"Bagaimana kau bisa naik ke sisni?"
"Melompat," jawab Nathan sambil menyeringai nyeri dan Tiva juga tidak paham dengan apa yang dimaksud Nathan dengan 'melompat' karena balkon kamarnya hampir setinggi empat meter.
Tiva masih terlalu bingung untuk berpikir masuk akal apa lagi dia juga malu karena cuma mengenakan handuk. Tapi Nathan kelihatanya sedang sangat kesakitan untuk menghiraukan ketelanjangannya.
"Oh, masuklah." Dengan mengabaikan rasa malunya Tiva membantu Nathan berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.
"Tunggu sebentar aku akan berpakaian."
Nathan berbaring di atas ranjang menahan rasa kejang di kakinya yang semakin menjalar. Nathan harus segera mengelu
Sepertinya Nathan tetap memerlukan beberapa hari untuk pemulihan dan sementara dirinya harus bersembunyi dulu di rumah Tiva."Maaf karena aku merepotkanmu."Nathan sudah pindah di kursi sementara Tiva mengganti seprai di ranjangnya dan masih harus mengepel lantai kamar serta balkon yang masih banyak berceceran darah. Gadis itu menoleh pada Nathan dan hanya tersenyum."Cepatlah sembuh, Bang.""Abang mau makan apa?" tanya Tiva. "Nanti biar aku beli makanan sekalian, karena aku tidak pandai membaut makanan.""Apapun yang juga kau makan." Sebenarnya Nathan tidak lapar dan juga tidak sedang ingin makan apapun karena melihat Tiva seperti itu.
Tiva kembali dengan membawa beberapa gulung perban serta membeli sarapan untuk mereka berdua. Nathan sedang menyaksikan siaran berita di televisi dan langsung mematikannya ketika melihat Tiva masuk rumah."Abang mau sarapan dulu atau kubantu mengganti perbannya dulu?" Gadis itu memberi pilihan sambil mengangkat kedua kantong pastik di tangan kanan dan kirinya bergantian."Makanlah dulu aku bisa melakukanya sendiri""Sebaiknya kubantu dulu."Tiva meletakkan dua kotak sarapannya ke atas meja makan kemudian kembali untuk menghampiri Nathan yang masih duduk di sofa ruang tengah. Tidak lupa Tiva kembali dengan membawa gunting serta handuk kecil yang sudah dia basahi.Masih banyak be
"Apa kau mau kubuatkan kopi lagi?" tanya Tiva pada Natha yang dari tadi hanya duduk memindah-mindah chanel televisi."Aku tidak akan bisa tidur jika kau membuatkanku kopi tengah malam begini."Sebenarnya Tiva hanya tidak tahu apa yang harus dia tawarkan setelah makan malam, karena dari tadi bang Nathan memang hanya memindah chanel tanpa memperhatikan isi beritanya."Besok saja bangunlah pagi-pagi dan buatkan aku kopi."Nathan menoleh Tiva yang dari tadi juga ikut duduk menyimak siaran televisi yang cuma berkelebat di matanya tanpa bisa disimak. Tiva memang tidak pernah paham dengan apa yang sedang diperhatikan Nathan. Karena Jane memiliki otak yang sangat canggih, bahkan dia bisa meretas beberapa chanel internasional jika ingin mengirimkan kode pesan."Tidurlah, Tiva, kau tidak harus menemaniku bergadang." Nathan kembali menoleh gadis di sampingnya.Setelah beberapa hari tinggal bersama Nathan jadi tahu jika gadis itu kadang tidak beda jauh
Tinggal satu bulan lagi Tiva dan Rio akan melangsungkan pernikahan. Tante Marini sudah berulang kali berpesan pada Tiva agar tidak ikut pusing memikirkannya. Tapi nyatanya Tiva tetap saja tidak bisa. Tiva sudah berusaha melacak kembali keberadaan keluarganya, meskipun hanya keluarga jauh tapi Tiva ingin sekali agar ada yang bisa hadir di hari pernikahannya nanti. Rio juga sudah berusaha membantunya tapi tetap tidak ada kontak yang bisa Tiva hubungi. Ternyata sendirian di saat seperti ini rasanya juga mengenaskan. walaupun ada keluarga besar Rio tapi tetap saja Tiva sedih karena tidak memiliki siapa-siapa di hari pernikahannya. Untuk beberapa prosesi nantinya memang akan ada pihak dari keluarga Rio yang menggantikan, hanya sebagai formalitas dan pelengkap agar tidak terlihat timpang.Seharian ini Tiva pergi fitting untuk semua gaun pengantin bersama calon ibu mertuanya, dia akan mengenaka
Nathan sedang berada di tengah keramaian ketika meraba tengkuknya yang ternyata tidak berdarah. Padahal tadi dia yakin ada sesuatu yang menembusnya. Bahkan tudung hoodie-nya juga berlobang. Nathan segera mencari selah di antara keramaian untuk cepat-cepat kembali masuk ke dalam mobilnya. Dia ingin memastikan karena memang tidak ada apa-apa yang ia rasakan. Setelah dia lihat melalui kaca spion ternyata memang ada bekas sengatan merah tepat di tengkuknya. Nathan pikir mungkin karena pelurunya terlalu kecil sehingga hampir tidak terasa apa-apa, atau memang daya tahan tubuhnya yang terus berkembang meredam rasa sakit seperti yang dijelaskan Jane kemarin. Karena tidak sakit Nathan mengabaikannya dan segera mencengkram kemudi melajukan mobilnya.*****Tiva sudah berhenti bekerja sejak seminggu yang lalu, jadi dia hanya berada di rumah seharia
Setelah memeriksa kembali tubuh Tiva, Nathan langsung merasa sangat buruk, rasanya sulit dipercaya dirinya tega berbuat seperti itu. Bukannya Nathan tidak ingat sama sekali, Nathan sadar dengan apa yang dia lakukan tapi keinginannya sedang terlalu besar untuk dapat dia hentikan sendiri. Bukan cuma sekedar seperti kebutuhan mendesak yang sedang tidak dapat dibendung atau ditunda tapi Nathan juga merasa tubuhnya sangat panas ototnya menegang dan tidak bisa ia kontrol lagi.Diam-diam Nathan meraba bekas sengatan di tengkuknya, rasanya memang tidak sakit karena setelah itu Nathan hanya ingat dirinya sedang mencengkram kemudi dan tidak tahan untuk segera menemukan seseorang. Nathan sendiri juga tidak mengerti kenapa dirinya mendatangi Tiva, bukanya pergi ke tempat lain jika hanya menginginkan wanita. Nathan kembali memperhatikan Tiva yang masih meringkuk di sampingnya.
Tiva memperhatikan kedua gelang perak yang masih dia simpan di dalam toples kaca, meskipun sekarang dia sudah tidak memakainya tapi Rio minta Tiva untuk tetap menyimpan semua benda bersejarah bagi mereka. Bahkan gantungan kunci, penjepit rambut, dan gelang manik-manik yang pernah diberikan Rio semua masih Tiva simpan jadi satu di sana.Tiva hanya kembali sedih setiap kali teringat Rio. Karena Tiva jadi teringat kembali sudah sejauh apa perjalanan mereka bersama hingga bisa sampai di sini. Bagaimana Rio selalu menjaganya dan menularkan keceriaan dengan berbagai kecerobohan konyolnya, mereka juga sudah seperti dua anak remaja yang tumbuh bersama. Mencintai Rio tidak perlu membuat Tiva merasa cemas atau khawatir karena ia merasa sudah sangat mengenalnya dan sudah saling tahu apa yang bahkan tidak perlu mereka ucapkan. Tiva merasa sangat beruntung bisa bertemu seseorang yang bisa mengerti di
Langkah-langkah kaki berderap yang berpapasan dengan mereka di sepanjang lorong sudah sama sekali tidak dapat Tiva simak, bahkan langkah kedua prajurit yang berjalan di depan mereka. Pikiran Tiva masih berada di halaman rumahnya membayangkan tubuh Rio yang bersimbah darah dan tidak bernafas. Tiva juga tidak tahu dirinya sedang di bawa ke mana. Ia hanya pasrah berjalan mengikuti langkah bang Nathan yang berjalan dengan masih sambil setengah memeluknya, menenggelamkan waja Tiva di sisis dadanya. Tiva hanya terlihat seperti bocah kecil dengan hoodie kebesaran yang juga menenggelamkan tubuh mungilnya.Tiva buru-buru di bawa masuk ke dalam ruangan seperti kamar dan di tinggalkan berdua hanya dengan Nathan sementara dua orang prajurit yang mengantarkan mereka berdua tadi kembali pergi.Nathan menurunkan tudung Hoodie dari at
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem