Tiva masih berbaring memperhatikan pria di sebelahnya yang sedang memejamkan mata. Tiva tahu jika bang Nathan tidak tidur, mungkin sedang memikirkan sesuatu. Nathan memang sedang memikirkan sesuatu yang sedang tidak bisa ia bagi dengan siapapun. Tiva juga cuma diam tidak berani bertanya, gadis itu masih meringkuk lembut di sampingnya dan mulai memperhatikan detail indah dari pria yang masih setengah memeluknya sambil memejamkan mata.
Tiva memperhatikan tulang hidung bang Nathan yang tinggi, alis dan bulu matanya yang tebal. Bang Nathan memiliki dagunya yang berbelah dalam dengan bibir penuh dan kedua jejak lesung pipinya ketika tersenyum. Seharusnya manusia tidak sesempurna itu, karena sepertinya bang Nathan memang memenuhi semua standar tanpa celah. Tapi tiba-tiba Tiva ingat jika mungkin penyempurnaan genetikanya yang juga membentuknya demikian. Tiva jadi meraba perutnya sendiri d
Nathan melihat Tiva hanya membolak-balik kalender kemudian membuat lingkaran dengan spidol merah."Sebaiknya kita, menemui dokter untuk memeriksa kandunganmu."Sejak mereka pergi dari pangkalan militer Tiva sudah tidak pernah lagi mendapat pemeriksaan dan ini sudah satu bulan sejak mereka dalam pelarian. Walaupun Tiva tidak pernah mengeluh macam-macam tapi Nathan tetap khawatir karena kandungan Tiva juga semakin membesar. Nathan juga harus bersabar dengan sikap dingin Tiva yang semakin jarang bicara. Nathan tahub jika Tiva masih sangat membencinya tapi sepertinya hormon kehamilan juga ikut membuatnya semakin parah. Tiva benar-benar masih sama sekali tidak mau ia dekati apalagi disentuh.Sudah dua minggu mereka tinggal di Manhattan rencananya Nathan akan membawa Tiva ke Massachusetts untuk melahirkan di tempat yang lebih Nathan kenal. Sebenarnya Tiva ingin kembali ke Tokyo karena sepertinya Tiva suka tinggal di sana tapi perjalanannya terlalu jauh dan kandungan T
Ini adalah kali pertama Tiva benar-benar melihat rumah setelah sekian lama. Karena sejak kabur dari pangkalan militer biasanya mereka hanya tinggal dari hotel-ke hotel dan Tiva mulai jenuh. Tiva rindu halaman, rindu tetangga dan melihat rumah itu membuat Tiva merasa hampir normal sampai ia lupa jika mereka sedang hidup dalam pelarian."Semoga kau suka."Tiva langsung mengangguk dan tersenyum melihat rumah yang serba bercat putih tersebut.Bukan rumah mewah hanya rumah dengan dua kamar tapi dengan halaman rumput yang di naungi tanama cemara berdaun rindang. Tiva suka sangat suka,cuacanya juga sangat sejuk meskipun di tempat lain sedang musim panas.Itu adalah rumah yang dulu Nathan tempati bersama adik perempuannya Erica dan meru
Diam-diam Nathan memperhatikan Tiva yang belakangan ini sering duduk diam melihat ke luar jendela, sesekali tangan gadis itu membelai puncak perutnya yang semakin membesar. Padahal Tiva yang dia ingat dulu adalah seorang gadis yang ceria dan agak cerewet jika berada di sekitar abangnya. Nathan jadi mulai merasa mungkin dirinya adalah pria paling membosankan karena lebih sering sibuk dengan urusannya sendiri.Tiva memang tidak pernah rewel lagi ataupun protes tapi bagaimanapun Tiva masih terlalu muda, meskipun dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja bukan berarti Nathan tidak bisa menebak apa yang sedang berada di pikirannya. Semua lingkungan ini sudah terlalu asing bagi Tiva, ditambah harus melalui kehamilan tanpa bimbingan atau nasehat dari orang yang lebih tua. Nathan hanya bisa membawanya ke dokter seperti kemarin tanpa bisa benar-benar paham apa yang sebenarnya
Hari masih terlalu pagi ketika Tiva terbangun dan melihat bang Nathan sedang mengemasi barang-barangnya."Kita mau ke mana lagi?" Tiva langsung tahu jika mereka akan kembali pergi."Maafkan aku, Tiva. Sungguh ini di luar rencana tapi kita harus pergi sekarang juga."Tiva masih bingung karena kemarin rencananya mereka memang akan tinggal sampai bayi mereka lahir, dan Tiva juga sudah mulai nyaman tinggal di rumah tersebut."Ayo, bersiaplah, kita harus buru-buru." Nathan sudah menarik Tiva yang baru bangkit dari tempat tidur untuk cepat-cepat mandi."Apa ada masalah?" Tiva masih bertanya."Kita hanya tidak bisa tinggal di sini lagi."
"Jane tolong aku...!"Tiap kali cuma Jane lagi yang akan Nathan cari.Nathan masih terlalu panik dan nyaris gila jika tidak ingat Tiva lebih butuh kewarasannya di banding egonya sendiri.Tiva makin terkulai lemah dalam pelukannya dan darah segar masih terus merembas dari sisi perutnya, menembus gaun pink pucat yang sedang dikenakannya."Bertahanlah, Tiva. Bertahanlah!"Nathan menyentuh pipi Tiva yang hangat tapi gadis itu sudah tidak bisa bicara, nafasnya mulai lemah dan tersendat. Nathan takut-sangat takut ketika Tiva menatapnya seperti itu."Jangan pergi, jangan pergi...."______ "Oh, Tuhan..." _________ "Oh ,Tuhan..." Tiva s
"Bagaimana kondisinya?" tanya Jane yang baru tiba dan berjalan cepat sambil melepas sarung tangannya."Nampaknya sudah jauh lebih baik," kata Naomi mengekor di belakang Jane yang sepertinya juga sudah tidak sabar untuk memastikan sendiri kondisi Tiva."Tapi sepertinya kau juga harus lebih waspada, " tambah Naomi.Baru kemudian Jane berhenti dan berbalik menatap wanita muda berambut gelap yang juga sedang balas menatapnya dengan serius."Ikut aku!" perintah Naomi dan Jane balik mengikuti wanita itu ke ruang laboratoriumnya."Aku terpaksa memberikan darah nomor 4 dan sepertinya itu berpengaruh pada proses penyembuhannya.""Apa maksudm
Nathan kembali melipat kertas yang sudah puluhan kali dia baca dan mengembalikannya ke dalam toples bersama kedua gelang perak Tiva dan benda-benda lain yang juga masih Tiva tersimpan di sana. Sangat masuk akal jika gadis seperti Tiva suka mengumpulkan semua benda-benda sepele yang menurutnya berharga. Gadis yang terlalu manis untuk berada di dunianya.Nathan tahu ini akan berat dan juga bukan keputusan yang mudah baginya. Tapi bukanya dia tidak pernah mencoba, Nathan sudah pernah coba membawa Tiva kabur dan mengabaikan segalanya tapi apa yang akhirnya terjadi justru Tiva hampir kehilangan nyawanya.Kali ini Natha memang sudah bertekad untuk mengembalikan semua kehidupan Tiva, bahkan Nathan juga sudah membenahi mobil Alif sebagai salah satu janjinya.Nathan memperhatikan benda ya
"Aku melihat mereka menembakmu."Rio mengangguk kemudian menunjukkan bekas sengatan peluru di sisi perutnya dan Tiva kembali menangis."Kupikir aku sudah kehilanganmu."Sampai sekarang Tiva masih tidak tahan jika harus mengingat tubuh Rio yang jatuh di halaman sementara dirinya tidak dapat berteriak atau berlari memeluknya. Semuanya terlalu mengerikan dan semakin mengerikan. Seperti bencana yang terus datang bertubi-tubu tanpa henti sampai Tiva tidak dapat membedakan lagi mana yang nyata dan mana yang cuma halusinasi.Tapi hari ini Tiva melihat Rio masih hidup dan untuh, rasanya sangat luar biasa sulit di percaya jika pemuda yang ada di hadapanya kali ini adalah nyata.Rio juga hanya
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem