Esok harinya, Melati mengadu yang tidak-tidak kepada Alan sampai membuat Alan murka. Jelas saja akal licik akan kalah dengan akal cerdas. Karena, Melati hanya ingin menjadikan Lydia pembantunya.
"LYDIA!" bentak Alan membuat Lydia memutar bola mata malas.
"Apa lagi?" sahut Lydia santai.
"Kamu apakan istri saya?!" tanya Alan dengan penuh emosi membuat Lydia sontak menghadapkan selang air tepat didepan Melati.
Lydia menyemprot Melati dengan air yang membuat Melati basah kuyup. Jelas saja itu membuat Alan semakin marah!
"Kotoran itu harus siram biar bersih."
Sial. Lagi dan lagi Melati terkena mulut pedas Lydia.
Amelia yang tadinya tengah berdandan juga turut keluar untuk melihat kekacauan itu. Dan dia tertawa lepas saat melihat Melati basah kuyup karena ulah Lydia.
"HAHAHA KAYA TIKUS KECEBUR GOT LO SUMPAH, KOCAK!" tawa Amelia membuat Melati menatap Amelia tajam.
"Masih mau ngedrama? Aku bukan prosedur indosiar, ngomong-ngomong.. Akting mbak kurang cerdas," sela Lydia lalu meninggalkan taman tersebut sehingga membuat Alan sangat heran. Ada apa dengan istrinya akhir-akhir ini? Sangat aneh.
"Lydia," panggil Alan tak dihiarukan Lydia lagi dan lagi Lydia sesuka hatinya melakukan semua tanpa batasan dan bahkan, ia membuka sebuah restorant seafood tanpa sepengetahuan suaminya.
Sesampainya, Lydia langsung mengatur semuanya dan tak lupa juga Lydia merapikan penampilannya sampai banyak pelanggan yang terkesan untuk itu.
"Eyo, apa kabar nih bumil?" tanya salah satu teman SMA Lydia.
"Baik kok, kalian gimana nih?" tanya Lydia balik.
Semua orang tersenyum dan mengangguk tanda bahwa mereka baik. Semakin lama Lydia disana tak terasa ia mulai menemukan bahagia dengan caranya sendiri.
"Eh, ikut kita aja, kita mau ke Amerika," ajak Reno, teman satu kelas Lydia dulu.
"Ah enggak deh, aku sibuk banget.. Ga bisa pergi jauh, suka mual juga," sahut Lydia dengan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Semua orang setuju sih, karena memang kondisi Lydia juga bahaya dan bakal fatal kalau misal terjadi apa-apa jadi, mereka bijak dalam memutuskan sesuatu.
"Anw, ayo bareng-bareng ziarah ke makam Aldo," ajak Nadia disetujui oleh semua orang kecuali Lydia.
"Kenapa ga ikut, Ly?" tanya Nadia.
"Karena kalau aku ikut kalian.. Mungkin aku ga akan mau pulang lagi, udah ya..? Aku ga ikut."
Sekelas itu kompak. Apalagi masalah menghargai, mereka sangat mengutamakan itu. Apalagi kalau misal ada yang sedikit melenceng, mereka akan menuntun orang itu sampai menjadi orang yang paham dengan kesalahannya
"Ly, lo masih kangen Aldo..?"
"Dia yang terindah, Nad. Dia. Cuma dia dan dia. Siapa lagi selain dia..? Ga ada. Aku cuma mau coba dewasa karena apa? Karena kalau aku bilang udah lupa.. Ga mungkin aku bisa lupa sama orang yang meninggal dipangkuanku sendiri."
Deg..
Seolah jantung mereka terasa sakit. Ada benarnya, Aldo meninggal saat Lydia memeluk dan untuk itu.. Mereka paham akan keadaan Lydia yang mungkin masih terpuruk karena ulah suaminya yang tak pernah benar.
"Yaudah, kita disini kok kalau misal lo butuh kita, bilang aja. Kita bakal selalu ada buat lo."
"Iya Ly, kita bakal selalu ada buat lo. Jadi jangan sungkan, oke?"
"Nah bener!! Kita bakal berusaha buat lo sembuh dan bangkit, semangat bidadarinya kelas Mipa enam!" seru Anton membuat Lydia tersenyum.
Namun..
"LYDIA, MAMA KAMU LY...!!"
Lydia langsung berdiri dan menghampiri temannya tersebut. "Ada apa dengan mama?!" tanya Lydia cepat. "Mama kamu kecelakaan, Ly.. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Pelita." Mendengar itu, Lydia langsung berlari menuju parkiran dan menyetir mobilnya ke rumah sakit yang diinfokan oleh temannya. Pikiran Lydia sudah kacau sedari tadi dan kini bertambah runyam saat mendengar kabar mamanya kecelakaan? Pikirannya seketika buntu. Sesampainya, Lydia langsung turun dari mobil dan menyusuri lorong rumah sakit tersebut hingga Lydia bertemu dengan Adrian. Melihat Adrian yang tertunduk dan menahan tangisnya, Lydia mendekat dan menatap nanar ruang ICCU didepannya. "Ly, dokter lagi tangani mama kamu, nak," lirih Adrian membuat Lydia tak bisa berpikir positive lagi. Satu jam berlalu. Dokter keluar dan kemudian raut wajahnya sendu. Lydia menatap dokter itu nanar dan saat dokter mengisyaratkan bahwa keluarga boleh menemui, Lydia langsung berlari memasuki ruangan tersebut. Tepat dihadapannya, Lydi
Tatapan Lydia tajam. Ia tak ingin disentuh ataupun didekat oleh suaminya sendiri dan bahkan, ia tak menoleh sedikitpun untuk sekedar melihat wajah suaminya. "Gausah sentuh aku." "Jangan pikirkan egomu, hari ini adalah hari duka, Lydia." "Ego? Tutup mulutmu." Pungkas ucapan Lydia membuat Alan langsung terdiam. Kali ini Lydia melangkah 2 kali lebih berani dari biasanya. Setelah selesai proses pemandian dan disholatkan, jenazah Angelica segera dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tempat yang terletak cukup jauh sehingga Lydia tak saggup berjalan dan mengendarai mobil mengikuti rombongan didepannya. "Ly, kalau tidak kuat pulang saja," titah Adrian lembut. "Ga pa, aku mau lihat mama walau ini.. Terakhir kalinya," sahut Lydia dengan tersenyum tipis. Adrian hanya pasrah. Ia juga tak ingin mencegah putrinya ke rumah baru Angelica dan tak ingin membuat Lydia berpikiran buruk lagi. "Yasudah, ikuti saja rombongan ini sampai dimakam, kamu temui papa," ujar Adrian dengan sa
"Kalau emang kamu punya harga diri, seharusnya kamu yang malu karena aku bisa melengserkan Alan kapanpun itu, Mela," tekan Lydia membuat Melati membisu. Semua orang terdiam mendengar pernyataan dari Lydia. Apalagi saat Lydia mengatakan dia bisa melengserkan suaminya dari perusahaan. Itu membuat semua saling pandang. Bahkan, Alan langsung menarik Lydia kasar. "MAKSUD KAMU APA?!" bentak Alan membuat Lydia terkejut hingga jantungnya berdebar-debar dan tangannya gemetar. Dia terkejut setengah mati dengan tingkah suaminya yang nyaris saja membenturkan kepalanya pada dinding. BUGH!! "Aku pernah bilang jangan macam-macam," peringatan Lydia penuh penekanan pada kalimatnya. Jantung Lydia tak beraturan dan kini, Alan membawa sebuah pisau tumpul lalu mendekati Lydia. Memang dasarnya sudah gila. Alan sudah berkali-kali mencoba membunuh Lydia namun, itu selalu gagal juga. Karena itu, kehidupannya selalu kacau. "A FUCK YOU BITCH!" umpat Lydia lalu menatap benci ke arah Alan, bahkan. Mau ba
Keadaan semakin runyam saat Adrian tak dapat menahan emosinya, itulah. Terjadi bencana. Meski berkali-kali semua tau bahwa itu adalah bentuk amarah dari seorang ayah karena anaknya tak diperlakukan dengan adil. Malam harinya, Lydia merasa pusing dan dia tak dapat menginggat apapun setelahnya, ia hanya bersenang-senang dan terdiam saat melihat Adrian dan Alan pulang dalam keadaan babak belur. "Non, tuan berantem sama tuan muda," ujar salah seorang pelayan dengan buru-buru mengambil air hangat dan obat-obatan didalam nakas. "Obati saja, saya mau pergi," sahut Lydia dengan merangkul papanya. "Pa, ayo ke rumah sakit," titahnya penuh kelembutan membuat Alan tak terima. "Suami kamu itu saya!" sergah Alan penuh emosi dan tak terima saat Lydia lebih memilih papanya dibanding dia. "Memang anda siapa?"Deg. Seolah jantung Alan berhenti berdetak. Memang ia ingin Lydia menjauh namun, tidak dengan cara seperti ini. Apalagi sampai tak mengenali dirinya. Itu sudah sangat keterlaluan untuknya!
Apabila perempuan sudah bermain logika maka, lelaki akan takhluk dengan perempuannya. Apalagi saat Lydia menoleh dan mendekati Alan. "Aku hanya akan mendengar sanjungan, bukan celaan dan tindasan," tadas Lydia lalu meninggalkan kamarnya. Memang benar. Rasa sakit hati yang begitu murni itu tak akan dapat membuat semuanya berubah begitu saja. Apalagi saat Lydia mengetahui bahwa suaminya hanya membutuhkannya sebagai pemuas. Tak ada yang bisa memaksa Lydia untuk berada disisi suaminya karena Alan juga selalu menyakiti hati Lydia dengan perbuatannya. Hari menjelang pagi, Lydia mulai bangun dari tempat tidur dan bersiap untuk sarapan. Lydia menyewa pembantu karena ia sudah tak ingin mendapat cacian saat masakannya tak sesuai keinginan kedua istri muda yang sok berkuasa seperti Melati dan Amelia. "Saya sarapan dikantor," ujar Alan dengan memperbaiki dasi dan lengan jasnya. "Yaudah, toh siapa yang nyuruh kamu makan? Kepedean," remeh Lydia santai membuat Melati sangat jengkel. "Cewek c
Alan tengah bersenang-senang didalam kantor. Bercumbu dengan sekertarisnya dan kedua perempuan lainnya yang tengah memijit dan membuat dirinya nyaman. Mengabaikan pekerjaan dan menunggu kontrak datang untuk ditandatangani. "Mas, kamu kapan nikahin aku?" "Aku juga." "Iya mas, kapan nikahin kita?" Kan? Rewel semua selingkuhannya. Ketiga perempuan ingin dinikahi secara bersama karena mereka beranggapan bahwa menjadi istri Alan akan bahagia. Adzan berkumandang dan Lydia memutuskan untuk sholat dimushola terdekat. Lydia tak pernah melupakan kewajibannya sebagai umat muslim dan ia tak juga melupakan bahwa lelaki boleh memiliki lebih dari 2 perempuan asalkan adil. Seusainya, Lydia memutuskan untuk duduk dibangku taman dengan memanjakan janin dalam kandungannya dan Alan, ia masih asik dengan para perempuan-perempuannya sehingga abai dengan Melati dan Amelia yang sudah menghubunginya berkali-kali. Drttt... Drttt... Drttt... Ponsel Lydia bergetar beberapa kali hingga Lydia mengangkat po
Alan juga lama-lama pusing dengan aduan dari kedua istrinya itu. Apalagi saat mendengar itu, Alan juga hanya mengangguk dan menyuruh kedua istrinya itu bebas melakukan apa saja asalkan mereka bahagia. Sedangkan Lydia, Martha dan Surti, mereka bertiga tengah asyik menikmati perjalanan mereka didalam mobil saat menuju ke bandara. Itu juga karena Lydia tengah hamil 3 bulan, jadi ia mulai ngidam. Tidak sulit untuk Lydia mengajak kedua pembantunya karena Lydia menganggap mereka juga sudah sebagai saudaranya. Apalagi saat tau Surti dan Martha ternyata hanya selisih 5 tahun dengannya. Ia sangat bahagia karena selama sekolah juga ia tak memiliki teman akrab. Apalagi masa SMP, itu masa yang paling ingin Lydia lupakan. Surti dan Martha juga tak sulit memahami Lydia, mereka paham dan mengerti bagaimana sifat Lydia dengan sangat cepat. Apalagi mereka juga menelusuri penyakit apa saja yang Lydia idap. Mereka semakin siaga 1 untuk Lydia. Mereka tiba dibandara, bandara yang tidak terlalu pad
Alan masih sangat runyam dengan tingkah istri-istrinya yang diluar nalar. Apalagi saat ia tak terurus sama sekali. Saat-saat seperti ini, Alan hanya dapat meratapi nasibnya didalam kamar Lydia. Kamar yang sangat rapi, wangi, dihiasi oleh bunga-bunga mawar yang dirangkai dengan indah didalam vas. Namun, langkahnya terhenti saat Alan tak sengaja menjatuhkan buku kecil yang berisi catatan dengan tulisan tangan yang sangat rapi. NETRA KELABU DALAM SEMU. Bagian sampulnya saja sudah membuat Alan penasaran jadi, ia memutuskan untuk membuka buku tersebut dan melihat tulisan JANGAN DIBUKA ATAUPUN DIBACA! Lembar pertama yang membuat Alan semakin penasaran dengan apa yang ditulis oleh istrinya lalu, Alan mulai membuka dan tertegun saat melihat tulisan tangan itu. ****** Hari ini adalah hari yang paling kubenci seumur hidup. Aku seolah adalah seorang pembunuh karena kekasihku tiada dipangkuanku. ****** Cinta sejati itu ada...? Buktinya, suamiku menikam dimana saat aku mulai mencintainya dia
Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
Ratna mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Martha, ia membawa satu teko es teh dan menyediakan makanan ringan lainnya. Lydia merasa nyaman. Ia dihargai. Tidak merasa sepi dan walaupun begitu, Adrean harus kembali ke kota karena pekerjannya tidak bisa ditinggal sama sekali. "Lydia, kamu mikirin apa?" tanya Martha disela-sela lamunan Lydia sembari menatap bintang-bintang dilangit malam itu. "Ah, tidak ada kak.. Hanya merindukan seseorang yang sudah menjadi bintang dilangit." "Siapa?" "Aldo. Dia kekasihku yang sudah meninggal beberapa tahun lamanya tapi.. Aku masih merindukannya." Baiklah. Martha mengerti mengapa Lydia sampai terkena gangguan mental separah itu. Ternyata.. Itu semua karena luka batin masa lampau yang belum selesai. "Mau masuk rumah atau disini aja dulu?" "Aku mau disini dulu saja." Martha menghargai keputusan Lydia. Bagaimanapun apabila masalah rindu, tak ada yang bisa mencegahnya. Sesakit apapun, apabila masalah rindu.. Pasti semua akan terasa berat. "Ra
Lydia hanya terdiam ditempatnya dengan tatapan nanar. Tak ada yang bisa Lydia pikirkan lagi terkecuali satu. Dia gagal menjadi seorang ibu. "Masih sakit?" tanya Martha membuat Lydia menggelengkan kepalanya. Ia binggung apa yang terjadi dan kenapa dia bisa sampai disini. Lydia hanya ingin kedamaian didalam hatinya. Saat Alan hendak mendekat, Lydia memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat rupa laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan terkecuali hanya menatap benci ke arah Alan. "Ngapain kamu kesini?" "Saya suami kamu. Saya berhak melakukan apapun." "Termasuk untuk membuat anakku mati. Apakah itu juga hak mu sebagai suami? Mas, kamu harus ingat. Aku masih bisa sambung pendidikanku sampai setinggi mungkin. Tapi aku gak lakuin itu karna aku mau berusaha jadi pasangan yang baik. Tapi.. Kamu hancurin semua ini mas." Lydia mengalihkan pandangannya. Ia mulai menatap Alan dengan sayup. "Jadi begini cara kamu buat nyakitin aku ya, mas..? Begini cara
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan
Alan terhenyak mendengar ucapan Lydia. Ia mengerinyit binggung sembari mengenggam tangan istrinya, "Maksud kamu apa sayang?" tanya Alan lembut. Lydia tersenyum tipis. Ia mulai mengenggam tangan Alan dan terkekeh pelan. Menatap mata hazel milik suaminya dan mengabaikan apapun yang berlalu. Mendengar suara gemerisik dedaunan dari luar dan menghela nafasnya samar, "Ikat aku ditulang belikatmu, mas.. Izinkan aku merebahkan dan meneduhkan sembari mendengar semua cerita dan engkau mendengarkan ceritaku, tentang apa yang aku lalui.. Tentang semua yang telah menjadi tujuan dan tentang apa yang jadi pengorbanan. Agar aku tau bahwa aku memiliki sebuah tempat untuk berpulang, maaf apabila aku kerap membuatmu kecewa," sahut Lydia dengan tersenyum manis dan menatap sayup manik mata Alan. Alan terdiam. Ia hanya bisa mengulas senyuman lagi dan lagi. Ia tak menyangka dan tak menyadari bahwa ia selama ini melukai gadis belia yang sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. "Lydia.. Kamu tidak perlu memi
Alan bergeming. Ia mulai mengelus lembut tangan Lydia dan mengusap perut Lydia yang sudah buncit karena mengandung anaknya. Paras ayu Lydia tidak pernah pudar. "Kamu ngomong apa? Ayo buka mata kamu dulu," titah Alan dengan suara yang bergetar. "Mataku berat, rasanya sangat berat, mas, biarkan seperti ini dulu.. Temani aku ya," sahut Lydia dengan tersenyum simpul.Alan mengangguk, ia mulai tersenyum tipis, "Iya, saya temani kamu," ucap Alan lembut dengan memangku kepala Lydia dan mengusap rambut Lydia meski selalu rontok. "Kamu gamau kemo? Ayo sembuh sayang," lirih Alan dengan terus mengusap kepala Lydia berharap rasa sakit istrinya mereda. Perlahan, mata Lydia mulai terbuka. Mata sayu itu menatap penuh cinta tanpa adanya kebencian, tangan mungilnya mulai meraih tangan suaminya dan tersenyum tipis, "Mas.. Ga perlu, aku capek banget kalau harus terapi, aku cuma mau kamu sama aku selama 2 tahun ini, hanya itu aja. Setelahnya, kamu bebas mau apapun aku ga akan larang, jagain istri-istr
"Udah aku duga kamu cuma berkedok berubah, padahal kamu ga pernah sadar kalau selama ini kamu salah!" berang Lydia membuat emosi Alan seketika memuncak"Jaga ucapanmu Lydia!""Aku cuma berbicara fakta.""Fakta yang tidak terbukti sama saja dengan rekayasa, Lydia!" "Dan aku bisa mengusut kasus kamu atas dasar pelaporan kekerasan dalam rumah tangga mas."BRAK..!!!Alan membanting meja kayu sehingga membuat jantung Lydia rasanya mau copot. Bahkan, Lydia tak bisa bergerak dan tak habis pikir dengan sifat Alan yang terus menjadi. "Ceraikan aku.""Sekali lagi kau mengucapkan itu.. Jangan harap kamu bisa lepas dari saya, Lydia.""Aku capek, Alan. Aku capek!"Alan hanya mampu menahan dirinya untuk tidak menyakiti istrinya. Hatinya ingin memaki namun, ia hanya bisa ,menahan dirinya agar tidak kasar atau ia akan kehilangan anaknya lagi. Apalagi hanya karena sifat tak masuk akalnya. "Jangan harap kamu bisa lepas dari saya dan jangan harap kamu bisa bahagia apabila kamu memaksa kehendak," anca