Dwi tak menjawab. Hanya menangis dengan semakin sesenggukan. Ratih mengerti bagaimana perasaan wanita itu. Ratih pun bisa melihat bahwa menantunya itu sudah mulai memberikan hatinya pada Dimas. Dari tatapan dan caranya menatap suaminya di meja makan, Ratih tahu bahwa sudah ada benih-benih cinta di antara mereka.Untuk itu lah Ratih tak pernah lagi membicarakan perceraian. Berharap kedua anak menantunya akan berdamai sebelum seratus hari kepergian suaminya."Jangan khawatir, Sayang. Ada mama di sini. Mama akan sepenuhnya berada di pihak kamu."Dwi menggenggam erat tangan mama mertuanya. Dwi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. "Kenapa kamu pingsan? Apa yang sedang kamu pikirkan?" Ratih mencoba memancing perasaan Dwi.Dia melihat kali ini menantunya itu terlihat lebih rapuh. Padahal sebelumnya gadis itu begitu tegar, bahkan setelah tahu bahwa Dimas memiliki kekasih dan ingin menceraikannya.Namun kali ini Dwi berbeda. Membuat Ratih yakin kalau Dwi telah benar-benar jatuh cinta
"Hentikan sandiwara konyol kamu!" Ratih menahan tangan Lena yang masih histeris saat memukul-mukul perutnya sendiri.Wanita paruh baya itu tahu bahwa Lena sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatiannya. Namun demi anak yang dikandung gadis itu, Ratih mengalah.Dia khawatir anak yang dikandung Lena benar-benar anak Dimas. Tentu saja dia tak tega jika anak itu harus meninggal akibat ibunya yang sedang frustrasi.Lagipula semua orang tahu bahwa Dimas dan Lena berpacaran. Mau tidak mau tuduhan sebagai ayah dari anak yang dikandungnya adalah Dimas. Rasa tanggung jawab adalah pesan yang selalu ditanamkan Ratih pada putra semata wayangnya itu."Biarin aja dia, Ma! Itu bukan anak Dimas. Terserah dia mau menggugurkan anak itu atau tidak!"Dimas tak lagi terkecoh oleh sandiwara wanita yang dulu dicintainya itu."Tega kamu, Dim! Begini cara kamu? Habis manis sepah dibuang? Kamu mau membuang aku setelah mendapatkan wanita yang lebih muda? Laki-laki macam apa kamu?" Lena merasa begitu terpuk
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya air mata Ratih mengalir. Ternyata keputusannya untuk menikahkan Dwi dan Dimas harus berakhir seperti itu. Ratih merasa bersalah karena merasa telah menghancurkan masa depan dan cita-cita Dwi. Untuk itu dia ingin segera memperbaikinya.Sonia pulang dengan diantar sopirnya, sedangkan Arya menawarkan diri untuk mengantar Dwi dan Ratih pulang. Dia tak sampai hati melihat Dwi begitu terpukul atas perbuatan suaminya."Ma, kenapa mama mengusir mas Dimas? Dwi jadi merasa bersalah. Biar Dwi aja yang pergi, ya?" Dwi membuka percakapan di dalam mobil.Arya yang sedang menyetir, menoleh ke arah Dwi yang duduk di sampingnya."Memangnya kamu mau ke mana? Kamu tega ninggalin mama?" Ratih mengusap air matanya "Tapi mas Dimas anak mama. Apa kata orang nanti kalau tau mama mengusir mas Dimas karena Dwi?""Apa kamu juga bukan anak mama? Sudahlah, Dwi. Biar saja Dimas seperti itu. Dia harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya. Kamu fokus aja sama kehamilan ka
Dwi terdiam. Hatinya kini menangis. Baru saja dia berniat mengecap indahnya pernikahan bersama suami yang mulai dia cintai, kini harus kembali kehilangan.Dwi tak lagi menyahuti ucapan mertuanya. Merasa serba salah karena kini suaminya belum bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.Dwi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu membuang pandangan ke arah jendela. Menatap mobil yang lalu lalang di sepanjang jalan. Larut dalam pikiran.*Sesampainya di rumah, Dwi langsung naik ke lantai atas menuju kamarnya. Mamanya heran melihat sikap Dwi yang jadi lebih pendiam. Membuat Ratih berpikir bahwa menantunya itu begitu terpukul dengan kelakuan anaknya.Dwi mengurung diri sepanjang hari. Hingga dia tersentak saat mendengar suara seseorang memintanya utuk turun."Disuruh ibuk makan malam, Mbak Dwi."Dwi turun setelah selesai mandi. Menemui mamanya yang sedang menunggu di ruang makan, sendirian."Mas Dimas belum pulang, Ma?" tanya Dwi."Biarin aja. Mana mungkin anak itu berani pulan
"Belum, Mas. Apa mungkin mas Dimas di rumah Lena, ya?" Suara Dwi terdengar kecewa. Dan Arya bisa merasakannya."Sudah coba telepon, Dwi?""Belum, Mas.""Kenapa?"Dwi tak menjawab."Mau Mas yang hubungi?" Arya menawarkan bantuan.Dwi yang sudah menyaksikan pertengkaran mereka di kantor tadi merasa tidak enak hati."Enggak usah saja, Mas. Biarin aja. Sudah, ya. Maaf ganggu Mas Arya malam-malam. Assalamualaikum."Dengan cepat Dwi mematikan panggilan meski belum ada jawaban salam dari Arya. Dirinya merasa bersalah, namun tak tahu harus berbicara pada siapa.Dwi lalu membaringkan diri di atas ranjang. Masih tetap mendekap benda pipih canggih itu di dadanya. Berharap ada keajaiban yang membuatnya memiliki kekuatan untuk menghubungi suaminya. Asal dia tahu Dimas baik-baik saja. Itu sudah cukup untuknya.Saat larut dalam pikiran, tiba-tiba ponsel Dwi berdering. Ada panggilan masuk dari Dimas. Tangan Dwi bergetar. Bingung harus menjawabnya atau tidak.Tak lama nada dering berhenti. Disusul not
"Dwi! Jangan lakukan itu, Dwi. Mas mohon. Beri kesempatan sama Mas sekali ini saja. Sumpah demi Allah, Sayang. Sekali pun Mas nggak pernah menyentuh Lena." Dimas terdengar panik. Dia tidak menyangka kalau mamanya akan mengambil keputusan dengan cepat."Itu sudah jadi keputusan Mama, Mas. Dwi nggak bisa berbuat apa-apa." Dwi tampak pasrah. "Dwi sudah bilang sama mama kalau Dwi nggak hamil.""Kenapa kamu lakukan itu, Dwi? Mas mengatakan itu untuk menyelamatkan pernikahan kita. Lena pasti akan terus mengancam Mas agar menceraikan kamu jika Mas tidak berkata seperti itu.""Tapi Dwi nggak mau membohongi mama, Mas. Mas Dimas tega memberi harapan palsu sama mama? Mama pasti akan bertambah marah jika tahu bahwa cucu yang diidam-idamkannya itu tidak ada. Kenapa Mas tidak menikahi Lena saja? Bukankah itu juga akan menjadi cucu mama juga?" Dwi tak dapat lagi menahan tangisnya.Hatinya begitu perih mengucapkan kalimat-kalimat yang sebetulnya sangat bertentangan dengan hatinya. Jauh di lubuk hatin
Dwi terkejut. Tak menyangka kalau Dimas akan berpikir sampai sejauh itu. Hal itu membuat Dwi yakin akan segala ucapan suaminya."Mas benar-benar tidak pernah melakukan itu sama Lena?" Dwi meyakinkan."Berapa kali Mas harus bilang, Sayang? Atau kamu lebih senang Mas masuk penjara?""Mas!" "Katakan, Dwi. Katakan perasaan kamu sama Mas."Dwi menarik napas agar dapat bersikap tenang. "Iya, Mas. Dwi percaya sama Mas Dimas. Dwi juga mencintai Mas Dimas." Dwi terisak.Dimas tertegun. Hatinya merasa begitu lega karena cintanya telah berbalas dari istri kecilnya itu."Sayang? Kamu serius?" "Buktikan kalau Mas Dimas tidak bersalah. Dwi akan menunggu Mas.""Baik, Sayang. Mas akan melakukan apa pun demi kamu. Mas janji. Kita akan bisa sama-sama lagi. Tapi ada satu hal yang harus kamu lakukan agar Mas merasa tenang, Dwi.""Apa itu, Mas?"*Selesai sarapan, Ratih meminta Dwi untuk bersiap-siap. Hari ini mereka akan menemui pengacara untuk membicarakan duduk perkara agar dapat melakukan gugatan p
"Ma, Mas Dimas meminta Dwi menemuinya di hotel. Boleh?" Dwi bertanya saat makan siang dengan mertuanya. Karena kejadian waktu itu, Dwi memutuskan untuk tak lagi kembali ke kantor. Dia pun telah meminta izin pada mamanya. Juga Arya yang menjadi alasannya menerima tawaran bekerja waktu itu."Kenapa harus kamu yang menyusulnya? Kenapa dia tidak pulang saja?" Ratih bertanya heran."Mas Dimas tidak akan pulang sebelum semuanya selesai, Ma. Mas Dimas tidak mau membuat mama marah lagi. Lagipula, saat ini Mas Dimas sedang menghindari Lena. Kalau Mas Dimas pulang, wanita itu pasti mencarinya ke sini.""Ya, sudah. Nanti biar mang Udin yang ngantar kamu." "Makasih, Ma."*Dwi sampai di lobi hotel. Lalu tiba-tiba ada yang menarik tangannya dan menyeret langkahnya."Mas Dimas?" Dwi terkejut melihat Dimas seperti telah lama menunggunya.Dimas mengambil alih ransel berisi pakaian ganti yang dia pesan agar istrinya tidak kepayahan."Kita ke kamar aja, ya." Tangan Dimas tak lekang menggenggam tangan
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Kamu mengenalku?" tanya Dimas heran.Pria yang ada dihadapannya itu tersenyum sinis sembari membuang muka, seperti tak ingin melihat wajah Dimas."Tentu saja aku mengenalmu. Kamu orang yang telah merebut Lena dariku, bukan?"Sontak Dimas terkejut dengan pernyataan pria itu. Dimas merasa khawatir jika akan terjadi selisih paham diantara mereka. Kemudian dia melirik Arya yang berada disampingnya. Dimas curiga bahwa Arya sengaja melakukan semua ini untuk menjebaknya. Agar pria yang tidak dia kenali ini salah sangka dan menghajarnya.'Licik sekali kamu, Arya!' gumam Dimas dalam hati."Tenang saja, Bro. Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu. Justru dengan kedatanganmu kesini, akan menguntungkan buatku. Bukankah begitu kawan?" ucap pria itu menatap kearah Arya.Arya tersenyum sembari mengangguk. Membenarkan semua ucapan pria yang bernama Rangga tersebut."Apa maksud kalian?" tanya Dimas semakin tak mengerti. Menatap Arya dan Rangga secara bergantian."Oh, perkenalkan! Saya Rangga,
Dwi yang melihat itu menjadi tak enak hati. Lalu semakin mengeratkan diri dalam pelukan suaminya itu."Dwi cuma bercanda, Sayang. Dwi ke sini sengaja mau ngasi kejutan buat Mas Dimas. Dwi kangen banget sama Mas Dimas," ucap Dwi dengan sangat manja.Hati Dimas terenyuh mendengarnya. Suara manja Dwi membuat wanita itu terlihat begitu menggemaskan."Oh, gitu. Sengaja mau bikin Mas marah, gitu?""Dih. Emang kalau Mas Dimas marah gimana?""Mmm... nantangin, ya?""Emang mau ngapain?"Dimas tersenyum nakal, lalu menarik hidung mancung Dwi dengan gemas."Mas mau ngasi kamu hukuman sampai sore." Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan merebahkannya di atas ranjang."Ish, Mas Dimas nakal." Dwi menjerit kecil.Dimas tak peduli, lalu terus mencumbu istrinya dengan semangat."Awas kelewatan, ya. Tepati janji Mas.""Berisik! Pokoknya hukuman kamu sampai sore!"*Sore harinya Dimas dan Dwi turun dari kamar. Setelah menghabiskan waktu seharian, Dwi akhirnya harus pulang. Dimas punya sesuatu untuk dikerj
Dimas terkejut saat mendengar suara yang begitu dia kenal. Merasa tak percaya, pria itu langsung menoleh, lalu berdiri saat mendapati istrinya telah berdiri di sampingnya."Sayang? Kamu di sini?" Dimas menyentuh pundak Dwi. Merasa khawatir, sekaligus senang dengan kehadiran sosok yang begitu dia nantikan.Sementara seseorang yang masih duduk di hadapan mereka memandang keduanya dengan perasaan sedih mendengar ucapan sayang dan juga perhatian yang ditunjukkan Dimas pada istrinya.Ada rasa amarah dan juga cemburu di hati orang itu. Namun tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengikhlaskan agar orang-orang yang dia sayang merasa bahagia."Mas Arya ngapain di sini?" Dwi memandang sahabat, yang belakangan sedang menjadi musuh suaminya.Hal itu membuat Dwi merasa khawatir atas pertemuan mereka. Takut kalau keduanya akan kembali bertengkar dan membuat keributan. Dwi takut pertemuan mereka akan menarik perhatian semua orang.Arya tersenyum kaku, lalu bangkit dan menyapa Dwi."Mas ada perl
"Lancang kamu! Tidak punya sopan santun. Seenaknya saja datang dan menuduh saya yang bukan-bukan. Saya tidak akan sudi punya menantu seperti kamu." Mamanya Dimas yang semula mulai luluh dan meminta Dimas bertanggung jawab, kini harus mengurungkan niatnya.Wanita yang selama ini menjadi kekasih anak laki-lakinya itu telah menunjukkan sifat aslinya. Pagi-pagi sekali Lena datang dengan keadaan kacau balau. Bau alkohol dan asap rokok bercampur dan masih bisa tercium oleh siapa pun yang berada dekat dengannya.Sejak tadi malam, Lena memang tidak pulang ke rumahnya. Tentu saja Rangga yang sedang dimabuk cinta tak mungkin begitu saja melepaskannya. Mantan narapidana itu membawanya menginap di apartemen. Tentu saja untuk melayaninya sepanjang malam.Dwi hanya terdiam melihat Lena berteriak-teriak memanggil nama Dimas. Bahkan dia sempat memaki Dwi karena telah merebut Dimas dari dia. Tapi tentu saja mertuanya selalu pasang badan untuk membelanya. Hingga wanita paruh baya itu harus memanggil m
Dimas terbangun dari ranjang hotel saat mendengar bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Dimas langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar yang sedang menyala itu. Nama seseorang sedang melakukan panggilan video dari aplikasi whatsapp."Pagi, Sayang." Dimas menyapa dengan suara serak khas bangun tidur."Ish, ini udah siang, tau!" Suara Dwi berdecak manja dari seberang sana.Dimas melirik ke arah jam beker di atas nakas. Lalu tertawa kecil saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Hari sudah hampir siang."Iya, iya. Mas kesiangan." Dimas menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan."Emang tadi malam tidur jam berapa? Begadang sama siapa?""Nggak ada, Sayang. Mas tidurnya larut karena kepikiran terus sama kamu.""Gombal!"Dimas kembali tertawa."Keenakan ya, mentang-mentang sekarang udah nggak kerja lagi," rajuk Dwi. "Bebas. Nggak perlu lagi bangun pagi.""Eh, kan cuma sementara, Sayang. Kalau nanti Mas ke kantor__.""Barusan Lena datang nyariin Mas!" Bibir D