Hancur.
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang sangat dicintai. Terlebih lagi jika orang itu harus meregang nyawa karena menyelamatkan orang terkasih. Begitupun yang dirasakan Lea saat ini. Melihat Zen terkulai lemas dalam pangkuannya sungguh meremukkan hati. Jika bisa mengulang waktu, dia tidak akan melakukan tindakan sok berani dan membiarkan Zen memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari Bram dan Brewster. Namun menyesal pun tak akan mengubah keadaan yang terjadi.
Seluruh tubuh Lea terasa lemas, seolah tak bertulang. Dia meraung, tidak siap jika Zen harus meninggalkannya. Wanita itu bersimpuh seraya mendekap kepala Zen, menjerit, meneriakkan nama pria itu. Sekeras apa pun dia mengguncang tubuh sang suami, nyatanya pria itu tak jua membuka kelopak mata.
“Zen! Buka matamu, Sayang …. Jangan tinggalkan aku …,” rintih Lea yang nyaris tak dapat bersuara lagi.
Siapa pun yang mendengar tangisnya pasti t
Dalam hatinya, Lea mulai menghitung. Degup jantung yang begitu menghentak membuat dadanya kian sesak. Ini gila. Lea belum pernah merasakan jantungnya berdetak secepat ini sebelumnya. Bahkan ketika ketakutannya kepada Bram sedang berada di titik puncak, dia tak pernah merasa seperti ini.Satu gerakan kecil. Ya … hanya butuh satu gerakan kecil dari telunjuknya, maka Lea akan segera bertemu dengan Zen. Wanita itu hanya perlu menggenggam kuat-kuat senjata semi otomatis itu dan menarik trigger-nya. Semudah dan sesederhana itu. Namun kenyataannya, jari Lea terasa kaku, sangat sulit untuk digerakkan.“Aarrgh!” Lea menengadah, menjerit sekencang-kencangnya lantas tertunduk lemas.Wanita itu terus berteriak, memaki dirinya sendiri yang tak bernyali untuk menyelesaikan apa yang harus dia tuntaskan. Dengan senjata yang masih dalam genggamannya, Lea menutup wajah dan meraung sejadinya.“Kenapa aku tidak bisa melakukannya?” sesal w
Duduk di kabin belakang sebuah mobil SUV, Lea menatap kosong ke arah jendela. Beberapa waktu lalu, dia baru saja menginjakkan kaki di dermaga. Seperti yang dikatakan Jhonatan, seseorang datang menjemputnya di superyacht. Sebuah mantel tebal membungkus tubuh indahnya yang terdapat banyak noda darah. Pikiran Lea belum bisa tenang meski Jhonatan mengatakan bahwa pria itu akan menyelamatkan Zen. Masih saja ada ketakutan jika sang suami tidak akan bisa bertahan hingga mereka tiba di tempat yang dituju. Mobil yang ditumpangi Lea terus melaju seolah tanpa hambatan. Entahlah, mungkin karena Lea yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga dia tidak mengetahui situasi sekitar. Dua pria yang duduk di kabin depan pun tak ada yang mengajaknya berbicara atau sekadar menanyakan keadaannya. “Kau akan baik-baik saja, Zen. Aku akan menunggumu kembali. Kita akan bersama lagi, Sayang,” gumam Lea dengan jemari yang saling bertaut dan mata memejam. Banyak sekali doa yang d
Rasa rindu yang kian mencekik membuat Lea tak sabar menunggu Zen kembali. Tahun bahkan sudah berganti, dan Zen tidak juga kembali. Wanita yang tengah duduk di atas tempat tidur itu menitikkan air mata. Di tangannya terdapat sebuah bingkai berisi foto pernikahan. "Aku merindukanmu, Zen," lirih wanita itu seraya mengusap kaca bingkai. Perlahan, pandangan Lea terangkat. Sudah lebih dari 7 bulan semenjak kejadian mengerikan di superyacht itu berlalu. Memang masih menyisakan trauma di dalam diri Lea. Namun, ada hal lain yang lebih membuatnya tersiksa dari sekadar trauma akibat kebengisan Bram, yaitu rasa kehilangan yang dirasakannya. Memang, Jonathan Graham mengatakan bahwa suaminya akan kembali dalam keadaan baik-baik saja. Hanya saja ... keterbatasan komunikasi y
"Ordo Messier." Apa atau siapa itu Ordo Messier? Semakin dalam saja kerutan di dahi Lea. Wanita itu sama sekali tidak pernah mendengar nama itu. Sekalipun tidak pernah. "Ordo ... Messier?" "Iya, Nyonya." Arthur mengangguk mantap. "Jadi ... apa atau siapa?" telisik Lea ingin tahu dengan bahu terangkat. Arthur menggeser posisi duduk, menjauhkan punggung dari sandaran kursi. Satu sikunya bertumpu pada meja. Pemilik tatapan setajam elang itu menyorot serius pada Lea yang menunggu jawaban darinya. "Illuminati, Freemason, Bilderberg, Skull and Bones ... pernah mendengar nama-nama itu?" Arthur melempar pertanya
Langkah kaki mengentak tegas dengan gema yang mengalun ganas menyusuri selasar menuju sebuah ruangan di mana beberapa orang dengan outfit berkelas tengah duduk mengitari sebuah meja berbentuk oval yang tepat berada di tengah-tengah ruangan. Persis di bawah chandelier mewah yang membuat ruangan itu terlihat begitu elegan dan indah.Beberapa penjaga yang berdiri di kanan dan kiri pintu membungkukkan badan, memberi hormat ketika pria dengan setelan jas putih—seputih rambut dan jambang yang menghiasi wajahnya itu memasuki ruangan.Dua pengawal yang berjalan di belakang pria itu memberi isyarat agar pintu segera ditutup rapat, sesaat setelah si pria berjambang itu memasuki ruangan. Sementara seorang pengawal mengikuti sang tuan masuk ke ruangan tersebut, seorang pengawal yang satunya lagi tampak berdiri di depan pintu dengan sikap waspada untuk mengawasi situasi di sana.“Perjetesi per vellain tim.”Semua orang yang ada di ruangan it
Sudah sejak satu minggu yang lalu, Zen terbangun dari tidur panjangnya. Beruntung dia terbangun di saat penjagaan di ruang perawatan itu sedang longgar. Dalam keadaan setengah sadar, Zen mendapati dirinya berada di tempat asing dengan berbagai macam alat penunjang kehidupan yang menempel di tubuhnya. Ventilator yang dipasang pada saluran pernapasan, menimbulkan rasa tidak nyaman yang sangat mengganggu. Membuat rongga hidung hingga ke paru-paru terasa seperti terbakar. Ruangan itu terlihat lengang ketika terjadi pergantian penjaga. Zen memiliki kesempatan beberapa saat untuk berusaha mengenali tempat tersebut. Semula, dia mengira sedang berada di fasilitas kesehatan yang ada di mansion. Namun ketika memperhatikan lagi ruangan itu dengan seksama, Zen sangat yakin bahwa dirinya tidak sedang berada di rumahnya. Dia berada di suatu tempat yang sepertinya belum pernah dia kunjungi sebelum ini. Sesaat setelah itu, seorang penjaga masuk. Insting Zen untuk bertahan hidup memb
“Jangan bergerak!”Seketika itu Zen menghentikan gerakan. Paham akan bahaya yang mengancam, Zen memutar posisi pisau di tangan secara diam-diam. Menyembunyikannya di bagian dalam tangan agar orang yang berdiri di belakangnya tidak melihat.“Rob,” ujar si Penjaga ketika melihat rekannya menggelepar di atas kubangan darahnya sendiri.Kondisi sang rekan yang mengenaskan, membuat penjaga itu sedikit gemetar. Bagaimana tidak? Lihat saja napasnya yang tersengal, lalu sklera yang terlihat memutar ke atas dengan kerjapan kelopak mata yang begitu cepat. Sungguh mengenaskan! Siapa yang tidak akan gemetar ketika melihat kawannya dalam keadaan semacam itu?Melihat celah kesempatan yang tercipta, Zen melirik bayangan penjaga yang berdiri di belakangnya. Saat ini, masih terlihat penjaga itu menoleh ke arah kawannya yang telah dia lumpuhkan.Zen memutar badan dengan cepat, bersamaan dengan sikunya yang menangkis tangan si Pen
Sepanjang yang dapat dilihat oleh Zen hanyalah kegelapan. Bermandikan cahaya dari bulan yang tertutup oleh rimbunnya pepohonan di sekitar. Bayangan daun yang meghalangi sinar rembulan tampak bergoyang-goyang, seperti roh hutan yang sedang menari oleh tiupan sang bayu. Namun dia tidak dapat berhenti. Kakinya harus terus berlari agar orang-orang di belakang sana tidak dapat mengejar.“Aargh!” Zen mengerang, menggeram menahan sakit yang dirasa di tungkai kaki. Gesekan sepatu boots dengan permukaan kulitnya yang tidak dilapisi kaus kaki membuat pria itu merasakan perih dan panas yang menyiksa. Hingga akhirnya Zen memutuskan untuk melepas sepatu tersebut dan berlari dengan bertelanjang kaki.“Hutan tidak akan membunuhku, karena satu-satunya yang dapat membunuhku hanyalah dirimu, Sweet Cake.”Zen mengubur sepatu dengan dedaunan untuk menghilangkan jejak. Meski hal tersebut akan sia-sia saja jika mereka
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na