Tiva baru bangun ketika mendengar suara meteran listrik yang berteriak-teriak ikut memberitahu tetangganya jika dirinya sedang menderita di akhir bulan.
"Astaga, apa kau tidak tahu ini baru tanggal berapa? tunggu empat hari lagi aku baru gajian!"
Tiva langsung memencet tombol merah sambil bilang, "Husttt... jangan berisik, kau membuatku malu!"
Belakangan ini Tiva memang semakin sering bicara dengan kulkas, meteran listrik, bahkan 'rice cooker' yang lupa dia pencet tombol merahnya. Kemarin sore Tiva sudah sangat lapar ketika pulang dari bekerja, biasanya dia memang hanya akan membeli sayur dan lauk. Tapi kenapa pas mau makan dan membuka tempat penanak nasi, ternyata nasinya masih tetap berwujud beras.
Tinggal di rumah seorang
Tante Ria tetangga depan rumah Tiva pagi-pagi sudah datang untuk mengantarkanmakanan."Wah, terimakasih, Tante. Kebetulan Tiva belum masak." Padahal biasanya Tiva memang tidak pernah masak dia lebih sering membeli makanan karena ia cuma tinggal sendiri dan tidak banyak makan sampai harus masak sendiri."Bang Dion ulang tahun, jadi hari ini Tante banyak masak, nanti siang teman-temannya mau pada datang Tiva juga boleh ikut datang.""Tiva masuk kerja siang, Tante. Sampaikan saja salam Tiva sama bang Dion.""Tentu, Sayang. Tante pulang dulu, ya, hati-hati di rumah sendirian jangan lupa mengunci pintu.""Ya, Tante, terimakasih." Tiva tersenyum dan mengantar tante Ria sampai ke pint
Malam sudah larut tapi Tiva masih bersila di atas ranjang belum bisa berbaring karena memikirkan satu kotak penuh berisi uang yang baru dia masukkan ke bawah kolong tempat tidurnya. Tidak ada pesan atau nama apapun dalam kotak tersebut. Jika itu hanya paket yang salah dikirim oleh kurir harusnya ada alamatnya. Yang ada sekarang Tiva malah semakin takut. Takut jika itu uang hasil kejahatan yang nyasar di teras rumahnya.Tiva sempat berpikir untuk melaporkanya ke kantor polisi, tapi kotak itu bukan benda yang tidak sengaja dia temukan di jalanan. Yang jelas ada yang meletakkan di teras rumahnya. Tiva takut jika nanti pemiliknya kembali dan hendak mengambilnya lagi, mungkin sebaiknya dia menyimpannya dulu siapa tahu nanti ada yang mencari. Tapi tetap saja jumlahnya itu yang membuat Tiva takut. Tiva sendiri tidak menghitung berapa pastinya. Besar kotak tersebut sekitar empat puluh cm persegi
Tidak tahu kenapa Tiva jadi penasaran dan mendekati tempat sampah tersebut karena plastik yang biasanya dia gunakan untuk menampung sampah juga tidak ada padahal kemarin Tiva yakin sudah memasangnya. Dia putar lagi penutup tempat sampahnya untuk ia balik dan ..."Oh, sial!" Tiva sampai kembali menjatuhkan tutup tepat sampahnya dengan berisik dan berjingkat sendiri seolah sedang melihat satu kantong belatung di tempat sampahnya. Padahal jelas sekali itu uang, uang yang sepertinya lebih banyak dari yang kemarin.Siapapun yang meletakkan uang tersebut dia sengaja membalik tutup tempat sampahnya agar Tiva memeriksanya. Karena saat terbalik tempat sampahnya tidak bisa di buka dari atas.Tiva terduduk kembali di meja makan masih sambil memandangi tempat sampah di depannya. Tiva tidak h
"Kemarilah, Sayang," panggil tante Marini begitu melihat Tiva yang baru turun dari boncengan motor putranya."Rio sudah bercerita mengenai rencana kalian dan kami semua ikut senang sekali mendengarnya.""Sebenarnya aku dan Rio juga baru membahasnya beberapa minggu ini, Tante.""Kau tidak perlu khawatir, nanti kami yang akan mengurus semua keperluannya."Tiva memang sudah tidak memiliki siapa-siapa, otomatis tidak ada keluarga untuk melamar gadis itu atau mengurus pernikahannya."Rencananya juga masih tahun depan, Ma. Tiva tidak mau buru-buru." Rio yang baru kembali dari memasukkan motornya ke dalam garasi langsung menyusul dan ikut menyela.
"Kau yang membawanya, kau yang mengajaknya di mana dia sekarang?" Tiva masih menatap pria tinggi besar di depannya yang tidak bergeming. "Apa dia juga masih hidup dan akan pulang?""Tiva, maafkan aku."Sepertinya Nathan juga tidak sanggup jika terus mendapatkan pertanyaan seperti itu. Dia berjalan mendekati Tiva kemudian ikut duduk di sebelahnya untuk bicara pelan-pelan."Kami tidak mengalami kecelakaan seperti yang diberitakan. Tapi kami dihadang di tengah jalan dan ditembaki seperti binatang. Alif sudah tidak ada demikian juga dengan yang lainya."Nathan berhenti sebentar untuk menunggu reaksi Tiva, karena gadis itu memang harus mendengarkannya dan tahu kebenarannya."Tapi ka
Sekitar jam sebelas Tiva mendengar motor Rio berhenti di halaman. Tiva bergegas turun dari kamarnya. Padahal tidak biasanya Rio datang di jam-jam seperti ini. Tiva juga segera membuka pintu sebelum Rio mengetuk."Tiva!" Rio agak terkejut melihat Tiva yang sehat dan segar bugar."Tadi aku ke tempat kerjamu dan mereka bilang kau sakit."Selain masih berpakaian lengkap dari kantor, Rio juga membawa makanan tapi sepertinya bukan nasi uduk lagi. Belakangan ini Rio sudah jarang membelikannya nasi uduk, karena uangnya sudah lebih banyak.Tiva mengajak Rio masuk. "Kau bolos?""Kau juga!" balas Rio."Tadi pagi aku agak kurang enak badan kare
Sebagai yang ke 4, Nathan termasuk yang memiliki perkembangan paling sempurna dibanding yang lain. Nomor satu adalah Erick seorang jenius dan ahli beladiri dengan kelebihan kecepatannya dan sangat gesit dengan tubuh ramping. Pertumbuhan tubuhnya memang tidak sesempurna yang lain. Eric agak kecil dan pendek dengan rambut gelap serta mata sipit. Nomor dua Jack si ahli menembak dan dapat memulihkan diri dari luka dengan cepat. Nomor tiga Tristan saudara kembar Jack dari hasil pembuahan buatan yang ditanamkan pada inang berbeda. Tristan memiliki kelebihan dalam kekuatan fisik, cepat menyembuhkan diri dan dapat bertahan hidup dengan jumlah oksigen tujuh puluh lima persen lebih kecil dari manusia normal sama seperti Nathan, dan yang ke empat Nathan.Nathan dianggap memiliki perkembangan yang paling sempurna. Dia tidak hanya memiliki kekuatan fisik yang hampir ajaib tapi dia juga memiliki
"Bagaimana kau bisa naik ke sisni?""Melompat," jawab Nathan sambil menyeringai nyeri dan Tiva juga tidak paham dengan apa yang dimaksud Nathan dengan 'melompat' karena balkon kamarnya hampir setinggi empat meter.Tiva masih terlalu bingung untuk berpikir masuk akal apa lagi dia juga malu karena cuma mengenakan handuk. Tapi Nathan kelihatanya sedang sangat kesakitan untuk menghiraukan ketelanjangannya."Oh, masuklah." Dengan mengabaikan rasa malunya Tiva membantu Nathan berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam kamar."Tunggu sebentar aku akan berpakaian."Nathan berbaring di atas ranjang menahan rasa kejang di kakinya yang semakin menjalar. Nathan harus segera mengelu