Seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahun tampak menangisi jenazah ayahnya yang terbujur kaku di pelukan ibunya. Bocah itu terisak dalam rangkulan Sandanu yang tampak lebih muda dari terakhir kali Bayu bertemu dirinya di Bukit Kapur. Sandanu tampak menggenggam erat trisulanya dengan pandangan penuh amarah ke arah sosok pria yang berdiri dengan angkuh di depannya.
Sandanu lantas bangkit dan siap menyerang pria yang hanya terlihat punggungnya itu oleh Bayu.
“Aku bersumpah, akan membunuhmu......”
..............................
Bayu terbangun dari tidurnya, tepat sebelum Sandanu menyebut nama sosok pria tadi di mimpinya.
Peluh mengucur dari keningnya menandakan bahwa ia agak syok dengan mimpi yang barusan ia alami. Ia lalu mengatur nafasnya yang agak tersengal, sambil meraih sebotol minuman yang ia taroh di sampingnya. Ia mencoba menetralkan kembali jiwanya yang seolah tercerai berai karena pengalaman tidak menyenangkan tadi.
Mimpi itu, tentang kehidupan bocah berusia 7 tahunan bersama kedua orang tuanya sudah berkali-kali mengusik tidurnya. Lebih tepatnya sejak ia menyimpan Pusaka Gajahsora. Entah ada hubungannya atau tidak tapi ia merasa ada sesuatu yang tak wajar yang terjadi antara dirinya dan pusaka legendaris itu.
Bayu menatap ke jendela kamar penginapannya dini hari itu, perlahan dibukanya gorden cokelat yang melingkupi kacanya. Mobil-mobil, motor, dan kendaraan lain mulai berseliweran meskipun dengan volume yang masih amat sedikit. Menikmati pemandangan dunia awam yang sudah empat tahun lebih tak pernah ia lihat lagi ini ia harapkan dapat mengalihkan benaknya dari mimpi aneh berulang yang baru saja ia alami.
Kota Palangka Raya, kota kelahirannya.
Ia baru memasuki dunia awam, atau tepatnya Kota Palangka Raya tadi sore setelah dengan susah payah mencari pertemuan dua warna kabut yang disebut oleh pemilik penginapan di Muara Dipa, tempat terakhir ia menginap bersama Ayunda, Ratu Ayunda.
Mengingat Ayunda adalah membangkitkan kembali kenangan beberapa bulan menjalani petualangan tak ternilai bersama penguasa cantik dari negeri Danta itu. Ia tak pernah menduga sebelumnya bahwa suatu saat ia akan jatuh hati kepada perempuan yang lebih tua daripada dirinya, seorang kepala negara bahkan. Lebih dari itu ia tak pernah menduga jika perasaan cintanya harus dibalas dengan kesendirian setelah sang Ratu memutuskan untuk pergi entah ke mana, mungkin kembali ke negerinya, atau hal lain. Yang jelas itu cukup untuk membuat ulu hatinya perih.
Selepas kepergian Ayunda, Bayu melanjutkan perjalanan sendirian. Berbekal dengan kemampuan yang ia miliki, ia mencoba bekerja di sebuah tempat penempaan pedang dengan menggunakan nama samaran Sutha. Ya, kali ini ia memakai nama sahabatnya. Hanya beberapa pekan bekerja di sana, ia mendengar jika Anarbuana dan pasukannya sedang mencari keberadaanya, ia lantas dengan nekad mengambil beberapa uang majikannya untuk biaya melanjutkan perjalanan, lalu ia kembali ke penginapan Muara Dipa dan menukar uang tersebut dengan uang yang bisa digunakan di dunia awam, karena ia pernah mendengar dari Ampu Estungkara jika hampir di semua penginapan di dunia di balik kabut menyediakan penukaran uang dengan uang dunia awam atau sebaliknya.
Setelah itu ia meminta informasi mengenai tempat keluar masuk dunia di balik kabut dan dunia awam kepada sang pemilik penginapan. Awalnya si pemilik penginapan ragu untuk memberi tahu, namun dengan tambahan beberapa keping uang lagi, ia mendapatkan informasi itu. Tapi hanya sebatas kabut dua warna yang saling bertemu, tak lebih.
Perlu dua hari waktu yang dibutuhkan Bayu untuk menemukan pertemua kabut dua warna itu. Itu pun setelah bertanya ke sana kemari, yang ternyata kabut itu hanya akan ditemukan di tepi pantai, bukit pinus, dan padang rumput luas. Itu pun hanya di waktu-waktu tertentu, biasanya setelah siang atau dini hari menjelang fajar, dan biasanya akan terhubung secara acak di berbagai daerah di pulau Kalimantan, yah bisa dibilang Pulau Kalimantan adalah gerbang utama perbatasan dunia di balik kabut dan dunia awam. Namun jika ingin langsung menuju ke suatu tempat tertentu secara spesifik, maka diharuskan untuk berkonsentrasi sambil membayangkan suatu tempat yang hanya ada di daerah itu, maka kemungkinan untuk langsung sampai ke tempat itu akan sangat terbuka lebar.
Bayu sendiri mencoba membayangkan jembatan Kahayan saat menembus kabut dua warna itu, dan ia berhasil langsung tiba di Kota Palangka Raya, tepatnya di bawah SPBU yang letaknya tak terlalu jauh dari jembatan Kahayan yang ia bayangkan. Meskipun tidak tepat seratus persen dari bayangannya, setidaknya ia sampai di kota yang memang ia tuju, dan sempat menjadi perhatian warga sekitar ketika ia dengan tiba-tiba muncul dari gorong-gorong SPBU. Hal itulah yang membuatnya segera mencari penginapan terdekat dengan uang yang ia miliki agar tak semakin jauh menarik perhatian warga.
Lamunan Bayu tak terasa sudah membawanya ke pukul setengah empat pagi, sebentar lagi fajar akan menyingsing namun perlahan yang justru turun adalah rintik-rintik kecil gerimis yang membasahi kaca jendela kamar penginapannya. Untungnya Bayu telah membeli jaket dan beberapa pakaian manusia awam kemarin malam lewat salah satu pelayan penginapan, jika tidak, ia akan begitu malas menikmati tatapan aneh warga kota dengan penampilan ala sinetron silat yang ia kenakan ketika baru datang kemarin.
Ia berencana akan menemui Sutha dan Rukmana dulu untuk mengetahui kabar mereka, dan barangkali mereka bisa membantu tugas Bayu ini, atau lebih tepatnya ia rindu dua sahabatnya itu. Tidak, tidak hanya itu, Bayu rindu kota ini, ia rindu kontrakannya, ia rindu warung mie ayam yang biasa ia datangi bersama kedua sahabatnya, ia rindu segala hal tentang apa yang ia pernah lakukan di kota ini. Kecuali tentang kepergian kedua orang tuanya tentunya.
Semoga semua hal baik akan menghampirinya hari ini, harap Bayu.
Ia ingin cepat-cepat lepas dari tanggung jawab akan pusaka ini, setelah itu ia akan lihat selanjutnya, tetap berada di kota ini atau kembali mencari Ratu Ayunda.
Jujur, pilihan kedua untuk kesekian kalinya membuat dadanya bergemuruh.
**********************************************************************************************************************************************************************************************************************************
Bayu turun dari ojek yang ditumpanginya sambil memandang sebuah bengkel sepeda yang sangat sederhana di depannya. Bangunannya agak reot dan hanya menggunakan bahan kayu dan papan. Ada tumpukan alat-alat bengkel yang beraneka bentuk dan warna di sana. Tumpukan onderdil sepeda yang Bayu sendiri tak bisa menebak apa saja namanya.
Bayu menengok ke bagian atas bengkel tersebut, sebuah plang tak seberapa besar yang sudah agak berdebu dengan tulisan kusam BENGKEL SEPEDA BAHAGIA.
Tidak ada sepeda yang sedang diperbaiki di sana, mungkin sedang sepi, atau baru buka. Bahkan tak nampak ada satu orang pun di sana yang ia lihat. Ya, memang sejak tadi Bayu hanya berdiri memaku di tempat ia pertama kali turun dari ojek.
Ada rasa ragu, takut, malu, dan aneh yang membuat ia cukup sulit untuk memulai langkah menuju ke sana.
Gerimis masih turun, membasahi jaket dan sebagian pakaian yang dikenakan Bayu. Untungnya wajahnya tak terlalu kecipratan air karena ia mengenakan topi untuk menyamarkan wajahnya barangkali ada mata-mata Adighana yang cukup niat untuk berpatroli di kota ini, meskipun pilihan mengenakan topi di cuaca seperti ini adalah pilihan yang kurang populer rasanya.
Namun sayangnya gerimis yang terus membasahi pakaian Bayu tak membuatnya bergeming untuk melangkah mendekati bengkel itu, ia terus mematung. Dibiarkannya saja percikan gerimis menampar-nampar tubuhnya.
Sampai akhirnya muncul seorang pria bertubuh agak kurus dari yang terakhir dilihat Bayu, pria itu muncul dari dalam bengkel sambil menyulut rokok, lalu mengambil sebuah kursi plastik dan duduk di sana sambil memandangi jalanan yang diserbu gerimis dengan tatapan penuh penantian.
Namun Bayu masih terdiam tanpa melangkahkan kaki sedikitpun, ia hanya terus menatap pria itu yang justru sama sekali tak balas melihatnya.
Hingga akhirnya pria itu menoleh ke arah Bayu dan cukup lama menatapnya seolah memastikan sesuatu. Bayu yang merasa jika pria itu mencoba menemukan sesuatu dalam dirinya nampaknya memahami kebingungan pria itu. Ia lantas membuka topinya lalu tersenyum hangat.
Pria itu lantas berdiri dan membuang rokoknya sambil terus menatap Bayu kali ini dengan tatapan menyimpan syok, ia seolah ingin mengatakan sesuatu tapi seperti tak yakin dengan apa yang ia lihat.
Bayu perlahan mulai berjalan mendekati pria itu, sementara pria yang didekati tak kehilangan tatapan syoknya, semakin Bayu mendekat seolah semakin besar kekagetan yang melanda pria itu.
Bayu telah berada tepat di depan pria itu dengan pakaiannya yang agak basah diterjang gerimis, senyumnya masih terukir di sana, senyum yang menyiratkan kerinduan yang begitu dalam.
“Kamu...?” pria itu mendesis tidak yakin
“Apa kabar, Sutha?” Bayu mencoba menyapa setenang mungkin.
“Apa kabar, Sutha?” Bayu mencoba menyapa setenang mungkin. Sutha langsung memeluk Bayu dengan erat, disertai tangis pilu rindu dan kepedihan yang tumpah begitu saja. “Ke mana saja kau? Kami pikir kamu sudah mati di perang itu.” cecar Sutha di sela tangisnya yang berusaha sekuat mungkin ia tenangkan sendiri. Bayu tak menjawab langsung, ia lebih memilih membiarkan sahabatnya itu mengatur tangis dan nafasnya yang agak menderu dalam pelukannya. Setelah puas menumpahkan tangis kerinduan dalam pelukan Bayu, Sutha akhirnya melepas pelukannya. “Ke mana kamu empat tahun terakhir ini?” Bayu memilih menarik sebuah kursi plastik dan duduk di sana sebelum menjawab dengan singkat yang sebenarnya juga bukan merupakan sebuah jawaban. “Panjang ceritanya..” “Ceritakan saja. Bengkelku sedang sepi, sepertinya sepanjang hari.... tapi semoga saja tidak. Ya, seenggaknya aku punya waktu panjang untuk ceritamu yang panjang.” “Lebih baik kamu yang harusnya cerita, karena seingatku ini warungnya ibu Ruk
Cadudasa terbangun saat ia merasa ada sengat matahari menerpa wajahnya. Matanya memicing tertimpa cahaya jingga. Dengan kesusahan ia mencoba bangkit dengan rasa nyeri di bagian belakang lehernya, seperti baru dihantam benda keras.Hal pertama yang ia lihat adalah hamparan gurun pasir di seberang tubuhnya, ada pegunungan yang tidak terlalu besar namun seperti mengepulkan asap terlihat samar di sana. Ia cukup jelas mengenal tempat itu sebagai daerah bebas, area terluar yang menghubungkan perbatasan antara negeri Adighana dan negeri Danta, tempat yang disebut sebagai Gurun Kawah Berapi. Tempat di mana terjadinya pertikaian memalukan di dalam pasukan Adighana saat sedang bersiap melakukan serangan ke negeri Danta empat tahun yang lalu. Namun yang cukup membingungkannya adalah untuk apa ia berada di sini?Ia mencoba menengok ke arah lain, seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya sedang melepas tenda kecilnya namun ia bisa memastikan dari sorot mata pria ini bahwa ia adalah orang ya
“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran“Harus diakui, Gusti..” kata Subali, “ini adalah rencana yang sangat nekad namun brilian, bisa memperdaya ratusan prajurit dan orang-orang penting di istana itu adalah sebuah hal yang luar biasa.”“Dan sebuah pengalih perhatian yang bagus dari Subali dengan membakar gudang pangan penjara.” tambah Haruyan.“Bagimana dengan keluargaku? Mereka juga tahu?” Ada nada khawatir dari tanya CadudasaHaruyan menggeleng, “yang tahu rencana ini hanya yang ada di sini.”“Tapi itu justru berbahaya bagi mereka dengan aku kabur dari penjara.”“Justru lebih berbahaya lagi jika mereka tahu atau ikut. Tidak ada satupun bukti yang membuat mereka harus dianggap terlibat oleh pihak istana. Mereka pasti tahu bahwa kami yang melakukannya.” Jawab Haruyan yakin, “Lebih menyenangkan mengetahui diri kami bukan orang yang menghianati pejabat baik seperti anda, Gusti.”“Sebenarnya aku sama sekali tak takut jika takdirku harus berakhir di tiang pancung, d
Dua nama yang disebut oleh Anureksa itu lantas menoleh ke arah Anureksa, ada diam yang sempat terjadi di antara mereka sebelum kemudian mereka saling memeluk melepaskan kerinduan antar sesama saudara di antara ketiganya.Sementara itu para penghuni gua yang lain termasuk Cadudasa dan rombongannya terlihat bingung dengan pertemuan tiga orang dewasa itu, sebelum akhirnya Anureksa yang tampaknya telah puas dengan sensasi pertemuan itu menoleh ke arah Cadudasa dan rombongannya“Mereka Kampalu dan Danur, dua sahabat yang saya ceritakan.” Ia lalu menunjuk para rombongan yang bersama Kampalu dan Danur, “dan ini adalah warga yang selamat dari pembantaian di Desa Jalupang.”Cadudasa dan yang lain menyambut dengan senyum tipis ke arah para rombongan yang dibawa oleh Kampalu dan Danur itu.“Mahapatih Cadudasa kah itu?” Kampalu bertanya pada Anureksa.Anureksa mengangguk.“Jadi bagaimana kalian semua bisa kabur dari tentara Restu Singgih hingga kemari?” Haruyan seolah mewakili pertanyaan yang ada
Bayu menatap tajam ke arah Anarbuana dan pasukannya tanpa menjawab sepatah katapun. “Semoga empat tahun yang berlalu tak membuat kau lupa dengan hubungan hangat kita, Bayu.” kata Anarbuana dingin, “Ingat, kau punya hutang yang harus dilunasi.” Bayu mendekati Anarbuana perlahan, ia cukup yakin dengan langkahnya kali ini ketimbang pertarungan terakhir mereka di gelanggang pesta Putri Paramitha. “Lepaskan mereka berdua” kata Bayu, “Mereka tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita.” “Tentu Bayu, “ jawab Anarbuana cepat, “Tapi ini bukan lagi tentang masalah pribadi kita, lebih rumit rasanya. Mari kuperjelas, aku ingin sesuatu yang kau bawa dan aku yakin kau tahu apa yang kumaksud, dan akan kulepaskan dua orang ini lalu kau ikut bersamaku untuk diadili di Adighana bersama Cadudasa.” Bayu agak kaget ketika nama Cadudasa disebut, sudah cukup lama ia tak mendengar kabar orang yang baik itu, “Ada apa dengan Gusti Cadudasa?” “Misi kudetamu dengan kalung dunia kami itu ternyata membu
Anarbuana juga terdiam, ia seperti merasakan ada kekuatan yang besar sedang merayap dalam sorot mata Bayu yang menahan sakit. Mungkin agak sulit dideskripsikan, tapi sebagai seorang salah satu petarung handal, ia tahu persis kalau lawan di depannya kini sama sekali lawan yang berbeda kemampuannya dengan yang ia hadapi beberapa saat yang lalu. Bayu menggenggam tangannya dan menatap tajam ke arah Anarbuana sebelum dengan cepat menyarangkan sebuah tendangan setengan melompat ke arah anak dari Senopati Darmendra itu. Anarbuana menghindar beberapa senti sambil berupaya menangkis dengan tangannya. Ada rasa nyeri hebat yang menjalar di tangannya akibat tangkisan itu meskipun tak ingin ia akui, namun setidaknya itu membuktikan betapa berbahayanya serangan Bayu barusan. Tak menunggu Anarbuana bernafas dengan tenang, kali ini Bayu kembali mengeluarkan tendangan kerasnya kali ini berhasil menghajar pinggul Anarbuana. Pria itu mengerang kesakitan sambil mencoba membalas dengan tendangan tinggi k
Gerimis yang masih betah turun memukul-mukul kilauan pedang maut macan bulan disertai sambaran kilat di atas langit malam yang menambah kesan seram dari apa yang akan dilakukan Anarbuana. Para prajurit menantikan puncak serangan Anarbuana dengan tegang, mereka tahu jika Bayu tak akan selamat dari serangan itu kali ini. Pun begitu pula yang dirasakan oleh Sutha dan Rukmana yang semakin tak nyaman firasatnya. Dalam cara berdirinya yang tidak sempurna itu, Bayu masih sempat melihat gerakan ancang-ancang dari Anarbuana. Bersamaan dengan itu ia merasa ada getaran yang berasal dari ransel kecil yang sedari tadi menempel di punggungnya, tempat di mana ia menyimpan kalung Gajahsora. Dalam upayanya menahan sakit, pusing, dan sesak di dada karena serangan Anarbuana, ia masih bisa menerka jika ada yang tidak beres yang akan terjadi. Anarbuana berjalan dengan sikap siap menyerang, ketika Bayu merasakan ranselnya semakin bergetar hebat. Ia tahu ia tak akan bisa menghindar atau menangkis serangan
Di dalam gua kawah berapi yang lebar dan besar itu nampak seorang pria tua dikelilingi oleh puluhan orang yang terdiri dari orang dewasa, pria, wanita, remaja, anak-anak, hingga bayi dan balita. Semua orang di sana memperhatikan sang pria tua yang duduk santai bersila di atas sebuah batu seukuran gajah remaja dengan wajah tenang. Ia balas memandangi para pengungsi yang memenuhi guanya itu. Mulai dari para perempuan, anak-anak, hingga para lelaki dewasanya. Termasuk di antara para pemimpin dari dua rombongan yang datang secara terpisah itu, Anureksa, Kampalu, Danur, Subali, Haruyan, dan tentu saja Cadudasa. Khusus Cadudasa, pria itu agak lama menatapnya. Sang mantan mahapatih Adighana sempat balas menatap, namun entah kenapa ia tak berani terlalu lama memandang mata tajam dan tenang si pria tua. Ia lantas menunduk segan. Padahal biasanya ia tak pernah gagal mempertahankan tatapan mata tenang saat beradu pandang. Sang pria tua tersenyum sambil melemparkan ekor matanya ke dinding-dindi
Aku mengetuk pintu ruangan Paduka namun sebelum kulakukan, Paduka telah berseru dengan suara beratnya dari dalam. “Masuk!” Perasaanku langsung tak nyaman. Aku pelan masuk ke ruangannya sambil menunduk, sempat kulihat ia duduk masih dengan pakaian kebesarannya yang belum berganti, sepertinya ia memang sama sekali belum pulang ke kediamannya. Ia lalu mendekat kepadaku. “Mohon ampun, Paduka, saya tidak sempat menyambut kepulangan paduka karena baru selesai mengerjakan laporan bencana banjir….” PLAKKK!! Begitu keras tamparan Paduka Gajahsora hinggap di pipi kiriku dan aku sendiri terhuyung-huyung ke arah pintu sambil meringis kesakitan. Sambil menahan takut, aku langsung bersimpuh di depannya. “Mohon ampun, Paduka, apa gerangan salah hamba hingga Paduka segeram ini?” Sumpah demi apapun, aku tak pernah melihat Paduka semarah ini kepada para pejabatnya. Aku menggigil gemetar ketakutan. “Kau lalai, Estungkara! Aku kecewa padamu!” geram Paduka Gajahsora. “Maafkan jika saya lancing,
Setelah kejadian itu hingga beberapa hari kemudian tak pernah lagi kulihat Purwaca, Brata pun juga mengaku tak pernah lagi melihatnya. Entah di mana sekarang ia berada jujur aku tak peduli, justru yang aku pedulikan adalah bagaimana tanggapan Paduka Gajahsora jika tahu bahwa aku sempat memarahi Purwaca yang notabene adalah anak dari kawannya. Tapi kurasa Paduka juga tak akan ambil pusing, Purwaca adalah pria dewasa yang tau akan konsekuensi dari segala hal yang telah ia lakukan.Namun nampaknya itu tak berlaku bagi Putri Aruna, sang Putri Nampak agak murung dari biasanya selepas menghilangnya Purwaca. Ia tak sesemangat biasanya. Memang ia mencoba tidak memperlihatkan prubahan raut wajahnya namun bukan berarti aku tak tahu bahwa sebenarnya ia merasa kehilangan. Aku mulai khawatir menafsirkan jika itu adalah tanda bahwa Tuan Putri jatuh cinta pada pria itu. Ia masih sangat muda dan sangat berharga. Aku memang tak punya hak untuk mementukan jodohnya, namun jika aku jadi raja, Purwaca sam
Hari itu aku tak melihat Brata sekalipun, biasanya ia selalu menemuiku untuk melaporkan rencana pengawasannya. Kebetulan pekerjaanku juga sudah mulai menipis yang artinya aku bisa menyediakan waktuku untuk menengok Putri Aruna. Biasanya di jam seperti ini Putri Aruna sedang menyulam di pekarangan belakang kediamannya. Aku tau remaja itu senang sekali menyulam benang membentuk suatu kain yang memuaskan hasrat seninya. Namun aku tak menemukan sang Putri ke kediamannya, begitu pun pengawalnya. “Di mana Putri Aruna?” aku mencoba bertanya pada pelayan pribadinya. “Mohon ampun, saya tidak tahu, Gusti. Tuan Putri sejak tadi, bahkan tidak mau ditemani para pengawalnya.” kata si pelayan sambil menunduk takut. “Maksudmu tanpa ditemani pengawal bagaimana?” “Ampun, Gusti. Tadi saya mendengar Tuan Putri pergi dan bilang kepada pengawalnya untuk tak usah mengikutinya.” Aku mulai khawatir. “Sekarang di mana para pengawalnya?” “Ada di belakang, Gusti.” Dengan wajah marah dan tanpa permisi aku
Bayu atau Ganendra Aryasathya merasakan getaran aneh di dalam lambungnya, seperti sesuatu yang besar sedang berusaha menyeruak keluar, terlontar beserta darah yang mengalir dalam nadinya. Ia tak tahu perasaan semacam apa itu, namun nama yang disebut oleh Estungkara itu seperti begitu lekat dengan jiwanya. Benarkah karena itu adalah ibunya? Entahlah, otaknya masih terlalu payah untuk diajak berpikir saat ini setelah menerima fakta-fakta yang enggan ia terima namun seperti ada sisi lain dirinya yang mengakui hal itu. Estungkara sepertinya menangkap ribuan pertanyaan yang menghinggapi para tamunya yang sedang mendengarkan ceritanya itu. Tampak dari wajah kebingungan bercampur penasaran yang menghiasi rona muka mereka disapu cahaya-cahaya temaram dari obor yang menyala. Estungkara tersenyum. “Aku tahu, ada banyak sekali tanya dari kalian semua, tentang kisah apa ini, dan apa hubungannya ini dengan kalian. Tapi bolehkah aku melanjutkan kisah masa laluku itu kembali?” Tak ada yang menjawa
Malam itu adalah kali pertama aku melihat dan bertemu dengan Purwaca, dan aku bersumpah demi para Dewa, tidak pernah kulihat pria setampan dan sesempurna dirinya. Wajahnya putih bersih tanpa noda setitik pun, matanya tajam dan teduh, alisnya melengkung indah bagai liukan sungai yang hanya ada dalam cerita-cerita surgawi, bibirnya tipis dihiasi senyum ramah dan menagih simpati siapapun yang menangkap senyum itu. Tubuhnya tinggi jangkung dengan bahu yang kokoh dan punggung yang seolah diukir dengan pahatan tangan terbaik para Dewa. Dadanya bidang dan perutnya rata dengan tonjolan otot-otot kekar di sana. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam yang tergerai rapi sesekali bergoyang pelan disapu udara yang lewat menyapa helai -helainya. Tak hanya penampilan fisiknya yang memukau, tutur bicaranya juga sangat menyenangkan. Ia begitu lihai memilih kata demi kata, kalimat demi kalimat, dalam memikat lawan bicaranya. Sangat santun dalam bersikap. Dalam kurun waktu beberapa saat berbicara denga
“Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band
Yang pertama kali kulihat ketika masuk ke ruangan kerja Paduka Raja adalah lima bilah pedang yang menempel rapi di dinding ruangan berbahan kayu ulin langka itu. Aku hapal nama-nama dan sejarah pedang-pedang itu, yang bersarung cokelat diberi nama Ardhani, ditempa oleh Laksamana Gulanggang Sedayu, jenderal Angkatan laut yang menghabiskan masa remajanya sebagai seorang penempa besi handal, pedang ini terkenal karena merupakan hasil dari peleburan dua pedang paman Paduka Gajahsora yang digantung karena berupaya melakukan pembunuhan pada paduka saat ia masih berusia 14 tahun. Pedang yang sedikit lebih panjang namun lebih kurus dengan ukiran seperti liukan sungai di sarungnya dan bergagang berwarna hitam diberi nama pedang Jayasri, pedang yang ditempa oleh penempa besi khusus keluarga istana, Datu Buranda, pedang ini tak pernah digunakan dalam pertempuran, seperti namanya pedang ini hanya digunakan Paduka saat menyambut atau melepas pasukannya dari dan ke medan perang. Pedang ketiga dibe
Brata hanya satu tahun lebih muda dariku, wajah kami memang sangat mirip hingga banyak yang mengira kami saudara kembar, walaupun faktanya kami tidak kembar. Orang tua kami meninggal saat perang Kertasenktra di teluk Zanubar. Ayah kami adalah perwira militer rendah, sedangkan ibu kami adalah anggota pasukan pemanah kerajaan Martadipura. Mereka dipertemukan di medan perang dan dipisahkan di medan perang pula. Kami masih sangat kecil saat menyadari bahwa orang tua kami harus pergi selamanya. Maharaja Wulau Benggala lalu memerintahkan setiap anak yatim akibat perang untuk diberikan Pendidikan terbaik. Kami berdua lantas belajar di padepokan Resi Renjamin Basa, seorang ahli militer, ahli politik, dan pemerhati dunia supranatural, beliau adalah mantan Mentri kerajaan di masa pemerintahan Maharaja Bhakti Jaya Warman yang memilih pensiun dini karena masalah kesehatan, kakinya agak pincang akibat perang dan matanya buta sebelah terkena tombak saat di medan perang. Namun ia masih bisa menemba
Menjelang pagi… Obor-obor yang menempel di dinding gua itu masih setia melemparkan cahaya dari lidah api yang menyala di atasnya. Udara dingin menjadi sedikit hangat menjalar di sekujur permukaan gua suci itu. Tak ada suara makhluk malam apapun yang terdengar, tak ada deru angin yang menembus hingga ke dalam sana. Hanya ada suara nafas dan bisingnya lemparan ekor mata para pelarian yang tertuju pada sosok pria muda dengan pakaian compang camping beserta sebuah kalung permata di genggamanya, di sebelahnya Sutha dan Rukmana tak tahu harus berekspresi seperti apa dalam segala kebingungan ini. Sedangkan Ampu Estungkara duduk kembali ke peraduannya sambil menatap pria muda itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Bayu, pria muda itu tampaknya tak begitu senang dengan tatapan gurunya itu, ia menoleh ke berbagai arah untuk mengusir rasa risihnya, namun yang ia temui justru tatapan aneh pula dari orang-orang lainnya, termasuk Cadudasa. Bayu merasa makin tak nyaman. Ia kini menunduk. Ampu Estun