Sesampainya di Raja Ampat, Erica langsung mengajak Tara ke hotel yang juga merupakan milik keluarga Adam, rencananya mereka semua baru akan berangkat besok pagi jadi malam ini semua orang memang sudah berkumpul.
Kebetulan waktu Erica dan Tara tiba para tamu sedang makan malam bersama di ballroom hotel yang sudah disulap menjadi ruang perjamuan mewah. Erica menarik Tara ikut masuk meskipun dia mengaku masih kenyang dan belum mau ikut makan karena mereka berdua tadi memang sempat makan snack di pesawat sebab Erica keburu lapar.
Di antara keramaian keluarga, rekan kerja, dan sahabat, keluarga besar mereka, Tara yang baru datang bersama Erica sempat merasa canggung juga meskipun sebenarnya Tara tipe orang yang mudah bergaul. Mungkin karena lingkungan sosial mereka terlalu berbeda dengan keseharian Tara yang hanya anak pantai dan sebag
"Kenapa orang sepertimu harus bersembunyi?""Kadang aku juga jenuh, dan tak sesempurna yang sering diceritakan adik perempuanku padamu."Erica sudah bisa menebak jika Jemy pasti sudah sering membicarakan dirinya."Apa ini tentang pernikahannya?"Erica menggeleng. "Tidak, aku tetap ikut bahagia untuk mereka.""Bukankah Adam Haris adalah tunanganmu?" Akhirnya Tara menanyakan hal itu setelah cukup lama menjadi tanda tanya yang mengendap di kepalanya."Apa pun, jika untuk adikmu apa kau tidak rela?" Erica malah balik bertanya.Tara diam sebentar, berpikir untuk dirinya send
Entah bagaimana Tara bisa seenaknya melepas pakaian di depannya. Walaupun tidak sepenuhnya telanjang tapi tetap saja Erica tidak biasa, beda dengan Tara yang memang sudah terbiasa berbuat seperti itu di pantai. Tara baru sadar ketika dirinya keluar dari air dan Erica menolak untuk terlalu melihatnya yang masih basah dan benar-benar hanya memakai celana boxer terlalu pendek dan hampir tak berguna apalagi setelah basah seperti itu."Lain kali bisa tidak kau siapkan handuk dulu sebelum berenang!" Erica terdengar kesal ketika melempar pakaian Tara untuk segera dipakai."Sorry...." Tara cuma tersenyum sambil menangkap pakaian yang dilempar Erica dengan cekatan."Kau benar-benar barbar!"Sebenarnya Tara masih memakai celana pendek meskipun
Walaupun kemarin sempat turun hujan untungnya dua hari ini lumayan cerah. Sepertinya pesta yang sudah susah payah Erica siapkan tidak sia-sia. Semuanya sudah sempurna dan selesai tepat waktu.Erica cuma tinggal menunggu mempelai perempuan yang masih tidur dan tidak boleh dibangunkan oleh Adam. Padahal Erica masih harus mempercantik adik perempuan, tapi Adam benar-benar tidak mengijinkan siapapun mengusik istrinya. Jadilah sekarang Erica harus menunggu Jemy bangun dengan sendirinya, padahal di luar tamu mereka telah ramai berkumpul.Erica sudah ingin mengomel karena telah lewat jam tujuh pagi dan Jemy juga belum bangun, entah apa saja yang mereka lakukan semalam sampai jam segini belum juga bergerak dari selimut.Begitu Jemy keluar dengan wajah pucat dan bingung rasanya Erica juga
"Kau sangat cantik."Tara menyambut tangan Jemy yang baru turun dari tangga masih dengan gaun putihnya."Aku suka kemejamu!" balas wanita itu untuk memuji pemuda tampan yang sudah meraih tangannya.Tara cuma sedikit mengedikkan bahu tidak bilang jika Erica yang memilihkannya.Jemy mengajak Tara untuk duduk di meja yang kebetulan sedang kosong karena para tamu sedang pindah ke meja perjamuan."Terimakasih sudah datang." Jemy meraih tangan Tara dan menggenggamnya untuk meyakinkan bertapa bahagianya ia bisa melihat pemuda itu ikut datang di hari bahagianya."Berterimakasihlah pada suamimu, karena dia yang mengundangku kemari."
Hari sudah mulai sore ketika mereka masih berjalan menyusuri pantai. Tara segera berhenti ketika kembali melihat gubuk ayahnya. Tara pikir entah kapan dia bisa melihatnya lagi, ada perasaan sedih tiap kali dirinya membayangkan sesulit apa hari-hari yang harus dihadapi ayahnya waktu itu.Tara meraih tangan Erica dan membawanya kembali menghampiri makam ayahnya. Erica ikut duduk dan berdoa bersama Tara yang masih menggenggam jemari tangannya."Aku tidak tahu apa bisa kemari lagi.""Dimanapun kau berada semua doamu tetap akan sampai padanya." Erica bisa sangat mengerti perasaan Tara karena dia sendiri bahkan sampai sekarang tidak pernah tahu di mana makam saudaranya.Tara cuma menoleh wanita di sampingnya kemudian mengajaknya kembali ber
Setelah semalaman hampir tidak bisa tidur karena memikirkan kekonyolannya kemarin hari ini Erica sudah kembali bangun pagi-pagi bersiap sarapan bersama yang lainnya walau biasanya dia lebih suka sarapannya di antar ke kamar untuk bisa segera beraktifitas yang lain. Erica adalah tipe orang yang disiplin dan efektif dengan semua waktunya yang terjadwal.Baru saja Erica datang untuk bergabung dengan yang lain ibu Adam terlihat melambai padanya dari meja mereka. Erica langsung berjalan menghampiri meja mantan calon mertuanya itu dengan senyum paginya yang sudah begitu menyenangkan."Perkenalkan sepupu Adam, kemarin kulihat kau masih terlalu sibuk untuk memperkenalkan kalian."Erica langsung balas tersenyum pada pemuda yang duduk di seberang meja tepat di sebelah ayah Adam. Mereka langsung berkenalan."Aku sudah banyak bercerita tentangmu," tambah ibu Adam dengan bangganya seolah sedang memamerkan Erica
Caroline langsung menghampiri Tara begitu melihat pemuda itu memasuki klub."Bagaimana dengan adikmu? ""Mina sudah jauh lebih baik."Tara baru sampai sore ini dan langsung pergi bekerja."Aldi yang memberitahuku.""Kudengar dia juga sedang kurang enak badan? ""Kau tahu sendiri dia agak keras kepala," gerutu Catroline tiap kali mereka mulai membahas Aldi."Besok aku akan mengunjunginya," kata Tara, dengan sedikit harapan agar sahabatnya itu mau sedikit mengalah dengan wanitanya."Sebenarnya aku hanya tidak tahu dengan jalan pikir
Erica sudah memakai helm merah mudanya dan duduk di belakang boncengan motor besar Tara yang selalu membuat pinggulnya merosot maju walaupun sudah bergeser mudur beberapa kali. "Jangan banyak bergerak nanti kau jatuh." Erica juga masih berpegangan pada punggung Tara ketika tiba-tiba pria itu meraih tangannya dan melingkarkannya di pinggang. Tara menahan lengan Erica agar diam karena wanita itu ingin kembali menariknya. Perut Tara terasa seperti bidang-bidang keras yang berdenyut hangat, membuat Erica sangat tidak nyaman ketika harus melingkarkan lengan di sana. "Jangan setengah-setengah jika ingin menggodaku." "Aku tidak sedang menggodamu, jangan besar kepala!" desis Erica
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem