Janeetha terbaring di atas ranjang dengan tubuh yang gemetar. Kamar yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, baginya berubah menjadi ruang penyiksaan.Dengan mata yang basah, ia menatap langit-langit, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir. Namun, kenyataan berkata lain.Dikara, suaminya, tak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Gerakan pria itu semakin liar, seolah menegaskan kekuasaan atas tubuhnya yang lemah.Janeetha merasa seperti boneka tak bernyawa, terjebak dalam permainan brutal yang tak pernah ia minta.“M-mas…berhenti…,” pintanya sekali lagi dengan suara yang semakin lirih.Namun, kata-katanya terabaikan begitu saja. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya membuat Janeetha menggigit bibirnya lebih keras, mencoba menahan jeritan yang nyaris meledak. ”Berhenti?” Dikara tertawa kecil membuat bulu kuduk Janeetha meremang. “Aku baru saja mulai, Jani. Jadi nikmati saja!” katanya dengan nada suara serak pun penuh kepuasan.Seringai yang terlukis di wa
Ketika suara air di kamar mandi berhenti, Janeetha segera meletakkan kembali ponsel Dikara di tempatnya semula. Dengan perlahan, ia mengenakan jubah tidur satinnya, meskipun kulitnya terasa perih akibat perlakuan kasar Dikara. Ia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan itu, tetapi dalam hatinya, Janeetha tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Dikara keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah.Janeetha mengamatinya sesaat. Dulu, pemandangan ini sempat membuat hatinya berdebar penuh damba, tetapi semuanya seakan sirna perlahan. Pria itu tak lagi mampu membuat dirinya bergetar seperti dulu meski rasa yang ia miliki masih tersisa meski samar.“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dikara, nada suaranya dingin sembari menatap balik tak kalah tajam. Raut wajahnya tampak datar, tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari adanya ketegangan yang sedang membara di dalam diri istrinya. Janeetha menatap suaminya dengan penuh k
Mendengar tangisan Janeetha, Maura menjadi semakin khawatir. “Tenang, Janeetha. Aku di sini untukmu. Apa kau bisa keluar sekarang? Kita bisa bertemu dan bicara.”Tanpa berpikir panjang, Janeetha mengangguk meski Maura tak bisa melihatnya. “Iya… aku akan keluar sekarang. Aku tak bisa berada di sini lebih lama.”“Baiklah, aku akan menunggumu di kafe biasa. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” kata Maura dengan suara lembut dan berusaha menenangkan.Setelah menutup telepon, Janeetha bergegas bangkit dari lantai, menghapus air matanya yang masih berlinang.Ia tahu bahwa ia harus segera pergi dari sini, setidaknya untuk sementara waktu. Bertemu dengan Maura mungkin tidak akan menyelesaikan semua masalahnya, tetapi setidaknya ia tidak akan sendirian dalam menghadapi ini.Janeetha berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian yang lebih layak untuk dikenakan di luar. Meski rasa sakit masih menjalari tubuhnya, ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya.Setelah berpakaian, ia mengam
“Kak Fabian,” ucapnya lirih sedikit keheranan membuat Maura pun segera menoleh ke arah yang sama. Fabian adalah kakak Maura. Janeetha mengenalnya sebagai pria yang selalu ramah dan penuh perhatian, tetapi Janeetha selalu merasa canggung di hadapannya. Ada sesuatu pada Fabian yang selalu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada perasaan yang tersembunyi di balik tatapan hangatnya. "Kak!" Maura menatap kakaknya dengan sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kerja?" “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” sahut Fabian mencebik membuat Maura membalas dengan hal yang sama. Janeetha mengulum senyum melihat interaksi kakak adik yang selalu mampu menghiburnya sedari dulu. Fabian menarik sudut bibirnya sekilas saat melihat teman adiknya itu mulai tersenyum, meski rasa khawatir masih tampak jelas di wajah pria itu. Perlahan Fabian duduk di sebelah adiknya yang masih menuntut jawaban darinya. "Aku tadi mendengar kau ingin bertemu dengan Janeetha, dan aku... meras
Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa."Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh. "Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela
“Mas? Kok sudah pulang? Ada yang tertinggal?” tanya Janeetha tetapi tak mendapatkan jawaban hanya tatapan suaminya yang sulit diartikan.Tak ingin memperpanjang masalah, Janeetha menyampaikan undangan keluarganya."Ibu tadi menelpon. Kita diundang untuk makan malam di rumah orang tuaku," ucapnya dengan suara pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Ibu dan Ayah ingin bertemu dengan kita."Dikara mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah. Kita akan pergi."Namun, sebelum Janeetha bisa bernapas lega, Dikara melangkah mendekat, suaranya berubah menjadi nada peringatan yang dingin. Pria itu mencubit dagu Janeetha cukup keras hingga tatapan mereka bertemu. "Dan selama kita berada di sana, yang perlu kau lakukan di depan mereka adalah bersikap sebagaimana istri yang baik, penurut dan manis. Jangan sekali-kali menunjukkan apa yang sering kau tunjukkan padaku selama ini! Jika kau membuat kesalahan sekecil apa pun, kau tahu apa yang akan terjadi." Ja
“Mas, jangan ngebut-ngebut,” ucap Janeetha lirih, merasakan dadanya semakin sesak dengan setiap kilometer yang mereka tempuh. Di perjalanan pulang, suasana dalam mobil terasa mencekam. Dikara memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi hingga Janeetha harus mencengkeram pegangan di atas pintu dengan kuat. Ia berusaha mengusir rasa takut jika mereka tiba-tiba menabrak kendaraan lain atau bahkan terguling. Namun, ketakutan itu bukan hanya karena kecepatan mobil, melainkan karena keheningan yang mematikan di antara mereka. Ketika mereka sampai di dalam apartemen, pintu tertutup dengan sangat keras. Janeetha belum sempat menghela napas ketika Dikara tiba-tiba mencengkram lengannya dengan kasar, memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. “Berani sekali kau membuka ponselku!” Suaranya rendah, hampir seperti singa yang siap menyerang. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.
Dikara, yang sudah berada di puncak kemarahannya, tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Setiap permintaan cerai yang diajukan Janeetha, hanya menambah bahan bakar pada api yang sudah berkobar dalam dirinya.“Apa yang kau inginkan dariku, Janeetha? Hah?” teriak Dikara penuh amarah. “Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau mencampuri urusanku? Kau pikir kau bisa mengontrolku dengan permintaan bodohmu itu?”Janeetha mundur beberapa langkah, mencoba mencari ruang untuk bernapas di tengah badai yang melanda mereka.Namun, Dikara tidak memberinya kesempatan. Pria itu malah mencengkram kedua bahu mungil istrinya dengan kasar dan mendorongnya ke dindingmembuat Janeetha memekik kecil karena sakit."Kau tidak akan pernah bisa lari dariku! Kau akan tetap menjadi istriku, selamanya, apapun yang terjadi! Dan kau akan melakukan setiap hal yang aku perintahkan, tanpa pengecualian! Mengerti? Aku tak peduli apa yang kau rasakan, kau milikku—sepenuhnya!" Suara Dika
Keramaian bandara terasa asing di telinga Dikara. Deretan suara panggilan penerbangan, pengumuman keberangkatan, dan langkah-langkah kaki yang berlalu-lalang hanya menjadi dengungan samar. Baginya, hanya ada keheningan yang menusuk, membungkus setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang terus menumpuk.Ia duduk di ruang tunggu eksekutif, tubuhnya tegak namun terasa seolah-olah disandera oleh waktu yang berjalan begitu lambat. Jari-jarinya mengetuk pelan lengan kursi. Dikara memang tampak tenang, tetapi seakan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja bagi Fadil yang berdiri tak jauh darinya.Di hadapan Dikara, secangkir kopi hitam miliknya sudah mendingin, sedingin wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi.Pria itu tak menyentuhnya sama sekali. Ia bahkan mungkin lupa jika ada minuman itu di meja.Pandangannya terpaku lurus ke arah pintu keberangkatan yang selalu berayun membuka dan menutup, seolah Fabian akan muncul dari baliknya kapan saja.Sayangnya, kali ini keberuntungan tak ber
Mobil hitam itu semakin mendekat, nyaris memepet sisi taksi, memaksa kendaraan berhenti di pinggir jalan.Fabian mengumpat pelan, siap untuk melontarkan protes, tetapi rasa kesalnya berubah menjadi keterkejutan saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.Rusli.Fabian merasakan amarahnya melonjak, tetapi ia menahannya. Pintu taksi di sisi kanannya terbuka, dan Rusli masuk dengan wajahnya yang cemas, duduk di sampingnya tanpa permisi.Fabian menatap Rusli tajam, rahangnya mengatup keras. “Apa-apaan ini, Rusli? Kau pikir kau siapa sampai menghentikan taksi di tengah jalan seperti ini?”Rusli menghela napas berat, pandangannya waspada. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi, Fabian. Kau tahu kenapa aku di sini.”Fabian menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Kalau kau datang untuk menakutiku atas nama Dikara, kau buang-buang waktu. Aku tidak peduli!”Rusli menoleh cepat, menatap Fabian dengan ekspresi mendesak. “Kau pikir aku mau melakukan ini? Aku hanya menjalankan perintah. Da
Langit memancarkan cahaya sorenya saat mobil hitam Dikara berhenti secara sembarangnan di depan rumah Fabian.Pria itu keluar dari mobil dengan langkah cepat, hampir seperti melompat turun. Rahangnya mengatup keras, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan kecil yang berdiri sunyi di hadapannya.Tanpa ragu, ia berjalan menuju pintu depan. Tangannya mengepal, dan dengan sekuat tenaga ia menggedor pintu tersebut.“Fabian!” Dikara terus menggedor pintu, suaranya menggema di sepanjang teras. “Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!”Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti.Pria itu kembali menggedor pintu kali ini lebih kuat dari sebelumnya.“Fabian! Aku tidak akan meminta dua kali!” Dikara berseru. Urat lehernya bahkan menonjol saking kerasnya.Namun, tetap tidak ada reaksi.Dikara menyipitkan mata, ekspresinya semakin mengeras. Tangannya meraih gagang pintu, dan mencoba membukanya. Ternyata pintu itu terkunci.“Sialan!”Dalam sekejap, Dikara mengangkat kakin
Dikara kemudian terkekeh sumbang. “Aku harus merendahkan diri di hadapan Janeetha? Membiarkannya merasa menang? Tidak ada dalam kamusku!”Kata-kata Ameera memang menusuk, tapi ia memilih mengabaikannya. Baginya, kelemahan hanyalah jalan pintas menuju kehancuran.“Aku tak akan pernah merendah pada yang sudah rendah!” dengkusnya lirih, seakan menegaskan kalimat itu lebih kepada dirinya sendiri. “Dan aku akan memastikan Janeetha tahu tempatnya.”Dengan masih sedikit terhuyung, Dikara melangkah menuju jendela. Membiarkan cahaya menerpa wajahnya yang sedikit pucat. Dari ketinggian mansion, ia bisa melihat sepinya taman di bawah sana, seperti mewakili rasa sepi yang berkecamuk dalam hatinya.Ponselnya bergetar di atas meja. Dikara melirik sekilas—sebuah pesan dari Fadil.[Kami masih mencari keberadaan Nyonya Janeetha, Tuan. Tapi belum ada jejak konkret. Kami akan melaporkan kembali segera.]Dikara mengatupkan rahangnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalas apapun. Baru kali ini ia mera
Dalam kepanikannya, Dikara meraba kantong celananya, mencari ponsel. Ia mengetik nomor Ameera dengan jari-jari yang gemetar. Ameera adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana mengatasi dirinya ketika ia kehilangan kontrol seperti ini.Panggilan tersambung setelah beberapa nada dering. “Dikara, apa yang terjadi?”“Aku… aku tidak bisa bernapas,” katanya terbata-bata, suaranya terdengar putus asa. “Dia pergi, Ameera. Janeetha pergi, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”“Dikara, dengarkan aku,” kata Ameera dengan nada menenangkan. “Tarik napas perlahan. Ikuti suaraku. Tarik napas dalam… tahan sejenak… dan hembuskan perlahan.”Dikara mencoba dengan tubuhnya masih gemetar.Satu tarikan napas, dua, lalu tiga. Perlahan, rasa sesak di dadanya sedikit mereda, meskipun masih terasa seperti sengatan api yang terus menyalakan rasa takut di dalam hatinya.“Sekarang, katakan padaku,” lanjut Ameera hati-hati. “Apa yang sebenarnya kau rasakan?”“Aku takut…” Dikara berbicara, hampir seperti
Dikara tiba-tiba tertawa pendek, tawa yang penuh sarkasme dan rasa sakit. Ia mengangkat salah satu gaun yang dikenakan Janeetha di acara pernikahan mereka. Gaun itu masih wangi, aromanya mengingatkan Dikara pada malam-malam yang kini terasa seperti mimpi yang tak tergapai.“Kenapa kau selalu membuat segalanya begitu sulit?” tanyanya, seolah Janeetha ada di hadapannya. Suaranya berubah, melembut, hampir seperti memohon. “Kenapa kau tidak mengerti… aku hanya ingin kau tetap di sini, bersamaku.”Tapi tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menusuk.Rasa frustasi kembali menghantam Dikara. Ia menjatuhkan gaun itu ke lantai, lalu menendang pintu lemari hingga terbanting. “Sial! Apa yang kurang dariku? Apa yang kurang dari hidupku yang sudah kuberikan padamu, hah?!”Ia berjalan ke tempat tidur, mendapati sebuah bantal yang pernah digunakan Janeetha. Dikara duduk di tepinya, menunduk sambil mengusap wajah dengan kedua tangan. Amarahnya mulai bercampur dengan rasa takut yang perlahan
Hening sejenak di ujung telepon, sebelum Fabian menjawab dengan suara penuh keyakinan, “Aku tidak akan membiarkan dia menang. Kau akan bebas, Janeetha. Aku janji.”Air mata Janeetha kembali jatuh, kali ini bercampur antara kebahagiaan dan harapan. “Aku percaya padamu, Kak Fabian. Terima kasih.”“Kita akan bertemu lagi segera,” jawab Fabian. “Tetaplah kuat. Kau tidak sendirian.”Panggilan berakhir, tapi semangat Janeetha terangkat. Ia menatap Maria, yang memberinya senyuman penuh dukungan.Janeetha memejamkan mata sejenak, suara Fabian kembali terngiang di telinganya. Kata-katanya menyusup ke dalam hati, memberikan kekuatan yang hampir terlupakan.Saat ia membuka matanya kembali, menatap Maria yang kini sedang memeriksa peta kecil di dashboard.“Kau punya teman-teman yang baik,” kata Maria tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya dari peta. “Tidak semua orang cukup beruntung mendapatkan bantuan seperti ini.”Janeetha tersenyum samar. “Aku tahu. Tanpa mereka… aku tidak tahu apa yang ak
Rusli terdiam. Ancaman itu bukan hal baru, tapi kali ini ada intensitas yang berbeda. Ia tahu Dikara sedang berada di puncak amarah. Namun ia juga tahu atasannya mulai masuk dalam titik lemahnya.Kehilangan Janeetha adalah titik lemah pria itu.“Baik, Tuan,” jawab Rusli akhirnya, memilih untuk terdengar pasrah. “Saya akan mempercepat semuanya.”“Sudah seharusnya!” sahut Dikara sinis. “Dan pantau setiap langkah Fabian! Aku ingin tahu siapa yang ia temui, di mana dia berada, dan apa yang dia lakukan setiap detiknya. Jika kau menemukan apa pun yang mencurigakan, laporkan langsung padaku!”“Saya mengerti, Tuan.”Dikara memutus sambungan tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Ia kembali duduk dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Fabian bukan hanya ancaman, tapi juga penghinaan langsung pada otoritasnya.Di sisi lain, Rusli duduk di kursi mobilnya, ponsel masih berada di tangannya. Ia menghela napas panjang, merasa semakin terjebak di antara kesetiaannya pada Dikara dan keinginannya untuk memb
BAB 114Suara napas Dikara di ujung telepon terdengar pelan tapi Fadil yakin pria itu tidaklah sedang baik-baik saja.“Apa yang kau maksud dengan menghilang, Fadil?!” Dikara nyaris membentak membuat siapa pun akan merasa terancam.“Saya … hanya menemukan gelang Nyonya di spa, tapi Nyonya sudah tidak ada di sana,” jawab Fadil dengan hati-hati. “Rekaman CCTV menunjukkan bahwa dia keluar melalui pintu belakang hotel. Dia naik mobil hitam bersama seseorang.”Keheningan yang menyusul membuat Fadil menelan ludah dengan gugup. Ia tahu Dikara tidak akan menerima kabar ini dengan baik. Ia bahkan mulai sibuk memikirkan nasibnya ke depan.“Plat nomor mobil itu?” tanya Dikara akhirnya.“Disamarkan, Tuan,” jawab Fadil. “Namun, saya akan melacaknya. Orang yang bersamanya tampaknya sangat berpengalaman dalam membantu pelarian seperti ini.”Dikara terkekeh pelan membuat Fadil semakin resah.“Kirimkan semua rekaman itu padaku sekarang!” perintah pria itu terdengar tak ingin dibantah.“Saya sudah mengu