Ketika kembali terbangun ternyata hari sudah kembali pagi, Tiva melihat ke luar jendela yang tirainya masih terbuka sejak semalam. Ketika melihat barisan pegunungan di hadapannya Tiva langsung ingat dirinya sedang berada di mana, yang pasti bukan lagi di dalam kotak persegi dengan dinding berlapis foam kemarin. Jujur Tiva masih trauma jika harus kembali disuruh tinggal di tempat seperti itu lagi. Meskipun berada di tempat antah-berantah tapi ini tetap ribuan kali lebih baik dari tempat tinggalnya hampir sebulan kemarin.
Tiva juga langsung ingat jika semalam mungkin dirinya tertidur dengan sendirinya setelah menunggu bang Nathan yang tidak juga kunjung kembali meski janjinya hanya untuk keluar sebentar. Tiva baru bangkit dari tempat tidur dan masih duduk di atas ranjang ketika melihat bang Nathan yang ternyata sedang tertidur di sova. Seketika Tiva merasa lega dan tersenyum menyentu
Hari masih pagi ketika Tiva melihat bang Nathan sudah berpakaian prajurit lengkap dan sedang membongkar beberapa jenis senjata api. Ada beberapa tipe peluru yang dia pisahkan di atas meja."Apa kau akan menembak?" tanya Tiva yang tiba-tiba agak khawatir."Aku hanya akan menggantikan tugas Jack selama ada di sini. Jack masih dalam misi penyelamatan dan tugasnya sebagai instruktur menembak untuk sementara akan aku gantikan."Kadang Tiva masih sering lupa jika bang Nathan adalah seorang prajurit. Karena memang baru kali ini juga Tiva melihat bang Nathan berpakaian prajurit lengkap dan terlihat sangat berbeda. Tidak ada yang salah dengan pakaiannya semuanya pas dan melekat sempurna di tubuhnya yang tegap dan tampan. Tiva hanya memperhatikan papan nama yang tertera di dadanya. Tentu b
Setiap kali hanya ditinggal sendirian Tiva suka duduk di dekat jendela, dia suka memandang hamparan salju dan barisan gunung-gunung es abadi yang melintang sejauh mata memandang. Tiva juga suka melihat sisa bunga salju yang menempel di kaca setelah badai, kadang ia berpura-pura bisa menyentuhnya sambil mengetuk kaca. Tiva memang hanya bisa memandangi hamparan salju dari dalam jendela karena setelah sekian lama ternyata dia tetap tidak bisa terbiasa dengan hawa dingin di tempat ini. Pernah bang Nathan coba mengajaknya keluar dan ternyata kulit Tiva langsung seperti ruam-ruam bahkan sampai mimisan selama dua hari. Jadilah sejak saat itu Tiva sudah tidak pernah diijinkan lagi untuk keluar kamar. Waktunya lebih sering ia habiskan sendirian karena bang Nathan ternyata juga memiliki banyak kesibukan dengan berbagai tanggungjawabnya, namun demikian dia akan tetap disiplin menemaninya di setiap jam makan.
Belakangan ini bang Nathan tidak hanya menemani Tiva makan dan tidur tapi juga menemaninya mandi. Tiva suka diperlakukan dengan lembut dan akan mengijinkan tubuhnya disentuh asal jangan terlalu terburu-buru. Tiva suka membiarkan pria itu mencumbunya di bawah guyuran shower karena Tiva juga sedang suka menjadi basah.Kali ini bang Nathan melepas kaos basahnya lebih dulu dan asal melemparnya kelantai. Sepertinya dia juga bisa ikut gerah meskipun tubuhnya sedang diguyur air deras. Pakaian Tiva yang selalu kebesaran membuat pria itu mudah menurunkannya dari sisi manapun. Nathan menggulung sweater Tiva dari bawah untuk memperlihatkan perutnya yang bulat sempurna. Nathan suka melihatnya karena rasanya ajaib tiap kali memikirkan ada benihnya yang sedang tumbuh di tubuh gadis itu. Nathan segera berjongkok untuk menciumi Tiva di sana.
"Bagaimana kita bisa menikah? " tanya Tiva meskipun rasanya masih agak aneh jika harus membayangkan dirinya akan menikah dengan bang Nathan."Jack sudah berjanji akan membantuku.""Jack?" ulang Tiva karena bang Nathan memang sudah sering kali menyebutkan namanya tapi Tiva belum pernah bertemu dengannya sama sekali."Ya, tapi aku harus membawamu kabur dari tempat ini dan jangan sampai Jane tahu.""Bagaimana caranya?""Aku sudah mendapatkan ijin terbang untuk membawamu."Jadi Nathan sudah menyusun siasat dengan bantuan Eric. Nathan akan terbang mengunakan nama Jane untuk membawa Tiva dan Eric yang nantinya yang akan kembali, dengan be
"Kau sudah bangun?"Sebenarnya Tiva sudah bangun dari tadi bang Nathan saja yang baru sadar karena semalam dia memang tidur menjelang pagi. Terlalu banyak yang sedang pria itu pikirkan, karena membawa Tiva seperti ini benar-benar bukan perkara sederhana. Nathan harus sangat hati-hati karena terlalu banyak yang menginginkan mereka.Mulai sekarang Nathan harus menjaga Tiva seorang diri. Sementara tidak ada tempat di muka bumi ini yang benar-benar aman untuk mereka. Tidak masalah bagi Nathan tapi Tiva sangat lemah dan juga sedang mengandung anaknya. Nathan tidak bisa sembarangan membawa wanita hamil karena terlalu beresiko dalam perjalanan dan sementara ini mereka belum bisa menetap. Nathan sudah menyamarkan semua data termasuk transaksi rekening perbankan mereka yang selalu ia acak. Meski demikian bukanya mereka bisa aman karena itu Natha
Tiva masih berbaring memperhatikan pria di sebelahnya yang sedang memejamkan mata. Tiva tahu jika bang Nathan tidak tidur, mungkin sedang memikirkan sesuatu. Nathan memang sedang memikirkan sesuatu yang sedang tidak bisa ia bagi dengan siapapun. Tiva juga cuma diam tidak berani bertanya, gadis itu masih meringkuk lembut di sampingnya dan mulai memperhatikan detail indah dari pria yang masih setengah memeluknya sambil memejamkan mata.Tiva memperhatikan tulang hidung bang Nathan yang tinggi, alis dan bulu matanya yang tebal. Bang Nathan memiliki dagunya yang berbelah dalam dengan bibir penuh dan kedua jejak lesung pipinya ketika tersenyum. Seharusnya manusia tidak sesempurna itu, karena sepertinya bang Nathan memang memenuhi semua standar tanpa celah. Tapi tiba-tiba Tiva ingat jika mungkin penyempurnaan genetikanya yang juga membentuknya demikian. Tiva jadi meraba perutnya sendiri d
Nathan melihat Tiva hanya membolak-balik kalender kemudian membuat lingkaran dengan spidol merah."Sebaiknya kita, menemui dokter untuk memeriksa kandunganmu."Sejak mereka pergi dari pangkalan militer Tiva sudah tidak pernah lagi mendapat pemeriksaan dan ini sudah satu bulan sejak mereka dalam pelarian. Walaupun Tiva tidak pernah mengeluh macam-macam tapi Nathan tetap khawatir karena kandungan Tiva juga semakin membesar. Nathan juga harus bersabar dengan sikap dingin Tiva yang semakin jarang bicara. Nathan tahub jika Tiva masih sangat membencinya tapi sepertinya hormon kehamilan juga ikut membuatnya semakin parah. Tiva benar-benar masih sama sekali tidak mau ia dekati apalagi disentuh.Sudah dua minggu mereka tinggal di Manhattan rencananya Nathan akan membawa Tiva ke Massachusetts untuk melahirkan di tempat yang lebih Nathan kenal. Sebenarnya Tiva ingin kembali ke Tokyo karena sepertinya Tiva suka tinggal di sana tapi perjalanannya terlalu jauh dan kandungan T
Ini adalah kali pertama Tiva benar-benar melihat rumah setelah sekian lama. Karena sejak kabur dari pangkalan militer biasanya mereka hanya tinggal dari hotel-ke hotel dan Tiva mulai jenuh. Tiva rindu halaman, rindu tetangga dan melihat rumah itu membuat Tiva merasa hampir normal sampai ia lupa jika mereka sedang hidup dalam pelarian."Semoga kau suka."Tiva langsung mengangguk dan tersenyum melihat rumah yang serba bercat putih tersebut.Bukan rumah mewah hanya rumah dengan dua kamar tapi dengan halaman rumput yang di naungi tanama cemara berdaun rindang. Tiva suka sangat suka,cuacanya juga sangat sejuk meskipun di tempat lain sedang musim panas.Itu adalah rumah yang dulu Nathan tempati bersama adik perempuannya Erica dan meru