Pov Serena.Di dalam Kamar aku memeluk Zena dan menutupi kedua telinganya agar tidak mendengar umpatan dan teriakan Mas Dirga. Ini sudah hampir jam 5 sore pasti tetangga-tetangga sudah pulang kerja dan mendengar pertengkaran kami. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana gosip akan beredar besok pagi. Tidak lama terdengar suara pintu ruang tamu di tutup secara kasar. BRAAAKKK...... "Zena tenang ya. Sudah jangan nangis lagi!" Aku berusaha menenangkan Zena sambil mengelus pelan rambut dan dada putriku ini agar lebih tenang. "Sekarang bantu Mama, masukkan semua buku-buku sekolah Zena ke dalam tas sekolah Zena ya! Mama akan memasukkan baju kita ke dalam koper," pintaku yang langsung dilakukannya. Aku segera mengambil ponselku lalu mencari kontak nomer telpon Mas Gibran. Aku hendak menelfonnya tapi aku urungkan. Melihat keadaanku yang seperti ini aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Mas Gibran nantinya setelah melihatku. Mas Gibran pasti akan mengamuk saat melihat bekas li
Author pov. Sekitar satu jam setengah Serena dan Dewa baru sampai di rumah Nurida. Perjalanan yang seharusnya hanya empat puluh lima menit menjadi satu jam setengah lebih karena bersamaan jam pulang kerja yang membuat jalanan macet. Sesampainya di rumah Nurida, Al langsung berteriak memanggil mamanya begitu melihat Serena dan Dewa dengan Zena yang tertidur di gedongan laki-laki yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Om. "Ma,, ada Adek Zena," pekik Al lalu berlari ke teras menyambut tamunya. "SSuuuttt, Adek Zena lagi tidur," Dewa berbisik agar tidak menganggu kenyamanan gadis kecil yang digendongnya. "Siapa yang datang?" Nurida ikut menyusul Al dengan meteran yang selalu melingkar di pundaknya. "Loh, ada apa malam-malam kok kesini?" Nurida langsung panik melihat sahabatnya datang dengan memakai jaket dan masker. Serena tak menjawab, dia hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca. Nurida yang bingung memandang kedua sahabatnya itu bergantian. "Ada apa?" ujarnya saat melihat wajah Dew
Author povDirga sampai di rumah pada pukul sepuluh malam. Seperti nasihat Bagas, Dirga pulang dengan membawa sekotak martabak dan ayam goreng untuk istri dan anaknya. Dirga mengerutkan keningnya ketika melihat rumahnya gelap gulita. Tak ada satupun penerangan di rumahnya yang menyala. Dirga bergegas keluar dari mobil dan membuka gerbang rumahnya kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Dengan meraba dinding Dirga berjalan mencari sakelar rumahnya untuk menyalakan lampu. Nampak kondisi di dalam rumah masih sama seperti ketika ditinggalkannya beberapa jam yang lalu, berantakan penuh dengan pecahan kaca dan barang-barang yang tadi sore di bantingnya.Dengan sedikit berlari Dirga menuju kamar putrinya tanpa mengetuk Dirga langsung membuka pintu dan masuk kedalam kamar. Kosong, tidak ada siapapun di dalamnya. Dirga membuka pintu kamar mandi, sama saja, kosong. Rahangnya mengeras, genggaman tangannya mengerat pada kantong plastik yang di bawanya ketika tanpa sengaja tatapannya terarah pad
Sore ini Gibran memutuskan untuk mendatangi rumah Serena. Kakak Serena itu merasa curiga, mengapa adik bungsunya tiba-tiba pergi liburan di saat Zena tidak dalam masa liburan sekolah. Anehnya Serena tidak pamit dulu sebelum pergi, sikapnya itu sama sekali tidak seperti kebiasaannya. Sudah lebih dari satu minggu Serena tidak masuk kerja tapi alasannya tetap sama, liburan bersama Nurida. Awalnya Serena mengatakan jika hanya izin untuk beberapa hari saja. Tapi sampai lebih dari satu minggu Serena juga belum datang ke kafe. Apa lagi Serena juga mengganti no telelponnya. Bukankah itu sangat mencurigakan, pikir Gibran. Setibanya di depan rumah adik bungsunya, Gibran bergegas turun dari mobilnya dan memencet bel yang ada di pagar rumah. Gibran mengulangi beberapa kali, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan sang pemilik rumah. Gibran sedikit berjinjit untuk melihat situasi di teras rumah, tak nampak motor milik adiknya maupun mobil milik adik iparnya. "Serena..." Gibran memanggil nama Sere
Sambil mengendarai mobil Gibran menghubungi Dirga. Kakak sulung serena itu tidak bisa lagi menunggu sampai besok. Gibran juga tidak berniat untuk bertanya terlebih dulu pada Serena karena Gibran sangat tahu seperti apa sifat adik bungsunya itu. Serena pasti akan bersikap sok kuat dan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. [Hallo, datanglah ke taman kota! Aku tunggu di sana sekarang,] perintahnya begitu sambungan telponnya di jawab. Gibran segera menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban dari orang yang di telfonnya.Dengan kecepatan tinggi Gibran mengendarai mobilnya ke arah taman kota. Wajahnya terlihat tenang tapi tidak dengan hatinya. Rasa marah dan kesal bercampur aduk di dadanya. Dalam hati Gibran bersumpah tidak akan membiarkan siapapun menyakiti keluarganya. Bagi seorang Gibran Abikara Saputra, ibu dan kedua adiknya adalah jantung dan nafas hidupnya. Tidak akan ia biarkan siapapun menyakiti tiga wanita yang ia cintai itu. Siapapun yang berani menyakiti mereka berarti men
Setelah bertemu Dirga sekarang Gibran sedang dalam perjalanan menuju ke alamat yang di berikan oleh Dewa. Setelah beberapa saat yang lalu dia menghubungi sahabat adik bungsunya itu. Dewa memberitahukan bahwa benar memang dirinya yang telah menjemput Serena dan Zena beberapa hari yang lalu kemudian mengantarkan mereka ke rumah Nurida seperti permintaan Serena. Sekitar 45 menit perjalanan, Gibran sampai di sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman cukup luas di depan dan samping rumah dengan pagar besi sedada orang dewasa. Gibran bergegas turun dari mobilnya. Karena pintu pagar tidak di kunci Gibran bisa langsung masuk ke dalam pelataran rumah. "Om Gibran,,," teriak Zena dengan wajah ceria begitu melihat kedatangan kakak sulung dari Mamanya. Zena berlari lalu menubruk Gibran yang merentangkan kedua tangannya, "Om rindu sekali sama Zena," bisik Gibran sambil memeluk gadis kecil yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Ada rasa sedih yang tiba-tiba muncul sesaat setelah ia me
"Jangan bohong!" Gibran memicingkan matanya curiga. Gibran tahu betul jika adiknya itu sedang berbohong. Diantara dua adiknya Serena yang paling tidak bisa berbohong kepada dirinya atau Bundanya. "Tidak. Dia tidak melakukan apa-apa padaku Mas," jawab serena dengan tatapan matanya yang tidak berani menatap langsung mata Kakak sulungnya itu. Dewa yang sejak tadi mengawasi di depan pintu hanya bisa menghela nafas lelah, ia merasa kecewa dengan sikap Serena yang masih tetap membela Dirga. Padahal Dirga sudah sangat menyakiti perasaan dan fisik Serena. Tapi apa lagi yang bisa Dewa perbuat? Jika cinta itu sudah membutakan mata, maka manusia sepintar apapun akan menjadi bodoh. Sama halnya dengan Serena, dirinya sendiri juga salah satu manusia yang sudah dibutakan oleh cinta, pikir Dewa. "Baiklah. Kalau kamu masih tetap ingin menyembunyikannya, tapi kamu pasti tahu jika aku bisa mencari kebenarannya sendiri?" Gibran menatap lekat pada adik bungsunya yang terlihat gugup. "Sekarang jawab de
Hari ini Serena sudah mulai bekerja kembali setelah cuti selama hampir tiga minggu untuk menenangkan diri. Pagi ini Setelah Serena mengantar Zena ke sekolah, ia langsung menuju kafe miik kakaknya untuk kembali mengerjakan pekerjaan yang beberapa hari yang lalu harus di kerjakan oleh Ratna. "Maaf ya Mbak Ratna yang cantik!!" ucap Serena memelas sambil mengulurkan sebatang coklat yang diikat pita ujungnya. "Ck... Mau nyogok?" Ratna melirik Serena. "Lain kali jangan coklat tapi kunci mobil," ucap Ratna setelah mengambil coklat dari tangan Serena. Serena tersenyum lebar menampilkan gigi putihnya, "Lain kali akan aku pastikan untuk tidak melakukan kesalahan lagi, karena aku tidak sanggup membelikan dirimu mobil," Serena menimpali candaan Ratna. Ratna memberinya 2 jempol, "Good, jangan melakukan kesalahan yang sama lagi," ujar Ratna menimpali ucapan adik dari bosnya itu. Mulai hari ini Nurida yang akan menjemput Zena pulang sekolah jadi Serena hanya fokus bekerja untuk membiayai hidupny