"Kita balik aja, Mas!" Aku langsung berbalik dengan air mata yang siap tumpah.Aku terus berlari diantara kerumunan pengunjung yang hendak masuk dan keluar. Hatiku sakit sekali melihat kebahagiaan bapak dan ibu ditengah-tengah Aluna. Kenapa perempuan itu selalu terlihat beruntung? Arrghhh! Aku semakin membenci mantan istri suamiku itu.Air mata yang sejak tadi kutahan tumpah begitu aku sampai di parkiran. Aku benci dengan situasi ini, benci sekali! Kenapa takdir seakan tak pernah memihakku?"Yank, kenapa kamu malah pergi? Bukannya tadi kamu yang bersikeras mau menemui bapak dan ibumu? Kenapa sekarang berubah pikiran?" Mas Hanan menyusulku. Dia mencecarku dengan pertanyaan yang membuat kepalaku semakin pening."Kita balik sekarang. Aku mau istirahat di rumah," kataku tanpa menjawab pertanyaannya.Mas Hanan menghembuskan napas kasar. Dan segera masuk kedalam mobil, menyusulku. Selama perjalanan menuju rumah, aku tak sedikit pun bersuara. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, bahkan jajana
"Kamu ini kenapa, sih, Mas? Kok, sampai segitunya?" kesalku."Eum ... anu ... Cincin itu sekarang dimana?" Nada suara mas Hanan terdengar panik. Sebenarnya kenapa laki-laki itu?"Masih sama aku ini. Kenapa, sih, Mas? Kenapa kamu panik begitu?" "Cincinnya kamu simpan, ya! Nanti mas ceritain semuanya," sahut mas Hanan."Tapi–"Tut! Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku, karena mas Hanan sudah lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Aku mendengus kesal, dan memutuskan menyimpan kembali cincin yang tadi kutemukan. Aku akan menunggu mas Hanan pulang, penasaran dengan apa yang akan dia ceritakan.****Aku baru saja selesai menyiapkan makan malam, setelah itu duduk di teras sambil menunggu kepulangan mas Hanan.Matahari sudah mulai tenggelam, tapi mas Hanan belum juga pulang. Aku sampai bosan menunggunya, karena sudah sejak tadi duduk sendiri di teras, tapi dia belum juga muncul.Karena merasa bosan, aku memutuskan masuk kedalam rumah. Baru saja aku hendak membuka pintu, suara klakson mob
Aku meremas kuat-kuat rantang yang sejak tadi kupegang. Sakit sekali rasanya dibohongi oleh suami sendiri. Apa alasan laki-laki itu sebenarnya? Kemana dia setiap jam makan siang?"Bu, maaf? Apa tidak sebaiknya ibu hubungi pak Hanan lebih dulu, supaya bisa memastikan dimana dia sebenarnya?" Suara pria itu kembali terdengar. Aku tersentak dan kembali tersadar.Satpam itu benar. Aku harus menghubungi mas Hanan lebih dulu. Apa dia akan kembali berbohong, atau tidak?Aku mengangguk, dan segera mengeluarkan ponsel. Aku langsung membuka aplikasi WhatsApp, mencari kontak mas Hanan dan menghubunginya."Halo, Nay. Ada a–""Kamu lagi dimana, Mas?" Aku langsung memotong ucapan mas Hanan."Ahm ... di kantor lah, Yank. Dimana lagi memangnya?" Ternyata dia benar-benar membohongiku. Dadaku semakin bergemuruh hebat."Jangan bohong, Mas! Kamu lagi dimana sekarang?" tekanku dengan emosi tertahan."Bohong apa, sih, Yank? Kamu ini kenapa? Siapa yang berbohong memangnya?" Rupanya dia masih saja berkelit."
Author POV Hanan bergegas menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah tergesa. Setelah mendapat kabar dari sang ibu, dia segera meninggalkan kantor dan menuju rumah sakit."Permisi, Sus. Pasien atas nama Nayma di ruangan mana, ya?" tanya Hanan pada salah satu perawat yang sedang berjaga."Sebentar saya cek, ya, Pak," sahut perawat tadi, Hanan mengangguk dan menunggu dengan cemas.Tak lama sang perawat berdiri dan memberitahu dimana ruangan tempat Nayma berada. Gegas Hanan beranjak dari sana dan segera menemui sang istri.Ayunan kaki laki-laki itu tiba-tiba memelan begitu ia melihat siapa yang sedang duduk di kursi tunggu didepan sana. Pasangan suami istri berusia senja itu duduk dengan raut gelisah yang tak bisa mereka sembunyikan. Berulang kali Narti melongok kedalam, dia cemas ingin tau keadaan sang putri, tapi tak mungkin masuk karena ada Aluna didalam. Terlebih Rosidin tak sedikit pun mengizinkan istrinya bertemu dengan putri mereka."Ba–pak, Ibu? Kalian disini?" Rosidin dan Na
"Padahal apa, Mas?" Aluna menatap Hanan penuh intimidasi. Dahi perempuan itu mengernyit heran, dia semakin menaruh curiga, termasuk pada Rosidin dan Narti.Sikap keduanya kerap mengundang curiga, terlebih setelah pertemuan mereka dengan Nayma untuk pertama kalinya waktu itu."Ahm ... anu ... itu–""Lebih baik kalian pergi dari sini. Aku ingin istirahat," usir Nayma. Dia tak tahan melihat raut cemas kedua orang tuanya. Dia tau, pasti mereka tak ingin Aluna tau tentang hubungan mereka.Awalnya Widya ingin memarahi Nayma, karena sudah berani mengusir mereka. Tetapi Aluna langsung menahan lengan wanita itu.Aluna, Widya dan orang tua Nayma memutuskan pergi dari sana. Sepeninggal mereka, keheningan menyapa ruang rawat Nayma. Hanan tak berani bersuara, terlebih melihat raut wajah Nayma yang tampak sedih."Yank, kamu ... nggak apa-apa, kan?" Hanan mendekati ranjang Nayma.Nayma yang sedang duduk memeluk lutut menoleh begitu mendengar pertanyaan basa-basi suaminya itu. Perempuan itu menatap t
"Maafkan, kami Non Luna. Kami tidak bermaksud menyembunyikan ini semua. Hanya saja–" Rosidin menjeda ucapannya, dia kembali menunduk tak sanggup melanjutkan kalimatnya.Aluna yang masih syok tetap bergeming ditempatnya. Perempuan itu sibuk dengan pikiran yang berkecamuk. Kenapa dunia sesempit ini? Kenapa Nayma harus memiliki hubungan dengan dua orang yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri?"Ini tidak benar, kan? Ini hanya bohong, kan, Mbok, Pak?" Lirih Aluna. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, membuat rasa bersalah kian menjalari hati Rosidin dan Narti."Maaf, Non. Maaf," ulang Rosidin. Tak ada kata lain yang sanggup keduanya utarakan selain kata maaf. Narti malah semakin terisak, rasa bersalah benar-benar sudah menyesaki hatinya.Aluna menghembuskan napas kasar. Kemudian menarik napas dalam, dan membuangnya secara perlahan. Semua itu dia lakukan berulang, agar ketenangan segera menghampiri. Karena kenyataan yang ia dengar saat ini benar-benar mengejutkan."Apa i
"Nay?" Hanan menatap Nayma terkejut. Perempuan itu membalas tatapan Hanan dengan tangan terlipat di dada. Dia ingin melihat, apa kali ini suaminya akan menurut?"Jangan bercanda, Yank. Kamu tau sendiri, kan? Nyari kerjaan sekarang ini susah, lho. Kalau aku harus resign, gimana dengan kita? Kita butuh tabungan, kamu lagi hamil, nggak lama lagi lahiran. Terus kalo nggak dari sekarang nabungnya, kapan lagi?" Hanan mencoba melontarkan alasan yang menurutnya bisa Nayma tangkap."Ya, tinggal cari kerjaan lain! Aku nggak masalah kamu kerja apa aja, gaji kecil pun aku nggak masalah. Yang penting kamu punya banyak waktu untuk aku dan calon anak kita. Tau nggak, sih, Mas? Waktu kebersamaan itu lebih berharga dari segalanya." Nayma masih tetap bersikeras dengan keputusannya."Kamu salah, Nay. Kamu lupa? Sebuah kebahagiaan itu tercipta bukan hanya soal waktu bersama, tapi juga uang yang banyak. Uang adalah segalanya. Kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Kalau aku kerja dengan gaji kecil, yakin ka
Hanan cepat-cepat menepis pikirannya, dia dan Aluna sudah berpisah, tak seharusnya dia memikirkan hal itu lagi. Laki-laki itu bergegas membuka pintu mobil, dan segera tancap gas menuju rumah.Disisi lain, meski masih kesal dengan suaminya, Nayma tetap menjalankan kewajibannya di rumah, yakni memasak. Seperti siang ini, baru saja selesai memasak untuk makan siang. Perempuan itu memilih ngadem di halaman belakang, karena biasanya jam segitu angin sepoi-sepoi akan setia membelai kulit.Tak lama terdengar klakson mobil diluar, Nayma tau itu jelas Hanan–suaminya. Biasanya dia akan langsung berlari keluar dan menyongsong suaminya, tapi tidak untuk sekarang. Hatinya masih saja membeku, meski sudah melihat sendiri bagaimana upaya Hanan untuk berubah selama beberapa hari ini."Assalamu'alaikum, Yank!" seru Hanan begitu masuk. Lelaki itu heran karena melihat keadaan rumah begitu sepi. Biasanya, meski tak menyambutnya kedepan, Nayma duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Hanan mencoba mencar
Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N