Alan semakin menggila.
Dia selalu membawa wanita yang berbeda dan kerap tertidur diapartement karena stress saat Lydia tidak ada, hidupnya kosong namun, saat Lydia ada.. Dia menyakitinya.
Masalah yang rumit dan sulit apabila dengan emosi saja. Meski Alan tau dia yang telah membuat reputasi istrinya hancur karena fitnah dan meski ia tau bahwa semua yang dimilikinya bisa musnah, ia tak kunjung jera dan menyudahi perbuatannya.
Cinta juga tidak ada artinya. Hanya ada sesal yang tak berguna saat kehilangan salah satu dari mereka.
Membina? Bahkan, untuk memimpin sebuah perusahaan saja Alan sering berkhianat dan ia seperti tidak memiliki pendirian sama sekali dalam hidupnya. Tapi, pria itu tak sadar bahwa roda terus berputar.
******
Hari ini Lydia berusaha agar ia dapat melempaskan beban pikirannya dan mulai berjalan-jalan ke sekitar taman. Apabila tenang, Lydia terlihat sangat cantik. Paras cantiknya itu natural meski tanpa polesan make-up sekalipun.
"Dokter, kapan aku bisa keluar dari sini?" tanya Lydia dengan mengulas senyuman tipis.
Bayu terkekeh, suara Lydia itu sangat lembut jadi sedikit sulit untuk didengar dikeramaian. Sendu mata Lydia seolah penuh tanya.
"Kalau kamu sudah baik, kamu bisa keluar dari sini, stabilkan emosimu dan minum obat dengan benar gadis kecil," canda Bayu membuat Lydia tertawa kecil.
Bunga-bunga yang tadinya hanya dia lihat saja kini, dia meraih bunga-bunga itu dan Lydia menyusun bunga itu menjadi sebuah mahkota bunga yang ia kenakan seolah dia berperilaku seperti seorang tuan putri─kepribadian lain Lydia.
"Ly..?" heran Bayu menatap Lydia namun, Bayu paham. Itu hanyalah salah satu diri Lydia yang muncul saat dia dalam keadaan lemah hati dan pikirannya. Bisa menjadi pelindung juga karena Lydia memiliki 4 kepribadian yang berbeda dan dengan nama yang sama. Hanya gaya bicara dan bahasa saja berbeda.
"Kak, kakak suka bunga?" tanya Lydia.
"Saya? Saya suka, tapi saya alergi bunga yang kamu pegang, bermainlah. Saya sibuk dulu ya," sahut Bayu lalu pergi meninggalkan Lydia ditaman.
Tak lama, Lydia memperhatikan seseorang yang datang dan memberikannya bunga. Itu adalah Adrian, ayahnya.
"Putri ayah yang cantik, kenapa bermain sendirian, hm?" tanya Adrian dengan mengusap kepala Lydia dan memberikan bunga kepada Lydia. Bunga mawar putih yang sangat indah dan Lydia terkejut kala melihat ayahnya. Dengan segera, Lydia berhambur melepaskan rasa rindu dalam hatinya karena sudah hampir 2 bulan Lydia dirawat disana.
"Ayah..!" seru Lydia gembira. Dia mendekap erat seorang pahlawan dalam hidupnya itu dan dengan segera dia meluapkan semuanya.
"Jangan nangis, nanti cantiknya hilang. Kamu memang sudah menikah namun, buka berarti ayah harus melepaskanmu dan melupakan peran ayah sebagai pahlawanmu bukan? Ayah menyayangimu, Lydia," ujar Adrian membuat Lydia tersenyum manis.
Senyuman yang sangat manis dan membuat hati Adrian terasa lega. Rasa rindunya sudah ditepiskan dan dia ingin agar putrinya segera sehat.
Adrian mulai mengelus perut Lydia. "Dalam perut putri ayah ini ada bayi yang pasti sangat lucu seperti bundanya, bukan? Cucu ayah pasti sangat gemas," imbuh Adrian membuat Lydia tersipu.
Tak lama setelahnya, Lydia melihat boneka saat dia kecil yang dibawa oleh Angelica, mamanya.
Dengan terkekeh pelan, Angelica mulai mendekat dan meletakkan boneka itu pada pangkuan putrinya, "Anak mama, kamu ingat pas kamu dulu minta boneka ini tapi mama dan ayah belum punya uang..? Dan setelah dengan lapang dada, rela menjual ponsel untuk boneka ini, rezekinya diganti lebih besar, kamu berharga sayang.. Kamu adalah harta berharga mama dan ayah, andai kamu tau.. Kamu sangat berharga," ujar Angelica dengan menahan tangisannya.
Lydia hanya memperhatikan kedua orang tuanya dan dia mulai mengingat masa-masa dulu. Masa yang membuatnya bahagia. Menjadi milik kedua orang tuanya tanpa beban yang ditanggung seperti sekarang. Air matanya lolos tanpa aba-aba dari pelupuk dan Adrian menadah air mata tersebut, "Air mata kamu berharga, Lydia," lirihnya dengan tersenyum dan mengusap pipi putrinya
Lidya menggelengkan kepalanya saat Adrian bertanha apakah dia memerlukan seorang teman karena, dia tak pernah bisa percaya dengan laki-laki terkecuali ayahnya sendiri. Dia tak bisa berteman terkecuali dengan mamanya sendiri. Dari sejak zaman sekolah Lydia sudah mengalami banyak trauma dan hal itu membuat Adrian dan Angelica cukup overprotective.
Beberapa jam setelahnya, Adrian membawa Lydia ke kamar dan membiarkan seorang dokter pribadi keluarganya memeriksa kandungan Lydia.
Setelahnya, Lydia menahan tangan Adrian saat hendak pergi, "Ayah, aku pengen balon," ucap Lydia membuat Adrian terkekeh pelan. "Kamu ngidam?" tanya Adrian diangguki oleh Lydia.
Adrian mulai keluar dari kamar tersebut dan mencari penjual balon. Tak tanggung-tanggung, Adrian langsung membeli beberapa balon dan dibawa ke ruangan Lydia sampai Bayu menahan tawa dengan kelakuan Adrian membawa balon-balon itu.
"Lydia, ayah dapat balonnya, yang ini kan?" ujarnya dengan menyerahkan beberapa balon tersebut kepada putrinya.
Dengan gembira Lydia menerima balon tersebut dan memeluk ayahnya erat. Pelindungnya sudah ada disisinya dan dia tidak akan merasa sakit lagi. Dia tak akan merasakan rasa yang akan membuatnya tersiksa lagi.
Di dalam mimpi Lydia, ia bebas melakukan segalanya yang ingin dia lakukan. Kebahagiaan Lydia itu sangat sederhana. Apalagi dengan sifat Adrian yang selalu memberikan apapun yang diinginkan oleh putrinya, itu sudah sangat royal dan effortnya juga tidak main-main.
"Walau aku ga punya cinta sejati, aku masih punya ayah di sini," batin Lydia dengan menenggelamkan wajahnya pada dada Adrian.
Selang beberapa waktu, akhirnya Lydia tertidur dan Adrian, Angelica juga dokter pribadi keluarganya sudah membawa Lydia dengan tujuan agar Lydia dapat dirawat dan dijaga baik fisik maupun mental dirumahnya oleh beberapa dokter yang akan disewa oleh Adrian nantinya.
Sesampainya, Lydia belum kunjung terbangun dan ternyata Alan berada dirumah itu. Entah niat apa yang Alan miliki namun, Adrian langsung menggendong Lydia ke kamarnya. Kamar yang sudah dihias sedari kemarin.
********
"Ada apa kamu datang ke rumah saya?" tanya Adrian.
"Lydia udah sembuh, yah?" tanya Alan membuat Adrian memutar bola matanya malas. "Kalau saya bilang sudah, kenapa? Mau siksa dia lagi?" singgung Adrian langsung to the point.
Hening.
Seolah suasana sangat berbeda. Jelas! Adrian saja sampai tak sudi menatap wajah menantunya itu.
"Langsung saja, ada apa?" tanya Adrian lagi.
"Saya hanya ingin meminta izin kepada Lydia.. Saya ingin menikah lagi," santai Alan membuat Angelica refleks menampar pipinya.
PLAK!
"Bajingan kamu! Anak saya lagi hamil anak kamu dan kamu malah mau nikah lagi?!" sergah Angelica membuat Alan terlonjak karena saking terkejutnya saat mendapat tamparan dari Angelica.
Bagaimanapun juga Alan sudah akad dan baru meminta izin, itu sangat tidak masuk akal! Apalagi Lydia juga sedang dalam kondisi yang tak memungkinkan pastinya hal itu membuat Angelica dan Adrian murka. Ingin rasa menghajar Alan ditempat namun, mereka tak lakukan itu karena mereka tau Lydia akan terbangun akibat suara keributan itu.
Dan benar. Lydia sudah berada dihadapan mereka dengan menatap Alan penuh kasih. Tatapan penuh cinta yang selalu Alan lihat setiap harinya akhirnya dia melihat lagi.
"Mas, kamu menikah lagi?" tanya Lydia dengan menghampiri Alan.
"Iya, saya menikah lagi," sahutnya santai.
Lydia tertawa hambar. Dia mulai menatap lekat mata Alan dan mengenggam tangan itu erat.
"Happy weeding, semoga.. Kamu bahagia ya..? Maaf kalau aku cuma beban buat kamu, bahagia selalu mas!" seru Lydia dengan tersenyum manis membuat hati Alan seolah tertusuk jarum.
Bagaimana bisa seorang istri akan tersenyum ketika mengetahui suaminya menikah lagi? Mustahil. Ada apa dengan perempuan ini?
"Lydia.. Kamu benar gapapa...?"
Lydia menganggukkan kepalanya. Ia hanya tersenyum tipis mulai mendekati Alan dan berjinjit untuk menyamakan tinggi dengan suaminya. Meski hatinya terasa sakit namun, Lydia sudah terbiasa dengan hal tersebut. Wajahnya yang pasrah membuat hati Alan justru sakit. Seolah ia sangat labil dalam keputusannya. "Ly, saya bisa jelaskan, saya bisa jelas─" tutur Alan terpotong dengan tawa Lydia yang hambar dihadapannya. Tatapan penuh cinta seolah tiada lagi. Tutur kata lembut telah sirna. "Jelasin apa lagi, mas? Aku ga butuh penjelasan kamu," sahut Lydia tegas. Adrian mengepalkan tangan menahan amarahnya. Bagaimana tidak? Putrinya dilhianati oleh lelaki yang ia percayai selama ini. Salah siapa? Salahnya? Bahkan, dulu ia sendiri yang kukuh menikahkan putrinya dengan Alan. Tanpa berbasa-basi Lydia mulai berjalan menuju ke kamar dan mengunci kamar tersebut. Ia meluruhkan dirinya dilantai dan mulai menatap cermin dihadapannya. Sang buah hati yang dinanti sudah pasti namun, ia dikhianati dengan ke
Antara pilihan atau kehancurkan yang akan menghampiri itulah takdir semesta. Sampai dengan seorang gadis mungil harus terus memaksa dirinya melupakan seseorang hanya karena restu orang tua yang tak berpihak sama sekali. Masa-masa kelam membuat Lydia menjadi gadis mungil yang memiliki hati lembut dan lemah secara fisik maupun mental. Ia masih menginggat dimana jeritannya membuat semua orang terdiam seribu bahasa. Dimana semua orang yang melayat turut menenangkan dirinya. "Cantik, kenapa nangis? Gua ga suka lo nangis." Suara itu membuat Lydia terperangah. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia melihat orang yang telah didambakan. "Dasar cengeng, jangan dibuka lagi. Udah gua disini," ujar Aldo membuat Lydia tak kuasa menahan tangisannya. Aldo mulai mengusap perut Lydia dengan lembut dan menatap Lydia penuh kasih sayang, "Jaga anak ini. Anak ini ga salah, jangan pernah lo sakitin anak yang ga berdosa ini buat dendam lo, Lydia. Lo tetep jadi cinta terakhir dan pertama gua,
Suara itu hanya diabaikan oleh Lydia. Tanpa dihiraukan sama sekali meski hatinya dongkol karena ulah suaminya. "Urus saja perusahaan anda atau saya bakal lengserkan anda dari jabatan tinggi itu, Tuan Alan," ancam Lydia dengan menyeringai dan menarik dasi suaminya dengan tatapan mengerikan. Alan terhenyak. "Sejak kapan dia jadi berani seperti ini..? Sial," batin Alan dengan mengepalkan tangannya. Alan lupa jika istrinya mengidap kepribadian ganda? Atau memang Alan tidak tau tentang itu? Lydia lepas kendali. Waktu yang salah membuatnya semakin terpuruk dalam keadaannya dan kali ini Alan salah sasaran. Meski sekuat tenaga Alan mencoba meraih Lydia, itu tak berguna karena yang dihadapannya bukanlah Lydia sebenarnya. BRAK! Suara benturan itu membuat Angelica dan Adrian berlari ke ruang pribadi putrinya. Dan betapa terkejutnya mereka saat melihat Alan sudah tersungkur dilantai dan Lydia yang mulai menggila. "Ly, jangan lakukan hal ini, ini salah Lydia Agathna Pragya Adrian!" be
Tawa Lydia memecah kesunyian. Tawa lepas itu membuat Lala merasa caranya mengajak sahabatnya itu bahagia ada benarnya. Meski ia tau bagaimana keadaan Lydia jika tanpanya. "Ly, andai lo cerai sama suami lo apa yang lo lakuin?" "Kenapa kamu selalu bertanya soal perceraian? Aku tak memikirkan itu karena aku tak ingin anakku tidak memiliki ayah." Hening. Lala bergeming mendengar penuturan Lydia yang terdengar cukup masuk akal juga. Karena tak mungkin perempuan seperti Lydia lebih memikirkan dirinya sendiri. "Pulang aja yuk," ajak Lala diangguki Lydia. Rasanya bahagia. Hati Lydia bahagia dengan semua belajaan yang ia bawa itu. Semuanya seperti pakaian anak gadis pada umumnya namun, terlihat pas dan lucu ketika Lydia pakai sekalipun sedikit kebesaran. Setelah sampai dirumah, Lydia langsung memasuki kamar dan mencoba semua baju-baju itu. Ada baju yang sangat minim dan itu membuat Lydia terlihat 2 tahun lebih muda. Kulit putih, bibir pink, rambut hitam legam nan panjang membuat Ly
Esok harinya, Melati mengadu yang tidak-tidak kepada Alan sampai membuat Alan murka. Jelas saja akal licik akan kalah dengan akal cerdas. Karena, Melati hanya ingin menjadikan Lydia pembantunya. "LYDIA!" bentak Alan membuat Lydia memutar bola mata malas. "Apa lagi?" sahut Lydia santai. "Kamu apakan istri saya?!" tanya Alan dengan penuh emosi membuat Lydia sontak menghadapkan selang air tepat didepan Melati. Lydia menyemprot Melati dengan air yang membuat Melati basah kuyup. Jelas saja itu membuat Alan semakin marah! "Kotoran itu harus siram biar bersih." Sial. Lagi dan lagi Melati terkena mulut pedas Lydia. Amelia yang tadinya tengah berdandan juga turut keluar untuk melihat kekacauan itu. Dan dia tertawa lepas saat melihat Melati basah kuyup karena ulah Lydia. "HAHAHA KAYA TIKUS KECEBUR GOT LO SUMPAH, KOCAK!" tawa Amelia membuat Melati menatap Amelia tajam. "Masih mau ngedrama? Aku bukan prosedur indosiar, ngomong-ngomong.. Akting mbak kurang cerdas," sela Lydia lalu
Lydia langsung berdiri dan menghampiri temannya tersebut. "Ada apa dengan mama?!" tanya Lydia cepat. "Mama kamu kecelakaan, Ly.. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Pelita." Mendengar itu, Lydia langsung berlari menuju parkiran dan menyetir mobilnya ke rumah sakit yang diinfokan oleh temannya. Pikiran Lydia sudah kacau sedari tadi dan kini bertambah runyam saat mendengar kabar mamanya kecelakaan? Pikirannya seketika buntu. Sesampainya, Lydia langsung turun dari mobil dan menyusuri lorong rumah sakit tersebut hingga Lydia bertemu dengan Adrian. Melihat Adrian yang tertunduk dan menahan tangisnya, Lydia mendekat dan menatap nanar ruang ICCU didepannya. "Ly, dokter lagi tangani mama kamu, nak," lirih Adrian membuat Lydia tak bisa berpikir positive lagi. Satu jam berlalu. Dokter keluar dan kemudian raut wajahnya sendu. Lydia menatap dokter itu nanar dan saat dokter mengisyaratkan bahwa keluarga boleh menemui, Lydia langsung berlari memasuki ruangan tersebut. Tepat dihadapannya, Lydi
Tatapan Lydia tajam. Ia tak ingin disentuh ataupun didekat oleh suaminya sendiri dan bahkan, ia tak menoleh sedikitpun untuk sekedar melihat wajah suaminya. "Gausah sentuh aku." "Jangan pikirkan egomu, hari ini adalah hari duka, Lydia." "Ego? Tutup mulutmu." Pungkas ucapan Lydia membuat Alan langsung terdiam. Kali ini Lydia melangkah 2 kali lebih berani dari biasanya. Setelah selesai proses pemandian dan disholatkan, jenazah Angelica segera dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tempat yang terletak cukup jauh sehingga Lydia tak saggup berjalan dan mengendarai mobil mengikuti rombongan didepannya. "Ly, kalau tidak kuat pulang saja," titah Adrian lembut. "Ga pa, aku mau lihat mama walau ini.. Terakhir kalinya," sahut Lydia dengan tersenyum tipis. Adrian hanya pasrah. Ia juga tak ingin mencegah putrinya ke rumah baru Angelica dan tak ingin membuat Lydia berpikiran buruk lagi. "Yasudah, ikuti saja rombongan ini sampai dimakam, kamu temui papa," ujar Adrian dengan sa
"Kalau emang kamu punya harga diri, seharusnya kamu yang malu karena aku bisa melengserkan Alan kapanpun itu, Mela," tekan Lydia membuat Melati membisu. Semua orang terdiam mendengar pernyataan dari Lydia. Apalagi saat Lydia mengatakan dia bisa melengserkan suaminya dari perusahaan. Itu membuat semua saling pandang. Bahkan, Alan langsung menarik Lydia kasar. "MAKSUD KAMU APA?!" bentak Alan membuat Lydia terkejut hingga jantungnya berdebar-debar dan tangannya gemetar. Dia terkejut setengah mati dengan tingkah suaminya yang nyaris saja membenturkan kepalanya pada dinding. BUGH!! "Aku pernah bilang jangan macam-macam," peringatan Lydia penuh penekanan pada kalimatnya. Jantung Lydia tak beraturan dan kini, Alan membawa sebuah pisau tumpul lalu mendekati Lydia. Memang dasarnya sudah gila. Alan sudah berkali-kali mencoba membunuh Lydia namun, itu selalu gagal juga. Karena itu, kehidupannya selalu kacau. "A FUCK YOU BITCH!" umpat Lydia lalu menatap benci ke arah Alan, bahkan. Mau ba
Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
Ratna mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Martha, ia membawa satu teko es teh dan menyediakan makanan ringan lainnya. Lydia merasa nyaman. Ia dihargai. Tidak merasa sepi dan walaupun begitu, Adrean harus kembali ke kota karena pekerjannya tidak bisa ditinggal sama sekali. "Lydia, kamu mikirin apa?" tanya Martha disela-sela lamunan Lydia sembari menatap bintang-bintang dilangit malam itu. "Ah, tidak ada kak.. Hanya merindukan seseorang yang sudah menjadi bintang dilangit." "Siapa?" "Aldo. Dia kekasihku yang sudah meninggal beberapa tahun lamanya tapi.. Aku masih merindukannya." Baiklah. Martha mengerti mengapa Lydia sampai terkena gangguan mental separah itu. Ternyata.. Itu semua karena luka batin masa lampau yang belum selesai. "Mau masuk rumah atau disini aja dulu?" "Aku mau disini dulu saja." Martha menghargai keputusan Lydia. Bagaimanapun apabila masalah rindu, tak ada yang bisa mencegahnya. Sesakit apapun, apabila masalah rindu.. Pasti semua akan terasa berat. "Ra
Lydia hanya terdiam ditempatnya dengan tatapan nanar. Tak ada yang bisa Lydia pikirkan lagi terkecuali satu. Dia gagal menjadi seorang ibu. "Masih sakit?" tanya Martha membuat Lydia menggelengkan kepalanya. Ia binggung apa yang terjadi dan kenapa dia bisa sampai disini. Lydia hanya ingin kedamaian didalam hatinya. Saat Alan hendak mendekat, Lydia memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat rupa laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan terkecuali hanya menatap benci ke arah Alan. "Ngapain kamu kesini?" "Saya suami kamu. Saya berhak melakukan apapun." "Termasuk untuk membuat anakku mati. Apakah itu juga hak mu sebagai suami? Mas, kamu harus ingat. Aku masih bisa sambung pendidikanku sampai setinggi mungkin. Tapi aku gak lakuin itu karna aku mau berusaha jadi pasangan yang baik. Tapi.. Kamu hancurin semua ini mas." Lydia mengalihkan pandangannya. Ia mulai menatap Alan dengan sayup. "Jadi begini cara kamu buat nyakitin aku ya, mas..? Begini cara
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan
Alan terhenyak mendengar ucapan Lydia. Ia mengerinyit binggung sembari mengenggam tangan istrinya, "Maksud kamu apa sayang?" tanya Alan lembut. Lydia tersenyum tipis. Ia mulai mengenggam tangan Alan dan terkekeh pelan. Menatap mata hazel milik suaminya dan mengabaikan apapun yang berlalu. Mendengar suara gemerisik dedaunan dari luar dan menghela nafasnya samar, "Ikat aku ditulang belikatmu, mas.. Izinkan aku merebahkan dan meneduhkan sembari mendengar semua cerita dan engkau mendengarkan ceritaku, tentang apa yang aku lalui.. Tentang semua yang telah menjadi tujuan dan tentang apa yang jadi pengorbanan. Agar aku tau bahwa aku memiliki sebuah tempat untuk berpulang, maaf apabila aku kerap membuatmu kecewa," sahut Lydia dengan tersenyum manis dan menatap sayup manik mata Alan. Alan terdiam. Ia hanya bisa mengulas senyuman lagi dan lagi. Ia tak menyangka dan tak menyadari bahwa ia selama ini melukai gadis belia yang sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. "Lydia.. Kamu tidak perlu memi
Alan bergeming. Ia mulai mengelus lembut tangan Lydia dan mengusap perut Lydia yang sudah buncit karena mengandung anaknya. Paras ayu Lydia tidak pernah pudar. "Kamu ngomong apa? Ayo buka mata kamu dulu," titah Alan dengan suara yang bergetar. "Mataku berat, rasanya sangat berat, mas, biarkan seperti ini dulu.. Temani aku ya," sahut Lydia dengan tersenyum simpul.Alan mengangguk, ia mulai tersenyum tipis, "Iya, saya temani kamu," ucap Alan lembut dengan memangku kepala Lydia dan mengusap rambut Lydia meski selalu rontok. "Kamu gamau kemo? Ayo sembuh sayang," lirih Alan dengan terus mengusap kepala Lydia berharap rasa sakit istrinya mereda. Perlahan, mata Lydia mulai terbuka. Mata sayu itu menatap penuh cinta tanpa adanya kebencian, tangan mungilnya mulai meraih tangan suaminya dan tersenyum tipis, "Mas.. Ga perlu, aku capek banget kalau harus terapi, aku cuma mau kamu sama aku selama 2 tahun ini, hanya itu aja. Setelahnya, kamu bebas mau apapun aku ga akan larang, jagain istri-istr
"Udah aku duga kamu cuma berkedok berubah, padahal kamu ga pernah sadar kalau selama ini kamu salah!" berang Lydia membuat emosi Alan seketika memuncak"Jaga ucapanmu Lydia!""Aku cuma berbicara fakta.""Fakta yang tidak terbukti sama saja dengan rekayasa, Lydia!" "Dan aku bisa mengusut kasus kamu atas dasar pelaporan kekerasan dalam rumah tangga mas."BRAK..!!!Alan membanting meja kayu sehingga membuat jantung Lydia rasanya mau copot. Bahkan, Lydia tak bisa bergerak dan tak habis pikir dengan sifat Alan yang terus menjadi. "Ceraikan aku.""Sekali lagi kau mengucapkan itu.. Jangan harap kamu bisa lepas dari saya, Lydia.""Aku capek, Alan. Aku capek!"Alan hanya mampu menahan dirinya untuk tidak menyakiti istrinya. Hatinya ingin memaki namun, ia hanya bisa ,menahan dirinya agar tidak kasar atau ia akan kehilangan anaknya lagi. Apalagi hanya karena sifat tak masuk akalnya. "Jangan harap kamu bisa lepas dari saya dan jangan harap kamu bisa bahagia apabila kamu memaksa kehendak," anca