang masuk sejak tadi pagi, setelah pulang dari menjemput Ardha, tadi pagi Arum selesai mengantar ke sekolah langsung kerumah sakit memeriksakan kandungannya bersama sang Mama. "Mama lagi apa?" tanya Ardha yang baru saja menganti pakaian seragam sekolah. "Ardha, sebentar lagi punya adek!" "Mama enggak lagi bercanda 'kan? Ini serius, Ma?" tanya Ardha tidak percaya.Ardha terlihat tersenyum dan memeluk Arum, anak seusia Ardha bukankah belum faham soal kehidupan. "Selamat ya, Ma!" "Iya, Sayang."Diraihnya ponsel diatas nakas, Arum ingin membuat kejutan untuk sang suami, Matanya terpaku pada deretan pesan, dari sang suami. [Mas, dimana? kenapa belum juga pulan
"Mau pesan apa, Elang?""Kopi hitam saja, Ilham," jawab Elang sambil meletakkan tas di datas meja. Fahmi memesan dua cangkir kopi hitam, dan kembali duduk di depan sahabatnya. Elang tersenyum menatap Ilham meski mereka bekerja satu pekerjaan namun ia jarang sekali bertemu. Sesaat pramusaji datang membawakan dua cangkir kopi. "Bagaimana, Arum?" tanya Ilham sambil mengambil kopi panas meniup pelan lalu menyesapnya. "Alhamdulillah, kalau dilihat dari luar sih dia baik-baik saja, namun entah jika hatinya.""Kenapa?""Sebenarnya Arum, hamil lagi.""Hah, Bukannya kata kamu?"Elang tersenyum kecut. "Entahlah aku juga kurang paham, padahal dokter sudah wanti-wanti buat, Arum tak hamil lagi."Terlihat kekecewaan dari wajah tampan Elang. "Ya, aku mengerti. Tapi kan semua juga sudah ada yang mengatur," kata Ilham yang tak lain adalah rekan bisnisnya. Elang hanya menarik napas dalam"Kau kecewa? Dukunglah Arum?""Iya kau benar."Elang meraih gelas dan menyesap kopinya. Terkadang, Elang mener
"Terus ...?""Ya cuma ketemu saja, ia ingin bertemu dengan, Ilham sih katanya." Jelas Elang. "Oh.""Oh saja nih. Gimana dengar soal mantan?" tanya Elang menggoda. "Mas, ih."Elang tertawa, melihat Arum cemberut. Berharap jika Arum akan marah namun kali ini Arum tersenyum seraya memukul lengan kekar Elang. Hidup tanpa ada masalah adalah sesuatu yang mustahil. Elang tahu betul hal itu. Selama napas masih berembus, masalah akan selalu mengiringi hidup bukan. "Jadi ...?""Ya begitu lah, coba dekati Naura, Mas. Dia seharian diam. Aku sudah coba sih bicara dengannya namun, ya datar saja ia tak mau cerita."Elang lelaki berwajah tampan juga bertubuh kekar itu menarik napas. "Emm, baiklah tapi janji ya. Jangan dipikirkan. Ingat kandunganmu, Sayang."Arum mengangguk seraya memeluk Elang dengan erat. "Iya, Mas. Aku janji.""Hidup memang selalu beriringan dengan masalah. Namun, tak ada masalah yang hadir tanpa solusi. Jadi aku harap kau sabar ya."Arum mengangguk beberapa kali. "Kau benar, Ma
"Kamu sehat?" tanya Elang berjalan mendekati Arum yang lagi duduk sendiri di balkon kamarnya. Kalimat itu menjadi pertanyaan setiap hari yang dikeluarkan Elang pada sang istri setiap harinya. "Alhamdulillah, sehat. Mas. Lalu sendirinya bagaimana?" tanya Arum balik mencoba membangun rasa nyaman saat bersama sang suami. Elang tersenyum tipis. "Aku juga sehat. Asal kau juga sehat, sayang."Arum menunduk begitu mendengar pengakuan dari suaminya. Seandainya bisa, ingin sekali Arum terbang melayang menganggap bahwa jawaban itu sebatas rayuan gombal saja. Sayangnya, Arum begitu mengenal pria di depannya ini. Sejak awal, dari kecil dia tak pernah berbohong sama sekali."Mas jangan bicara membual begitu, geli aku dengarnya."Elang menatap lekat ke arah Arum. "Aku sudah mencoba, tapi itu langsung keluar begitu saja dari mulut ini, gimana dong." Goda Elang pada istrinya seraya mengelus perut Arumi. Kali ini, Arum mengelus rambut suaminya. "Sejak kapan sih jadi lebay gini kamu, Mas.""Dari a
Hawa sejuk terasa membelai kulit wajah saat Arum masih di depan Levin. Sesekali, kerudung pashmina yang menutupi kepala melambai-lambai diterpa angin sore. Arum masih terpaku oleh pengakuan Levin yang masih berada di dekatnya. "Rum ...."Tangan Levin terulur dan menyentuh tangan Arum yang masih berada di depannya. Levin menelan saliva seiring rasa rindu yang menyeruak. Sementara Arum menjauhkan tangannya dari Levin, ia sedikit terkejut beraninya Levin menyentuh tangannya. "Kami permisi, Levin."Levin menarik napas pelan. "Please sebentar lagi, Rum."Entahlah, kali ini Arum merasakan ketidak nyamanan. Meskipun hati Levin rasanya menjadi ringan dan lebih tenang. Namun tidak dengan Arum dan sang Mama mereka begitu takut. "Jika waktu bisa berputar aku tak akan menyakitimu, Rum." Jelasnya dengan nada serak. Arum menghela napas dalam. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam."Aku enggak akan melepasmu, Rum."Arum tersenyum tak enak sambil menggelengkan kepala. Entah kalimat apa yang tadi
"Cerai...?" tanya Arum dengan muka seolah tak percaya. "Iya.""Kamu yakin, Mila?" tanyanya lagi Arum pada sahabatnya semasa SMA dulu, mereka bertemu setelah beberapa tahun lamanya dipertemukan di rumah sakit saat Arum memeriksakan kandungannya. "Ya.""Ini aku tak salah dengar? Sudah kamu pikirkan baik-baik."Kerongkongan Kamila begitu kering, ia menelan saliva yang begitu pahit. Tak pernah terpikirkan akan seperti ini pernikahannya. "Nyatanya sampai sekarang aku hanya ia jadikan pelampiasan lelahnya saja, Hati Mas Erlan hanya untuk wanita itu saja kan, sejak saat acara reuni itu mungkin saja hatinya sudah beralih untuk wanita itu. Rasanya begitu sakit jika menginggat selama dua tahun suaminya tak peduli dengannya bahkan suaminya lebih sering ke luar kota atau mungkin singgah di rumah wanita itu. "Kalian punya Alifa lo, Mila. Kau tau kan bahkan kau pernah diposisi itu 'bukan?" tanya Arum. Kamila tercengang mendengar itu dari mulut Arum, begitu jelas bahwa dirinya pun korban broke
Kamila terus mengguyur tubuhnya dengan shower hingga air itu bisa menghapus sudut matanya yang terasa basah. Runtuh sudah ketegaran Kamila saat menginggat vidio yang dikirim oleh nomor yang gak ia kenal. Kamila mugkin saja murka atas kebodohannya yang telah salah menilai mempertahankan pernikahannya. Setelah mandi basah, Kamila menunaikan ibadah salat subuh. Kamila merasa begitu lelah, tentang hidupnya yang separuh dari hatinya telah menghilang. Suaminya baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. Tak lupa Kamila memulai rutinitas bersih-bersih senbari membuat sarapan buat suami juga anaknya. Selesai membuat darapan Kamila menyuapi Alifa dengan nasi goreng sosis requestnya semalam. Terakhir memberikan satu gelas susu, dan bersiap mengantarkan Alifa ke sekolah. Toh ... di rumah hanya semakin membuat Kamila menjadi gila karena mengingat foto-foto itu. Senyum lembut dan kehangatan serta cinta suaminya dulu yang selalu menatapnya dengan binar rindu yang sama. Kamila rindu
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami