"Kau sangat cantik."
Tara menyambut tangan Jemy yang baru turun dari tangga masih dengan gaun putihnya.
"Aku suka kemejamu!" balas wanita itu untuk memuji pemuda tampan yang sudah meraih tangannya.
Tara cuma sedikit mengedikkan bahu tidak bilang jika Erica yang memilihkannya.
Jemy mengajak Tara untuk duduk di meja yang kebetulan sedang kosong karena para tamu sedang pindah ke meja perjamuan.
"Terimakasih sudah datang." Jemy meraih tangan Tara dan menggenggamnya untuk meyakinkan bertapa bahagianya ia bisa melihat pemuda itu ikut datang di hari bahagianya.
"Berterimakasihlah pada suamimu, karena dia yang mengundangku kemari."
Hari sudah mulai sore ketika mereka masih berjalan menyusuri pantai. Tara segera berhenti ketika kembali melihat gubuk ayahnya. Tara pikir entah kapan dia bisa melihatnya lagi, ada perasaan sedih tiap kali dirinya membayangkan sesulit apa hari-hari yang harus dihadapi ayahnya waktu itu.Tara meraih tangan Erica dan membawanya kembali menghampiri makam ayahnya. Erica ikut duduk dan berdoa bersama Tara yang masih menggenggam jemari tangannya."Aku tidak tahu apa bisa kemari lagi.""Dimanapun kau berada semua doamu tetap akan sampai padanya." Erica bisa sangat mengerti perasaan Tara karena dia sendiri bahkan sampai sekarang tidak pernah tahu di mana makam saudaranya.Tara cuma menoleh wanita di sampingnya kemudian mengajaknya kembali ber
Setelah semalaman hampir tidak bisa tidur karena memikirkan kekonyolannya kemarin hari ini Erica sudah kembali bangun pagi-pagi bersiap sarapan bersama yang lainnya walau biasanya dia lebih suka sarapannya di antar ke kamar untuk bisa segera beraktifitas yang lain. Erica adalah tipe orang yang disiplin dan efektif dengan semua waktunya yang terjadwal.Baru saja Erica datang untuk bergabung dengan yang lain ibu Adam terlihat melambai padanya dari meja mereka. Erica langsung berjalan menghampiri meja mantan calon mertuanya itu dengan senyum paginya yang sudah begitu menyenangkan."Perkenalkan sepupu Adam, kemarin kulihat kau masih terlalu sibuk untuk memperkenalkan kalian."Erica langsung balas tersenyum pada pemuda yang duduk di seberang meja tepat di sebelah ayah Adam. Mereka langsung berkenalan."Aku sudah banyak bercerita tentangmu," tambah ibu Adam dengan bangganya seolah sedang memamerkan Erica
Caroline langsung menghampiri Tara begitu melihat pemuda itu memasuki klub."Bagaimana dengan adikmu? ""Mina sudah jauh lebih baik."Tara baru sampai sore ini dan langsung pergi bekerja."Aldi yang memberitahuku.""Kudengar dia juga sedang kurang enak badan? ""Kau tahu sendiri dia agak keras kepala," gerutu Catroline tiap kali mereka mulai membahas Aldi."Besok aku akan mengunjunginya," kata Tara, dengan sedikit harapan agar sahabatnya itu mau sedikit mengalah dengan wanitanya."Sebenarnya aku hanya tidak tahu dengan jalan pikir
Erica sudah memakai helm merah mudanya dan duduk di belakang boncengan motor besar Tara yang selalu membuat pinggulnya merosot maju walaupun sudah bergeser mudur beberapa kali. "Jangan banyak bergerak nanti kau jatuh." Erica juga masih berpegangan pada punggung Tara ketika tiba-tiba pria itu meraih tangannya dan melingkarkannya di pinggang. Tara menahan lengan Erica agar diam karena wanita itu ingin kembali menariknya. Perut Tara terasa seperti bidang-bidang keras yang berdenyut hangat, membuat Erica sangat tidak nyaman ketika harus melingkarkan lengan di sana. "Jangan setengah-setengah jika ingin menggodaku." "Aku tidak sedang menggodamu, jangan besar kepala!" desis Erica
Tadinya Larisa pikir Tara hanya membawa wisatawan dari Bali karena Erica memang sama sekali tidak seperti seorang pribumi. Erica memiliki manik mata biru dengan rambut pirang kecoklatan alami. Kombinasi yang sangat cantik dengan kulit bersih tak berbintik walaupun darahPolandia ibunya masih lebih dominan. Bahkan tanpa barang mewah pun wanita itu tetap terlihat mencolok, padahal Erica hanya sedang mengenakan celana jeans dan hoodie kebesaran yang sepertinya milik Tara.Larisa sempat menghela nafas berat hanya dengan melihat wanita itu berdiri di sebelah Tara yang baru melepas genggaman tangannya."Mina perkenalkan ini Erica kakak Jemy yang sering dia ceritakan padamu."Mina langsung tersenyum setelah sempat ikut syok melihat wanita cantik yang dibawa kakaknya.Tara juga memperkenalkan Larisa yang saat itu sudah ikut berdiri."Sebaiknya aku pulang dulu," kata Larisa setelah menjabat tangan Erica yang masih balas tersenyum padanya.
Tara dan Erica kembali ke Bali keesokan harinya masih dengan bermotor. Mereka belum sampai masuk kota Denpasar ketika tiba-tiba hujan kembali turun, bukan gerimis lagi tapi hujan lebat yang datang tiba-tiba. Jadilah mereka langsung basah kuyup. Karena sudah terlanjur basah Tara memutuskan untuk tetap menerjang hujan, tidak berhenti berteduh sama sama sekali sebab hari juga sudah cukup sore.Erica semakin merapat memeluk pinggang pemuda itu erat-erat karena pakaiannya juga sudah basah tembus sampai ke dalam, rasanya mulai dingin dan hanya punggung Tara yang teras hangat.Tara membawa Erica kembali ke tempat kosnya dulu walau sebenarnya tadi Erica mau langsung ke hotel, sebab penerbangannya masih baru besok pagi. Tapi rasanya tidak mungkin dia pergi ke hotel dengan badan basah kuyup seperti itu.Dengan sisa air hujan yang masih
Ketika Tara keluar dari kamarnya Erica sedang duduk di sofa sambil memeriksa pesan di ponselnya. Hujan sudah reda dan di luar juga sudah sempurna gelap gulita. Tara menyalakan lampu di teras sebelum kemudian berjalan menghampiri Erica."Apa kau mau kuantar ke hotel?"Erica langsung mendongak dari layar ponselnya untuk melihat Tara dengan tatapan bingung karena jujur saja Erica memang belum berpikir bakal bermalam di mana."Kau juga boleh menginap," Tara menawarkan ranjangnya," aku bisa tidur di sofa.""Kau juga boleh mengunci pintunya jika tidak percaya," tambah Tara dan Erica malah justru tertawa menanggapi keseriusannya."Apanya yang lucu?"
Sesampainya di Jakarta Erica langsung di jemput oleh Nicola. Sebenarnya Erica tidak mau merepotkan tapi dari kemarin pria itu memang bersikeras untuk menjemputnya. Apa lagi nanti Nichola juga yang akan menemani Erica untuk bertemu dengan sahabat bibinya yang hendak menjadi donatur untuk yayasan mereka. Jadilah Erica semakin tidak bisa menolak."Apa Kau juga mengenal nyonya Marisa?" tanya Erica ketika dirinya sudah berada di dalam mobil Nicola."Dia adalah sahabat lama keluarga kami, aku sudah mengenalnya bahkan sejak masih anak-anak. Adam juga mengenalnya."Nicola adalah pemuda yang baik dan menyenangkan. Walau lebih banyak besar di Boston tapi dia tidak pernah lupa budaya Timur. Dia juga hampir mirip dengan Adam cuma dengan warna kulit lebih terang dan lebih bersahabat untuk bergaul d
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem