Malam baru saja merambat ketika Rani dan Azka sedang duduk di bangku salah satu taman kota. Tidak jauh dari hadapan mereka, beberapa orang sedang mengambil foto diri. Di bawah lampu-lampu yang berpijar terang. "Permintaanmu itu melanggar kode etik Ran," ujar Azka setelah Rani meminta bantuannya. "Aku yang akan menanggung resikonya," jawab Rani sambil menatap lurus ke depan. Azka kemudian memberikan saran, "Menurutku kamu bicarakan secara baik-baik saja dulu!""Sudah, jawaban mereka sama. Aku hanya ingin tahu kebenarannya saja!" jawab Rani yang menceritakan masalah rumah tangganya secara garis besar saja. Azka menghela nafas panjang dan berkata, "Kenapa kamu tidak menunggu sampai anak itu lahir dulu, kalau tidak sesuai dengan perjanjian baru ambil keputusan!""Kalau Mas Zian terbukti mengkhianatiku, aku akan ambil keputusan sekarang juga. Kamu tahu kan aku paling tidak suka menunggu, kalau ujung-ujungnya akan tetap tersakiti. Sekarang atau nanti sama saja bukan!" sahut Rani dengan
Hujan membuatku berteduh di salah satu cafe. Sepertinya enak minum segelas cappucino panas untuk menghangatkan badan. Setelah beberapa jam, entah mengapa aku malas sekali pergi dari tempat ini. Padahal tinggal aku sendiri yang masih duduk. Ketika hendak beranjak, tiba-tiba aku mendengar suara yang amat femiliar. "Hati-hati ya!" pesan seorang wanita pada dua orang pegawai cafe. Jantungku berdetak sangat cepat karena tidak menyangka bertemu Rani lagi di sini. Pertemuanku dengannya bisa dikatakan takdir. Di saat aku sudah melupakan kenangan dan mengubur rasa yang pernah ada. Keadaan cafe yang sepi seolah mendukung kami untuk bertegur sapa setelah sekian tahun tak bersua. Aku segera memesan capucino lagi sebagai cara menyapanya. "Silahkan Pak!" ujar Rani sambil meletakan pesananku. "Sepertinya hujan telah menghapus jejakku dalam ingatanmu," ujar ku mempraktekan salah satu bait dari novel yang pernah kucaba. Aku dulu memang pernah menyukai Rani. Sayang aku telat menyatakan perasaan in
Rani sangat terkejut sekali ketika mengetahui hampir semua galeri ponsel Dahlia berisi foto Zian. Bahkan ada yang dikolase dengan fotonya sendiri dan kata-kata romantis. "Benar dugaanku Dahlia sudah menyukai Mas Zian jauh sebelum kejadian itu," ujar Rani mulai berpikir yang tidak-tidak. Namun, ia tidak menemukan bukti kalau Zian mempunyai perasaan yang sama. Rani jadi teringat kata-kata Azka untuk menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu. Memang Dahlia tidak salah mencintai suaminya. Akan tetapi, bisa jadi salah kalau merebut Zian dengan cara yang licik dan di sini Rani merasa sebagai korbannya karena tersakiti. "Aku harus temui Dahlia dan bicara dari hati ke hati," lirih Rani yang memutuskan pergi ke rumah madunya itu. Tidak lupa Rani membawakan buah dan rujak sebagai alasan untuk datang ke rumah Dahlia. Setelah melewati kemacetan, akhirnya ia sampai di tempat tujuan. Namun, Rani tampak terkejut ketika melihat mobil Zian ada di car port rumah Dahlia. "Kenapa Mas Zian ada di rumh
"Maaf lupa bilang sama kamu, kalau hari ini Mas pulang ke Bekasi. Tadi Dahlia sakit perut, setelah diperiksa dokter ternyata kebanyakan makan sambel rujak yang pedes," jawab Zian dengan jujur. Rani kembali bertanya, "Terus bagaimana keadaan Dahlia?" "Sudah lebih baik sih, tapi nanti Mas langsung kembali ke proyek ya. Soalnya pekerjaan di sana belum selesai!" jawab Zian sambil memberitahu. "Ya sudah, hati-hati!" pesan Rani menyudahi panggilan itu. Teh Ratih kemudian berkata, "Sudah tahu kan alasan Zian, sekarang tenangkan hatimu!"Rani tampak mengangguk dan berusaha berpikir positif. Wajar Zian mencemaskan Dahlia dan langsung datang ke rumahnya. Selain itu perjalan dari luar kota mungkin membuat suaminya lelah, jadi ketiduran. siang. Mungkin ia sedang dilanda cemburu berat karena sampai saat belum bisa menerima dimadu. Namun, sebagai orang yang pernah dibohongi Rani sudah tidak percaya sepenuhnya lagi. Kata hatinya tetap ingin melanjutkan penyelidikan itu. "Ya Allah, aku tidak t
Rani memutuskan untuk pulang, padahal tubuhnya masih lemas. Rasanya ia ingin tinggal di Bogor dan menyerah dengan keadaannya. Memang Zian telah memberi penjelasan, tetapi kata hati Rani tidak bisa percaya begitu saja. Belum lagi logikanya yang terus berperang hebat dengan perasaan. Sehingga membuat Rani merasa lelah dan tersakiti. Dengan pikiran yang entah ke mana Rani menuju ke parkiran mobil. Tanpa ia sadari tiba-tiba dari arah samping meluncur sebuah mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Terdengar suara klakson berkali-kali bersamaan seseorang menarik tubuh Rani."Mbak, hati-hati kalau jalan hampir saja ketabrak!" ujar pengemudi mobil yang kaget melihat Rani tiba-tiba menyebrang."Maaf Pak," ucap Azka sambil memegangi bahu Rani yang bergetar. "Lain kali istrinya dijagain Mas, kalau sampai keserempet nanti saya yang disalahkan!" pesan pengemudi itu yang dijawab anggukan oleh Azka. Sementara itu Rani hanya terdiam dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Hampir saja ia ketab
Akhirnya setelah menunggu beberapa bulan, Zian bisa bernafas lega karena masalah pekerjaannya telah selesai. Orang-orang yang telah mengkhianatinya telah tertangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Kini ia bisa fokus menjalani pernikahan poligaminya. Sejak memberikan nafkah batin untuk Dahlia, setiap pulang ke Bekasi entah mengapa pasti Zian melakukannya lagi. Ia tidak bisa menahan hasratnya seperti dulu. Apalagi semakin hari sikap dan penampilan Dahlia membuat pria itu merasa nyaman. Sehingga Zian jadi betah berlama-lama di rumah istri mudanya karena sudah tidak bisa membedakan antara cinta dan gairah. "Mas, kalau nanti anak kita sudah lahir boleh nggak tinggal sama aku dulu selama empat puluh hari?" pinta Dahlia yang sedang tiduran di dada Zian. Zian tampak terdiam sejenak, setelah beberapa saat kemudian menyahuti, "Nanti aku bicarakan dulu sama Rani bagaimana baiknya.""Semoga Mbak Rani mau mengerti," ucap Dahlia dengan sendu. Zian tidak menyahuti lagi karena tidak tahu h
Dahlia sangat terkejut sekali melihat kedatangan Rani yang tiba-tiba. Akan tetapi, ia langsung tersenyum dan menyalami kakak madunya itu. "Aku baik-baik saja Mbak Rani, silahkan masuk!" jawab Dahlia sambil mengajak. Rani segera mengikuti Dahlia ke ruang tamu. Tidak lupa ia memberikan bawaannya yang berupa buah-buahan. Mereka kemudian duduk berhadapan dan langsung bercakap-cakap. "Terima kasih Mbak Rani, kok nggak bilang mau ke sini. Aku tidak punya kue buat jamuan. Jadi harap maklum ya, kalau apa adanya," ujar Dahlia dengan seramah mungkin. "Aku buatkan minum dulu ya!" ujarnya hendak beranjak. "Tidak usah repot-repot, Lia. Tadi Mbak habis jenguk teman. Kebetulan rumahnya di sekitar sini jadi Mbak sekalian mampir," ujar Rani yang tidak sepenuhnya jujur. "Mbak tahu dari mana rumahku di sini. Mas Zian yang kasih tahu ya?" tebak Dahlia yang dijawab anggukan oleh Rani. Rani mengakui Dahlia semakin cantik sejak terakhir kali mereka bertemu. Suaranya terdengar manja dan banyak tersenyu
"Aku memang salah, tapi tidak pernah terbesit sedikitpun untuk merebut Mas dari Mbak Rani. Aku minta maaf, kalau kehadiranku dan anak ini membuat rumah tangga kalian tidak harmonis lagi. Lepaskan aku Mas dan biarkan kami pergi. Anggap saja kami tidak pernah ada!" ujar Dahlia sambil terisak. Zian tampak menghela nafas panjang mendengar kata-kata Dahlia. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi pernikahannya ini. Dahlia memang salah, tetapi anak itu tidak bersalah meskipun keberadaannya akibat sebuah kesalahan. Mungkin masalahnya Rani belum bisa menerima kehadiran anak itu dengan ikhlas. Kalau sudah seperti ini, Zian tidak tahu harus menyalahkan siapa"Sudahlah jangan menangis lagi, kasihan anak kita!" seru Zian sambil memeluk Dahlia dengan erat. Selain bicara sama istri mudanya, Zian juga membahas pernikahannya dengan ibunda Rani. Mereka sama-sama mencari jalan ke luar yang terbaik agar tidak ada pihak yang tersakiti. "Sebagai seorang ibu, saya minta maaf atas perbuatan Dahlia sama
"Kalau Mas Zian sudah membaca surat ini, berarti aku sudah pergi jauh. Jangan merasa bersalah karena keputusan ini murni pilihanku sendiri. Setelah tahu Mas Zian menikah lagi aku selalu berusaha menerima takdir ini dengan ikhlas. Tapi aku gagal, tidak bisa fokus beribadah terutama salat karena setiap saat bayangan kebersamaan kalian yang terus menggerogoti pikiranku."Tiba-tiba air mata Zian berjatuhan membayangkan betapa sakit dan hancurnya perasaan Rani. Dibalik kata tidak apa-apa dan sikapnya yang selalu pengertian ternyata Rani sangat menderita. Terpuruk, kesepian dan selalu merasa sendirian. Setelah menyeka air matanya, ia kembali melanjutkan membaca surat itu lagi. "Aku doakan Mas Zian bisa hidup bahagia bersama Dahlia dan Rizqi selamanya. Maafkan kalau selama ini sebagai istri aku banyak membangkang dan tidak menurut. Sungguh aku sudah belajar menerima, tetapi tetap tidak bisa. Apa pun yang Mas ketahui nanti pesanku jangan pernah lakukan kesalahan yang sama lagi. Selamat tingg
Sebenarnya berat bagi Zian untuk menceraikan Rani. Akan tetapi, pengkhianatan wanita itu baginya sudah fatal. Seandainya saja mereka baru melakukannya, mungkin Zian masih bisa memaafkan. Sayang ternyata sudah cukup lama dan tidak bisa ditolelir lagi. Terlebih Rani membandingkannya dengan Azka. Zian tidak menyangka Rani tega melakukan itu. Padahal selama ini selalu pengertian dan mengalah. Ternyata semua itu hanya kamuflase untuk menutupi perselingkuhan mereka. Zian memang masih mencintai Rani, tetapi perpisahan mungkin yang terbaik bagi keduanya. Zian dan Rani memilih untuk tidak hadir dalam panggilan sidang. Mereka hanya diwakili pengacara dari kedua belah pihak. Selama masa persidangan Rani tetap menempati rumahnya. Hingga tepat sebulan kemudian hakim mengetuk palu. Mengakhiri hubungan cinta dari yang pernah menyatukan mereka. Sebagai mantan istri, tentu saja Zian telah memberikan harta gono-gini yang sesuai untuk Rani. Ia berencana akan menemui wanita itu pada siang ini. Anggap
Seiring berjalannya waktu, Zian lebih memperhatikan Rani. Ia bahkan berusaha membagi waktu dengan seadil mungkin. Zian juga melarang Dahlia dan keluarganya memposting apa pun soal Rizqi. Namun, apa pun yang Zian lakukan belum bisa mengembalikan cinta Rani seperti dulu lagi."Sebaiknya aku anterin makan siang buat Mas Zian," ujar Rani yang ingin memperbaiki hubungannya dengan Zian agar bisa seperti dulu lagi. Selesai masak Rani langsung bersiap-siap. Setelah rapih, ia segera pergi ke kantor Zian. Dengan mengunakan taksi online. Ketika sampai di tempat tujuan, waktu menunjukan pukul setengah dua belas siang. Seorang security langsung menghampiri Rani yang memakai kaca mata dan masker. "Selamat siang Bu, ada yang bisa kami bantu?" tanya security itu dengan ramah. "Saya membawakan pesanan makan siang buat Pak Zian. Beliau minta saya untuk mengantarkan langsung ke ruangannya," jawab Rani yang berpura-pura sebagai pegawai catering. Dengan bingung security itu berkata, "Pak Zian baru s
Alunan musik pop mengalun merdu di cafe Rain. Dua insan sedang duduk bercakap-cakap sambil menikmati coffee latte dan cappucino. Rani semakin dekat dengan Azka. Bahkan hampir setiap hari mereka bertemu di cafe untuk ngobrol sambil minum kopi. Tina dan Laras sudah biasa melihat keakraban mereka. Bahkan terkadang ikut nimbrung, kalau cafe sedang sepi."Kamu tidak bilang sama Zian, kalau madumu dan ibunya matre?" tanya Azka setelah mendengar cerita Rani. "Percuma, pasti Mas Zian menganggap aku cemburu. Lagipula mereka akan menggunakan anak itu sebagai ahli waris. Biarkan saja waktu yang memberitahunya kelak!" sahut Rani yang tidak mau menjelek-jelekan Dahlia dan ibunya. "Aku yakin sekali Zian pasti akan menyesal suatu hari nanti," timpal Azka kembali. Sambil mengangkat kedua bahunya Rani menimpali, "Entahlah, kalau aku lihat Mas Zian sekarang sedang bahagia menjadi seorang ayah. Menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia, semoga selamanya seperti itu.""Tapi tidak adil untukmu," c
Hari demi hari berlalu Rani mulai merasakan ketidak adilan. Zian lebih sering berada di rumah Dahlia dengan berbagai macam alasan. Mulai dari anaknya sakit, rewel sampai hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi sendiri oleh Dahlia. Dari tiga hari jatahnya, paling hanya sehari Zian bersamanya itu pun hanya malam saja. Entah mengapa Rani merasa seperti wanita simpanan yang hanya dijenguk kalau diperlukan saja. Apakah seperti ini nasib istri yang tidak bisa punya anak. Harus sering mengalah demi kebahagian orang lain. Di perusahaan juga sudah banyak karywanan yang tahu perihal Zian menikah lagi dan mempunyai anak. Bahkan di media sosial Dahlia dan keluarga suaminya sudah terang-terangan memposting kebersamaan Zian dan Rizqi. Mereka sudah tidak lagi menjaga perasaan Rani. Apa yang Rani takutkan dulu kini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Dipaksa menerima keadaan dan kenyataan, sungguh sakit tak berdarah. "Sayang maaf ya, hari ini Mas tidak pulang, Rizqi sakit," ujar Zian member
Mentari baru saja meninggi ketika Zian kedatangan tamu. Ia yang mau berangkat kerja menyempatkan diri untuk menemui orang itu. "Permisi Pak, apa benar di sini rumah Ibu Khairani?" tanya seorang pria yang berpakaian cukup rapi. "Iya benar, ada apa Mas?" jawab Zian sambil balik bertanya. Pria itu kembali menjawab, "Kami dari tim marketing Abadi Jaya mau mengantarkan pesanan motor Ibu Rani!" Zian tampak terkejut mengetahui istrinya membeli motor. Setelah marketing itu menyerahkan motor dan kuncinya, ia segera menemui Rani di kamar. "Buat apa kamu beli motor, Mas bisa belikan mobil yang sama kayak punya kamu dulu?" tanya Zian dengan heran. "Naik mobil macet," jawab Rani secara logis. Zian tampak menghela nafas panjang mendengar jawaban Rani yang hanya seperlunya saja. "Mas nggak bolehin kamu bawa mobil apalagi motor. Resikonya lebih besar, Sayang!" tegas Zian yang tidak mau terjadi sesuatu sama Rani. "Hidup mati kita sudah ditakdirkan Allah, jadi jangan terlalu mencemaskan aku!"
"Biarkan Dahlia tinggal di sini, dia dan anak itu lebih membutuhkan Mas daripada aku!" ujar Rani yang membuat Zian terkejut. "Tolong jangan bicara seperti itu, kamu juga sangat berarti di dalam hidup Mas. Tapi bukankah kamu bilang dalam satu istana tidak boleh ada dua ratu?" sahut Zian yang tidak mengerti dengan pemikiran Rani. Rani tampak mengangguk kecil dan membenarkan dengan berkata, "Memang benar, tapi Dahlia sudah melahirkan anak Mas. Jadi biarkan aku yang ke--""Cukup!" potong Zian yang sudah tahu arah pembicaraan Rani. Ia kemudian berkata dengan tegas, "Bagiku kamu adalah ratu di rumah ini sampai kapan pun!""Baiklah, kalau begitu Dahlia dan anak itu tidak boleh pergi dari rumah ini. Aku berangkat dulu, assalamualaikum!" pamit Rani yang segera menyalami tangan Zian dan segera berlalu. Zian ingin sekali melarang setidaknya menemani Rani pergi karena tidak bekerja hari ini. Akan tetapi, ia ingat pesan Teh Ratih yang tidak boleh memaksakan kehendak karena Rani masih perlu wakt
Sebuah mobil tampak berhenti di parkiran ruko. Tidak lama kemudian Zian turun dari kendaraan itu dan tergesa-gesa masuk ke cafe Rain. Tentu saja ia sudah diberitahu oleh asisten, kalau Rani telah pulang. Akan tetapi, pergi lagi setelah membawa sebuah tas berukuran cukup besar. Zian bertemu dengan Teh Ratih di lantai dasar. Setelah berbicara sebentar, ia segera naik ke lantai atas untuk menemui Rani. "Sayang, alhamdulilah kamu sudah sadar. Mas kangen sekali sama kamu, ayo kita pulang!" ujar Zian sambil memeluk Rani dengan penuh kerinduan. Namun, Rani tidak membalas pelukan suaminya. Ia begitu dingin, sampai Zian melepas pelukannya. Zian menatap Rani dengan saksama, masih cantik alami seperti sebelum tragedi itu terjadi. Akan tetapi, sangat dingin seolah bukan Rani yang dikenalnya. Tentu saja ia tahu apa yang menyebabkan istrinya berubah. "Maaf, Mas tidak pernah bermaksud menduakan kamu dengan menikahi Dahlia secara sah. Tapi anak itu butuh kepastian hukum secepatnya karena kata do
Rani tidak tahu berada di mana karena sekelilingnya hanya berwarna putih. Tidak ada siapa pun di tempat itu, baik orang hewan atau tumbuhan. Hanya terdengar suara yang sangat jauh. Seolah menuntunnya untuk terus berjalan ke arah sumber suara. Rani terus melangkah hingga suara yang tadi jauh mulai terdengar samar. Lalu sedikit-sedikit ia mulai tahu kata-kata itu dan akhirnya semakin jelas. "Mas Zian," batin Rani sambil membuka matanya dengan perlahan, tetapi cahaya terang membuatnya harus berkali-kali mencoba lagi. Sampai akhirnya ia dapat mengetahui siapa pemilik suara merdu itu. "Shodaqallah hul'azim ....""Teh Ratih," panggil Rani dengan suara yang lemah. Teh Ratih menoleh dan tampak terkejut melihat Rani sudah siuman dari komanya. Dengan spontan ia berucap, "Allahu Akbar, Alhamdulillah .., Rani akhirnya kamu sadar juga," ujarnya dengan haru. "Aku kenapa ada di sini Teh?" tanya Rani ketika menyadari berada di kamar inap. Teh Ratih tidak menyahuti dan langsung memanggil tenaga