Bian punya beberapa ponsel. Untung saja dia membawa ponsel yang isinya tidak ada bukti video dan foto Leo yang sedang bertransaksi. Biasanya, ia akan membawa beberapa ponsel sekaligus, tetapi keberuntungan sedang memihak padanya.“Lihat saja. Aku nggak merasa sudah merekam semua yang kalian tuduhkan, maupun yang tersebar di media sosial. Ada yang sedang mempermainkanku dengan fitnah keji,” ucap Bian seraya meletakan ponselnya di atas telapak tangan Erwin.“Jangan banyak berkelit. Semua akan jelas setelah mencari tahu isi galeri di ponselmu.”Erwin seakan yakin kalau Bian memang telah melakukan semua hal buruk itu. Sejak dulu, setelah kejadian kebakaran yang hampir mencelakakan Leo, Erwin tak pernah lagi mempercayai ucapan Bian. Di matanya, Bian sering memberontak dan banyak memberi alasan yang tidak disukai olehnya.“Leo, bantu Papah mencari bukti di ponsel Bian,” perintah Erwin.Tanpa menjawab, Leo pun menghampiri Erwin. Bian yang melihatnya semakin geram. Selalu saja yang terlihat h
Rombongan keluarga Bian telah sampai di rumah Elsa. Mereka turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Sudah banyak wartawan yang berkumpul di sekitar rumah itu, tak terkecuali Mona juga ada di sana.“Mas Bi, apa kamu orang yang melecehkan gadis bernama Vela itu? Aku kecewa kalau memang semua itu kenyataan. Aku mengenalimu sebagai laki-laki baik. Aku yang sering menjerumuskanmu gara-gara berita yang kutulis. Maaf, Mas Bi.” Gadis itu hanya bergumam dan menyesali perbuatannya selama ini. Ia pun belum sempat menghubungi Bian.***Kalau sampai aku tetap dituduh sebagai pelakunya, lebih baik mendekam di penjara gara-gara fitnah keji ini. Yang terpenting sekarang, aku harus menjelaskan semuanya kepada Elsa. Semoga pikirannya tidak ikut terhasut oleh berita yang menyebar di media sosial. Aku berharap, dia tetap ada di pihakku. Aku mohon.Bian berbicara di dalam hati sambil menyematkan harapan yang seakan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Dia sudah duduk di ruang tamu rumah Elsa untu
“Elsa!”“Bian!”Handi dan Erwin tak bisa menahan amarahnya lagi. Sepasang manusia yang sedang berpelukan itu seakan tak memedulikan dua orang yang tak pernah menganggap keberadaan mereka.“Bi, kamu beneran nggak melakukannya dengan Vela? Apakah aku bisa memegang perkataanmu? Kamu nggak mempermainkan aku?”Jantung Elsa berdegup kencang. Ia tak menyangka, Bian akan langsung memeluknya dan wajahnya seakan mengharapkan banyak hal kepadanya. Tanpa sadar pula, ia mengatakan seakan hubungan mereka bukan terjadi karena sebuah perjanjian.“Iya. Aku nggak bisa berpikir jernih gara-gara pesan yang mengaku sebagai dirimu, El. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku datang begitu saja dan mencarimu. Padahal, kalau mau dipikirkan dengan baik, nggak mungkin kamu dicelakai di sekitar hotel milik keluargamu. Aku difitnah, El. Percayalah padaku. Sudah nggak ada orang lain lagi yang mempercayaiku. Aku mohon, El.”Perkataan Bian seakan menunjukkan dirinya sudah sangat berputus asa. Ia memeluk El
“Iya, Ze. Coba kamu ikut cari tahu, ya. Mama nggak bisa ikut bertindak. Mama hanya bisa berdoa agar semua baik-baik saja. Nanti Mama kirim videonya. Bantu masmu, Ze. Semoga benar kalau dia hanya difitnah.”Air mata kembali menitik. Sejak kecil, Laras tahu luka anak laki-lakinya. Selalu dipersalahkan oleh Erwin. Sampai sekarang pun harus mendapat perlakuan yang membuatnya terluka.“Tentu saja, Ma. Zeta akan mencari tahu bersama Mbak Elsa. Dia pasti wanita baik, beda jauh dari Vela. Zeta nggak mau punya ipar kayak Vela, Ma.”Zeta memeluk Laras agar bisa lebih tenang. Ia pun merasa sakit kala Bian harus melalui kehidupan seterjal ini. Dalam hatinya bertekad untuk membantu Bian semampunya. Kebaikan pada akhirnya pasti akan menang.***“Dua minggu, hanya dua minggu. Aku harus melakukannya dengan cepat. Tapi, bagaimana? Mulai dari mana?”Elsa yang sudah di dalam kamar memijat pelipisnya secara perlahan. Ia sudah berjanji akan membantu Bian, tetapi sendirinya masih bingung harus melakukannya
“Apa mungkin kita memang berjodoh, Mas?” tanya Elsa hanya untuk memancing percakapan agar semakin akrab.“Iya, bisa saja begitu, Dek. Nyatanya, sekarang kita ada di tempat favorit kita selama masih bersama. Nggak mungkin kalau kebetulan kan, Dek? O ya, aku udah pesan makanan dan minuman kesukaanmu. Kita makan dulu ya.”Tampak tak ada yang berbeda dari sikap yang Rio lakukan pada Elsa. Ia tetap perhatian dan seperti sangat mencintai Elsa.Rasa nyeri terasa di hati wanita berhidung mancung itu kala mendengar lagi cara bicara yang begitu lembut dan penuh perhatian dari seorang Rio.Seorang wanita tentu bahagia saat mempunyai pasangan dengan sikap seperti Rio. Penuh cinta dan sangat perhatian. Namun, semua itu ternyata hanya sandiwara saja. Hebat memang. Selama bertahun-tahun, Rio bisa memerankan tanpa ada cacat sedikit pun. Mungkin baginya, sambil menyelam minum air. Mana ada laki-laki tak tergiur oleh wanita cantik saat berdekatan dengannya.“Bagaimana kalau kita melanjutkan hubungan ki
“Mas, apa benar, kamu bersama Mbak Elsa lagi merencanakan sesuatu?”Setelah kepulangan keluarga Bian dari rumah Elsa untuk membicarakan tentang perbuatan yang sebenarnya tidak Bian lakukan, Zeta meminta izin untuk masuk ke kamar Bian yang memang sedang dihukum dan membicarakan rasa penasaran yang Zeta rasakan.“Iya, Ze. Tapi, kamu diam. Jangan ada yang boleh tahu,” ancam Bian yang duduk di sofa.“Mama tahu kok. Mama kasihan sama kamu, Mas. Tapi, nggak bisa berbuat apa-apa. Mama menyuruhku untuk membantu rencana yang mungkin sedang kalian rencanakan. Mama berharap semua ini hanya fitnah, Mas.”“Kamu mau membantu juga, Ze?” Bian mulai menyunggingkan senyuman. Bahagia saat anggota keluarganya ada yang mempercayainya.“Tentu, Mas. Aku tahu kamu kok. Tentang Vela juga, dia itu jahat, Mas. Aku nggak mau punya ipar jahat kayak dia.”“Kenapa kamu baru ngomong sekarang, Ze?”“Kamu kan nggak nanya,” jawab Zeta seraya duduk di sebelah Bian.“Memangnya tahu dari mana kamu?” Bian menatap adiknya d
“Aku nggak suka Vela karena temanku bercerita tentang keburukan Vela, Mbak. Kebetulan, Mama juga melihatnya di mal, lalu merekamnya. Kata Mama, mungkin saja video keburukan Vela bisa berguna suatu hari nanti. Tentang seseorang yang memasukkan Mas Bian ke mobilnya dengan pakaian berantakan juga sudah kami ketahui orangnya, Mbak.”Elsa kembali membulatkan mata. Perkataan Zeta membuatnya terkejut campur bahagia. Bukti yang dibutuhkan malah datang dengan sendirinya. Bahkan seperti dimudahkan segala urusan yang Elsa lakukan.“Apakah itu benar, Ze? Aku senang kalau memang kamu bisa membantuku seperti itu.”Zeta tersenyum. “Mbak Elsa yang pada dasarnya bukan siapa-siapa saja bisa bahagia mengetahui bukti yang mungkin bisa melepas belenggu yang membelit Mas Bian, apalagi Zeta, Mbak. Dengan video yang aku bawa ini, semoga bisa membantumu mengungkap fitnah yang menjatuhkan Mas Bian, Mbak.”“Tadinya aku pusing banget, Ze. Mau mulai dari mana agar bisa membantu Bian keluar dari masalahnya. Tapi,
Elsa tersenyum dan berpura-pura tersipu. Padahal, di dalam hati sudah sangat enggan berurusan lagi dengan Rio. Apalagi menjalin sebuah hubungan yang hanya akan menyakiti hati semakin parah.“Katakanlah, Dek. Kamu mau menikah denganku, kan?” Rio terus membujuk agar Elsa cepat mengucapkan perkataan yang diinginkan olehnya.Elsa justru mengambil sesuatu dari dalam tas yang dibawa.“Mas, sebenarnya sejak pembatalan pernikahan kita, aku sudah tahu semuanya kok!”Beberapa berkas yang sudah disiapkan, sengaja diletakkan di meja tepat di hadapan Rio.“Dek, apa maksudmu?” Rio mengernyitkan kening.“Lihat saja biar kamu nggak banyak tanya,” ucap Elsa dengan nada yang berubah ketus.Rio pun akhirnya mengikuti perkataan Elsa. Perlahan, jemarinya memunguti kertas-kertas yang tersusun rapi di atas meja.Kening Rio mengerut. Matanya pun menyipit kala melihat berkas yang Elsa letakkan di atas meja.“Kamu menuduhku, Dek? Tentang video calon suamimu itu, kamu kira itu aku? Begitukah maksudmu?”Rio mele
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek