“Jangan bergerak!”
Seketika itu Zen menghentikan gerakan. Paham akan bahaya yang mengancam, Zen memutar posisi pisau di tangan secara diam-diam. Menyembunyikannya di bagian dalam tangan agar orang yang berdiri di belakangnya tidak melihat.
“Rob,” ujar si Penjaga ketika melihat rekannya menggelepar di atas kubangan darahnya sendiri.
Kondisi sang rekan yang mengenaskan, membuat penjaga itu sedikit gemetar. Bagaimana tidak? Lihat saja napasnya yang tersengal, lalu sklera yang terlihat memutar ke atas dengan kerjapan kelopak mata yang begitu cepat. Sungguh mengenaskan! Siapa yang tidak akan gemetar ketika melihat kawannya dalam keadaan semacam itu?
Melihat celah kesempatan yang tercipta, Zen melirik bayangan penjaga yang berdiri di belakangnya. Saat ini, masih terlihat penjaga itu menoleh ke arah kawannya yang telah dia lumpuhkan.
Zen memutar badan dengan cepat, bersamaan dengan sikunya yang menangkis tangan si Pen
Sepanjang yang dapat dilihat oleh Zen hanyalah kegelapan. Bermandikan cahaya dari bulan yang tertutup oleh rimbunnya pepohonan di sekitar. Bayangan daun yang meghalangi sinar rembulan tampak bergoyang-goyang, seperti roh hutan yang sedang menari oleh tiupan sang bayu. Namun dia tidak dapat berhenti. Kakinya harus terus berlari agar orang-orang di belakang sana tidak dapat mengejar.“Aargh!” Zen mengerang, menggeram menahan sakit yang dirasa di tungkai kaki. Gesekan sepatu boots dengan permukaan kulitnya yang tidak dilapisi kaus kaki membuat pria itu merasakan perih dan panas yang menyiksa. Hingga akhirnya Zen memutuskan untuk melepas sepatu tersebut dan berlari dengan bertelanjang kaki.“Hutan tidak akan membunuhku, karena satu-satunya yang dapat membunuhku hanyalah dirimu, Sweet Cake.”Zen mengubur sepatu dengan dedaunan untuk menghilangkan jejak. Meski hal tersebut akan sia-sia saja jika mereka
Tidak ada yang berani mengambil senjata tersebut. Setelah mengganti pakaian Zen dengan yang bersih, mereka segera meninggalkan pria itu di sofa. Membiarkannya tetap tidak sadarkan diri demi keselamatan mereka sendiri.Sepasang suami dan istri itu duduk dengan gusar di meja makan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah mereka memanggil Sheriff? Jelas-jelas pria yang telah mereka selamatkan itu membawa senjata api. Seseorang dengan dua pucuk senjata api pastilah bukan orang sembarangan.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hale—si Istri sambil meremas jemari dan sesekali menengok ke arah ruang tamu.Pria bernama James itu menjilat bibir. Tidak ada gunanya juga menyesali apa yang telah terjadi. Mereka sudah terlanjur membawa pria berbahaya ini ke rumah. Jadi sekarang mereka harus menyelesaikan masalah ini. Berpikir kerasa bagaimana caranya agar ketika pria asing itu terbangun, tidak akan membawa bahaya untuk mereka.“Kurasa seb
Dengan uang 200 Dollar dan sebuah truck tua, Zen tidak akan bertahan untuk tiba di Brownsville. Oleh sebab itu, dia harus mencari cara lain agar bisa menghubungi Arthur. Dia juga harus berhati-hati karena bisa saja dia tertangkap oleh orang-orang yang mengejarnya. Siapa orang-orang itu, Zen sama sekali tidak memiliki petunjuk.Truck yang dikendarai Zen menepi di depan sebuah kedai. Bangunan satu lantai dengan dinding bagian depan terbuat dari kaca yang di atapnya terdapat neon box bertuliskan “24 hours” dengan dua makna sekaligus. Kedai bernama 24 Hours yang buka selama 24 jam.Hari masih gelap, masih terlalu pagi untuk sebuah perjalanan panjang. Pria itu turun dari truck lantas masuk ke kedai tersebut. Zen perlu sesuatu untuk menghangatkan tubuh sekaligus mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk berkomunikasi dengan orang kepercayaannya.“Selamat pagi. Selamat datang di 24 Hours, Tuan,” sambut seorang pria, pemilik kedai yang terlihat
Beberapa waktu sebelumnya, Arthur yang baru saja kembali dari Meksiko dikejutkan oleh sebuah helikopter yang bertengger angkuh di halaman mansion.Tidak! Helikopter itu bukan milik Zen, karena properti milik tuannya itu masih bertengger gagah di helipad. Ini adalah helikopter asing yang belum pernah Arthur lihat sebelumnya. Entah milik siapa, Arthur pun tidak tahu.Sebuah keteledoran ketika Arthur membiarkan ponselnya dalam keadaan tidak aktif karena kehabisan daya. Entah sebuah kebetulan atau memang takdir yang harus berjalan seperti ini. Arthur kembali ke mansion saat dini hari dan disambut dengan kehadiran tamu tak diundang yang sepertinya cukup berpengaruh.Rasa penasaran membuat Arthur melebarkan langkah. Pria itu mengkhawatirkan keadaan Lea. Jika sampai terjadi hal buruk pada wanita itu, maka Arthur tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Langkahnya begitu tergesa. Arthur memasuki mansion. Di mana para penjaga terlihat berdiri di depan pintu utam
Semula Arthur berniat untuk memberitahu Lea mengenai Zen yang kemungkinan telah lolos dari Ordo Messier. Namun dia mengurungkan niat tersebut karena khawatir Lea akan terlalu memikirkan hal ini. Arthur menduga, kedatangan Jonathan ke mansion disertai dengan ancaman yang pria itu berikan, semuanya berhubungan dengan panggilan yang masuk ke nomor khusus miliknya. Ini juga yang membuat Arthur mengurungkan niat untuk memberitahu Lea tentang Zen. Semakin sedikit informasi yang Lea ketahui, maka akan semakin kecil risiko bahaya yang mungkin akan terjadi pada wanita itu. "Arthur? Apa yang kau lakukan di sini?" Kedatangan Lea yang tiba-tiba membuat Arthur terkejut. "Oh, saya ...." Netra Arthur bergulir menghindari bersitatap dengan Lea untuk mencari jawaban yang tepat. "Sedang mencari dokumen, Nyonya." Pria itu menunjuk lemari tempatnya mengambil ponsel yang kebetulan saat itu masih dalam keadaan terbuka. "Apa yang Nyonya lakukan di sin
Setibanya di New Orleans, Zen meninggalkan mobil beserta dua anak muda yang mabuk itu begitu saja. Uang yang dia kantongi—sumbangan tidak suka rela dari dua anak muda itu, cukup untuk bersenang-senang sebantar sembari menunggu Arthur.Beberapa waktu lalu, dia melihat penampilannya sendiri pada kaca display sebuah toko pakaian. Dan … sungguh, Zen tidak pernah merasa penampilannya lebih buruk dari ini. Jambang yang menghiasi wajahnya tampak begitu lebat dan tak beraturan, seperti rumput liar yang tumbuh subur pada saat musim semi. Rambutnya pun tampak sedikit panjang dengan potongan yang terlihat asal-asalan. Hingga akhirnya dia masuk ke salah satu barber shop untuk merapikan penampilan.Yang benar saja! Zen tidak akan kembali pada Lea dengan penampilan semacam itu. Di mana harga dirinya sebagai seorang mafia jika dia harus kembali dalam keadaan seperti gembel?Setelah wajahnya bersih, Zen tersenyum tipis. Terlalu lama tertidur, rupanya
Setelah beberapa langkah, Arthur segera memimpin jalan. Pria itu berjalan lebih cepat menuju tempat dirinya memarkir mobil. Zen tidak akan bertindak ceroboh dengan langsung mengikuti Arthur. Pria itu berjalan ke arah yang lain, mencari tempat di mana dia bisa menghilang dari orang-orang yang dia curigai sebagai penguntit.Dirinya dan Arthur memang seperti memiliki ikatan batin yang kuat. Hanya dengan sebuah kode saja, Arthur sudah bisa menebak apa yang dipikirkan oleh tuannya. Hingga tak butuh usaha yang terlalu keras bagi pria tersebut untuk menjemput Zen di tempat yang sepi, di mana Zen sudah bisa menghindar dari orang-orang yang dia curigai.Tanpa keluar dari mobil, Arthur memiringkan badan lantas membuka pintu untuk Zen. Tuannya itu langsung masuk dan menutup pintu mobil yang bahkan tidak benar-benar berhenti untuk membiarkan Zen memasukinya.“Kau lihat dua orang di sana?” Zen menurunkan ujung topi, duduk dengan posisi lebih rendah, lalu menggera
Untuk bisa terbebas dari Jonathan atau Ordo Messier, Zen menghindari daerah perkotaan untuk singgah. Pinggiran Portland menjadi pilihan.Mobil yang membawa Zen dan Arthur berhenti di depan sebuah rumah. Si Pemilik yang kebetulan baru saja keluar dari rumah tampak terkejut dan seketika itu tegang saat melihat mobil yang begitu familier berhenti di depan rumahnya.Sambil memeluk kardus berisi beberapa peralatan untuk melukis, pria bertubuh kurus tersebut menunggu penumpang mobil itu turun. Tidak berani bergeser dari tempatnya berdiri.“Kau terlihat sangat sehat, George,” sapa Zen dengan senyum lebar yang mengembang di bibir. Pria itu berjalan menaiki anak tangga menuju teras rumah dengan kedua tangan yang masuk ke saku. Santai tapi cukup membuat si Pemilik rumah gemetar.Di belakangnya, Arthur turut mengulas senyum meski tidak selebar Zen.Namun tak begitu dengan pria bernama George tersebut. Pria itu justru terlihat sangat tertekan denga
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na