Laras yang sejak tadi diam, sebenarnya ikut merasa bangga dengan apa yang didengar olehnya. Elsa wanita yang sangat tangguh. Bahkan, bisa menerangkan secara detail, tanpa ada keraguan sama sekali.Bibirnya tanpa sadar menyimpulkan senyuman tipis. Elsa dan Vela tampak begitu berbeda di matanya. Elsa wanita hebat yang mungkin pantas bersanding dengan anaknya.“Ma, Mbak Elsa keren juga ya? Dia berani ngomong di depan Papah tanpa ragu. Optimis dan percaya diri banget orangnya. Zeta suka, Ma. Berbanding terbalik sama Vela yang jahat,” bisik Zeta.“Ssttt! Kamu nggak usah ikut-ikutan. Nanti malah ada yang dengar. Biarkan itu urusan mereka,” jawab Laras dengan suara lirih pula.“Mama kok, nggak ikut cerewet? Udah setuju ya, sama hubungan mereka?” Zeta sengaja menggoda Laras yang tidak seperti biasanya.“Diam, Ze. Mama lagi lihat perdebatan mereka.”Laras tidak mau mengakui bahwa dirinya sedikit merasa bangga dengan semua penjelasan yang Elsa sampaikan.“Baiklah, Bi. Kalau itu keputusan yang k
“Mas, bantu aku memisahkan Mbak Elsa dan Bian. Mereka nggak boleh menikah kan, Mas? Kamu harus menikah sama Mbak Elsa biar hubungan kita tetap seperti sekarang, Mas. Aku nggak mau putus darimu gara-gara Mbak Elsa menikahi Bian. Tolong aku, Mas. Kamu mau membantuku kan, Mas?”Dengan sandiwara menjadi orang yang ter zalimi, Vela berbicara dengan kebohongan yang begitu besar. Demi hubungan dengan Rio katanya. Padahal jelas, ia sangat menginginkan Bian.“Sayang, kamu tahu sendiri kan? Elsa sudah tidak menganggap keberadaanku sama sekali. Bagaimana aku bisa melakukannya? Kalau demi hubungan kita, aku akan mempertaruhkan segalanya demi mendapatkan restu dari orang tuamu, Sayang. Kita katakan semuanya di depan keluargamu ya. Aku akan bertanggung jawab dan membuatmu bahagia, Sayang.”Vela tak menerima perkataan yang Rio ucapkan. Ia hanya menginginkan Bian dan Rio hanya diperbudak demi memenuhi keinginannya.“Kamu nggak kasihan sama aku, Mas? Bagaimanapun, kita sulit disatukan dalam kondisi no
Vela dan Rio berhasil membawa Bian ke dalam kamar hotel. Bian yang tak sadarkan diri sudah dibaringkan di atas kasur.“Sayang, harus bagaimana melakukannya?” tanya Rio yang masih bingung dengan rencana yang diinginkan oleh Vela.“Buka seluruh pakaiannya, Mas. Rambutnya buat jadi acak-acak kan seolah baru saja bercinta denganku. Jangan lupa basahi dengan air. Dan aku, akan berpura-pura menjadi gadis malang yang diperdaya dengan obat perangsang olehnya. Ambil foto dan video dengan ponselnya Bian, Mas. Seolah dia yang sedang merekam untuk koleksi pribadi. Saat adegan dibuat, tentu saja kamu yang akan melakukannya tanpa memperlihatkan wajah dan tubuh secara jelas. Paham kan sekarang?”Naluri lelaki yang dimiliki Rio tentu terpancing. Aliran darah di sekujur tubuhnya seakan menghangat, karena ingin segera melakukan adegan yang Vela inginkan.Rio pun hanya mengangguk dan tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya sudah menerawang jauh. Ia tak sabar untuk segera menjamah tubuh Vela yang sudah la
“Vel, kamu di mana? Kenapa jam segini belum pulang? Kamu baik-baik saja kan?” Telepon yang berasal dari Nani terhubung ke ponsel Vela.Tanpa menjawab, Vela malah nangis sesenggukan.“Sayang, kamu kenapa? Apa yang sudah terjadi? Kamu nangis kenapa, Vel? Kamu di mana?”Sudah dipastikan, Nani akan sangat mencemaskan kondisi anaknya yang tiba-tiba menangis.Sedangkan Rio yang telah berpakaian rapi, sudah bersiap untuk pergi dari kamar hotel itu. Sebelumnya, ia berpura-pura mengambil sesuatu di nakas, padahal memang sedang mengambil ponsel yang sejak tadi merekam kegiatan mereka di dalam kamar hotel.Vela masih menangis, meski Nani sudah bertanya berkali-kali.“Sebarkan videonya ya, Mas,” lirih Vela pada Rio sambil menutup dan menjauhkan ponselnya.“Iya, aku pergi dulu. Hati-hati jangan sampai ketahuan,” bisik Rio sambil berjalan mendekatinya. Ia mengecup kening Vela dengan pelan.Vela hanya mengangguk. Ia masih menangis untuk menipu Nani yang terhubung di telepon.“Vela? Ada apa sebenarny
“Yah! Vela, Yah!”Nani seketika gempar saat mendengar kondisi Vela yang seakan tidak baik-baik saja.“Ada apa sih, Ma? Vela kenapa? Ini sudah jam berapa memangnya?”Handi mengucek matanya. Ia baru bangun gara-gara dikagetkan oleh Nani. Sedangkan Nani, tidak bisa tidur selama Vela belum pulang ke rumah.Pada awalnya, Nani tidak mempermasalahkan kepergian Vela sebab ia meminta izin untuk keluar menemui temannya. Namun, malam yang makin larut, Vela belum juga pulang.Nani sering menelepon Vela, tetapi sia-sia karena ponselnya tidak aktif. Nani tak mau putus asa, sampai Vela akhirnya mengaktifkan ponselnya dan bisa dihubungi.“Bian laki-laki brengsek, Yah! Dia berani melecehkan Vela dengan memberikan minuman yang dicampur obat. Bahkan, dia melakukannya di hotel kita, Yah! Mama benci sama Bian, tapi Vela harus mendapat pertanggungjawaban, Yah. Dia ketakutan kalau nggak ada laki-laki yang mau menikahinya gara-gara ulah Bian. Kita harus segera ke sana menjemput Vela, Yah.”Air mata tak kuasa
Bian punya beberapa ponsel. Untung saja dia membawa ponsel yang isinya tidak ada bukti video dan foto Leo yang sedang bertransaksi. Biasanya, ia akan membawa beberapa ponsel sekaligus, tetapi keberuntungan sedang memihak padanya.“Lihat saja. Aku nggak merasa sudah merekam semua yang kalian tuduhkan, maupun yang tersebar di media sosial. Ada yang sedang mempermainkanku dengan fitnah keji,” ucap Bian seraya meletakan ponselnya di atas telapak tangan Erwin.“Jangan banyak berkelit. Semua akan jelas setelah mencari tahu isi galeri di ponselmu.”Erwin seakan yakin kalau Bian memang telah melakukan semua hal buruk itu. Sejak dulu, setelah kejadian kebakaran yang hampir mencelakakan Leo, Erwin tak pernah lagi mempercayai ucapan Bian. Di matanya, Bian sering memberontak dan banyak memberi alasan yang tidak disukai olehnya.“Leo, bantu Papah mencari bukti di ponsel Bian,” perintah Erwin.Tanpa menjawab, Leo pun menghampiri Erwin. Bian yang melihatnya semakin geram. Selalu saja yang terlihat h
Rombongan keluarga Bian telah sampai di rumah Elsa. Mereka turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Sudah banyak wartawan yang berkumpul di sekitar rumah itu, tak terkecuali Mona juga ada di sana.“Mas Bi, apa kamu orang yang melecehkan gadis bernama Vela itu? Aku kecewa kalau memang semua itu kenyataan. Aku mengenalimu sebagai laki-laki baik. Aku yang sering menjerumuskanmu gara-gara berita yang kutulis. Maaf, Mas Bi.” Gadis itu hanya bergumam dan menyesali perbuatannya selama ini. Ia pun belum sempat menghubungi Bian.***Kalau sampai aku tetap dituduh sebagai pelakunya, lebih baik mendekam di penjara gara-gara fitnah keji ini. Yang terpenting sekarang, aku harus menjelaskan semuanya kepada Elsa. Semoga pikirannya tidak ikut terhasut oleh berita yang menyebar di media sosial. Aku berharap, dia tetap ada di pihakku. Aku mohon.Bian berbicara di dalam hati sambil menyematkan harapan yang seakan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Dia sudah duduk di ruang tamu rumah Elsa untu
“Elsa!”“Bian!”Handi dan Erwin tak bisa menahan amarahnya lagi. Sepasang manusia yang sedang berpelukan itu seakan tak memedulikan dua orang yang tak pernah menganggap keberadaan mereka.“Bi, kamu beneran nggak melakukannya dengan Vela? Apakah aku bisa memegang perkataanmu? Kamu nggak mempermainkan aku?”Jantung Elsa berdegup kencang. Ia tak menyangka, Bian akan langsung memeluknya dan wajahnya seakan mengharapkan banyak hal kepadanya. Tanpa sadar pula, ia mengatakan seakan hubungan mereka bukan terjadi karena sebuah perjanjian.“Iya. Aku nggak bisa berpikir jernih gara-gara pesan yang mengaku sebagai dirimu, El. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku datang begitu saja dan mencarimu. Padahal, kalau mau dipikirkan dengan baik, nggak mungkin kamu dicelakai di sekitar hotel milik keluargamu. Aku difitnah, El. Percayalah padaku. Sudah nggak ada orang lain lagi yang mempercayaiku. Aku mohon, El.”Perkataan Bian seakan menunjukkan dirinya sudah sangat berputus asa. Ia memeluk El
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek