Setibanya di parkiran, Ketiganya langsung masuk ke dalam mobil."Del, kayaknya cuaca sedang tidak bersahabat, langit tampak gelap," ucap Sinta yang duduk di kursi kemudi."Ya sudah kita nggak usah jauh - jauh ke candi Borobudur, kita ke candi Prambanan saja, nanti malamnya kita nongkrong di Malioboro, aku ingin menikmati suasana malam di tempat ramai penuh dengan makanan khas Jogyakarta."Sinta menganggukkan kepala dan langsung melajukan mobilnya ke arah jalan candi Prambanan. Tidak terlalu lama mereka bertiga telah tiba dan langsung masuk ke dalam area candi Prambanan, menikmati suasana alam di sekitar candi dan mencari spot terbaik untuk berfoto - foto. Sudah hampir dua jam mereka menikmati suasana liburan di sekitar candi Prambanan sesekali bercanda dan tertawa riang seakan tidak ada beban, terlebih lagi Sinta yang selalu cari kesempatan untuk mendekati para wisatawan asing untuk berkenalan, mengajaknya berfoto dan berbincang - bincang."Aktif sekali kamu, deketin para bule, jangan
"permisi, maaf mengganggu, boleh kita gabung." Anita langsung to the point tanpa basa - basi dan menarik kursi di sebelah Adelia, diikuti Putri yang ikut duduk di sebelah Sinta.Adelia hanya tersenyum, begitu juga Cindy dan Sinta, tidak bisa menolak kehadiran Anita dan Putri yang sudah duduk bersama mereka. Seketika keheningan tercipta, kecanggungan terjadi di antara mereka. Anita yang mengerti dengan situasi yang sekarang terjadi, langsung membuka suara."Maaf ya, kalau kedatangan kita berdua membuat kalian tidak nyaman, Ibu hanya ingin berkenalan dengan kalian terutama Adelia." Anita menatap Adelia seraya tersenyum sangat ramah."Iya Bu, maaf bila saya kurang sopan kalau bertanya langsung, apakah Ibu mengenal saya atau teman - teman saya, dan maaf bila sikap kita terutama saya terasa canggung, karena kita tidak mengenal Ibu." Adelia mencoba bersikap natural walau hatinya merasa sedikit kurang nyaman, karena kehadiran mereka, Adelia sangat tahu mereka ada sangkut pautnya dengan Bagas
"Jujur saja, setelah mendengar cerita dari Ibu Anita, hatiku tiba - tiba tidak menentu, aku juga merasa bingung dengan diri sendiri, ada rasa senang bahwa Bagas tidak seperti dugaanku yang sangat brengsek walau kenyataannya mengkhianatiku, kalian yang lebih tahu bagaimana perasaanku terhadap Bagas. Moza adalah mantan pacar Bagas saat di SMA, mereka berpisah karena keluarga Bagas menentang hubungan mereka dan Bagas pindah ke Bandung, Bagas tidak tahu kalau saat itu Moza sedang mengandung anaknya, kesalahan masa remaja yang memang tidak bisa terelakan melahirkan seorang anak yaitu Putri, dan selama enam tahun mereka tidak bertemu serta berkomunikasi, Bagas mengetahui semuanya dari Theo, yang merupakan tunangan Moza, Moza mengidap kanker otak stadium akhir membuat Theo akhirnya merelakan Moza untuk menikah dengan Bagas demi Putri, agar memiliki nasab Ayah, karena permintaan Moza yang memang ingin Putri hidup layaknya anak lainnya, memiliki Ayah, awalnya memang Moza tidak menginginkan pen
"Akhirnya kamu menghentikan langkahmu dan mau berbicara denganku, terima kasih Adelia." Senyum Bagas terlihat bahagia."Jangan salah paham, saya mau berbicara bukan karena saya mau, tapi kamu terus mengganggu saya, satu lagi, tidak usah berkata soal cinta, saya muak mendengarnya, karena kamu nggak lebih dari seorang pengecut dan pecundang, kedepannya tolong jangan sekalipun memperlihatkan wajah kamu di hadapan saya, dan harus kamu tahu, saya sudah memiliki tunangan sebentar lagi saya akan menikah, jadi jangan mengusik hidup saya lagi." Adelia berkata dengan tegas walau sebenarnya, hatinya begitu terasa sakit, hampir saja meneteskan air mata, namun sebisa mungkin ia tahan."Maaf kalau kehadiranku ternyata membuatmu semarah ini, sekali lagi maafkan aku, tapi kamu harus tahu kalau hati aku tidak pernah berubah, aku selalu mencintaimu.""Cukup!! Hentikan kata - kata konyol itu, lebih baik kamu pergi dari hadapan saya, atau saya akan berteriak agar semua orang berdatangan dan itu akan memb
Adelia telah kembali ke Jakarta, mengantarkan kedua sahabatnya pulang, namun Adelia tidak langsung pulang, setelah menerima panggilan telepon dari Heni yang saat itu sedang berkunjung ke rumah saudaranya, Heni sangat ingin bertemu dengan Adelia sekaligus ingin memberikan kartu undangan pernikahannya bulan depan kepada Adelia. Keduanya bertemu di sebuah kafe yang sudah di sepakati.Heni telah tiba lebih dulu di kafe, duduk dengan kepala menunduk dengan kedua tangan di atas meja, jemarinya sibuk memainkan ponselnya dengan bibir yang mengulas senyum. Tidak berapa lama Adelia telah tiba, langsung menghampiri Heni."Apa kabar Hen?" sapa Adelia."Eh si cantik udah datang, maaf tadi lagi chat sama Syamsul, dia ngajak bercanda terus, jadi ke asyikan nggak tahu kamu udah datang, kabarku Alhamdulillah baik, kamu sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah aku juga baik." Adelia menarik kursi dan duduk di depan Heni.Heni memanggil waitress untuk memesan, keduanya hanya memesan minuman dan kudapan.
Di hari Minggu yang cerah, Pemuda tampan dengan setelan jas dan rambut klimis, keluar dari mobil Honda CR-V yang di parkir di halaman rumah Adelia, melangkah begitu gagahnya menuju pintu utama. Seorang wanita paruh baya membukan pintu seraya mengulas senyum dan mempersilakan pemuda tersebut untuk masuk dan duduk di ruang tamu."Nak Angga tunggu sebentar, Ibu panggilkan Adelia di kamarnya." "Baik Bu, terima kasih," ucap Angga yang kini duduk dengan wajah yang begitu ceria.Adelia menghampiri Angga yang sedang duduk dengan santai di ruang tamu."Maaf menunggu lama.""Is okay no problem, menunggumu selama apapun aku tidak pernah keberatan." Keduanya keluar dari rumah, Angga meraih tangan Adelia untuk menggandengnya menuju mobil, namun Adelia seakan menghindar dan berpura - pura merogoh ponsel di tasnya, Angga menyadari kalau Adelia seakan menghindari, Angga hanya tersenyum kecut menutupi rasa kecewanya, dan bergegas masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil seakan hanya keheningan yang terc
Sekitar pukul sembilan pagi, Adam dan Bagas telah tiba di hotel Arimbi, di sambut penuh rasa hormat oleh General manager dan asisten Manager, mereka mendampingi Bagas dan Adam menuju ruangan yang sudah disiapkan untuk meeting. Rapat yang diikuti perwakilan setiap departemen dari front office, marketing, HRD, accounting, engineering, public relation (PR), sekretaris, fnb, dan kitchen, sudah menunggu di dalam, duduk dengan tertib. Saat Adam dan Bagas memasuki ruang meeting, seluruh pegawai serentak berdiri dan memberi salam.Setelah dua jam membahas evaluasi harian, mingguan, bulanan, baik operasional maupun manajemen hotel, dan perencanaan ulang tahun hotel selesai, Adam dan Bagas meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu menuju room yang biasa dipergunakan Bagas beristirahat."Om saya ingin istirahat sebentar, semalam saya bergadang, jadi kurang tidur, nanti bangunkan saya saat makan siang. Oh iya, kita makan siang di luar saja, tempat makan sunda yang dulu sering kita datangi, saya
Setelah berkemas keperluan untuk ke Ancol, Adelia berpamitan kepada ibunya. Adelia melajukan mobilnya ke rumah Sinta, sementara Cindy sudah lebih dulu tiba di rumah Sinta. Setibanya di rumah Sinta, Adelia bergegas masuk ke dalam rumah Sinta, yang di sambut langsung oleh Cindy yang saat itu sedang asik menikmati secangkir es teh manis.Keduanya duduk di ruang tamu, menunggu Sinta yang masih prepare, setelah sepuluh menit menunggu, Sinta keluar dengan menggendong tas dan kamera digital di tangan kirinya."Ayo, aku sudah siap, Sorry lama, tadi terima telepon ibu, ngabarin baru bisa balik dari semarang lusa.""Kita nginep nggak, Del?" tanya Cindy seraya meneguk tetes terakhir minumannya."Nggak tau, aku masih belum berpikir ke arah situ, yang penting sekarang tiba dulu di sana menghirup udara pantai, memandang luas lautan yang membentang indah." Adelia menjawab sambil memperagakan sedang menikmati udara pantai Ancol, menghirupnya dalam - dalam sambil memejamkan mata."Seorang Adelia pergi
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab