Rio membawa Tiva ke apartemennya. Cuma apartemen dengan dua kamar tapi cukup untuk mereka berdua. Rencananya besok Rio baru akan membawa Tiva untuk menemui orang tuanya. Sementara dia ingin Tiva istirahat dulu karena Tiva juga terlihat agak pucat dan tidak sehat.
"Kau bisa pilih kamar yang mana saja."
Rio menunjukkan kedua kamar yang cuma dipisahkan oleh ruang tamu kecil dan sama-sama memiliki jendela besar dan balkon. Dulu Rio membeli apartemen tersebut untuk ia tinggali setelah mereka menikah, dia juga sudah mengisi semua perabot untuk memberi kejutan kepada Tiva. Tapi berulang kali dan berulang kali tidak pernah ada yang tahu kapan bencana akan terjadi. Pernikahan mereka gagal, bahkan dengan meninggalkan tragedi yang sepertinya masih belum bisa mereka semua lupakan termasuk bagi keluarga besar Rio.
Rio membawa Tiva untuk kembali bertemu ayah dan ibunya. Pastinya mereka berdua terkejut melihat Rio yang tidak pulang dari kemarin dan tiba-tiba kembali bersama Tiva, tunangannya yang telah menghilang hampir satu tahun.Ibu Rio pun rasanya seperti hampir tidak percaya ketika melihat gadis itu berjalan bersama putranya. Meskipun sama sekali tidak terlihat ada yang berubah dan Rio juga masih menggenggam erat tangan gadis itu tapi entah kenapa justru tante Marini sendiri yang tiba-tiba merasa cemas."Kami akan tetap menikah, " kata Rio di depan kedua orang tuanya.Sebagai seorang ibu, tante Marini masih belum lupa seperti apa perasaanya ketika menyaksikan anaknya hampir mati tergeletak di halaman rumah tunangannya cuma beberapa hari menjelang pernikahan mereka.
Hari ini Rio sudah mulai kembali bekerja, Tiva segera ikut keluar begitu Rio pergi. Sejak beberapa hari ini Tiva memang sudah berpikir untuk mengunjungi makam bang Alif. Tiva sengaja tidak memberi tahu Rio karena Tiva memang ingin pergi seorang diri. Rio barub akan pulang sore jadi dia tidak perlu tahu.Tiva keluar dengan menggunakan taksi dan langsung pergi ke komplek pemakaman Elit di kawasan San Diego Hill. Tiva ingin sekali datang sendiri ke makam bang Alif karena rasanya sedang banyak sekali yang ingin dia bagi dengannya, mungkin Tiva hanya sedang butuh tempat untuk bercerita walaupun itu cuma batu nisan.Ini adalah kali pertama Tiva melihat pemakaman yang lebih nampak seperti hamparan perbukitan hijau dan luas layaknya lapangan golf, sama sekali tidak seperti pemakaman yang biasanya agak suram. Makam bang Nathan juga m
Tiva masih duduk diam setelah tante Marini pergi, Tiva sudah berjanji pada seorang ibu tapi sepertinya dia juga tidak bisa jika harus meninggalkan Rio begitu saja. Tiva butuh waktu, termasuk untuk menenangkan dirinya dulu.Kemarin Tiva pikir dengan kembali pulang dirinya tidak akan menemui masalah lagi tapi jika tahu bakal seperti ini mungkin kemarin dia akan lebih memilih agar Jane membuatkannya identitas baru dan hidup entah di manapun jika akhirnya dia tetap harus hidup sendiri.Sendiri di tengah-tengah orang asing rasanya jauh lebih baik dari pada harus sendiri di antara orang-orang yang dia kenal. Tiva benar-benar belum bisa memikirkannya sekarang, dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi Rio. Buru-buru Tiva menghapus benih air matanya yang mulai merembas. Sebentar lagi Rio pulang dan dia tidak boleh menyambutnya dengan wajah jele
"Aku tidak akan pergi, aku tidak akan ke mana-mana sampai kau tidak menginginkanku!"Sepertinya Tiva sudah mati rasa, hidup tapi sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi untuk dirinya sendiri. Karena semua rentetan bencana yang telah menimpanya tidak hanya membuatnya sebatang kara tapi juga telah membuatnya tidak memiliki pilihan apa-apa lagi dan masih juga harus dia tebus sendiri.Tiva tidak akan kemana-mana sampai Rio sendiri yang melepaskannya. Sampai di sini Tiva baru tahu seperti apa rasanya hidup dan bernafas tapi sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Tidak ada yang dia harapkan, tidak ada yang dia inginkan, semua harapannya sudah pudar, semua keinginannya sudah hilang. Hilang bersamanya yang telah pergi dan tidak bisa ia cari lagi ke ujung dunia manapun. Tidak bisa ia minta untuk kembali meskipun Tiva menangisinya hingga akhir hayat
Malam harinya Tiva merasa aneh dengan perasaanya sendiri, seperti orang yang terlalu paranoid. Dengan waspada dia mengunci pintu dari dalam dan sengaja membuka tirai jendela. Entah apa yang sedang ia tunggu karena membayangkan pikirannya sendiri saja tiba-tiba Tiva merasa sinting.Kembali Tiva memperhatikan jejak lukanya tadi pagi dan yakin dirinya tidak sedang berkhayal. Karena itu seharusnya kecemasannya ini juga tidak berlebihan. Tiva juga jadi teringat dengan mimpi mengerikannya kemarin malam. Mimpi ketika dia bertemu lagi dengan bang Nathan. Walaupun hanya dalam mimpi mengerikan, bahkan dengan sosoknya yang juga tidak terlalu jelas di tengah hujan, tapi rasanya tetap masih luar biasa bagi Tiva. Sepertinya Tiva juga rela jika harus memanjat tebing atau menyelami lautan hanya utuk bisa kembali meraih tangannya.
Begitu keluar dari kamar Tiva langsung bersiap membuatkan kopi dan roti lapis untuk sarapan Rio yang sepertinya masih berpakaian di kamarnya.Cangkir kopi yang sedang dia aduk tapi kepala Tiva yang justru sedang berputar, berputar lagi pada mimpinya semalam. Tiva jadi mulai khawatir bagaimana jika Rio sampai curiga karena Tiva yakin pipinya akan kembali merona jika teringat tiap detail kotor dalam mimpi sesatnya yang tidak berakhlak.Rio hanya menyapa sambil berjalan keluar dari kamar dan langsung duduk di meja pantry mereka yang sekalian berfungsi sebagai meja makan. Tiva mengitari meja untuk mendekatkan kopi yang baru dia buat. Tiva sudah hendak meletakkannya di depan Rio ketika tiba-tiba ia malah menjatuhkan cangkir berisi kopi panas itu. Sebagian tumpah mengenai celana Rio dan tangan Tiva sendiri.
Jika yang sudah bertahun-tahun namanya tertulis di nisan saja bisa tiba-tiba hidup lagi. Rasanya memang tidak ada yang tidak mungkin di dunianya yang semakin gila ini.Bang Nathan sudah berada di ambang pintu yang terbuka lebar menatap Tiva yang sedang berdiri di bawah shower, wanitanya yang begitu polos dengan tubuh lembutnya.Tiva juga masih tak bergeming dan tidak bicara apa-apa, membiarkan bang Nathan yang berjalan mendekatinya. Sampai cukup dekat ketika tangan kanannya mengepal dan sebuah tinju dia layangkan tepat di rahang pria di hadapannya. Suaranya kepalan tangannya sampai berderak dan Tiva sendiri sepertinya juga terkejut mengetahui ia bisa memukul sekencang itu dan buku-buku jarinya tidak nyeri.Walau pukulannya cukup keras tapi bang Nathan cuma berpaling sejenak oleh tinjun
Sebenarnya Nathan tidak pernah melepaskan Tiva dari pengawasannya barang sedetikpun karena Nathan memang tetap harus selalu waspada.Nathan sudah meretas data dari badan intelejen paling rahasia mengenai kasus dua puluh tahunan lalu. Dari situ Nathan mendapatkan informasi penting mengenai ujicoba rekayasa DNA pada individu dewasa. Sebuah kejahatan besar yang sengaja ditutupi dari mata dunia dengan keji. Karena itu Nathan segera sadar jika Tiva dalam bahaya dan kali ini Nathan tidak bisa bekerja sendiri. Dia memerlukan seseorang untuk membantunya.Nathan coba melacak keberadaan Naomi karena dia pikir hanya wanita itu yang bisa membantunya. Tapi sesuatu yang mengejutkan kembali membuatnya tercengang.Jika dulu Nathan heran kenapa Naomi seperti selalu ada di mana saja, sekarang dia baru t
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem