Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
"Mas, aku nemu foto kamu sama perempuan lain, tapi bukan yang dulu, siapa dia?" tanya Lydia. "Kekasih saya," sahut Alan santai. "Kamu mau sampai kapan kaya gini? Aku tau kita cuma dijodohin, tapi emang harus banget kamu selingkuh sana-sini berkali-kali? Ga cuma sekali, tapi kamu lakuin ini udah lima kali, jangan permainkan wanita karena kelak anakmu yang akan menerima karma, mas," tukas Lydia. "Anak? Kamu aja mandul," hardik Alan menyakitkan. Ctak! "Iya, mandul!" jerit Lydia tersulut emosi. Tanpa Alan sadari, ia telah memegang sebuah tespack yang tertera garis dua. Menandakan bahwa istrinya itu hamil. "Sudah saya bilang kan? Kamu cuma perempuan cacat. Menyusahkan saja, seharusnya saya tidak menerima perjodohan itu. Untuk apa saya menikah jika akhirnya saya tidak memiliki anak?" Alan berdalih dan membuang tespack yang dilempar Lydia tanpa melihatnya terlebih dahulu. "Apa menurut kamu menikah hanya untuk memiliki anak? Pantas saja istri kamu dulu meminta cerai! Ternyata y
"Mas, dia siapa lagi?" tanya Lydia menatap seorang wanita yang berdandan menor tengah bercumbu dengan suaminya. Baru saja kemarin mereka bertengkar, tetapi suaminya sudah berani membawa perempuan lain."Kekasih saya, Amelia," jawab Alan dengan santai.Patah. Hati Lydia patah ketika mendengar penuturan suaminya. Dengan santai dan tanpa rasa bersalah sama sekali. "Aku masih istri kamu, mas!" pekik Lydia."Istri..? Istrimu masih bocah?" potong Amelia membuat Lydia terhenyak. "Aku ga bicara sama kamu. Diam!" sentak Lydia membuat suasana semakin memanas. "Saya sudah bilang, jangan pernah mengusik hubungan saya dengan perempuan lain, Lydia!" hardik Alan."Aku tidak mengusik, aku hanya mau kamu sadar mas, aku mau kamu sadar kalau yang kamu lakuin ini salah. Kamu kira cuma kamu yang bisa? Aku juga bisa. Tapi aku ga lakuin karena sumpah dan janji pernikahan kita, pernikahan diatas kertas!" sergah Lydia dengan penuh penekanan pada akhir kalimatnya membuat Amelia yang tadinya tengah duduk d
Tak ada jawaban. Lydia hanya menatap sekilas Alan dengan tatapan kosongnya. Dengan buru-buru Alan megambil kotak obat dan langsung membalut tangan Lydia dengan perban. Tidak terlalu dalam namun, itu juga berbahaya. "Kamu gila?! Kamu bisa mati!" pekik Alan."Lydia, kalau saya ngomong, jawab!" bentak Alan tak diindahkan oleh Lydia. Hening. Pikiran Lydia terberai. Ia hanya bisa menatap sekeliling dengan tatapan kosongnya dan membisu ditempat. "Lydia! Kamu jangan buat saya takut bisa?!" sergah Alan lagi."Mama, papa…" lirih Lydia membuat Alan terhenyak. Ia harus bisa menghubungi kedua orang tuanya Lydia atau nanti bakal runyam kalau sampai Lydia nekat. Dengan keberanian penuh akhirnya Alan menghubungi orang tua Lydia mengatakan bahwa Lydia sedang membutuhkan mereka dan beberapa jam kemudian, kedua orang tua Lydia tiba. Lydia juga hanya termangu memandangi sekitar dengan tatapan kosong seolah mayat hidup. Wajah pucat, tatapan kosong, tangan yang bergetar dan kaki seolah lumpuh membuat
"Iya, ditambah darah, biasanya didera atau diberi besi panas, terkadang juga dipukul dan dipaksa memenuhi hasratnya, gak cuma itu.. Dia juga kadang cari-cari kesalahanku dan mencari celah biar dia bisa bercumbu dengan yang lain," jelas Lydia lirih dengan tertawa hambar. Bayu terdiam. Penuturan Lydia membuat Bayu tak bisa berkata-kata lagi. Apakah ada suami setega itu? Dan mengapa Lydia hanya diam dan tidak melawan? Itu yang ia pikirkan. "Dan kamu.. Tahan?" sela Bayu dengan lirih. Lydia menggelengkan kepalanya. Jelas saja dia tak tahan namun, pernikahannya ini sudah sangat tidak sehat! "Ly..," panggil Bayu membuat Lydia menoleh dan bergeming. "Istirahat ya, saya antar kamu ke ruangan," titah Bayu diangguki oleh Lydia. Bayu mengantarkan Lydia ke ruangan dan meninggalkan Lydia disana agar beristirahat. ********Sedangkan di sisi Alan, ia sangat bahagia karena Lydia tak bersamanya. Kebebasan yang lama ia idamkan akhirnya telah ia dapatkan dan ia bebas ingin membawa wanita manapun k
Alan semakin menggila. Dia selalu membawa wanita yang berbeda dan kerap tertidur diapartement karena stress saat Lydia tidak ada, hidupnya kosong namun, saat Lydia ada.. Dia menyakitinya. Masalah yang rumit dan sulit apabila dengan emosi saja. Meski Alan tau dia yang telah membuat reputasi istrinya hancur karena fitnah dan meski ia tau bahwa semua yang dimilikinya bisa musnah, ia tak kunjung jera dan menyudahi perbuatannya. Cinta juga tidak ada artinya. Hanya ada sesal yang tak berguna saat kehilangan salah satu dari mereka. Membina? Bahkan, untuk memimpin sebuah perusahaan saja Alan sering berkhianat dan ia seperti tidak memiliki pendirian sama sekali dalam hidupnya. Tapi, pria itu tak sadar bahwa roda terus berputar.******Hari ini Lydia berusaha agar ia dapat melempaskan beban pikirannya dan mulai berjalan-jalan ke sekitar taman. Apabila tenang, Lydia terlihat sangat cantik. Paras cantiknya itu natural meski tanpa polesan make-up sekalipun. "Dokter, kapan aku bisa keluar dari
Lydia menganggukkan kepalanya. Ia hanya tersenyum tipis mulai mendekati Alan dan berjinjit untuk menyamakan tinggi dengan suaminya. Meski hatinya terasa sakit namun, Lydia sudah terbiasa dengan hal tersebut. Wajahnya yang pasrah membuat hati Alan justru sakit. Seolah ia sangat labil dalam keputusannya. "Ly, saya bisa jelaskan, saya bisa jelas─" tutur Alan terpotong dengan tawa Lydia yang hambar dihadapannya. Tatapan penuh cinta seolah tiada lagi. Tutur kata lembut telah sirna. "Jelasin apa lagi, mas? Aku ga butuh penjelasan kamu," sahut Lydia tegas. Adrian mengepalkan tangan menahan amarahnya. Bagaimana tidak? Putrinya dilhianati oleh lelaki yang ia percayai selama ini. Salah siapa? Salahnya? Bahkan, dulu ia sendiri yang kukuh menikahkan putrinya dengan Alan. Tanpa berbasa-basi Lydia mulai berjalan menuju ke kamar dan mengunci kamar tersebut. Ia meluruhkan dirinya dilantai dan mulai menatap cermin dihadapannya. Sang buah hati yang dinanti sudah pasti namun, ia dikhianati dengan ke
Antara pilihan atau kehancurkan yang akan menghampiri itulah takdir semesta. Sampai dengan seorang gadis mungil harus terus memaksa dirinya melupakan seseorang hanya karena restu orang tua yang tak berpihak sama sekali. Masa-masa kelam membuat Lydia menjadi gadis mungil yang memiliki hati lembut dan lemah secara fisik maupun mental. Ia masih menginggat dimana jeritannya membuat semua orang terdiam seribu bahasa. Dimana semua orang yang melayat turut menenangkan dirinya. "Cantik, kenapa nangis? Gua ga suka lo nangis." Suara itu membuat Lydia terperangah. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia melihat orang yang telah didambakan. "Dasar cengeng, jangan dibuka lagi. Udah gua disini," ujar Aldo membuat Lydia tak kuasa menahan tangisannya. Aldo mulai mengusap perut Lydia dengan lembut dan menatap Lydia penuh kasih sayang, "Jaga anak ini. Anak ini ga salah, jangan pernah lo sakitin anak yang ga berdosa ini buat dendam lo, Lydia. Lo tetep jadi cinta terakhir dan pertama gua,
Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
Ratna mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Martha, ia membawa satu teko es teh dan menyediakan makanan ringan lainnya. Lydia merasa nyaman. Ia dihargai. Tidak merasa sepi dan walaupun begitu, Adrean harus kembali ke kota karena pekerjannya tidak bisa ditinggal sama sekali. "Lydia, kamu mikirin apa?" tanya Martha disela-sela lamunan Lydia sembari menatap bintang-bintang dilangit malam itu. "Ah, tidak ada kak.. Hanya merindukan seseorang yang sudah menjadi bintang dilangit." "Siapa?" "Aldo. Dia kekasihku yang sudah meninggal beberapa tahun lamanya tapi.. Aku masih merindukannya." Baiklah. Martha mengerti mengapa Lydia sampai terkena gangguan mental separah itu. Ternyata.. Itu semua karena luka batin masa lampau yang belum selesai. "Mau masuk rumah atau disini aja dulu?" "Aku mau disini dulu saja." Martha menghargai keputusan Lydia. Bagaimanapun apabila masalah rindu, tak ada yang bisa mencegahnya. Sesakit apapun, apabila masalah rindu.. Pasti semua akan terasa berat. "Ra
Lydia hanya terdiam ditempatnya dengan tatapan nanar. Tak ada yang bisa Lydia pikirkan lagi terkecuali satu. Dia gagal menjadi seorang ibu. "Masih sakit?" tanya Martha membuat Lydia menggelengkan kepalanya. Ia binggung apa yang terjadi dan kenapa dia bisa sampai disini. Lydia hanya ingin kedamaian didalam hatinya. Saat Alan hendak mendekat, Lydia memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat rupa laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan terkecuali hanya menatap benci ke arah Alan. "Ngapain kamu kesini?" "Saya suami kamu. Saya berhak melakukan apapun." "Termasuk untuk membuat anakku mati. Apakah itu juga hak mu sebagai suami? Mas, kamu harus ingat. Aku masih bisa sambung pendidikanku sampai setinggi mungkin. Tapi aku gak lakuin itu karna aku mau berusaha jadi pasangan yang baik. Tapi.. Kamu hancurin semua ini mas." Lydia mengalihkan pandangannya. Ia mulai menatap Alan dengan sayup. "Jadi begini cara kamu buat nyakitin aku ya, mas..? Begini cara
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan
Alan terhenyak mendengar ucapan Lydia. Ia mengerinyit binggung sembari mengenggam tangan istrinya, "Maksud kamu apa sayang?" tanya Alan lembut. Lydia tersenyum tipis. Ia mulai mengenggam tangan Alan dan terkekeh pelan. Menatap mata hazel milik suaminya dan mengabaikan apapun yang berlalu. Mendengar suara gemerisik dedaunan dari luar dan menghela nafasnya samar, "Ikat aku ditulang belikatmu, mas.. Izinkan aku merebahkan dan meneduhkan sembari mendengar semua cerita dan engkau mendengarkan ceritaku, tentang apa yang aku lalui.. Tentang semua yang telah menjadi tujuan dan tentang apa yang jadi pengorbanan. Agar aku tau bahwa aku memiliki sebuah tempat untuk berpulang, maaf apabila aku kerap membuatmu kecewa," sahut Lydia dengan tersenyum manis dan menatap sayup manik mata Alan. Alan terdiam. Ia hanya bisa mengulas senyuman lagi dan lagi. Ia tak menyangka dan tak menyadari bahwa ia selama ini melukai gadis belia yang sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. "Lydia.. Kamu tidak perlu memi
Alan bergeming. Ia mulai mengelus lembut tangan Lydia dan mengusap perut Lydia yang sudah buncit karena mengandung anaknya. Paras ayu Lydia tidak pernah pudar. "Kamu ngomong apa? Ayo buka mata kamu dulu," titah Alan dengan suara yang bergetar. "Mataku berat, rasanya sangat berat, mas, biarkan seperti ini dulu.. Temani aku ya," sahut Lydia dengan tersenyum simpul.Alan mengangguk, ia mulai tersenyum tipis, "Iya, saya temani kamu," ucap Alan lembut dengan memangku kepala Lydia dan mengusap rambut Lydia meski selalu rontok. "Kamu gamau kemo? Ayo sembuh sayang," lirih Alan dengan terus mengusap kepala Lydia berharap rasa sakit istrinya mereda. Perlahan, mata Lydia mulai terbuka. Mata sayu itu menatap penuh cinta tanpa adanya kebencian, tangan mungilnya mulai meraih tangan suaminya dan tersenyum tipis, "Mas.. Ga perlu, aku capek banget kalau harus terapi, aku cuma mau kamu sama aku selama 2 tahun ini, hanya itu aja. Setelahnya, kamu bebas mau apapun aku ga akan larang, jagain istri-istr
"Udah aku duga kamu cuma berkedok berubah, padahal kamu ga pernah sadar kalau selama ini kamu salah!" berang Lydia membuat emosi Alan seketika memuncak"Jaga ucapanmu Lydia!""Aku cuma berbicara fakta.""Fakta yang tidak terbukti sama saja dengan rekayasa, Lydia!" "Dan aku bisa mengusut kasus kamu atas dasar pelaporan kekerasan dalam rumah tangga mas."BRAK..!!!Alan membanting meja kayu sehingga membuat jantung Lydia rasanya mau copot. Bahkan, Lydia tak bisa bergerak dan tak habis pikir dengan sifat Alan yang terus menjadi. "Ceraikan aku.""Sekali lagi kau mengucapkan itu.. Jangan harap kamu bisa lepas dari saya, Lydia.""Aku capek, Alan. Aku capek!"Alan hanya mampu menahan dirinya untuk tidak menyakiti istrinya. Hatinya ingin memaki namun, ia hanya bisa ,menahan dirinya agar tidak kasar atau ia akan kehilangan anaknya lagi. Apalagi hanya karena sifat tak masuk akalnya. "Jangan harap kamu bisa lepas dari saya dan jangan harap kamu bisa bahagia apabila kamu memaksa kehendak," anca