"Walau sekarang rumah Tara sudah merupakan rumah permanen tapi memang belum sempurna selesai walaupun sudah bertahu-tahun. Sebenarnya Tara tidak pernah malu dengan kondisi keluarganya dia hanya khawatir Jemy tidak biasa melihat rumah kampung seperti ini. Bahkan melihat Jemy masuk kedalam rumah mereka saja rasanya sudah sangat tidak cocok apa lagi dengan ekspresi keheranan ibu dan adiknya Mina.
"Maaf seperti inilah tempat tinggal kami."
Jemy hanya tersenyum tidak masalah sampai Tara memperkenalkan pada ibu dan adik perempuannya. Tara tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Jemy ketika akhirnya melihat kondisi Mina. Meski banyak yang bersimpati melihat kondisi Mina tapi nyatanya orang-orang cenderung menjauhinya walaupun bisu dan lumpuh bukan penyakit menular. Selama ini cuma Tara yang tetap menganggap Mina sempurna tidak perduli bagaimanap
Setelah sekian lama baru kali ini Tara kembali melangkahkan kaki di dermaga. Hari masih pagi dan beberapa kapal besar mulai merapat menurunkan tangkapan yang sedang ramai hingga para penimbang juga terlihat kerepotan menangani antrian. Tara jadi ingat ketika dirinya dulu juga duduk di samping timbangan seperti itu. Musim ikan seperti ini adalah berkah untuk semua orang yang hidup di dermaga.Tara memperhatikan kapal-kapal besar yang baru merapat. Sebagian besar masih tetap merupakan milik Haji Sofyan yang sepertinya memang semakin kaya raya. Tara juga mendengar jika sekarang Haji Sofyan memiliki dua pabrik pengalengan ikan. Nama Larisa selalu tertulis di masing-masing sisi lambung kapal layaknya nama keberuntungan bagi semua bisnis ayahnya. Tara segera berpaling bukan karena takut memikirkan wanita itu. Tara hanya tidak mau menjadi pendendam cuma karena kemarahannya sendiri&n
Tara sudah kembali bekerja di pantai ketika Jemy menghampirinya."Kupikir kau sudah kembali ke LA." Nampaknya Tara memang terkejut dengan kemunculan Jemy yang agak ajaib setelah kemarin berpamitan untuk segera pulang."Apa bisa kita bicara sebentar.""Tentu."Tara mengajak Jemy ke kafe tempat mereka bicara tempo hari. Jemy cuma memesan minuman karena dia bilang tidak akan lama."Maaf kemarin aku belum sempat menemui saudariku, dan lupa memberitahumu.""Tidak masalah." Tara menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil mengetukkan ujung jari di tepi meja ketika melihat sepintas jejak kebiruan di sisi leher Jemy yang masih terlihat meskipun dia sudah coba mengenakan pakaian berkrah tinggi."Jadi kau masih berada di Bali seminggu ini?" tanya Tara terdengar tenang meski sebenarnya dia juga sedang sangat penasaran dengan siapa wanita it
Tara mendapat berita dari pamannya jika ibunya baru saja terpeleset jatuh di dekat sumur. Dengan panik Tara segera mencari tiket penerbangan tapi sudah terlambat karena memang cuma ada dua penerbangan dalam sehari, besok pagi baru akan ada penerbangan lagi. Terpaksa Tara pulang dengan mengunakan feri dan bermotor seperti biasanya. Karena bermotor memang lebih cepat sebab juga tidak ada akses angkutan umum yang sampai ke kampungnya kecuali dia harus menyewa taksi gelap. Sebagian besar orang dari kampungnya juga sudah biasa bermotor untuk pergi ke Bali, tapi tetap saja berkendara di tengah malam hingga hampir menjelang pagi memang baru kali ini Tara lakukan.Walau sudah memakai jaket tebal dan sarung tangan tetap saja tangan Tara serasa kebas untuk mencengkram stang motornya. Dua jam perjalanan dari Denpasar ke penyebrangan feri dan dua jam lagi untuk sampai ke rumah Tara. Tara sampai tepat menjelang subuh itu pun setelah dia tidak berhenti sama
"Bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanya Tara yang masih sulit percaya Jemy bisa datang sendiri kerumahnya. "Aku mencarimu karena kau sama sekali tidak mau mengangkat teleponku." "Oh , maaf." Tara benar-benar tidak menyangka dan tidak habis pikir jika wanita itu akan nekat datang sendiri jauh-jauh ke mari hanya karena perkara sesepele itu. "Kau sendirian ?" Tara semakin heran karena memang tidak ada siapapun yang nampak bersamanya. Tara segera mempersilahkan Jemy masuk. "Di mana yang lain?" "Ibu beristirahat di kamar, Mina masih kutitipkan pada saudara." "Apa yang terjadi?"
"Kau mau kemana?" tanya Jemy begitu melihat Tara memakai helm dan meraih kunci motor dari atas meja."Aku mau keluar sebentar untuk membeli susu dan sereal untuk ibu.""Boleh aku ikut?""Aku naik motor.""Tidak apa-apa aku bisa berpegangan jok motor jika kau tidak mau aku memegangmu.""Jangan konyol!" tepis Tara meski ia tahu Jemy hanya bercanda, tapi jujur saja Tara masih belum seratus persen dapat beradaptasi dengan wanita itu setelah semalam."Jadi aku boleh ikut?""Aku tidak punya helm lagi.""Kulihat banyak yang naik motor tanpa helm," protes Jemy yang memang melihat orang lalu lalang di kampung tanpa helm saat bermotor."Baiklah, pakai saja ini!" Tara memberikan helm teropongnya untuk Jemy."Maksudnya kau justru tidak pakai? ""Sudah pakai saja
Sebenarnya sudah cukup lama Tara tidak melihat Larisa karena sejak terakhir wanita itu menemuinya di klub waktu itu mereka sudah tidak pernah ada komunikasi lagi. Sebenarnya Larisa juga tidak banyak berubah, tentu pinggangnya tak sebesar apa yang dibahas paman dan bibinya kemarin, cuma kali ini wanita itu terlihat marah karena langsung berjalan menghampiri Tara dan langsung bicara lebih dulu bahkan sebelum Tara sempat menyapa."Kau bohong tentang tidak mau berurusan lagi dengan wanita kaya!"Sudah beberapa kali Larisa mendengar Tara pulang dengan wanita hingga lama-lama dia tidak tahan apa lagi setelah tahu jika wanita itu adalah wanita cantik yang juga sedang viral di berbagai media. Larisa sampai ikut mencari tahu mengenai Jemy dan hanya semakin membuatnya marah apa lagi dengan berbagai judul berita yang memang sangat berlebihan mengulas mereka."Kau keterlaluan dengan selalu menjadikan adik dan ibumu sebagai ala
Setelah satu minggu kondisi kaki ibu Tara mulai pulih dan sudah bisa berdiri walau masih harus pelan-pelan untuk berjalan. Tara Juga sudah membuat beberapa rencana untuk memulai usahanya sampai di suatu pagi sang bibi datang tergopoh-gopoh ke rumahnya sambil menangis-nangis."Gudang yang dijaga pamanmu kebakaran."Tara masih syok dan bibinya cuma terus menangis."Bagaimana dengan paman?" tanya Tara yang ikut bergetar memeluk bibinya."Pamanmu dibawa ke kantor polisi."____" Bagaimana jika pamanmu sampai dipenjara?" bibi Tara terus menangis dan bicaranya semakin rancu bercampur gagap karena sesenggukan. "Dia sudah tua dan sakit-sakitan, Bibi sangat takut jika pamanmu dipenjara."
Satu minggu berlalu tapi tetap saja Tara masih belum bisa menemukan jalan keluar, dia juga masih belum menemukan pekerjaan. Memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan di kampung jika tidak memiliki modal sendiri, kecuali untuk pekerjaan kasar yang upahnya juga tidak seberapa. Tara semakin dilema, antara dia harus pergi untuk mencari pekerjaan tapi dia tidak bisa juga meninggalkan ibunya yang sudah tua. Kondisinya serba sulit sementara ia juga tidak punya apa-apa lagi, uang tabungannya sudah habis dan mungkin hanya cukup untuk makan keluarganya sampai bulan depan.Semua rencananya memang sudah hancur berantakan. Selain uang tabungan yang rencananya ingin dia gunakan untuk modal usaha, motornya juga sudah ia jual untuk melunasi tiga ratus lima puluh juta yang benar-benar tidak sedikit baginya. Sekarang Tara jadi kerepotan sendiri jika hendak kemana-mana tanpa motor. Untuk menjadi kuli pun dia butuh kendaraan untuk pergi ke tempat kerja.
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem