Bagas mendekati Syamsul yang berdiri terpaku.
"Kamu kenapa, Syam?"
"Ibuku kecelakaan, lukanya cukup serius, sekarang ada di rumah sakit, sialnya, penabrak melarikan diri, sekarang ibu harus segera di operasi, tulang kaki sebelah kanan patah, aku bingung. Adikku sudah membayar biaya awal, itupun hanya setengahnya dari jumlah yang harus di bayarkan, dapat pinjam juga dari tetangga dan adikku sudah menandatangani surat operasi, sebagai penanggung jawab, karena kalau menunggu aku pasti kelamaan." ucap Syamsul yang tertunduk lesu, wajahnya di liputi kesedihan.
"Ya Allah, mending kamu pulang temui ibumu segera, nanti ijin saja tidak masuk beberapa hari."
"Maunya begitu, Gas, tapi apa bisa aku ijin beberapa hari, pulang ke Jogyakarta itu jauh, andai bisa, paling sebentar aku ijin dua hari apa tiga hari, tapi uangku nggak bakalan cukup untuk biaya rumah sakit, aku ada tabungan tapi tidak banyak, kamu mau nggak bantu aku, beli motor aku atau nggak gadai juga boleh
Syamsul beranjak dari duduknya, menghampiri adiknya."Dek, kalau ada apa - apa sama ibu, cepat hubungi Mas, sekarang Mas dan teman Mas mau pulang dulu, nanti siang Mas ke sini, kamu mau Mas bawain apa? oh iya, Mas pinjem motornya.""Apa aja Mas." Sambil meyerahkan kunci motor kepada Syamsul.Syamsul dan Bagas berpamitan, dan segera menuju parkiran rumah sakit, keduanya segera menuju rumah Syamsul, untuk istirahat terlebih dahulu. Dalam perjalanan ke rumah Syamsul, mereka saling mengobrol."Coba ya kamu ke sininya pas aku lagi nggak ada musibah, sudah aku ajak keliling kota Jogyakarta," ucap Syamsul sambil masih fokus mengendarai motor melihat jalan."Next time aja, kita bisa ke sini lagi.""Okay, nanti aku pasti ajak kamu ke sini lagi, kita jalan - jalan ya? di sini tempat wisatanya bagus - bagus, banyak bule cantik - cantik, dan makanannya enak, murah lagi.""Siap Mas Bro!"Keduanya sudah tiba di rumah Syamsul, setelah members
Telepon sudah terputus, Bagas mencoba menelpon balik, tapi nada tidak tersambung, Bagas menoleh ke arah Adelia."Sayang, aku harus ke rumah Bu Laras, sepertinya terjadi sesuatu, tadi ia menelpon langsung teriak meminta tolong, dan tiba - tiba telepon terputus, dan aku telpon balik juga tidak nyambung - nyambung, aku hanya takut terjadi sesuatu hal yang buruk, bagaimanapun ia karyawanku, aku tinggal sebentar ya, nggak apa - apa kan, sayang?""Aku ikut.""Tapi sayang, bagaimana kalau hal buruk terjadi, dan kamu juga bisa celaka.""Terus aku harus diam saja kalau melihat kamu celaka, andai memang ada hal buruk.""Ya sudah, ayo sayang, kita harus bergegas ke rumahnya."Keduanya beranjak dari duduknya dan segera ke arah pintu keluar."Mau pada kemana? Ikut, pengen jalan - jalan, janji nggak akan ganggu kalian berdua." Sinta langsung berbicara tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."Kita bukan mau jalan - jalan, tapi ke rumah Bu Lar
Bagas langsung menemui Syamsul yang menunggunya di warung, tidak jauh dari kosan Heni, Bagas sudah menelpon lebih dulu kepada Syamsul untuk meminta maaf karena telat menjemput. Bagas menghentikan motornya tepat di pinggir warung, melangkah mendekati Syamsul yang sedang fokus dengan ponselnya, sampai tidak menyadari Bagas sudah tiba di warung."Syam, sorry, jadi nggak enak kamu nunggu di warung?"Syamsul menanggapi Bagas tanpa rasa kesal atau marah karena sudah di buat menunggu."Santai Bro, kita ngopi - ngopi dulu aja?" Syamsul kembali berkutat dengan ponselnya.Bagas duduk di depan Syamsul dan memanggil si ibu warung, awalnya ingin memesan es milo, namun udara sedang dingin sekali sehingga Bagas memilih memesan secangkir kopi hangat, setidaknya bisa menghangatkan tenggorokannya."Serius amet, Syam? maen game?""Bukan, ini lagi chattingan sama adikku." Tanpa melihat Bagas dan tetap fokus dengan jempolnya yang serius mengetik layar pons
Sementara Syamsul, yang kini sudah berada di ruangan Ali, sedang berdiri menunggu dengan fikiran yang bercabang kemana - mana, melihat Ali sedang sibuk dengan laptopnya, wajahnya sangat serius, sehingga membuat ketegangan menyelimuti Syamsul, ia hanya takut panggilan Ali saat ini memberinya surat peringatan (SP) atau malah pemecatan dirinya. Dalam batin Syamsul. 'Ya Allah, semoga bukan hal buruk yang akan di sampaikan Pak Ali, kalau iya aku di kasih surat peringatan (SP) atau di pecat, gimana nanti ibuku yang masih perlu pengobatan, di tambah hutang sama Bagas, baru pinjam banget, kalau aku di pecat gimana bayarnya, Ya Allah Ya Rabb, tolong Syamsul.'"Sebentar ya Syam, kamu duduk saja, jangan berdiri terus, saya selesaiin kerjaan dulu, soalnya pengganti saya akan datang hari ini," ucap Ali yang kembali menatap layar laptopnya."Baik Pak."Setelah sepuluh menit Syamsul menunggu. Akhirnya Ali menutup laptopnya, meraih sebuah amplop putih dari laci mejanya, melangk
Adelia tersenyum ramah mendengar pertanyaan Winda, sebelum akhirnya ia menjawab apa yang menjadi keraguan Winda dan yang lainnya, ia menatap Bagas, seakan meminta persetujuan Bagas untuk Adelia memberitahukan statusnya dengan Bagas, karena Adelia takut salah bicara. Bagas menganggukan kepalanya sebagai isyarat, bahwa, apa yang ingin Adelia sampaikan kepada teman - temannya, untuk di sampaikan saja."Syamsul, Winda dan Heni, mungkin kalian bertanya - tanya soal aku dan juga Bagas, apa benar kita pacaran, aku mewakili Bagas akan menjawab keraguan kalian, kalau kita memang pacaran dan aku serius kepada Bagas, bukan ingin main - main, bukankah cinta tak pernah memandang status seseorang, aku Adelia tulus kepada Bagas dan doakan kami agar kami sampai jenjang pernikahan." Adelia menjawab keraguan teman - teman Bagas dengan mantap dan tegas, terutama pertanyaan Winda yang kesannya menganggap Adelia seperti main - main kepada Bagas.Adelia tidak menyalahkan sikap teman - teman
Sementara Adelia yang terus berlari menuju room-nya, di kejar oleh Bagas, karena Bagas berlari cukup kencang, akhirnya bisa menyusul Adelia. "Adelia, tunggu!" teriak Bagas yang kini hanya beberapa langkah dari posisi Adelia. Adelia tidak menghiraukan panggilan Bagas, ia terus melangkah dengan cepat dan masuk ke dalam room. Bagas menghentikan langkahnya, tidak mungkin ia harus menggedor pintu dan memanggil Adelia untuk menemuinya, yang ada semua tamu akan keluar room dan menonton aksi konyol Bagas, sehingga Bagas menghentikan langkahnya, berdiri mengatur napasnya yang terengah - engah. Cindy yang ikut menyusul Adelia berjalan melewati Bagas, Bagas berusaha menghentikannya. "Cindy, tunggu! bisakah kamu bujuk Adelia untuk keluar, ini salah paham, semuanya tidak benar, tidak seperti yang kalian fikirkan." "Lalu yang benar seperti apa? jelas - jelas kamu sedang berduaan dengan Kaila dan berpegangan tangan saling menatap satu sama lain, bukan hanya Adelia y
Syamsul yang sudah selesai makan, membungkus kembali sisa makanan yang belum habis, dimasukan ke dalam kantong plastik, dan menyedot minumannya."Kamu ada masalah sama Adelia? apakah Adelia membuatmu kesal atau dia macam - macam?""Saya yang sudah membuat dia kesal dan mungkin terluka, tapi serius saya tidak bermaksud menyakitinya, itu semua hanya salah paham.""Kalau salah paham, ya kamu jelaskan kepadanya, jangan malah pasrah dan sibuk dengan pikiran sendiri, karena semua itu nggak akan selesai kalau hanya di pikirkan, temui dia secepatnya, jangan terlalu lama membuatnya dalam situasi tidak enak.""Saya sudah mencoba menemuinya, tapi dia sudah tidak mau menemuiku lagi, mungkin sudah benci kali.""Emang apa sih masalahnya, sampai semarah itu Adelia sama kamu, Bro?""Panjang kalau diceritakan, intinya Adelia menyangka saya masih punya hati kepada mantan, secara nggak sengaja dia melihat saya sedang berdua dengan mantan saya, tapi itu bukan s
"Tunggu Bang!" teriak Kaila dari dalam, mencoba menghentikan Tony yang akan menutup pintu.Tony mengerutkan dahinya, memasang wajah serius, menatap Kaila dengan sedikit kesal, karena Tony sudah berulang kali melarang Kaila untuk jangan dekat - dekat dengan orang miskin, namun Tony tidak bisa bersikap kasar kepada Kaila, baik ucapan ataupun sikap, karena Tony sangat menyanyangi Kaila."Kaila, apa maksudmu? menahan Abang untuk menutup pintu.""Bang, ijinkan Kaila untuk berbicara dengan Bagas, sekali ini saja." Wajah Kaila terlihat memelas."Kaila Abang tidak suka kalau Kaila berteman dengan orang miskin, ingat kata ayah, pertemanan itu mempengaruhi sosial kita, Abang harap Kaila ngerti."Kaila menoleh ke arah Bagas dan meminta Bagas untuk menunggunya di luar, Kaila akan berbicara dengan Tony terlebih dahulu, Kaila sangat hapal watak Tony, kalau terus dipaksa, pasti Tony akan marah besar dan membuat keributan dengan Bagas, Kaila tidak mau itu sa
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab