Sudah lewat dua hari Erica belum juga mendapatkan kabar dari Tara bahkan pesannya masih centang satu sejak kemarin. Erica tahu Tara memang jarang memegang smartphone, kadang dia lupa membiarkan baterainya habis ketika benda itu hanya dia simpan di laci.
Setelah memeriksa pesan masuknya sejenak, Erica kembali menekuni draf proposal di layar laptopnya. Sudah beberapa bulan ini Erica mulai membuat proposal untuk pembangunan rumah sakit bagi yayasannya. Beberapa donatur tetap sudah menyatakan bersedia untuk memberikan bantuan. Rencananya dua bulan lagi dirinya juga akan mengadakan charity tapi sebelumnya Erica harus menyelesaikan semua proposalnya agar para donatur bisa melihat visi, misi, dan konsepnya lebih mudah. Erica adalah wanita yang sangat disiplin, jeli, dan teliti dengan semua pekerjaannya. Semua harus sudah jelas dan terencana dengan detail sebelum dia berani mengajukan ke
Hari sudah hampir kembali pagi dan Tara hanya duduk di lorong rumah sakit semalaman tanpa bisa memejamkan mata. Ketika dirinya masuk kembali ke dalan ruang perawatan dia melihat Mina sudah bangun dan tersenyum padanya sementara Larisa masih tertidur dengan kepala yang hanya asal dia letakkan di tepi ranjang sambil masih terduduk di kursi plastik. Semalaman Larisa memang tidak mau pulang dan bersikeras ingin ikut menemani Mina.Mina memberi isyarat pada Tara agar pelan -pelan supaya Larisa tidak terbangun. Belakangan ini Tara melihat Larisa memang semakin dekat dengan Mina. Mina sepertinya juga sudah mulai menyukainya. Mungkin karena Mina memang tidak pernah merasa memiliki teman perempuan.Mina memberi isyarat tangan bahwa dirinya sudah tidak apa-apa agar kakak laki-lakinya tidak khawatir.Semalaman ponsel Tara sudah mati kehabisan baterei dan tidak membawa charger. Tara minta ijin untuk keluar sebentar membeli charger sekaligus mencari makanan untuk ibunya dan
Kangker Mina sudah pada stadium 4 tanpa perlu dijelaskan secara rinci pun Tara sudah tahu apa artinya. Mina sudah tidak bisa di tolong dan hanya seperti sedang menunggu waktu dengan rasa sakit di setiap detiknya."Katakan apa yang bisa kuberikan padanya agar bisa hidup?""Tidak ada," pasrah Erica yang ikut duduk lemas di sampingnya.Tara benar-benar tidak tahan melihat Mina kesakitan. Sebentar saja Tara sudah tidak mampu, lebih baik dirinya saja yang menanggung rasa sakitnya."Jika kangkernya belum menyebar kami bisa melakukan amputasi dan radiasi untuk membunuh sisa sel kangkernya. Tapi kasusnya pada Mina kita sudah terlambat. Sel kangkernya sudah menyebar sampai ke paru-paru dan ginjal. Kami coba melakukan kemoterapi dengan ob
"Aku akan terus terang tentang pernikahan karena kita sudah sama-sama dewasa untuk membicarakannya dengan terbuka." Nico masih terlihat tenang ketika menatap Erica yang duduk di depannya."Aku akan menikahi wanita sepertimu, memperlakukanmu dengan layak dan tidak akan membuat orang tuamu dibicarakan orang lagi setelah kegagalan yang kemarin.""Mereka tidak pernah menuntutku untuk melakukan sesuatu.""Tapi aku bisa melihat apa yang mereka cemaskan ketika menatap putrinya."Nick paham jika Erica adalah wanita yang cerdas dan berpikiran terbuka. Wanita yang tidak akan membuat langkahnya buntu hanya karena perkara hati dan mengorbankan segalanya."Kuakui ibuku juga menyukaimu, aku hanya
Boston sendiri sebenarnya bukan kota yang asing buat Erica karena dia juga sempat mengenyam pendidikan kedokterannya di Harvard. Erica juga masih memiliki beberapa sahabat yang tinggal di Boston. Erica sudah lama tidak menghadiri reuni alumni sejak dirinya semakin sibuk dengan yayasan yang ia dirikan bersama ibu Adam. Karena diam-diam Erica juga rindu ingin bertemu teman-teman lamanya jadi Erica setuju ketika kemarin Nico mengajaknya."Maaf kemarin aku tidak bilang padamu jika aku memiliki jurnal kunjungan yang lain." Erica terlihat malu-malau mengakui hal itu pada Nico.Erica sudah bersiap keluar dari hotel ketika Nico tiba -tiba menjemputnya untuk undangan makan siang bersama keluarga besarnya. Nico memang mendadak karena setahu Erica pesta pernikahan saudarinya baru besok dan Erica pikir hari ini dirinya masih memiliki kesempatan untuk bertemu teman -teman lamanya."Mungkin keluargaku bisa menunggu, aku akan mengantar
Setelah satu bulan berlalu kondisi Mina semakin memburuk, bahkan dia sudah sering lupa dengan orang-orang di sekitarnya. Sering kali dia hanya bisa menggeliat tanpa bisa mengeluh atau berteriak tiap kali merasakan rasa sakit yang menderanya. Tara berusaha untuk tetap menguatkan dirinya menemani Mina yang sudah dalam kondisi seperti itu. Berulang kali Tara menyapu dahi Mina menciumnya dan membisikkan berbagai doa agar sakitnya mereda. Biasanya Larisa akan kabur keluar jika sudah benar-benar tidak tahan melihat Mina yang kesakitan seperti itu.Larisa memang bisa sangat iri dengan kasih sayang Tara pada adiknya tapi dia juga sudah ikut menyayangi Mina setelah sekian lama ikut menemaninya. Larisa juga jadi tidak bisa membayangkan bagaimana nanti kondisi Tara jika Mina sudah benar-benar pergi karena sepertinya memang sudah tidak lama lagi jika melihat kondisi Mina yang seperti ini.
Seperti hari hujan yang juga masih belum mau berakhir. Tara masih duduk sendiri di samping papan selancarnya yang dia biarkan tergeletak begitu saja karena sudah begitu lelah. Dia memandang jauh ke laut yang berkabut dan membiarkan dirinya yang kehujanan. Bukan tubuhnya yang sedang dingin tapi hatinya. Dingin tanpa nafas dan keinginan. Sempat juga dia berpikir bagaimana akhir hudupnya nanti. Tara hanya berdoa semoga dirinya tidak pergi lebih dulu dari ibunya. Tara kembali berdiri untuk berjalan pulang karena memang masih ada orang-orang yang masih harus dia jaga.Tara baru sampai di halaman ketika melihat Erica berlari padanya dan memeluknya di tengah hujan."Maafkan aku....""Sungguh maafkan aku...," rancu wanita itu masih sambil menangis dan memeluknya erat seolah tak perduli jika mereka masih berada di halaman dan di tengah hujan.Tara juga cuma balas merapatkan pelukannya hingga tubuh wanita itu agak terangkat mengimbangi tinggi badannya.Tara
Hujan di luar masih sangat deras tapi Erica masih dapat mendengar ketika suara pintu kamarnya kembali dibuka dan Tara menyusul naik ke atas ranjang untuk memeluknya dari belakang. Hanya memeluknya sampai kemudian Erica berpaling untuk menatap pria di belakangnya itu dengan tatapan tenang."Terimakasih sudah datang," ucap Tara, Erica mengangguk kemudian menyembunyikan wajah di dadanya.Tidak bisa Erica bayangkan seberat apa hari yang kemarin telah dilalui Tara seorang diri."Aku menyesal karena tidak bisa bersamamu di masa yang sulit. ""Mina sudah tenang di sana dan pasti sekarang dia juga senang melihatmu datang. Besok akan kuantar ke makamnya. "Erica ikut memeluk pria besar
Larisa sepertinya memang tidak akan pernah sanggup melihat Tara mencintai wanita lain. Tak perduli segigih apa pun dia mencoba untuk mengubur perasaanya dalam-dalam terhadap pemuda itu tapi nyatanya dia tetap tidak bisa, bahkan untuk alasan yang kadang Larisa sendiri tidak bisa mengerti.Larisa teringat kembali hari pertamanya bertemu Tara. Waktu itu dia sedang duduk di samping mesin timbangan hanya dengan celana jeans yang asal ia potongnya selutut dan baju longgar tanpa lengan. Pemuda itu termasuk sangat berani untuk tersenyum padanya. Laris mengakui jika Tara memang tampan bahkan sejak hari pertama dia melihatnya. Tapi rasanya masih saja mustahil bagaimana dirinya bisa mencintai pemuda itu sebesar ini tanpa bisa ia cegah ataupun ia tolak. Bahkan Larisa tidak pernah mengijinkan dirinya untuk di sentuh oleh siapapun termasuk pria yang sudah menikahinya. Karena seumur hidup dirinya hanya