Dingin sepi menyapa hari-hari Lydia. Hanya bisa menahan rasa hati yang sakit setiap harinya dengan perlakuan Alan yang tak memanusiakan dirinya sebelum-sebelumnya hingga akhirnya ia harus menempati tempat yang sangat ia benci itu. Berita kematian Adrian juga membuat Lydia semakin tertekan dan hilang akal. Bahkan, Lydia hanya bisa termenung setiap harinya dibawah naungan langit yang mendung dan wajah sayunya. Tatapan yang kosong, bibir kering, tubuh lemas dan kejiwaannya semakin terguncang meski sudah dijalani terapi, hal yang sangat Lydia benci adalah ketika ia harus terapi. "Pa.. Lydia paham kenapa papa selalu bilang Lydia harus kuat, Lydia paham kenapa papa selalu membentak Lydia meski papa tau anak papa itu tidak bisa mendengar bentakan ternyata.. Dunia ini lebih keras dari bentakanmu, pa..," lirih Lydia dengan menatap langit dan bibirnya bergetar menahan tangis. Membohongi hati sendiri tak semudah saat akan membohongi pasangan karena kondisi. Sedangkan Alan, ia bersenang
Martha dan juga Surti merasa hampa didalam kediaman mendiang orang tua Lydia. Mereka juga tidak tahu bagaimana dan mengapa semua ini terjadi. Apalagi mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jika tanpa hadirnya Lydia, mungkin saja mereka tidak akan pernah tau bagaimana rasanya memiliki majikan yang seperti sahabatnya sendiri. Menguatkan hati saja rasanya sulit.“Mar, kira-kira nyonya udah sadar apa belum ya?” "Kamu pikir nyonya koma? Yang pasti.. Nyonya kali ini lagi pengen tenang. Biarin dulu, karena ujian ini juga berat buat anak gadis seperti nyonya," ujar Surti sambil menghela napas samar.Ada banyak cerita yang dapat ditempuh namun, apakah jalan cerita yang menyakitkan ini akan dilalui dengan mudah oleh Lydia tanpa adanya hambatan apapun setelahnya?Hitam bukan bagian, begitupun putih. Semua warna-warna telah memudar dan juga. Harta paling berharga tak dapat diperhatikan meskipun ia sudah berusaha semaksimal mungkin dalam mencintai tetapi, apabila nyatanya mencintai tak pasti m
"Lydia," panggil seseorang membuat Lydia menoleh dan ternyata itu adalah Bayu. "Mengapa?" jawab Lydia menoleh dan suara yang terdengar begitu lembut membuat Bayu tersenyum. “Teman-temanmu mencarimu,” kata Bayu sambil mulai mempersilakan Surti dan Martha masuk ke kamar Lydia dan itu membuat Lydia langsung heboh. "Nyonya bagaimana kabarmu?" "Wanita itu dirawat dengan baik di sini ..?" "Bu, kenapa?" “Maaf Bu.. Pasien yang bernama Lydia masih trauma dan kemungkinan besar akan sulit untuk didekati meskipun itu keluarganya, atau suaminya bahkan setelah ini, karena penyakitnya juga semakin menyebar dan gangguan jiwanya semakin parah sejak saat itu. kecelakaan," sela perawat membuat Martha mengangguk dan menghela napas berat. Ketakutannya terjadi. "Jadi ini nyonya ga bisa kenalin kita berdua?" sela Surti dibalas dengan gelengan kepala perawat sebelum keluar ruangan. Apa yang terjadi juga bukankah itu sebuah ilusi semata yang tergenang dalam pikiran Lydia? Apakah Lydia benar-benar menga
Perjalanan yang penuh liku-liku akhirnya membuat Lydia bertemu dengan seseorang yang sangat dibencinya. Musuh bebuyutan yang kerap merundungnya waktu SMA. Sedangkan Lydia, ia menatap nanar sekitar dengan susah payah berdiri dan mulai berjalan mendekat ke arah suara tersebut. Bayu yang berada disana juga bergeming. Ia binggung mengapa Lydia seperti mengenali adik lelakinya, "Kalian saling mengenal..?" tanya Bayu dengan menatap satu dengan yang lainnya. "Tentu saja, benar bukan Lydia?" sahut Jefry dengan menyeringai tipis membuat Lydia menatap tajam ke arahnya. "Jangan pernah menyebut namaku dengan mulut kotor anda, Jefry Mario Raja," tadas Lydia membuat Jefry terlonjak karena Lydia sangat agresif. Bayu lagi dan lagi bergeming tanpa mengucap sepatah kata dan hanya mampu berusaha menahan Jefry agar tidak mnyakiti Lydia, "Dasar gadis cupu, tidak berguna, sombong," cela Jefry habis-habisan membuat Lydia mengepalkan tangan dan menahan emosinya. Lydia jelas menginggat jelas bagai
Pesta yang tengah tergelar megah tiba-tiba hening ketika sebuah mobil berhenti dan Lydia keluar dari mobil tersebut, membuat semua takjub dengan yang mereka lihat. Dengan lihai Lydia mulai berjalan dengan berlengak-lengok dan menaiki sebuah panggung pernikahan. Dimana itu adalah suaminya. "Bagaimana rasanya menikah selama lebih dari tiga kali, mas?" tanya Lydia membuat Alan terperanjat dari tempatnya. "Kenapa kamu disini, sialan?" sahut Alan dengan penuh penekanan. "Karena.. Aku istri pertamamu yang berhak mendapat restu darimu. Baiklah, lihatlah gadis cantik ini.. Bukankah mukamu terlalu tebal? Seorang pembully bisa berharap menjadi nyonya.. Menakjubkan sekali," sindir Lydia membuat pengantin wanita yang tadinya duduk turut berdiri karena terkejut. Bagaimana Lydia bisa tau bagaimana masalahnya? "Saya peringatkan, kamu jangan pernah membuat kekacauan dipesta ini, Lydia." "Dan aku hanya memberitahumu, perempuan ini yang melucutiku atas perintah dari Jefry, kakak tingkat y
Singkatnya, mereka berdua pulang dan Lydia juga kembali ke rumah menemui kedua orang yang sudah menunggunya lama. Siapa lagi jika bukan Surti dan Martha? "Eh, itu nyonya kan?" "Mana?" "Itu! Dia pake baju item, itu keknya nyonya tapi kok tumben banget? Dia dapet gaun darimana ya Ti?" "Justru aku yang kau nanya kok malah mbok duluin, tapi kayaknya bukan nyonya, tapi gatau lah, tunggu dia aja ke sini," ujar Surti dengan terus menatap seorang gadis yang tengah hendak berjalan mendekati mereka. Dan benar saja! Itu adalah Lydia. Yang mereka tunggu selama ini. Yang mereka nanti dan yang mereka patuhi. Hanya Lydia seorang. "Lohh nyonya naik apa kesini?! Pasti pegel banget eh, pegel iya, pegel kan nyonya?" latah Surti membuat Martha hanya bisa menahan tawanya. Bagaimana tidak? Surti itu orangnya sangatlah latah. Bahkan, untuk serius saja terkadang Surti itu harus digebrak terlebih dahulu. "Aku kira kalian hadir dipernikahan yang ke-empatnya mas Alan," celetuk Lydia membuat Surti menyem
Ketiganya telah sampai ditempat tujuan namun, Lydia juga telah menemui seseorang. Orang yang berpakaian serba hitam dan terlihat cukup misterius. "Nyonya muda, semua telah terbukti. Kecelakaan itu bukan murni kecelakaan melainkan, rem dari mobil tersebut sudah diputus terlebih dahulu," terang lelaki tersebut dengan serius. Lydia jelas tidak terkejut. Ia juga sudah mengerti dan juga ia paham bahwa memang dasarnya, semua ini sudah direncanakan sedari awal. "Terimakasih atas informasinya." "Apakah ada yang bisa diselidiki lagi, nyonya muda?" "Selidiki kasus pembunuhan ayah saya." "Baik nyonya, saya permisi." Tak lama setelahnya, mereka bertiga mulai berbelanja dan bersenang-senang agar tidak memikirkan hal yang memang sudah Lydia abaikan sehingga, Lydia mulai mengembuskan nafas gusar dan mulai menatap Ratna dan Martha, "Kalian jaga rumahku ya..? Anggap rumah sendiri, aku mau ke rumah mas Alan," ujar Lydia dengan mulai memborong baju-baju dan ucapan itu membuat Martha dan Ratna
Lydia hanya menyiapkan diri dan ia dengan santai membuka pintu hanya mengenakan tank top dan menatap Alan dengan tatapan tegas, "Ada apa mas? Aku mau tidur," sahut Lydia dengan mengusap-usap matanya. "Ada yang mau saya tanyakan sebentar.""Apa?""Kamu sudah sembuh? Kenapa keluar dari rumah sakit jiwa itu?""Kalau udah keluar tandanya apa mas? Gak mungkin aku balik kesini kalau belum sembuh, udah aku ngantuk."Lydia menutup pintu kamar kembali dan meninggalkan Alan yang terkejut saat pintu itu ditutup dengan kuat. Alan juga tak tinggal lama, ia kembali ke kamar dan memutuskan untuk tidur karena esok harinya ia harus ke kantor dan melakukan meeting dengan perusahaan ternama. Tak terasa malam begitu cepat. Lydia sudah bangun dan mulai membersihkan dirinya, sholat subuh dan setelahnya, Lydia memasak untuk sarapan dan menyediakannya dimeja makan, "Sarapan dulu," ucap Lydia ditepis oleh Alan. "Saya ga sarapan dirumah.""Yaudah.""Kamu gak marah?""Buat apa? Buang-buang tenaga." Alan la
Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
Ratna mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Martha, ia membawa satu teko es teh dan menyediakan makanan ringan lainnya. Lydia merasa nyaman. Ia dihargai. Tidak merasa sepi dan walaupun begitu, Adrean harus kembali ke kota karena pekerjannya tidak bisa ditinggal sama sekali. "Lydia, kamu mikirin apa?" tanya Martha disela-sela lamunan Lydia sembari menatap bintang-bintang dilangit malam itu. "Ah, tidak ada kak.. Hanya merindukan seseorang yang sudah menjadi bintang dilangit." "Siapa?" "Aldo. Dia kekasihku yang sudah meninggal beberapa tahun lamanya tapi.. Aku masih merindukannya." Baiklah. Martha mengerti mengapa Lydia sampai terkena gangguan mental separah itu. Ternyata.. Itu semua karena luka batin masa lampau yang belum selesai. "Mau masuk rumah atau disini aja dulu?" "Aku mau disini dulu saja." Martha menghargai keputusan Lydia. Bagaimanapun apabila masalah rindu, tak ada yang bisa mencegahnya. Sesakit apapun, apabila masalah rindu.. Pasti semua akan terasa berat. "Ra
Lydia hanya terdiam ditempatnya dengan tatapan nanar. Tak ada yang bisa Lydia pikirkan lagi terkecuali satu. Dia gagal menjadi seorang ibu. "Masih sakit?" tanya Martha membuat Lydia menggelengkan kepalanya. Ia binggung apa yang terjadi dan kenapa dia bisa sampai disini. Lydia hanya ingin kedamaian didalam hatinya. Saat Alan hendak mendekat, Lydia memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat rupa laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan terkecuali hanya menatap benci ke arah Alan. "Ngapain kamu kesini?" "Saya suami kamu. Saya berhak melakukan apapun." "Termasuk untuk membuat anakku mati. Apakah itu juga hak mu sebagai suami? Mas, kamu harus ingat. Aku masih bisa sambung pendidikanku sampai setinggi mungkin. Tapi aku gak lakuin itu karna aku mau berusaha jadi pasangan yang baik. Tapi.. Kamu hancurin semua ini mas." Lydia mengalihkan pandangannya. Ia mulai menatap Alan dengan sayup. "Jadi begini cara kamu buat nyakitin aku ya, mas..? Begini cara
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan
Alan terhenyak mendengar ucapan Lydia. Ia mengerinyit binggung sembari mengenggam tangan istrinya, "Maksud kamu apa sayang?" tanya Alan lembut. Lydia tersenyum tipis. Ia mulai mengenggam tangan Alan dan terkekeh pelan. Menatap mata hazel milik suaminya dan mengabaikan apapun yang berlalu. Mendengar suara gemerisik dedaunan dari luar dan menghela nafasnya samar, "Ikat aku ditulang belikatmu, mas.. Izinkan aku merebahkan dan meneduhkan sembari mendengar semua cerita dan engkau mendengarkan ceritaku, tentang apa yang aku lalui.. Tentang semua yang telah menjadi tujuan dan tentang apa yang jadi pengorbanan. Agar aku tau bahwa aku memiliki sebuah tempat untuk berpulang, maaf apabila aku kerap membuatmu kecewa," sahut Lydia dengan tersenyum manis dan menatap sayup manik mata Alan. Alan terdiam. Ia hanya bisa mengulas senyuman lagi dan lagi. Ia tak menyangka dan tak menyadari bahwa ia selama ini melukai gadis belia yang sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. "Lydia.. Kamu tidak perlu memi
Alan bergeming. Ia mulai mengelus lembut tangan Lydia dan mengusap perut Lydia yang sudah buncit karena mengandung anaknya. Paras ayu Lydia tidak pernah pudar. "Kamu ngomong apa? Ayo buka mata kamu dulu," titah Alan dengan suara yang bergetar. "Mataku berat, rasanya sangat berat, mas, biarkan seperti ini dulu.. Temani aku ya," sahut Lydia dengan tersenyum simpul.Alan mengangguk, ia mulai tersenyum tipis, "Iya, saya temani kamu," ucap Alan lembut dengan memangku kepala Lydia dan mengusap rambut Lydia meski selalu rontok. "Kamu gamau kemo? Ayo sembuh sayang," lirih Alan dengan terus mengusap kepala Lydia berharap rasa sakit istrinya mereda. Perlahan, mata Lydia mulai terbuka. Mata sayu itu menatap penuh cinta tanpa adanya kebencian, tangan mungilnya mulai meraih tangan suaminya dan tersenyum tipis, "Mas.. Ga perlu, aku capek banget kalau harus terapi, aku cuma mau kamu sama aku selama 2 tahun ini, hanya itu aja. Setelahnya, kamu bebas mau apapun aku ga akan larang, jagain istri-istr
"Udah aku duga kamu cuma berkedok berubah, padahal kamu ga pernah sadar kalau selama ini kamu salah!" berang Lydia membuat emosi Alan seketika memuncak"Jaga ucapanmu Lydia!""Aku cuma berbicara fakta.""Fakta yang tidak terbukti sama saja dengan rekayasa, Lydia!" "Dan aku bisa mengusut kasus kamu atas dasar pelaporan kekerasan dalam rumah tangga mas."BRAK..!!!Alan membanting meja kayu sehingga membuat jantung Lydia rasanya mau copot. Bahkan, Lydia tak bisa bergerak dan tak habis pikir dengan sifat Alan yang terus menjadi. "Ceraikan aku.""Sekali lagi kau mengucapkan itu.. Jangan harap kamu bisa lepas dari saya, Lydia.""Aku capek, Alan. Aku capek!"Alan hanya mampu menahan dirinya untuk tidak menyakiti istrinya. Hatinya ingin memaki namun, ia hanya bisa ,menahan dirinya agar tidak kasar atau ia akan kehilangan anaknya lagi. Apalagi hanya karena sifat tak masuk akalnya. "Jangan harap kamu bisa lepas dari saya dan jangan harap kamu bisa bahagia apabila kamu memaksa kehendak," anca