Ia kali pertama bertemu dengan pria yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu saat menjadi delegasi Adighana dalam rangkaian acara pernikahan putra mahkota kerajaan Warastika yang saat itu masih menjadi negeri sahabat Adighana lima belas tahun yang lalu. Arya Kunundhani ada di sana entah untuk apa. Ia sempat berbicara panjang dengan pria itu saat mereka secara tidak sengaja berkunjung di warung makan yang sama di sela rangkaian hari upacara pernikahan.
Arya Kunundhani ia kenal sebagai pribadi yang blak-blakan dan penuh percaya diri. Bahkan ia tak segan mengatakan pada Cadudasa di tempat itu bahwa ia memiliki mimpi untuk menjadi raja, dan negeri yang ingin ia pimpin adalah Warastika karena memiliki kedekatan geografi dengan negeri Hematala, negeri penghasil salah satu pedang terbaik di dunia di balik kabut, pedang Hematala. Arya Kunundhani adalah pria yang cukup banyak omong, namun dibekali dengan kemampuan bertarung yang sama tangguhnya. Ia menyaksikan sendiri saat akhirnya ia mencoba mengacau di tiga hari sebelum hari pelaksanaan upacara pernikahan itu, entah apa yang merasuki pria itu saat ia dengan nekad menyerang patih negeri Warastika yang sedang beribadah, ia berhasil membunuh sang patih yang terkenal tangguh, mengalahkan Guwabarong, salah satu delegasi dari negeri Danta yang kebetulan saat itu sedang bertamu di rumah sang patih, sebelum akhirnya Patih Tarkas dari negeri Danta yang juga berada di sana berhasil menebas punggungnya namun Arya Kunundhani berhasil kabur dan setidaknya membuat pesta pernikahan harus ditunda selama beberapa pekan untuk menghormati kepergian patih mereka.
Jika saja tak memiliki talenta bertarung yang hebat tak mungkin ia berani berhadapan langsung dengan tiga nama tadi, apalagi Patih Tarkas yang merupakan salah satu jendral perang negeri Danta. Beberapa tahun setelah kejadian itu, ia mendengar Arya Kunundhani kembali mengacau di beberapa daerah negeri Danta dan sempat dipenjara, namun kemudian bebas atau kabur entah yang mana yang benar kabar yang beredar, yang jelas hampir lima tahun yang lalu ia benar-benar memenuhi ambisinya menjadi penguasa negeri Warastika setelah memimpin pemberontakan yang sukses membunuh Raja Silacadurmanggi dan Ratu Hanumsari yang sepuluh tahun sebelumnya ia datangi acara pernikahannya.
Tak ada yang tahu pasti darimana asal Arya Kunundhani yang sebenarnya, ada yang menyebut ia berasal dari negeri Gandewa, ada yang menyebut ia bersal dari negeri Danta, bahkan ada yang menyebut ia berasal dari sebuah lalawangan kecil dari negeri Warastika itu sendiri. Arya Kunundhani sendiri tak pernah bercerita darimana asalnya pada Cadudasa hari itu, ia hanya menyebut bahwa ia sempat dilatih dan diberikan pedang Hematala oleh gurunya yang bernama Maesa Bhupendra dari pulau Sanuremas, entah di mana pulau itu ia tak pernah mendengar. Begitupun nama Maesa Bhupendra yang hingga kini masih terdengar asing baginya. Namun ia bersumpah atas nama Dewa manapun, dengan pedang Hematala di tangan Arya Kunundhani, ia lebih memilih menghindar jika diminta bertarung dengannya langsung.
Ia juga menulis tentang Perang Dewadaru, yang dianggap sebagai salah satu perang terpanjang di Dunia di Balik Kabut, dimulai ketika Sujatmika Penangging, kepala prajurit keamanan ibukota negeri Adighana dicopot dan dipindah tugaskan sebagai duta besar negeri Adigaha untuk negeri Gandewa secara mengejutkan oleh Maharaja Aria Rajasa II, ayah angkat Cadudasa yang saat itu memerintah. Pencopotan itu disinyalir karena Sujatmika dianggap melakukan tindakan ilegal dengan membunuh empat belas penjahat politik negeri Adighana tanpa izin dari sang Raja, meskipun terbilang sebagai pemimpin pasukan yang berani dan berkharisma, namun Sujatmika dianggap terlalu liar dan tanpa kompromi sehingga bisa mengganggu stabilitas politik luar negeri Adighana, selain itu keberingasannya menindak para penjahat membuat namanya banyak dielu-elukan oleh masyarakat ibukota karena menganggap Maharaja Aria Rajasa II terlalu lamban dalam bertindak. Raja merasa khawatir jika nama besar Sujatmika akan malah menenggelamkan namanya, untuk itulah ia dicopot.
Sujatmika yang tidak terima dan merasa ada politik busuk yang bermaksud menyingkirkannya, ia menolak putusan sang Raja dan dengan dukungan dari simpatisannya yang berasal dari para prajurit setianya yang dijuluki Pasukan dari Neraka karena keberingasannya, juga dari rakyat yang mengidolakannya, ia lantas diam-diam merebut Lalawangan Serawan dan Palubang, setelah itu ia secara terang terangan mengobarkan pemberontakkan kepada pemerintah pusat dengan merebut secara beruntun Lalawangan Bedauh, Pemangkut, Lalawangan Dewadaru dan Pulau Urpukala lalu bersama sekitar 18 ribu pasukannya menasbihkan Negeri baru bernama Inderasari yang berpusat di Dewadaru dengan ia sendiri yang menjadi Raja bergelar Sri Maharaja Purnama Dewa Sujatmika Mangku Alam.
Tentu saja negeri baru itu tidak direstui oleh Adighana meskipun mendapatkan dukungan dari negeri lain seperti Cayapata dan Tirtayana walaupun bukan dukungan yang terang terangan. Adighana berusaha melakukan serangan dan merebut Lalawangan tersebut dari Sujatmika namun selalu gagal, mereka memang beberapa kali berhasil merebut sebagian Lalawangan tersebut dari kekuasaan Jatmika, namun biasanya hanya bertahan beberapa bulan sebelum Sujatmika dengan bala tentaranya berhasil merebutnya kembali dan mengusir tentara Adighana.
Sujatmika memang seorang pemimpin yang ganas namun punya taktit bertahan dan menyerang sangat jenius, Maharaja Aria Rajasa II sampai hampir frustasi mencoba mengalahkannya. Sujatmika membangun benteng besar di Dewadaru dan melatih penduduk lokal setiap Lalawangannya menjadi prajurit terampil hingga menyulitkan bala tentara Adighana untuk menguasainya. Tiap kali tentara Adighana berusaha membuat barikade pengepungan Sujatmika dengan cermat memerintahkan pasukannya membolakade jalur logistik, bahan makanan, dan senjata bagi pasukan Adighana sehingga pasokan mereka terbatas dan dengan mudah dipukul mundur oleh pasukan dari Neraka milik Sujatmika. Sulitnya meruntuhkan pemerintahan Sujatmika memakan waktu hingga empat puluh tahun pemerintahan Aria Rajasa II, Adighana mencoba berbagai hal namun selalu gagal.
Hingga akhirnya Cadudasa yang baru saja menyelesaikan misi di Desa Rudira diperintahkan untuk memimpin pasukan Adighana merebut kembali Lalawangan-Lalawangan yang dikuasai oleh Sujatmika. Berkaca pada pengalaman pasukan yang terdahulu, Cadudasa melatih pasukannya untuk menyamar dan menyusup masuk ke Lalawangan-Lalawangan itu untuk mengeringkan sumur-sumur air mereka dan mencuri bahan makanan di sana, perlahan-lahan satu persatu Lalawangan berhasil direbut kembali dan dikuasai secara penuh oleh Adighana dalam waktu enam tahun, baik dengan jalur perang maupun diplomasi, menyisakan Lalawangan Dewadaru dan Pulau Urpukala. Dengan strategi matang dan persiapan panjang, ia dan pasukannya mengurung Dewadaru sembari menggali tanah di sekitar benteng kota agar bisa masuk dalam kota, setelah melakukan pengepungan selama satu tahun penuh, akhirnya Sujatmika mau menemui langsung Cadudasa dan berunding di luar benteng, namun perundingan itu berakhir buntu dan membuat Cadudasa tak punya pilihan lain selain menggempur Kota Dewadaru bagaimanapun caranya mengingat persediaan makanan mereka sudah mulai menipis.
Dalam waktu dua pekan mereka akhirnya berhasil merangsek masuk ke dalam kota meski cukup banyak prajurit mereka yang tewas termasuk ayah dari Subali, dan selanjutnya adalah sejarah dari pencapaian terbesarnya dalam militer setelah ia berhasil memenggal Sujatmika di atas singgasananya dan berhasil merebut kembali Lalawangan Lalawangan yang pernah dikuasai Sujatmika selama 48 tahun sekaligus menghancurkan negeri Inderasari.
Sayang, saat ia sedang mengatur strategi merebut Pulau Urpukala yang menjadi tempat pelarian sisa-sisa pasukan Sujatmika, ia keburu dipanggil kembali ke Ibukota untuk diangkat menjadi perdana menteri tinggi atau Mahapatih oleh Maharaja Danishwara yang saat itu telah naik tahta menggantikan ayahnya yang wafat.
Pulau Urpukala sendiri akhirnya berhasil direbut kembali oleh Darmendra dan pasukannya hampir sepuluh tahun yang lalu lewat pengepungan selama dua bulan penuh.
Cadudasa lalu memejamkan matanya, mencoba menidurkan dirinya di tengah-tengah rentetan kenangan dalam hidupnya yang mungkin saja akan segera ia tutup dalam hitungan hari lagi. Entah bagaimanakah rasa sakit kematian, pikirnya. Apakah sama dengan saat pahanya ditebas kapak? Atau sama dengan saat sisi lehernya tertusuk sumpit beracun di suatu perang hingga membuat Dira menangis semalaman karena takut ia akan mati?
Ya, kali ini ia akan benar-benar mati. Tidak, bukan lagi sejengkal dari kematian, tapi benar-benar mati. Dipancung di depan rakyat yang puluhan tahun ia bela. Entah bagaimana membayangkan gelapnya kematian.
Ia kembali memejamkan mata lebih dalam. Bernafas lebih tenang. Kali ini ia mulai merasa takut. Rasanya tak pernah ia sekhawatir ini.
Tiba-tiba ia mendengar suara pintu selnya berderit. Perlahan ia membuka mata. Seorang pria, nampaknya, dengan topi keprajuritan Adighana dan penutup mulut yang hanya menyisakan bagian mata yang tak tertutupi menatapnya tajam di sela cahaya obor yang menerangi ruangan kecil itu.
“Sudah tiba saatnya.” Suara pria itu lirih pada Cadudasa. Dingin, seperti ujung pedang yang serasa menusuk tipis ujung leher Cadudasa.
“Bukankah satu pekan lagi?” Cadudasa mencoba memprotes dengan tenang.“Sebelum itu anda harus dipindahkan ke tempat yang tak boleh satu orang pun tahu.” jawab pengawal itu tak kalah tenang.“Bagaimana dengan keluargaku jika mereka ingin menengok.”Pengawal itu tak menjawab, ia justru mengikatkan borgol ke tangan Cadudasa dengan yakin sebelum lalu mengikatkan penutup mata padanya.Cadudasa bahkan merasa bahwa pengawal satu ini tak seperti pengawal lain yang biasa menemuinya di sel selama ini, pengawal ini lebih tenang dan nyaris tanpa segan sedikitpun padanya seperti halnya pengawal lain. Namun ia hanya diam tak melawan, membiarkan saja sang pengawal melakukan tugasnya.“Seberapa jauh perjalanan dengan penutup mata ini?” tanya Cadudasa tanpa kehilangan nada tenangnya.Pengawal itu tak menjawab, ia justru mendorong Cadudasa agar mulai berjalan. “Jalan.”Cadudasa mau tak mau mengikuti arah dorongan pengawal itu meski sejujurnya ada rasa curiga di benaknya karena mengapa hanya satu pengaw
Seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahun tampak menangisi jenazah ayahnya yang terbujur kaku di pelukan ibunya. Bocah itu terisak dalam rangkulan Sandanu yang tampak lebih muda dari terakhir kali Bayu bertemu dirinya di Bukit Kapur. Sandanu tampak menggenggam erat trisulanya dengan pandangan penuh amarah ke arah sosok pria yang berdiri dengan angkuh di depannya.Sandanu lantas bangkit dan siap menyerang pria yang hanya terlihat punggungnya itu oleh Bayu.“Aku bersumpah, akan membunuhmu......”..............................Bayu terbangun dari tidurnya, tepat sebelum Sandanu menyebut nama sosok pria tadi di mimpinya.Peluh mengucur dari keningnya menandakan bahwa ia agak syok dengan mimpi yang barusan ia alami. Ia lalu mengatur nafasnya yang agak tersengal, sambil meraih sebotol minuman yang ia taroh di sampingnya. Ia mencoba menetralkan kembali jiwanya yang seolah tercerai berai karena pengalaman tidak menyenangkan tadi.Mimpi itu, tentang kehidupan bocah berusia 7 tahunan bersama k
“Apa kabar, Sutha?” Bayu mencoba menyapa setenang mungkin. Sutha langsung memeluk Bayu dengan erat, disertai tangis pilu rindu dan kepedihan yang tumpah begitu saja. “Ke mana saja kau? Kami pikir kamu sudah mati di perang itu.” cecar Sutha di sela tangisnya yang berusaha sekuat mungkin ia tenangkan sendiri. Bayu tak menjawab langsung, ia lebih memilih membiarkan sahabatnya itu mengatur tangis dan nafasnya yang agak menderu dalam pelukannya. Setelah puas menumpahkan tangis kerinduan dalam pelukan Bayu, Sutha akhirnya melepas pelukannya. “Ke mana kamu empat tahun terakhir ini?” Bayu memilih menarik sebuah kursi plastik dan duduk di sana sebelum menjawab dengan singkat yang sebenarnya juga bukan merupakan sebuah jawaban. “Panjang ceritanya..” “Ceritakan saja. Bengkelku sedang sepi, sepertinya sepanjang hari.... tapi semoga saja tidak. Ya, seenggaknya aku punya waktu panjang untuk ceritamu yang panjang.” “Lebih baik kamu yang harusnya cerita, karena seingatku ini warungnya ibu Ruk
Cadudasa terbangun saat ia merasa ada sengat matahari menerpa wajahnya. Matanya memicing tertimpa cahaya jingga. Dengan kesusahan ia mencoba bangkit dengan rasa nyeri di bagian belakang lehernya, seperti baru dihantam benda keras.Hal pertama yang ia lihat adalah hamparan gurun pasir di seberang tubuhnya, ada pegunungan yang tidak terlalu besar namun seperti mengepulkan asap terlihat samar di sana. Ia cukup jelas mengenal tempat itu sebagai daerah bebas, area terluar yang menghubungkan perbatasan antara negeri Adighana dan negeri Danta, tempat yang disebut sebagai Gurun Kawah Berapi. Tempat di mana terjadinya pertikaian memalukan di dalam pasukan Adighana saat sedang bersiap melakukan serangan ke negeri Danta empat tahun yang lalu. Namun yang cukup membingungkannya adalah untuk apa ia berada di sini?Ia mencoba menengok ke arah lain, seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya sedang melepas tenda kecilnya namun ia bisa memastikan dari sorot mata pria ini bahwa ia adalah orang ya
“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran“Harus diakui, Gusti..” kata Subali, “ini adalah rencana yang sangat nekad namun brilian, bisa memperdaya ratusan prajurit dan orang-orang penting di istana itu adalah sebuah hal yang luar biasa.”“Dan sebuah pengalih perhatian yang bagus dari Subali dengan membakar gudang pangan penjara.” tambah Haruyan.“Bagimana dengan keluargaku? Mereka juga tahu?” Ada nada khawatir dari tanya CadudasaHaruyan menggeleng, “yang tahu rencana ini hanya yang ada di sini.”“Tapi itu justru berbahaya bagi mereka dengan aku kabur dari penjara.”“Justru lebih berbahaya lagi jika mereka tahu atau ikut. Tidak ada satupun bukti yang membuat mereka harus dianggap terlibat oleh pihak istana. Mereka pasti tahu bahwa kami yang melakukannya.” Jawab Haruyan yakin, “Lebih menyenangkan mengetahui diri kami bukan orang yang menghianati pejabat baik seperti anda, Gusti.”“Sebenarnya aku sama sekali tak takut jika takdirku harus berakhir di tiang pancung, d
Dua nama yang disebut oleh Anureksa itu lantas menoleh ke arah Anureksa, ada diam yang sempat terjadi di antara mereka sebelum kemudian mereka saling memeluk melepaskan kerinduan antar sesama saudara di antara ketiganya.Sementara itu para penghuni gua yang lain termasuk Cadudasa dan rombongannya terlihat bingung dengan pertemuan tiga orang dewasa itu, sebelum akhirnya Anureksa yang tampaknya telah puas dengan sensasi pertemuan itu menoleh ke arah Cadudasa dan rombongannya“Mereka Kampalu dan Danur, dua sahabat yang saya ceritakan.” Ia lalu menunjuk para rombongan yang bersama Kampalu dan Danur, “dan ini adalah warga yang selamat dari pembantaian di Desa Jalupang.”Cadudasa dan yang lain menyambut dengan senyum tipis ke arah para rombongan yang dibawa oleh Kampalu dan Danur itu.“Mahapatih Cadudasa kah itu?” Kampalu bertanya pada Anureksa.Anureksa mengangguk.“Jadi bagaimana kalian semua bisa kabur dari tentara Restu Singgih hingga kemari?” Haruyan seolah mewakili pertanyaan yang ada
Bayu menatap tajam ke arah Anarbuana dan pasukannya tanpa menjawab sepatah katapun. “Semoga empat tahun yang berlalu tak membuat kau lupa dengan hubungan hangat kita, Bayu.” kata Anarbuana dingin, “Ingat, kau punya hutang yang harus dilunasi.” Bayu mendekati Anarbuana perlahan, ia cukup yakin dengan langkahnya kali ini ketimbang pertarungan terakhir mereka di gelanggang pesta Putri Paramitha. “Lepaskan mereka berdua” kata Bayu, “Mereka tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita.” “Tentu Bayu, “ jawab Anarbuana cepat, “Tapi ini bukan lagi tentang masalah pribadi kita, lebih rumit rasanya. Mari kuperjelas, aku ingin sesuatu yang kau bawa dan aku yakin kau tahu apa yang kumaksud, dan akan kulepaskan dua orang ini lalu kau ikut bersamaku untuk diadili di Adighana bersama Cadudasa.” Bayu agak kaget ketika nama Cadudasa disebut, sudah cukup lama ia tak mendengar kabar orang yang baik itu, “Ada apa dengan Gusti Cadudasa?” “Misi kudetamu dengan kalung dunia kami itu ternyata membu
Anarbuana juga terdiam, ia seperti merasakan ada kekuatan yang besar sedang merayap dalam sorot mata Bayu yang menahan sakit. Mungkin agak sulit dideskripsikan, tapi sebagai seorang salah satu petarung handal, ia tahu persis kalau lawan di depannya kini sama sekali lawan yang berbeda kemampuannya dengan yang ia hadapi beberapa saat yang lalu. Bayu menggenggam tangannya dan menatap tajam ke arah Anarbuana sebelum dengan cepat menyarangkan sebuah tendangan setengan melompat ke arah anak dari Senopati Darmendra itu. Anarbuana menghindar beberapa senti sambil berupaya menangkis dengan tangannya. Ada rasa nyeri hebat yang menjalar di tangannya akibat tangkisan itu meskipun tak ingin ia akui, namun setidaknya itu membuktikan betapa berbahayanya serangan Bayu barusan. Tak menunggu Anarbuana bernafas dengan tenang, kali ini Bayu kembali mengeluarkan tendangan kerasnya kali ini berhasil menghajar pinggul Anarbuana. Pria itu mengerang kesakitan sambil mencoba membalas dengan tendangan tinggi k
Aku mengetuk pintu ruangan Paduka namun sebelum kulakukan, Paduka telah berseru dengan suara beratnya dari dalam. “Masuk!” Perasaanku langsung tak nyaman. Aku pelan masuk ke ruangannya sambil menunduk, sempat kulihat ia duduk masih dengan pakaian kebesarannya yang belum berganti, sepertinya ia memang sama sekali belum pulang ke kediamannya. Ia lalu mendekat kepadaku. “Mohon ampun, Paduka, saya tidak sempat menyambut kepulangan paduka karena baru selesai mengerjakan laporan bencana banjir….” PLAKKK!! Begitu keras tamparan Paduka Gajahsora hinggap di pipi kiriku dan aku sendiri terhuyung-huyung ke arah pintu sambil meringis kesakitan. Sambil menahan takut, aku langsung bersimpuh di depannya. “Mohon ampun, Paduka, apa gerangan salah hamba hingga Paduka segeram ini?” Sumpah demi apapun, aku tak pernah melihat Paduka semarah ini kepada para pejabatnya. Aku menggigil gemetar ketakutan. “Kau lalai, Estungkara! Aku kecewa padamu!” geram Paduka Gajahsora. “Maafkan jika saya lancing,
Setelah kejadian itu hingga beberapa hari kemudian tak pernah lagi kulihat Purwaca, Brata pun juga mengaku tak pernah lagi melihatnya. Entah di mana sekarang ia berada jujur aku tak peduli, justru yang aku pedulikan adalah bagaimana tanggapan Paduka Gajahsora jika tahu bahwa aku sempat memarahi Purwaca yang notabene adalah anak dari kawannya. Tapi kurasa Paduka juga tak akan ambil pusing, Purwaca adalah pria dewasa yang tau akan konsekuensi dari segala hal yang telah ia lakukan.Namun nampaknya itu tak berlaku bagi Putri Aruna, sang Putri Nampak agak murung dari biasanya selepas menghilangnya Purwaca. Ia tak sesemangat biasanya. Memang ia mencoba tidak memperlihatkan prubahan raut wajahnya namun bukan berarti aku tak tahu bahwa sebenarnya ia merasa kehilangan. Aku mulai khawatir menafsirkan jika itu adalah tanda bahwa Tuan Putri jatuh cinta pada pria itu. Ia masih sangat muda dan sangat berharga. Aku memang tak punya hak untuk mementukan jodohnya, namun jika aku jadi raja, Purwaca sam
Hari itu aku tak melihat Brata sekalipun, biasanya ia selalu menemuiku untuk melaporkan rencana pengawasannya. Kebetulan pekerjaanku juga sudah mulai menipis yang artinya aku bisa menyediakan waktuku untuk menengok Putri Aruna. Biasanya di jam seperti ini Putri Aruna sedang menyulam di pekarangan belakang kediamannya. Aku tau remaja itu senang sekali menyulam benang membentuk suatu kain yang memuaskan hasrat seninya. Namun aku tak menemukan sang Putri ke kediamannya, begitu pun pengawalnya. “Di mana Putri Aruna?” aku mencoba bertanya pada pelayan pribadinya. “Mohon ampun, saya tidak tahu, Gusti. Tuan Putri sejak tadi, bahkan tidak mau ditemani para pengawalnya.” kata si pelayan sambil menunduk takut. “Maksudmu tanpa ditemani pengawal bagaimana?” “Ampun, Gusti. Tadi saya mendengar Tuan Putri pergi dan bilang kepada pengawalnya untuk tak usah mengikutinya.” Aku mulai khawatir. “Sekarang di mana para pengawalnya?” “Ada di belakang, Gusti.” Dengan wajah marah dan tanpa permisi aku
Bayu atau Ganendra Aryasathya merasakan getaran aneh di dalam lambungnya, seperti sesuatu yang besar sedang berusaha menyeruak keluar, terlontar beserta darah yang mengalir dalam nadinya. Ia tak tahu perasaan semacam apa itu, namun nama yang disebut oleh Estungkara itu seperti begitu lekat dengan jiwanya. Benarkah karena itu adalah ibunya? Entahlah, otaknya masih terlalu payah untuk diajak berpikir saat ini setelah menerima fakta-fakta yang enggan ia terima namun seperti ada sisi lain dirinya yang mengakui hal itu. Estungkara sepertinya menangkap ribuan pertanyaan yang menghinggapi para tamunya yang sedang mendengarkan ceritanya itu. Tampak dari wajah kebingungan bercampur penasaran yang menghiasi rona muka mereka disapu cahaya-cahaya temaram dari obor yang menyala. Estungkara tersenyum. “Aku tahu, ada banyak sekali tanya dari kalian semua, tentang kisah apa ini, dan apa hubungannya ini dengan kalian. Tapi bolehkah aku melanjutkan kisah masa laluku itu kembali?” Tak ada yang menjawa
Malam itu adalah kali pertama aku melihat dan bertemu dengan Purwaca, dan aku bersumpah demi para Dewa, tidak pernah kulihat pria setampan dan sesempurna dirinya. Wajahnya putih bersih tanpa noda setitik pun, matanya tajam dan teduh, alisnya melengkung indah bagai liukan sungai yang hanya ada dalam cerita-cerita surgawi, bibirnya tipis dihiasi senyum ramah dan menagih simpati siapapun yang menangkap senyum itu. Tubuhnya tinggi jangkung dengan bahu yang kokoh dan punggung yang seolah diukir dengan pahatan tangan terbaik para Dewa. Dadanya bidang dan perutnya rata dengan tonjolan otot-otot kekar di sana. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam yang tergerai rapi sesekali bergoyang pelan disapu udara yang lewat menyapa helai -helainya. Tak hanya penampilan fisiknya yang memukau, tutur bicaranya juga sangat menyenangkan. Ia begitu lihai memilih kata demi kata, kalimat demi kalimat, dalam memikat lawan bicaranya. Sangat santun dalam bersikap. Dalam kurun waktu beberapa saat berbicara denga
“Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band
Yang pertama kali kulihat ketika masuk ke ruangan kerja Paduka Raja adalah lima bilah pedang yang menempel rapi di dinding ruangan berbahan kayu ulin langka itu. Aku hapal nama-nama dan sejarah pedang-pedang itu, yang bersarung cokelat diberi nama Ardhani, ditempa oleh Laksamana Gulanggang Sedayu, jenderal Angkatan laut yang menghabiskan masa remajanya sebagai seorang penempa besi handal, pedang ini terkenal karena merupakan hasil dari peleburan dua pedang paman Paduka Gajahsora yang digantung karena berupaya melakukan pembunuhan pada paduka saat ia masih berusia 14 tahun. Pedang yang sedikit lebih panjang namun lebih kurus dengan ukiran seperti liukan sungai di sarungnya dan bergagang berwarna hitam diberi nama pedang Jayasri, pedang yang ditempa oleh penempa besi khusus keluarga istana, Datu Buranda, pedang ini tak pernah digunakan dalam pertempuran, seperti namanya pedang ini hanya digunakan Paduka saat menyambut atau melepas pasukannya dari dan ke medan perang. Pedang ketiga dibe
Brata hanya satu tahun lebih muda dariku, wajah kami memang sangat mirip hingga banyak yang mengira kami saudara kembar, walaupun faktanya kami tidak kembar. Orang tua kami meninggal saat perang Kertasenktra di teluk Zanubar. Ayah kami adalah perwira militer rendah, sedangkan ibu kami adalah anggota pasukan pemanah kerajaan Martadipura. Mereka dipertemukan di medan perang dan dipisahkan di medan perang pula. Kami masih sangat kecil saat menyadari bahwa orang tua kami harus pergi selamanya. Maharaja Wulau Benggala lalu memerintahkan setiap anak yatim akibat perang untuk diberikan Pendidikan terbaik. Kami berdua lantas belajar di padepokan Resi Renjamin Basa, seorang ahli militer, ahli politik, dan pemerhati dunia supranatural, beliau adalah mantan Mentri kerajaan di masa pemerintahan Maharaja Bhakti Jaya Warman yang memilih pensiun dini karena masalah kesehatan, kakinya agak pincang akibat perang dan matanya buta sebelah terkena tombak saat di medan perang. Namun ia masih bisa menemba
Menjelang pagi… Obor-obor yang menempel di dinding gua itu masih setia melemparkan cahaya dari lidah api yang menyala di atasnya. Udara dingin menjadi sedikit hangat menjalar di sekujur permukaan gua suci itu. Tak ada suara makhluk malam apapun yang terdengar, tak ada deru angin yang menembus hingga ke dalam sana. Hanya ada suara nafas dan bisingnya lemparan ekor mata para pelarian yang tertuju pada sosok pria muda dengan pakaian compang camping beserta sebuah kalung permata di genggamanya, di sebelahnya Sutha dan Rukmana tak tahu harus berekspresi seperti apa dalam segala kebingungan ini. Sedangkan Ampu Estungkara duduk kembali ke peraduannya sambil menatap pria muda itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Bayu, pria muda itu tampaknya tak begitu senang dengan tatapan gurunya itu, ia menoleh ke berbagai arah untuk mengusir rasa risihnya, namun yang ia temui justru tatapan aneh pula dari orang-orang lainnya, termasuk Cadudasa. Bayu merasa makin tak nyaman. Ia kini menunduk. Ampu Estun