Diam-diam Nathan memperhatikan Tiva yang belakangan ini sering duduk diam melihat ke luar jendela, sesekali tangan gadis itu membelai puncak perutnya yang semakin membesar. Padahal Tiva yang dia ingat dulu adalah seorang gadis yang ceria dan agak cerewet jika berada di sekitar abangnya. Nathan jadi mulai merasa mungkin dirinya adalah pria paling membosankan karena lebih sering sibuk dengan urusannya sendiri.
Tiva memang tidak pernah rewel lagi ataupun protes tapi bagaimanapun Tiva masih terlalu muda, meskipun dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja bukan berarti Nathan tidak bisa menebak apa yang sedang berada di pikirannya. Semua lingkungan ini sudah terlalu asing bagi Tiva, ditambah harus melalui kehamilan tanpa bimbingan atau nasehat dari orang yang lebih tua. Nathan hanya bisa membawanya ke dokter seperti kemarin tanpa bisa benar-benar paham apa yang sebenarnya
Hari masih terlalu pagi ketika Tiva terbangun dan melihat bang Nathan sedang mengemasi barang-barangnya."Kita mau ke mana lagi?" Tiva langsung tahu jika mereka akan kembali pergi."Maafkan aku, Tiva. Sungguh ini di luar rencana tapi kita harus pergi sekarang juga."Tiva masih bingung karena kemarin rencananya mereka memang akan tinggal sampai bayi mereka lahir, dan Tiva juga sudah mulai nyaman tinggal di rumah tersebut."Ayo, bersiaplah, kita harus buru-buru." Nathan sudah menarik Tiva yang baru bangkit dari tempat tidur untuk cepat-cepat mandi."Apa ada masalah?" Tiva masih bertanya."Kita hanya tidak bisa tinggal di sini lagi."
"Jane tolong aku...!"Tiap kali cuma Jane lagi yang akan Nathan cari.Nathan masih terlalu panik dan nyaris gila jika tidak ingat Tiva lebih butuh kewarasannya di banding egonya sendiri.Tiva makin terkulai lemah dalam pelukannya dan darah segar masih terus merembas dari sisi perutnya, menembus gaun pink pucat yang sedang dikenakannya."Bertahanlah, Tiva. Bertahanlah!"Nathan menyentuh pipi Tiva yang hangat tapi gadis itu sudah tidak bisa bicara, nafasnya mulai lemah dan tersendat. Nathan takut-sangat takut ketika Tiva menatapnya seperti itu."Jangan pergi, jangan pergi...."______ "Oh, Tuhan..." _________ "Oh ,Tuhan..." Tiva s
"Bagaimana kondisinya?" tanya Jane yang baru tiba dan berjalan cepat sambil melepas sarung tangannya."Nampaknya sudah jauh lebih baik," kata Naomi mengekor di belakang Jane yang sepertinya juga sudah tidak sabar untuk memastikan sendiri kondisi Tiva."Tapi sepertinya kau juga harus lebih waspada, " tambah Naomi.Baru kemudian Jane berhenti dan berbalik menatap wanita muda berambut gelap yang juga sedang balas menatapnya dengan serius."Ikut aku!" perintah Naomi dan Jane balik mengikuti wanita itu ke ruang laboratoriumnya."Aku terpaksa memberikan darah nomor 4 dan sepertinya itu berpengaruh pada proses penyembuhannya.""Apa maksudm
Nathan kembali melipat kertas yang sudah puluhan kali dia baca dan mengembalikannya ke dalam toples bersama kedua gelang perak Tiva dan benda-benda lain yang juga masih Tiva tersimpan di sana. Sangat masuk akal jika gadis seperti Tiva suka mengumpulkan semua benda-benda sepele yang menurutnya berharga. Gadis yang terlalu manis untuk berada di dunianya.Nathan tahu ini akan berat dan juga bukan keputusan yang mudah baginya. Tapi bukanya dia tidak pernah mencoba, Nathan sudah pernah coba membawa Tiva kabur dan mengabaikan segalanya tapi apa yang akhirnya terjadi justru Tiva hampir kehilangan nyawanya.Kali ini Natha memang sudah bertekad untuk mengembalikan semua kehidupan Tiva, bahkan Nathan juga sudah membenahi mobil Alif sebagai salah satu janjinya.Nathan memperhatikan benda ya
"Aku melihat mereka menembakmu."Rio mengangguk kemudian menunjukkan bekas sengatan peluru di sisi perutnya dan Tiva kembali menangis."Kupikir aku sudah kehilanganmu."Sampai sekarang Tiva masih tidak tahan jika harus mengingat tubuh Rio yang jatuh di halaman sementara dirinya tidak dapat berteriak atau berlari memeluknya. Semuanya terlalu mengerikan dan semakin mengerikan. Seperti bencana yang terus datang bertubi-tubu tanpa henti sampai Tiva tidak dapat membedakan lagi mana yang nyata dan mana yang cuma halusinasi.Tapi hari ini Tiva melihat Rio masih hidup dan untuh, rasanya sangat luar biasa sulit di percaya jika pemuda yang ada di hadapanya kali ini adalah nyata.Rio juga hanya
Rio membawa Tiva ke apartemennya. Cuma apartemen dengan dua kamar tapi cukup untuk mereka berdua. Rencananya besok Rio baru akan membawa Tiva untuk menemui orang tuanya. Sementara dia ingin Tiva istirahat dulu karena Tiva juga terlihat agak pucat dan tidak sehat."Kau bisa pilih kamar yang mana saja."Rio menunjukkan kedua kamar yang cuma dipisahkan oleh ruang tamu kecil dan sama-sama memiliki jendela besar dan balkon. Dulu Rio membeli apartemen tersebut untuk ia tinggali setelah mereka menikah, dia juga sudah mengisi semua perabot untuk memberi kejutan kepada Tiva. Tapi berulang kali dan berulang kali tidak pernah ada yang tahu kapan bencana akan terjadi. Pernikahan mereka gagal, bahkan dengan meninggalkan tragedi yang sepertinya masih belum bisa mereka semua lupakan termasuk bagi keluarga besar Rio.
Rio membawa Tiva untuk kembali bertemu ayah dan ibunya. Pastinya mereka berdua terkejut melihat Rio yang tidak pulang dari kemarin dan tiba-tiba kembali bersama Tiva, tunangannya yang telah menghilang hampir satu tahun.Ibu Rio pun rasanya seperti hampir tidak percaya ketika melihat gadis itu berjalan bersama putranya. Meskipun sama sekali tidak terlihat ada yang berubah dan Rio juga masih menggenggam erat tangan gadis itu tapi entah kenapa justru tante Marini sendiri yang tiba-tiba merasa cemas."Kami akan tetap menikah, " kata Rio di depan kedua orang tuanya.Sebagai seorang ibu, tante Marini masih belum lupa seperti apa perasaanya ketika menyaksikan anaknya hampir mati tergeletak di halaman rumah tunangannya cuma beberapa hari menjelang pernikahan mereka.
Hari ini Rio sudah mulai kembali bekerja, Tiva segera ikut keluar begitu Rio pergi. Sejak beberapa hari ini Tiva memang sudah berpikir untuk mengunjungi makam bang Alif. Tiva sengaja tidak memberi tahu Rio karena Tiva memang ingin pergi seorang diri. Rio barub akan pulang sore jadi dia tidak perlu tahu.Tiva keluar dengan menggunakan taksi dan langsung pergi ke komplek pemakaman Elit di kawasan San Diego Hill. Tiva ingin sekali datang sendiri ke makam bang Alif karena rasanya sedang banyak sekali yang ingin dia bagi dengannya, mungkin Tiva hanya sedang butuh tempat untuk bercerita walaupun itu cuma batu nisan.Ini adalah kali pertama Tiva melihat pemakaman yang lebih nampak seperti hamparan perbukitan hijau dan luas layaknya lapangan golf, sama sekali tidak seperti pemakaman yang biasanya agak suram. Makam bang Nathan juga m