Suara tetesan air bergema dalam kegelapan. Janeetha berdiri di tepi sumur tua, kaki telanjangnya menyentuh rumput yang basah oleh embun. Ia mengenakan gaun putih panjang yang melambai ditiup angin malam. Di sekelilingnya, hanya ada kabut tebal yang menyelimuti.Langkah berat terdengar dari belakang. Janeetha memutar tubuhnya perlahan.Dikara berdiri beberapa meter darinya, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Namun, tatapan itu… tajam dan penuh obsesi."Janeetha…" suara Dikara bergema, seolah datang dari segala arah."Jangan mendekat!" seru Janeetha, suaranya bergetar.Namun Dikara terus melangkah. Setiap langkahnya seperti menekan bumi, meninggalkan bekas yang dalam di tanah."Tak ada tempat untuk lari," bisik Dikara. Ia menjangkau tangannya, jemari panjangnya melingkar di pergelangan tangan Janeetha, mencengkeram erat."Lepaskan!" Janeetha berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Dikara terlalu kuat.Dengan satu gerakan, Dikara mendorongnya ke tepi sumur. Janeetha terhuyung, d
Pesawat pribadi meluncur mulus di atas hamparan awan malam, mengoyak keheningan yang menyelimuti langit.Kabin pesawat begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang bergetar pelan. Namun, di dalamnya, ketegangan terasa seperti listrik yang menjalar di udara.Dikara duduk di kursi kulit dekat jendela, matanya tajam menatap kelamnya langit luar.Di tangannya, sebuah gelas berisi anggur merah tergenggam, namun tidak sekali pun ia menyesapnya. Jemarinya mengetuk sisi gelas dengan irama lambat, tak teratur—sebuah pertanda jelas bahwa pikirannya tidak berada di tempat ini.Di seberangnya, seorang pria muda duduk dengan punggung tegak, wajahnya kaku dalam ketidaknyamanan. Pria itu baru saja direkrut oleh Dikara—salah satu orang yang disebut "berbakat" oleh Fadil. Namun, malam ini, ia hanya terasa seperti bayangan pucat di hadapan Dikara."Namamu?" Dikara membuka suara, matanya tidak beralih dari jendela.Pria itu tersentak, sebelum bur
"Kau pikir aku peduli dengan perhatian?!” Suara Dikara seketika naik satu oktaf membuat Rayhan semakin menciut. Ekspresi wajahnya semakin dingin dengan seringai samar terlukis di bibirnya. “Jika perlu, hancurkan seluruh Ardenton! Aku tak peduli!"Rayhan langsung mengetikkan pesan di ponselnya. "Saya akan sampaikan sekarang juga, Tuan."Dikara menyandarkan kepalanya, memejamkan mata sejenak. Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum matanya kembali terbuka, menatap tajam ke arah luar jendela.Janeetha... kau pikir kau bisa lari sejauh ini dariku?Tiba-tiba ponsel Rayhan bergetar. Ia membaca pesan yang masuk dengan cermat sebelum melirik Dikara. "Tuan... mereka melaporkan seseorang yang mencurigakan di penginapan kecil dekat distrik timur. Wanita dengan ciri-ciri yang mirip Nyonya Janeetha."Dikara menoleh, ekspresinya berubah dingin. "Ciri-ciri yang mirip bukan jawaban yang ingin kudengar."Rayhan menelan
Janeetha terbaring di atas ranjang dengan tubuh yang gemetar. Kamar yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, baginya berubah menjadi ruang penyiksaan.Dengan mata yang basah, ia menatap langit-langit, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir. Namun, kenyataan berkata lain.Dikara, suaminya, tak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Gerakan pria itu semakin liar, seolah menegaskan kekuasaan atas tubuhnya yang lemah.Janeetha merasa seperti boneka tak bernyawa, terjebak dalam permainan brutal yang tak pernah ia minta.“M-mas…berhenti…,” pintanya sekali lagi dengan suara yang semakin lirih.Namun, kata-katanya terabaikan begitu saja. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya membuat Janeetha menggigit bibirnya lebih keras, mencoba menahan jeritan yang nyaris meledak. ”Berhenti?” Dikara tertawa kecil membuat bulu kuduk Janeetha meremang. “Aku baru saja mulai, Jani. Jadi nikmati saja!” katanya dengan nada suara serak pun penuh kepuasan.Seringai yang terlukis di wa
Ketika suara air di kamar mandi berhenti, Janeetha segera meletakkan kembali ponsel Dikara di tempatnya semula. Dengan perlahan, ia mengenakan jubah tidur satinnya, meskipun kulitnya terasa perih akibat perlakuan kasar Dikara. Ia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan itu, tetapi dalam hatinya, Janeetha tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Dikara keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah.Janeetha mengamatinya sesaat. Dulu, pemandangan ini sempat membuat hatinya berdebar penuh damba, tetapi semuanya seakan sirna perlahan. Pria itu tak lagi mampu membuat dirinya bergetar seperti dulu meski rasa yang ia miliki masih tersisa meski samar.“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dikara, nada suaranya dingin sembari menatap balik tak kalah tajam. Raut wajahnya tampak datar, tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari adanya ketegangan yang sedang membara di dalam diri istrinya. Janeetha menatap suaminya dengan penuh k
Mendengar tangisan Janeetha, Maura menjadi semakin khawatir. “Tenang, Janeetha. Aku di sini untukmu. Apa kau bisa keluar sekarang? Kita bisa bertemu dan bicara.”Tanpa berpikir panjang, Janeetha mengangguk meski Maura tak bisa melihatnya. “Iya… aku akan keluar sekarang. Aku tak bisa berada di sini lebih lama.”“Baiklah, aku akan menunggumu di kafe biasa. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” kata Maura dengan suara lembut dan berusaha menenangkan.Setelah menutup telepon, Janeetha bergegas bangkit dari lantai, menghapus air matanya yang masih berlinang.Ia tahu bahwa ia harus segera pergi dari sini, setidaknya untuk sementara waktu. Bertemu dengan Maura mungkin tidak akan menyelesaikan semua masalahnya, tetapi setidaknya ia tidak akan sendirian dalam menghadapi ini.Janeetha berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian yang lebih layak untuk dikenakan di luar. Meski rasa sakit masih menjalari tubuhnya, ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya.Setelah berpakaian, ia mengam
“Kak Fabian,” ucapnya lirih sedikit keheranan membuat Maura pun segera menoleh ke arah yang sama. Fabian adalah kakak Maura. Janeetha mengenalnya sebagai pria yang selalu ramah dan penuh perhatian, tetapi Janeetha selalu merasa canggung di hadapannya. Ada sesuatu pada Fabian yang selalu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada perasaan yang tersembunyi di balik tatapan hangatnya. "Kak!" Maura menatap kakaknya dengan sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kerja?" “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” sahut Fabian mencebik membuat Maura membalas dengan hal yang sama. Janeetha mengulum senyum melihat interaksi kakak adik yang selalu mampu menghiburnya sedari dulu. Fabian menarik sudut bibirnya sekilas saat melihat teman adiknya itu mulai tersenyum, meski rasa khawatir masih tampak jelas di wajah pria itu. Perlahan Fabian duduk di sebelah adiknya yang masih menuntut jawaban darinya. "Aku tadi mendengar kau ingin bertemu dengan Janeetha, dan aku... meras
Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa."Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh. "Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela
"Kau pikir aku peduli dengan perhatian?!” Suara Dikara seketika naik satu oktaf membuat Rayhan semakin menciut. Ekspresi wajahnya semakin dingin dengan seringai samar terlukis di bibirnya. “Jika perlu, hancurkan seluruh Ardenton! Aku tak peduli!"Rayhan langsung mengetikkan pesan di ponselnya. "Saya akan sampaikan sekarang juga, Tuan."Dikara menyandarkan kepalanya, memejamkan mata sejenak. Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum matanya kembali terbuka, menatap tajam ke arah luar jendela.Janeetha... kau pikir kau bisa lari sejauh ini dariku?Tiba-tiba ponsel Rayhan bergetar. Ia membaca pesan yang masuk dengan cermat sebelum melirik Dikara. "Tuan... mereka melaporkan seseorang yang mencurigakan di penginapan kecil dekat distrik timur. Wanita dengan ciri-ciri yang mirip Nyonya Janeetha."Dikara menoleh, ekspresinya berubah dingin. "Ciri-ciri yang mirip bukan jawaban yang ingin kudengar."Rayhan menelan
Pesawat pribadi meluncur mulus di atas hamparan awan malam, mengoyak keheningan yang menyelimuti langit.Kabin pesawat begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang bergetar pelan. Namun, di dalamnya, ketegangan terasa seperti listrik yang menjalar di udara.Dikara duduk di kursi kulit dekat jendela, matanya tajam menatap kelamnya langit luar.Di tangannya, sebuah gelas berisi anggur merah tergenggam, namun tidak sekali pun ia menyesapnya. Jemarinya mengetuk sisi gelas dengan irama lambat, tak teratur—sebuah pertanda jelas bahwa pikirannya tidak berada di tempat ini.Di seberangnya, seorang pria muda duduk dengan punggung tegak, wajahnya kaku dalam ketidaknyamanan. Pria itu baru saja direkrut oleh Dikara—salah satu orang yang disebut "berbakat" oleh Fadil. Namun, malam ini, ia hanya terasa seperti bayangan pucat di hadapan Dikara."Namamu?" Dikara membuka suara, matanya tidak beralih dari jendela.Pria itu tersentak, sebelum bur
Suara tetesan air bergema dalam kegelapan. Janeetha berdiri di tepi sumur tua, kaki telanjangnya menyentuh rumput yang basah oleh embun. Ia mengenakan gaun putih panjang yang melambai ditiup angin malam. Di sekelilingnya, hanya ada kabut tebal yang menyelimuti.Langkah berat terdengar dari belakang. Janeetha memutar tubuhnya perlahan.Dikara berdiri beberapa meter darinya, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Namun, tatapan itu… tajam dan penuh obsesi."Janeetha…" suara Dikara bergema, seolah datang dari segala arah."Jangan mendekat!" seru Janeetha, suaranya bergetar.Namun Dikara terus melangkah. Setiap langkahnya seperti menekan bumi, meninggalkan bekas yang dalam di tanah."Tak ada tempat untuk lari," bisik Dikara. Ia menjangkau tangannya, jemari panjangnya melingkar di pergelangan tangan Janeetha, mencengkeram erat."Lepaskan!" Janeetha berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Dikara terlalu kuat.Dengan satu gerakan, Dikara mendorongnya ke tepi sumur. Janeetha terhuyung, d
Di sebuah penginapan kecil di pinggiran Ardenton, angin malam berdesir lembut melalui celah jendela. Suasana di dalam kamar begitu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang terdengar pelan, seolah menghitung setiap detik dalam ketegangan.Janeetha duduk di tepi ranjang, ponselnya tergenggam erat di tangan. Matanya tak lepas dari layar, menunggu pesan yang mungkin datang kapan saja. Maria duduk di kursi di seberang ruangan, memeluk lututnya sambil memandang Janeetha dengan sorot penuh pengertian."Fabian sedang bersama Arman," kata Janeetha, akhirnya memecah kesunyian. Suaranya terdengar serak, bergetar samar. "Mereka akan menyusul kita besok."Maria mengangguk pelan. "Itu kabar baik. Mereka tahu apa yang mereka lakukan, Janeetha."Namun, Janeetha hanya menghela napas panjang, matanya masih terfokus pada layar ponsel yang tidak menunjukkan pesan baru. "Aku takut, Maria. Dikara... dia bisa melakukan apa saja. Jika sesuatu terjadi pada Fabian karena aku..."Maria bangkit dari kursinya
Gudang tua di pinggiran kota itu berbau debu dan besi berkarat. Lampu gantung berayun pelan, menciptakan bayangan panjang yang menari di lantai beton.Rusli melangkah masuk, diapit dua pria bertubuh besar. Tangan kanannya menyentuh saku celana, mencari-cari sesuatu yang tak ada. Rokoknya sudah habis sejak tadi, dan kini yang tersisa hanya udara dingin yang menggores tenggorokan.Di tengah ruangan, Dikara duduk di kursi logam. Lengan disilangkan, tatapannya menusuk tajam seolah menembus dada Rusli. Ia tidak mengatakan apa pun—membiarkan keheningan menjadi pisau yang perlahan mengiris.Rusli berhenti beberapa langkah di depan Dikara. Ia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan detak jantung yang terasa semakin keras."Aku pikir kau tahu apa yang terjadi pada orang yang berkhianat padaku, Rusli." Suara Dikara terdengar datar, tetapi dinginnya membuat udara di dalam ruangan terasa lebih menyesakkan.Rusli menatapnya langsung. Matanya tidak goyah sedikit pun. "Aku tahu, Tuan."Dikara me
Langit di luar stasiun sudah gelap, dan lampu-lampu di sepanjang jalur rel berpendar temaram.Fabian berdiri di dekat pintu masuk stasiun kereta cepat, tangan kanan memegang koper kecil tiba-tiba saja terasa lebih berat dari seharusnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara malam cukup sejuk.Di sampingnya, Rusli bersandar di tiang besi, menyulut rokok yang hanya terbakar setengah hati. Tatapan Rusli menembus kaca stasiun, memperhatikan setiap orang yang melintas, waspada.“Masih ada waktu untuk mundur, Rusli,” ucap Fabian pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya dipenuhi keraguan. “Ayo, ikutlah bersamaku.”Rusli menghembuskan asap rokok, melirik Fabian sekilas. “Kau pikir aku akan mundur setelah sejauh ini?” Pria itu terkekeh getir. “Kalau aku ikut pergi bersamamu, Tuan Dikara pasti akan tetap memburu kita. Setidaknya, kalau aku ikut campur, aku bisa mengulur waktu.”Fabian menunduk, menggenggam koper dan tiketnya lebih erat. Berat hati, ia kembali menatap pria di depanny
Keramaian bandara terasa asing di telinga Dikara. Deretan suara panggilan penerbangan, pengumuman keberangkatan, dan langkah-langkah kaki yang berlalu-lalang hanya menjadi dengungan samar. Baginya, hanya ada keheningan yang menusuk, membungkus setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang terus menumpuk.Ia duduk di ruang tunggu eksekutif, tubuhnya tegak namun terasa seolah-olah disandera oleh waktu yang berjalan begitu lambat. Jari-jarinya mengetuk pelan lengan kursi. Dikara memang tampak tenang, tetapi seakan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja bagi Fadil yang berdiri tak jauh darinya.Di hadapan Dikara, secangkir kopi hitam miliknya sudah mendingin, sedingin wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi.Pria itu tak menyentuhnya sama sekali. Ia bahkan mungkin lupa jika ada minuman itu di meja.Pandangannya terpaku lurus ke arah pintu keberangkatan yang selalu berayun membuka dan menutup, seolah Fabian akan muncul dari baliknya kapan saja.Sayangnya, kali ini keberuntungan tak ber
Mobil hitam itu semakin mendekat, nyaris memepet sisi taksi, memaksa kendaraan berhenti di pinggir jalan.Fabian mengumpat pelan, siap untuk melontarkan protes, tetapi rasa kesalnya berubah menjadi keterkejutan saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.Rusli.Fabian merasakan amarahnya melonjak, tetapi ia menahannya. Pintu taksi di sisi kanannya terbuka, dan Rusli masuk dengan wajahnya yang cemas, duduk di sampingnya tanpa permisi.Fabian menatap Rusli tajam, rahangnya mengatup keras. “Apa-apaan ini, Rusli? Kau pikir kau siapa sampai menghentikan taksi di tengah jalan seperti ini?”Rusli menghela napas berat, pandangannya waspada. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi, Fabian. Kau tahu kenapa aku di sini.”Fabian menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Kalau kau datang untuk menakutiku atas nama Dikara, kau buang-buang waktu. Aku tidak peduli!”Rusli menoleh cepat, menatap Fabian dengan ekspresi mendesak. “Kau pikir aku mau melakukan ini? Aku hanya menjalankan perintah. Da
Langit memancarkan cahaya sorenya saat mobil hitam Dikara berhenti secara sembarangnan di depan rumah Fabian.Pria itu keluar dari mobil dengan langkah cepat, hampir seperti melompat turun. Rahangnya mengatup keras, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan kecil yang berdiri sunyi di hadapannya.Tanpa ragu, ia berjalan menuju pintu depan. Tangannya mengepal, dan dengan sekuat tenaga ia menggedor pintu tersebut.“Fabian!” Dikara terus menggedor pintu, suaranya menggema di sepanjang teras. “Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!”Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti.Pria itu kembali menggedor pintu kali ini lebih kuat dari sebelumnya.“Fabian! Aku tidak akan meminta dua kali!” Dikara berseru. Urat lehernya bahkan menonjol saking kerasnya.Namun, tetap tidak ada reaksi.Dikara menyipitkan mata, ekspresinya semakin mengeras. Tangannya meraih gagang pintu, dan mencoba membukanya. Ternyata pintu itu terkunci.“Sialan!”Dalam sekejap, Dikara mengangkat kakin